ºÝºÝߣ

ºÝºÝߣShare a Scribd company logo
MAKALAH EKOLOGI

SAMPAH DAN LIMBAH PENYEBAB KERUSAKAN EKOSISTEM BUMI




                                Oleh :

               1. Wiwin Cahyanti         B1J010173
               2. Intan Eka MS           B1J010175
               3. Ardianti Maya N        B1J010201




      KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
         UNIVERSITAS JENDERAL SOEDERMAN
                 FAKULTAS BIOLOGI
                   PURWOKERTO

                         2012
I. PENDAHULUAN


        Semua buangan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan hewan yang
berbentuk padat, lumpur (sludge), cair maupun gas yang dibuang karena tidak
dibutuhkan atau tidak diinginkan lagi. Walaupun dianggap sudah tidak berguna dan
tidak   dikehendaki,     namun   bahan    tersebut     kadang–kadang    masih      dapat
dimanfaatkan kembali dan dijadikan bahan baku. Pembagian limbah antara lain
dibagi berdasarkan sumbernya, seperti :
        - Limbah kegiatan kota (masyarakat)
        - Limbah industri
        - Limbah pertambangan
        - Limbah pertanian.
Berdasarkan fasanya/bentuknya:
        - Limbah padat
        - Limbah berlumpur (sludge)
        - Limbah cair
        - Limbah padat.
Berdasarkan sifat bahayanya:
        - Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3)
        - Limbah domestik : dihasilkan dari aktivitas primer manusia.
                                                (Enri Damanhuri dan Tri Padmi, 2010)
        Penanganan limbah secara keseluruhan agar limbah tersebut tidak
mengganggu kesehatan, estetika, dan lingkungan. Penanganan tersebut mencakup
cara memindahkan dari sumbernya, mengolah, dan mendaur-ulang kembali.
Pengelolaan    sampah       adalah   kegiatan   yang   sistematis,   menyeluruh,    dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Karakter
sampah dapat dikenali sebagai berikut: (1) tingkat produksi sampah, (2) komposisi
dan kandungan sapah, (3) kecenderungan perubahannya dari waktu ke waktu.
Karakter sampah tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduk,
pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran serta gaya hidup dari masyarakat
perkotaan. Sumber sampah berasal dari kegiatan penghasil sampah seperti pasar,
rumah tangga, pertokoan (kegiatan komersial/perdaganan), penyapuan jalan, taman,
atau tempat umum lainnya, dan kegiatan lain seperti dari industri dengan limbah
yang sejenis sampah. Sampah yang dihasilkan manusia sehari-hari kemungkinan
mengandung limbah berbahaya, seperti sisa batere, sisa oli/minyak rem mobil, sisa
bekas pemusnah nyamuk, sisa biosida tanaman, dsb (Pramono, 2004).
       Berdasarkan data-data BPS tahun 2000, dari 384 kota yang menimbulkan
sampah sebesar 80.235,87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut ke
dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 %, yang
dibakar sebesar 37,6 %, yang dibuang ke sungai 4,9 % dan tidak tertangani sebesar
53,3 %. Pertambahan penduduk yang disertai dengan tingginya arus urbanisasi ke
perkotaan telah menyebabkan semakin tingginya volume sampah yang harus
dikelola setiap hari. Hal tersebut bertambah sulit karena keterbatasan lahan untuk
TPA sampah. Pengangkutan sampah ke TPA juga terkendala karena jumlah
kendaraan yang kurang mencukupi dan kondisi peralatan yang telah tua. Masalah
lainnya adalah pengelolaan TPA yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang
ramah lingkungan (Rabinovitch, 1992).
       Para    ahli   lingkungan   merekomendasikan      agar    pengelolaan   TPA
menggunakan sistem sanitary landfill, namun demikian dari sekian banyak TPA yang
ada, umumnya menggunakan sistem open dumping atau controlled dumping.
Sampai saat ini paradigma pengelolaan sampah yang digunakan adalah kumpul–
angkut dan buang, dan andalan utama sebuah kota dalam menyelesaikan masalah
sampahnya adalah pemusnahan dengan landfilling pada sebuah TPA. Pengelola
kota cenderung kurang memberikan perhatian yang serius pada TPA tersebut,
sehingga muncullah kasus-kasus kegagalan TPA. Pengelola kota tampaknya
beranggapan bahwa TPA yang dipunyainya dapat menyelesaikan semua persoalan
sampah, tanpa harus memberikan perhatian yang proporsional terhadap sarana
tersebut. TPA dapat menjadi bom waktu bagi pengelola kota. Dilihat dari komposisi
sampah, maka sebagian besar sampah kota di Indonesia adalah tergolong sampah
hayati, atau secara umum dikenal sebagai sampah organik. Sampah yang tergolong
hayati ini untuk kota-kota besar bisa mencapai 70 % dari total sampah, dan sekitar
28 % adalah sampah non-hayati yang menjadi obyek aktivitas pemulung yang cukup
potensial, mulai dari sumber sampah (dari rumah-rumah) sampai ke TPA. Sisanya
(sekitar 2%) tergolong B3 yang perlu dikelola tersendiri (Pramono, 2004).
       Berdasarkan data tahun 2008, jenis penanganan sampah yang berlangsung
di Indonesia adalah sebagai
berikut :
- Pengurugan: 68,86%
- Pengomposan: 7,19%
- Open burning: 4,79%
- Dibuang ke sungai: 2,99%
- Insinerator skala kecil: 6,59%
- Non-pengurugan: 9,58%
                                                  (Wibowo dan Djajawinata, 2002)
       Sampah yang dibuang ke lingkungan akan menimbulkan masalah bagi
kehidupan dan kesehatan lingkungan, terutama kehidupan manusia. Masalah
tersebut dewasa ini menjadi isu yang hangat dan banyak disoroti karena
memerlukan penanganan yang serius. Beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan keberadaan sampah, di antaranya :
- Masalah estetita (keindahan) dan kenyamanan yang merupakan gangguan bagi
pandangan mata.
- Sampah yang terdiri atas berbagai bahan organik dan anorganik apabila telah
terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar, merupakan sarang atau tempat
berkumpulnya berbagai binatang yang dapat menjadi vektor penyakit, seperti lalat,
tikus, kecoa, kucing, anjing liar, dan sebagainya. Juga merupakan sumber dari
berbagai organisme patogen, sehingga akumulasi sampah merupakan sumber
penyakit yang akan membahayakan kesehatan masyarakat, terutama yang
bertempat tinggal dekat dengan lokasi pembuangan sampah.
- Sampah yang berbentuk debu atau bahan membusuk dapat mencemari udara.
- Timbulan lindi (leachate), sebagai efek dekomposisi biologis dari sampah memiliki
potensi yang besar dalam mencemari badan air sekelilingnya, terutama air tanah di
bawahnya.
- Sampah yang kering akan mudah beterbangan dan mudah terbakar.
- Sampah yang dibuang sembarangan dapat menyumbat saluran-saluran air
buangan dan drainase.
                                             (Enri Damanhuri dan Tri Padmi, 2010)
II. PEMBAHASAN


       Permasalahan yang terjadi berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan persampahan, yaitu di antaranya :
- Tingkat penyebaran penduduk yang tidak merata
- Belum melembaganya keinginan dalam masyarakat untuk menjaga lingkungan
- Belum ada pola baku bagi pembinaan masyarakat yang dapat dijadikan pedoman
 pelaksanaan
- Masih banyak pengelola kebersihan yang belum mencantumkan penyuluhan dalam
 programnya
- Kehawatiran pengelola bahwa inisiatif masyarakat tidak akan sesuai dengan
 konsep pengelolaan yang ada.
                                                  (Wibowo dan Djajawinata, 2002)
       Saat ini pengurangan sampah hanya dilakukan melalui kegiatan pemulungan
sampah (oleh pemulung). Program daur ulang di Indonesia yang telah dilaksanakan
sejak tahun 1986 baru dapat mencapai 1,8%. Kondisi ini belum cukup untuk
mengurangi laju pertumbuhan jumlah sampah yang akan meningkat lima kalinya
pada tahun 2020. Para pemulung melaksanakan kegiatan pemungutan sampah
hampir di seluruh subsistem pengelolaan sampah. Berdasarkan penelitian BPPT
tahun 1990 komponen sampah yang mempunyai nilai tinggi untuk dimanfaatkan
kembali adalah sampah kertas, logam dan gelas. Sampah memberikan nilai
ekonomis, baik sampah organik yang dapat didaur ulang maupun sampah anorganik
yang tidak dapat didaur ulang. Dilihat dari jumlah sampah yang dihasilkan dengan
asumsi semua sampah dapat dimanfaatkan baik untuk daur ulang ataupun yang
anorganik, dan dengan perkiraan residu 5% dari total sampah serta perkiraan jumlah
keluarga, nilai ekonomis sampah tahun 2020. Pendapatan daerah akan bertambah
sebesar Rp. 187.951.800 jika sampah dikelola dengan baik. Kontribusi terbesar
diberikan sampah plastik lalu diikuti sampah sayur-mayur, meskipun kalau dilihat
dari jumlahnya, sampah sayur mayur menempati posisi pertama. Nilai ekonomis per
satuan unit yang lebih kecil, membuat konstribusi sampah sayur mayur lebih kecil
dibandingkan sampah plastik (Oswari Teddy et al. 2006).
Sampah berbahaya adalah semua sampah yang mengandung bahan
beracun bagi manusia, flora, dan fauna. Sampah ini pada umumnya terdiri atas zat
kimia organik maupun anorganik serta logam-logam berat, yang kebanyakan
merupakan buangan industri. Sampah jenis ini sebaiknya dikelola oleh suatu badan
yang berwenang dan dikeluarkan ke lingkungan sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Sampah jenis ini tidak dapat dicampurkan dengan sampah kota biasa.
Komposisi sampah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor:
  − Cuaca: di daerah yang kandungan airnya tinggi, kelembaban sampah juga akan
cukup tinggi
  − Frekuensi pengumpulan: semakin sering sampah dikumpulkan maka semakin
tinggi tumpukan sampah terbentuk. Tetapi sampah organik akan berkurang karena
membusuk, dan yang akan terus bertambah adalah kertas dan dan sampah kering
lainnya yang sulit terdegradasi
  − Musim: jenis sampah akan ditentukan oleh musim buah-buahan yang sedang
berlangsung
  − Tingkat sosial ekonomi: Daerah ekonomi tinggi pada umumnya menghasilkan
sampah yang terdiri atas bahan kaleng, kertas, dan sebagainya
  − Pendapatan per kapita: masyarakat dari tingkat ekonomi rendah akan
menghasilkan total sampah yang lebih sedikit dan homogen dibanding tingkat
ekonomi lebih tinggi.
  − Kemasan produk: kemasan produk bahan kebutuhan sehari-hari juga akan
mempengaruhi. Negara maju cenderung tambah banyak yang menggunakan kertas
sebagai pengemas, sedangkan negara berkembang seperti Indonesia banyak
menggunakan plastik sebagai pengemas.
                                                    (Wibowo dan Djajawinata, 2002)
       Bahan sehari-hari yang digunakan di rumah tangga dewasa ini, khususnya di
kota, tidak terlepas dari penggunaan bahan berbahaya. Bila bahan tersebut tidak
lagi digunakan, maka bahan tersebut akan menjadi limbah, yang kemungkinan besar
tetap berkategori berbahaya, termasuk pula bekas pewadahannya seperti bekas cat,
tabung bekas pewangi ruangan. Bahan-bahan tersebut digunakan dalam hampir
seluruh kegiatan di rumah tangga, yaitu:
 − di dapur, seperti pembersih saluran air, soda kaustik, semir, gas elpiji, minyak
  tanah, asam cuka, kaporit atau desinfektan, spiritus / alkohol
− di kamar mandi dan cuci, seperti cairan setelah mencukur, obat-obatan, shampo
  anti ketombe, pembersih toilet, pembunuh kecoa
 − di kamar tidur, seperti parfum, kosmetik, kamfer, obat-obatan, hairspray, air
  freshener, pembunuh nyamuk
 − di ruang keluarga, seperti korek api, alkohol, batere, cairan pmbersih
 − di garasi/taman, seperti pestisida dan insektisida, pupuk, cat dan solven
  pengencer, perekat, oli mobil, aki bekas.
                                                                   (Pramono, 2007)
       Di lingkungan pedesaan serta di lingkungan yang terlihat asri, penggunaan
bahan berbahaya agaknya juga sulit dihindari, seperti penggunaan pestisida dalam
kegiatan pertanian, yang dampaknya disamping akan menghasilkan residu yang
terbuang pada badan penerima alamiah, namun dapat pula masih tersisa pada
makanan yang dikonsumsi sehari-hari seperti dalam sayur mayur dan buah-buahan.
Kegiatan agrowisata, seperti adanya lapangan golf dan sebagainya menambah
intesifnya penggunaan bahan biosida yang umumnya resistan dan bersifat
biokumulasi serta mendatangkan dampak negatif dalam jangka panjang bagi
manusia yang terpaparnya. Pada dasarnya bahan berbahaya tidak akan
menimbulkan bahaya jika pemakaian, penyimpanan dan pengelolaannya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Pencampuran dua atau lebih dapat pula
menimbulkan masalah. Efek pada kesehatan manusia yang paling ringan umumnya
akan terasa langsung karena bersifat akut, seperti kesulitan bernafas, kepala pusing,
lamban, iritasi mata atau kulit. Oleh karenanya, pada kemasan bahan-bahan
tersebut biasanya tertera aturan penyimpanan, misalnya tidak terpapar pada
temperatur atau diletakkan agar tidak terjangkau oleh anak-anak.
       Melihat permasalahan diatas, untuk mengelola persampahan hal pertama
yang harus diperhatikan adalah kebijakan dari pemerintah yang dibuat dengan
pendekatan menyeluruh sehingga dapat dijadikan payung bagi penyusunan
kebijakan ditingkat pusat maupun daerah. Belum adanya kebijakan pemerintah
tersebut menyulitkan pengelolaan persampahan. Kebijakan strategis yang telah
ditetapkan oleh pemerintah baru pada tahap aspek teknis yaitu dengan melakukan
pengurangan timbulan sampah dengan menerapkan Reduce, Reuse dan Recycle
(3R), dengan harapan pada tahun 2025 tercapai “zero waste“. Pendekatan
pengelolaaan persampahan yang semula didekati dengan wilayah administrasi,
dapat diubah dengan melalui pendekatan pengelolaan persampahan secara regional
dengan menggabungkan beberapa kota dan kabupaten dalam pengelolaan
persampahan. Hal ini sangat menguntungkan karena akan mencapai skala
ekonomis baik dalam tingkat pengelolaan TPA, dan pengangkutan dari TPS ke TPA
(Pramono, 2007).
       Secara ideal konsep hierarhi urutan prioritas penanganan limbah secara
umum, yaitu :
Langkah 1 Reduce (pembatasan): mengupayakan agar limbah yang dihasilkan
sesedikit mungkin
Langkah 2 Reuse (guna-ulang): bila limbah akhirnya terbentuk, maka upayakan
memanfaatkan limbah tersebut secara langsung
Langkah 3 Recycle (daur-ulang): residu atau limbah yang tersisa atau tidak dapat
dimanfaatkan secara langsung, kemudian diproses atau diolah untuk dapat
dimanfaatkan, baik sebagai bahan baku maupun sebagai sumber enersi
Langkah 4 Treatment (olah): residu yang dihasilkan atau yang tidak dapat
dimanfaatkan kemudian diolah, agar memudahkan penanganan berikutnya, atau
agar dapat secara aman dilepas ke lingkungan
Langkah 5 Dispose (singkir): residu/limbah yang tidak dapat diolah perlu dilepas ke
lingkungan secara aman, yaitu melalui rekayasa yang baik dan aman seperti
menyingkirkan pada sebuah lahan-urug (landfill) yang dirancang dan disiapkan
secara baik
Langkah 6 Remediasi: media lingkungan (khusunya media air dan tanah) yang
sudah tercemar akibat limbah yang tidak terkelola secara baik, perlu direhabilitasi
atau diperbaiki melalui upaya rekayasa yang sesuai, seperti bioremediasi dan
sebagainya.
                                                      (Doddy Ari S, Diana S, 2005)
       Manfaat dari upaya tersebut dalam jangka panjang antara lain adalah :
− Berkurangnya secara drastis ketergantungan terhadap tempat pemrosesan akhir.
− Lebih meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan sarana dan prasarana
persampahan.
− Terciptanya peluang usaha bagi masyarakat dari pengelolaan sampah (usaha
daur ulang dan pengomposan).
− Terciptanya jalinan kerjasama antara pemerintah kabupaten/kota dan antara
pemerintah dan masyarakat/swasta dalam rangka menuju terlaksananya pelayanan
sampah yang lebih berkualitas.
− Adanya pemisahan dan pemilahan sampah baik di sumber timbulan maupun di
tempat pembuangan akhir dan adanya pemusatan kegiatan pengelolaan akan lebih
menjamin terkendalinya dampak lingkungan yang tidak dikehendaki.
                                           (Enri Damanhuri dan Tri Padmi, 2010)
III. PENUTUP


       Berdasarkan permasalahan diatas didapatkan kesimpulan bahwa :
1.   Melakukan pengenalan karekteristik sampah dan metoda pembuangannya,
2.   Merencanakan dan menerapkan pengelolaan persampahan secara terpadu
     (pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir)
3.   Menggalakkan program Reduce, Reuse dan Recycle (3 R) agar dapat tercapai
     program zero waste pada masa mendatang,
4.   Mengembangkan teknologi pengelolaan sampah yang lebih bersahabat dengan
     lingkungan dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi bahan buangan.
DAFTAR PUSTAKA


Doddy Ari S, Diana S, 2005. Kajian Potensi Ekonomis Dengan Penerapan 3R
      (Reduce, Reuse Dan Recycle) Pada Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Di
      Kota Depok, Prosiding Seminar Ilmiah PESAT Universita Gunadarma,
      Depok.

Enri Damanhuri dan Tri Padmi. 2010. Diktat kuliah TL-3104 Pengelolaan sampah.
       Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB

Oswari Teddy et al. 2006. Potensi Nilai Ekonomis Pengelolaan Sampah Di Kota
      Depok. Jurnal ekonomi & bisnis no.2, jilid 11

Pramono, Sigit, S., 2004. Studi Mengenai Komposisi Sampah Perkotaan Di Negara-
     Negara Berkembang. Jurusan Teknik Sipil Unversitas Gunadarma-Jakarta.

Pramono, Sigit, S., 2007. Studi Sistem Pengumpulan Sampah Perkotaan Di
     Indonesia. Jurusan Teknik Sipil Unversitas Gunadarma-Jakarta.

Rabinovitch, Jonas. 1992. Curitiba: towards sustainable urban development.
      Environment and Urbanization Vol. 4 No. 2, p62-73.

Wibowo, Arianto dan Djajawinata, Darwin T. 2002. Penanganan Sampah Perkotaan
     Terpadu. Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas

More Related Content

Makalah ekologi

  • 1. MAKALAH EKOLOGI SAMPAH DAN LIMBAH PENYEBAB KERUSAKAN EKOSISTEM BUMI Oleh : 1. Wiwin Cahyanti B1J010173 2. Intan Eka MS B1J010175 3. Ardianti Maya N B1J010201 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDERMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2012
  • 2. I. PENDAHULUAN Semua buangan yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dan hewan yang berbentuk padat, lumpur (sludge), cair maupun gas yang dibuang karena tidak dibutuhkan atau tidak diinginkan lagi. Walaupun dianggap sudah tidak berguna dan tidak dikehendaki, namun bahan tersebut kadang–kadang masih dapat dimanfaatkan kembali dan dijadikan bahan baku. Pembagian limbah antara lain dibagi berdasarkan sumbernya, seperti : - Limbah kegiatan kota (masyarakat) - Limbah industri - Limbah pertambangan - Limbah pertanian. Berdasarkan fasanya/bentuknya: - Limbah padat - Limbah berlumpur (sludge) - Limbah cair - Limbah padat. Berdasarkan sifat bahayanya: - Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) - Limbah domestik : dihasilkan dari aktivitas primer manusia. (Enri Damanhuri dan Tri Padmi, 2010) Penanganan limbah secara keseluruhan agar limbah tersebut tidak mengganggu kesehatan, estetika, dan lingkungan. Penanganan tersebut mencakup cara memindahkan dari sumbernya, mengolah, dan mendaur-ulang kembali. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Karakter sampah dapat dikenali sebagai berikut: (1) tingkat produksi sampah, (2) komposisi dan kandungan sapah, (3) kecenderungan perubahannya dari waktu ke waktu. Karakter sampah tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran serta gaya hidup dari masyarakat perkotaan. Sumber sampah berasal dari kegiatan penghasil sampah seperti pasar, rumah tangga, pertokoan (kegiatan komersial/perdaganan), penyapuan jalan, taman, atau tempat umum lainnya, dan kegiatan lain seperti dari industri dengan limbah
  • 3. yang sejenis sampah. Sampah yang dihasilkan manusia sehari-hari kemungkinan mengandung limbah berbahaya, seperti sisa batere, sisa oli/minyak rem mobil, sisa bekas pemusnah nyamuk, sisa biosida tanaman, dsb (Pramono, 2004). Berdasarkan data-data BPS tahun 2000, dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar 80.235,87 ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut ke dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 %, yang dibakar sebesar 37,6 %, yang dibuang ke sungai 4,9 % dan tidak tertangani sebesar 53,3 %. Pertambahan penduduk yang disertai dengan tingginya arus urbanisasi ke perkotaan telah menyebabkan semakin tingginya volume sampah yang harus dikelola setiap hari. Hal tersebut bertambah sulit karena keterbatasan lahan untuk TPA sampah. Pengangkutan sampah ke TPA juga terkendala karena jumlah kendaraan yang kurang mencukupi dan kondisi peralatan yang telah tua. Masalah lainnya adalah pengelolaan TPA yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ramah lingkungan (Rabinovitch, 1992). Para ahli lingkungan merekomendasikan agar pengelolaan TPA menggunakan sistem sanitary landfill, namun demikian dari sekian banyak TPA yang ada, umumnya menggunakan sistem open dumping atau controlled dumping. Sampai saat ini paradigma pengelolaan sampah yang digunakan adalah kumpul– angkut dan buang, dan andalan utama sebuah kota dalam menyelesaikan masalah sampahnya adalah pemusnahan dengan landfilling pada sebuah TPA. Pengelola kota cenderung kurang memberikan perhatian yang serius pada TPA tersebut, sehingga muncullah kasus-kasus kegagalan TPA. Pengelola kota tampaknya beranggapan bahwa TPA yang dipunyainya dapat menyelesaikan semua persoalan sampah, tanpa harus memberikan perhatian yang proporsional terhadap sarana tersebut. TPA dapat menjadi bom waktu bagi pengelola kota. Dilihat dari komposisi sampah, maka sebagian besar sampah kota di Indonesia adalah tergolong sampah hayati, atau secara umum dikenal sebagai sampah organik. Sampah yang tergolong hayati ini untuk kota-kota besar bisa mencapai 70 % dari total sampah, dan sekitar 28 % adalah sampah non-hayati yang menjadi obyek aktivitas pemulung yang cukup potensial, mulai dari sumber sampah (dari rumah-rumah) sampai ke TPA. Sisanya (sekitar 2%) tergolong B3 yang perlu dikelola tersendiri (Pramono, 2004). Berdasarkan data tahun 2008, jenis penanganan sampah yang berlangsung di Indonesia adalah sebagai
  • 4. berikut : - Pengurugan: 68,86% - Pengomposan: 7,19% - Open burning: 4,79% - Dibuang ke sungai: 2,99% - Insinerator skala kecil: 6,59% - Non-pengurugan: 9,58% (Wibowo dan Djajawinata, 2002) Sampah yang dibuang ke lingkungan akan menimbulkan masalah bagi kehidupan dan kesehatan lingkungan, terutama kehidupan manusia. Masalah tersebut dewasa ini menjadi isu yang hangat dan banyak disoroti karena memerlukan penanganan yang serius. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan sampah, di antaranya : - Masalah estetita (keindahan) dan kenyamanan yang merupakan gangguan bagi pandangan mata. - Sampah yang terdiri atas berbagai bahan organik dan anorganik apabila telah terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar, merupakan sarang atau tempat berkumpulnya berbagai binatang yang dapat menjadi vektor penyakit, seperti lalat, tikus, kecoa, kucing, anjing liar, dan sebagainya. Juga merupakan sumber dari berbagai organisme patogen, sehingga akumulasi sampah merupakan sumber penyakit yang akan membahayakan kesehatan masyarakat, terutama yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi pembuangan sampah. - Sampah yang berbentuk debu atau bahan membusuk dapat mencemari udara. - Timbulan lindi (leachate), sebagai efek dekomposisi biologis dari sampah memiliki potensi yang besar dalam mencemari badan air sekelilingnya, terutama air tanah di bawahnya. - Sampah yang kering akan mudah beterbangan dan mudah terbakar. - Sampah yang dibuang sembarangan dapat menyumbat saluran-saluran air buangan dan drainase. (Enri Damanhuri dan Tri Padmi, 2010)
  • 5. II. PEMBAHASAN Permasalahan yang terjadi berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam pengelolaan persampahan, yaitu di antaranya : - Tingkat penyebaran penduduk yang tidak merata - Belum melembaganya keinginan dalam masyarakat untuk menjaga lingkungan - Belum ada pola baku bagi pembinaan masyarakat yang dapat dijadikan pedoman pelaksanaan - Masih banyak pengelola kebersihan yang belum mencantumkan penyuluhan dalam programnya - Kehawatiran pengelola bahwa inisiatif masyarakat tidak akan sesuai dengan konsep pengelolaan yang ada. (Wibowo dan Djajawinata, 2002) Saat ini pengurangan sampah hanya dilakukan melalui kegiatan pemulungan sampah (oleh pemulung). Program daur ulang di Indonesia yang telah dilaksanakan sejak tahun 1986 baru dapat mencapai 1,8%. Kondisi ini belum cukup untuk mengurangi laju pertumbuhan jumlah sampah yang akan meningkat lima kalinya pada tahun 2020. Para pemulung melaksanakan kegiatan pemungutan sampah hampir di seluruh subsistem pengelolaan sampah. Berdasarkan penelitian BPPT tahun 1990 komponen sampah yang mempunyai nilai tinggi untuk dimanfaatkan kembali adalah sampah kertas, logam dan gelas. Sampah memberikan nilai ekonomis, baik sampah organik yang dapat didaur ulang maupun sampah anorganik yang tidak dapat didaur ulang. Dilihat dari jumlah sampah yang dihasilkan dengan asumsi semua sampah dapat dimanfaatkan baik untuk daur ulang ataupun yang anorganik, dan dengan perkiraan residu 5% dari total sampah serta perkiraan jumlah keluarga, nilai ekonomis sampah tahun 2020. Pendapatan daerah akan bertambah sebesar Rp. 187.951.800 jika sampah dikelola dengan baik. Kontribusi terbesar diberikan sampah plastik lalu diikuti sampah sayur-mayur, meskipun kalau dilihat dari jumlahnya, sampah sayur mayur menempati posisi pertama. Nilai ekonomis per satuan unit yang lebih kecil, membuat konstribusi sampah sayur mayur lebih kecil dibandingkan sampah plastik (Oswari Teddy et al. 2006).
  • 6. Sampah berbahaya adalah semua sampah yang mengandung bahan beracun bagi manusia, flora, dan fauna. Sampah ini pada umumnya terdiri atas zat kimia organik maupun anorganik serta logam-logam berat, yang kebanyakan merupakan buangan industri. Sampah jenis ini sebaiknya dikelola oleh suatu badan yang berwenang dan dikeluarkan ke lingkungan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sampah jenis ini tidak dapat dicampurkan dengan sampah kota biasa. Komposisi sampah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor: − Cuaca: di daerah yang kandungan airnya tinggi, kelembaban sampah juga akan cukup tinggi − Frekuensi pengumpulan: semakin sering sampah dikumpulkan maka semakin tinggi tumpukan sampah terbentuk. Tetapi sampah organik akan berkurang karena membusuk, dan yang akan terus bertambah adalah kertas dan dan sampah kering lainnya yang sulit terdegradasi − Musim: jenis sampah akan ditentukan oleh musim buah-buahan yang sedang berlangsung − Tingkat sosial ekonomi: Daerah ekonomi tinggi pada umumnya menghasilkan sampah yang terdiri atas bahan kaleng, kertas, dan sebagainya − Pendapatan per kapita: masyarakat dari tingkat ekonomi rendah akan menghasilkan total sampah yang lebih sedikit dan homogen dibanding tingkat ekonomi lebih tinggi. − Kemasan produk: kemasan produk bahan kebutuhan sehari-hari juga akan mempengaruhi. Negara maju cenderung tambah banyak yang menggunakan kertas sebagai pengemas, sedangkan negara berkembang seperti Indonesia banyak menggunakan plastik sebagai pengemas. (Wibowo dan Djajawinata, 2002) Bahan sehari-hari yang digunakan di rumah tangga dewasa ini, khususnya di kota, tidak terlepas dari penggunaan bahan berbahaya. Bila bahan tersebut tidak lagi digunakan, maka bahan tersebut akan menjadi limbah, yang kemungkinan besar tetap berkategori berbahaya, termasuk pula bekas pewadahannya seperti bekas cat, tabung bekas pewangi ruangan. Bahan-bahan tersebut digunakan dalam hampir seluruh kegiatan di rumah tangga, yaitu: − di dapur, seperti pembersih saluran air, soda kaustik, semir, gas elpiji, minyak tanah, asam cuka, kaporit atau desinfektan, spiritus / alkohol
  • 7. − di kamar mandi dan cuci, seperti cairan setelah mencukur, obat-obatan, shampo anti ketombe, pembersih toilet, pembunuh kecoa − di kamar tidur, seperti parfum, kosmetik, kamfer, obat-obatan, hairspray, air freshener, pembunuh nyamuk − di ruang keluarga, seperti korek api, alkohol, batere, cairan pmbersih − di garasi/taman, seperti pestisida dan insektisida, pupuk, cat dan solven pengencer, perekat, oli mobil, aki bekas. (Pramono, 2007) Di lingkungan pedesaan serta di lingkungan yang terlihat asri, penggunaan bahan berbahaya agaknya juga sulit dihindari, seperti penggunaan pestisida dalam kegiatan pertanian, yang dampaknya disamping akan menghasilkan residu yang terbuang pada badan penerima alamiah, namun dapat pula masih tersisa pada makanan yang dikonsumsi sehari-hari seperti dalam sayur mayur dan buah-buahan. Kegiatan agrowisata, seperti adanya lapangan golf dan sebagainya menambah intesifnya penggunaan bahan biosida yang umumnya resistan dan bersifat biokumulasi serta mendatangkan dampak negatif dalam jangka panjang bagi manusia yang terpaparnya. Pada dasarnya bahan berbahaya tidak akan menimbulkan bahaya jika pemakaian, penyimpanan dan pengelolaannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pencampuran dua atau lebih dapat pula menimbulkan masalah. Efek pada kesehatan manusia yang paling ringan umumnya akan terasa langsung karena bersifat akut, seperti kesulitan bernafas, kepala pusing, lamban, iritasi mata atau kulit. Oleh karenanya, pada kemasan bahan-bahan tersebut biasanya tertera aturan penyimpanan, misalnya tidak terpapar pada temperatur atau diletakkan agar tidak terjangkau oleh anak-anak. Melihat permasalahan diatas, untuk mengelola persampahan hal pertama yang harus diperhatikan adalah kebijakan dari pemerintah yang dibuat dengan pendekatan menyeluruh sehingga dapat dijadikan payung bagi penyusunan kebijakan ditingkat pusat maupun daerah. Belum adanya kebijakan pemerintah tersebut menyulitkan pengelolaan persampahan. Kebijakan strategis yang telah ditetapkan oleh pemerintah baru pada tahap aspek teknis yaitu dengan melakukan pengurangan timbulan sampah dengan menerapkan Reduce, Reuse dan Recycle (3R), dengan harapan pada tahun 2025 tercapai “zero waste“. Pendekatan pengelolaaan persampahan yang semula didekati dengan wilayah administrasi,
  • 8. dapat diubah dengan melalui pendekatan pengelolaan persampahan secara regional dengan menggabungkan beberapa kota dan kabupaten dalam pengelolaan persampahan. Hal ini sangat menguntungkan karena akan mencapai skala ekonomis baik dalam tingkat pengelolaan TPA, dan pengangkutan dari TPS ke TPA (Pramono, 2007). Secara ideal konsep hierarhi urutan prioritas penanganan limbah secara umum, yaitu : Langkah 1 Reduce (pembatasan): mengupayakan agar limbah yang dihasilkan sesedikit mungkin Langkah 2 Reuse (guna-ulang): bila limbah akhirnya terbentuk, maka upayakan memanfaatkan limbah tersebut secara langsung Langkah 3 Recycle (daur-ulang): residu atau limbah yang tersisa atau tidak dapat dimanfaatkan secara langsung, kemudian diproses atau diolah untuk dapat dimanfaatkan, baik sebagai bahan baku maupun sebagai sumber enersi Langkah 4 Treatment (olah): residu yang dihasilkan atau yang tidak dapat dimanfaatkan kemudian diolah, agar memudahkan penanganan berikutnya, atau agar dapat secara aman dilepas ke lingkungan Langkah 5 Dispose (singkir): residu/limbah yang tidak dapat diolah perlu dilepas ke lingkungan secara aman, yaitu melalui rekayasa yang baik dan aman seperti menyingkirkan pada sebuah lahan-urug (landfill) yang dirancang dan disiapkan secara baik Langkah 6 Remediasi: media lingkungan (khusunya media air dan tanah) yang sudah tercemar akibat limbah yang tidak terkelola secara baik, perlu direhabilitasi atau diperbaiki melalui upaya rekayasa yang sesuai, seperti bioremediasi dan sebagainya. (Doddy Ari S, Diana S, 2005) Manfaat dari upaya tersebut dalam jangka panjang antara lain adalah : − Berkurangnya secara drastis ketergantungan terhadap tempat pemrosesan akhir. − Lebih meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan sarana dan prasarana persampahan. − Terciptanya peluang usaha bagi masyarakat dari pengelolaan sampah (usaha daur ulang dan pengomposan).
  • 9. − Terciptanya jalinan kerjasama antara pemerintah kabupaten/kota dan antara pemerintah dan masyarakat/swasta dalam rangka menuju terlaksananya pelayanan sampah yang lebih berkualitas. − Adanya pemisahan dan pemilahan sampah baik di sumber timbulan maupun di tempat pembuangan akhir dan adanya pemusatan kegiatan pengelolaan akan lebih menjamin terkendalinya dampak lingkungan yang tidak dikehendaki. (Enri Damanhuri dan Tri Padmi, 2010)
  • 10. III. PENUTUP Berdasarkan permasalahan diatas didapatkan kesimpulan bahwa : 1. Melakukan pengenalan karekteristik sampah dan metoda pembuangannya, 2. Merencanakan dan menerapkan pengelolaan persampahan secara terpadu (pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir) 3. Menggalakkan program Reduce, Reuse dan Recycle (3 R) agar dapat tercapai program zero waste pada masa mendatang, 4. Mengembangkan teknologi pengelolaan sampah yang lebih bersahabat dengan lingkungan dan memberikan nilai tambah ekonomi bagi bahan buangan.
  • 11. DAFTAR PUSTAKA Doddy Ari S, Diana S, 2005. Kajian Potensi Ekonomis Dengan Penerapan 3R (Reduce, Reuse Dan Recycle) Pada Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Di Kota Depok, Prosiding Seminar Ilmiah PESAT Universita Gunadarma, Depok. Enri Damanhuri dan Tri Padmi. 2010. Diktat kuliah TL-3104 Pengelolaan sampah. Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB Oswari Teddy et al. 2006. Potensi Nilai Ekonomis Pengelolaan Sampah Di Kota Depok. Jurnal ekonomi & bisnis no.2, jilid 11 Pramono, Sigit, S., 2004. Studi Mengenai Komposisi Sampah Perkotaan Di Negara- Negara Berkembang. Jurusan Teknik Sipil Unversitas Gunadarma-Jakarta. Pramono, Sigit, S., 2007. Studi Sistem Pengumpulan Sampah Perkotaan Di Indonesia. Jurusan Teknik Sipil Unversitas Gunadarma-Jakarta. Rabinovitch, Jonas. 1992. Curitiba: towards sustainable urban development. Environment and Urbanization Vol. 4 No. 2, p62-73. Wibowo, Arianto dan Djajawinata, Darwin T. 2002. Penanganan Sampah Perkotaan Terpadu. Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas