1. Teori Kuantitas Uang (Quantity Theory of Money)
Nilai uang ditentukan oleh supply dan demand terhadap uang. Jumlah uang beredar
ditentukan oleh Bank Sentral, sementara jumlah uang yang diminta (money demand) ditentukan
oleh beberapa faktor, antara lain tingkat harga rata-rata dalam perekonomian. Jumlah uang yang
diminta oleh masyarakat untuk melakukan transaksi bergantung pada tingkat harga barang dan jasa
yang tersedia. Semakin tinggi tingkat harga, semakin besar jumlah uang yang diminta.
Gambar di atas menggambarkan hubungan antara supply dan demand terhadap uang.
Sumbu horizontal menggambarkan jumlah uang beredar, sumbu vertikal kiri menggambarkan nilai
uang, 1/P, dan sumbu vertikal kanan menggambarkan tingkat harga, P. Sumbu-sumbu vertikal
menggambarkan bahwa saat nilai uang tinggi, maka tingkat harga akan rendah, dan sebaliknya pada
tingkat harga yang tinggi maka nilai uang akan rendah. Kedua kurva menggambarkan supply dan
demand terhadap uang. Kurva supply berbentuk vertikal karena jumlah uang beredar ditetapkan
oleh Bank Sentral. Kurva demand memiliki slope negatif, mengindikasikan bahwa saat nilai uang
rendah dan tingkat harga tinggi, maka permintaan terhadap uang akan tinggi. Pada titik equilibrium,
A, jumlah uang yang diedarkan dan jumlah uang yang diminta masyarakat berada dalam
keseimbangan. Ekuilibrium antara supply dan demand terhadap uang menentukan nilai uang dan
tingkat harga barang dan jasa. Jika Bank Sentral mengubah jumlah uang yang beredar, misalnya
dengan mencetak lebih banyak uang, ekuilibrium supply dan demand terhadap uang akan berubah
seperti ditunjukkan pada gambar berikut.
2. Bertambahnya jumlah uang beredar menggeser kurva supply dari MS1 ke MS2, sehingga titik
equilibrium ikut bergeser dari A ke B. Akibatnya, nilai uang turun dari ½ ke ¼, dan tingkat harga
equilibrium naik dari 2 ke 4. Dengan kata lain, meningkatnya jumlah uang beredar mendorong
terjadinya kenaikan harga yang menyebabkan nilai uang menjadi turun. Lebih lanjut dapat
dijelaskan bahwa dampak langsung dari injeksi moneter yang dilakukan Bank Sentral adalah
meningkatnya supply uang. Sebelum injeksi, perekonomian berada pada titik equilibrium A. Pada
titik ini, tingkat harga seimbang dengan jumlah uang yang diminta masyarakat.
Saat jumlah uang beredar meningkat, pada tingkat harga yang sama masyarakat memiliki
lebih banyak uang dari yang mereka minta. Meningkatnya jumlah uang menyebabkan naiknya
permintaan terhadap barang dan jasa. Jika jumlah barang dan jasa yang diminta tidak seimbang
dengan jumlah barang dan jasa yang diproduksi, maka akan terjadi peningkatan harga. Peningkatan
harga kemudian mendorong naiknya jumlah uang yang diminta masyarakat. Pada akhirnya,
perekonomian akan mencapai equilibrium baru, yaitutitik B, saat jumlah uang yang diminta kembali
seimbang dengan jumlah uang yang diedarkan. Penjelasan yang menggambarkan bagaimana tingkat
harga ditentukan dan berubah seiring dengan perubahan jumlah uang beredar disebut teori
kuantitas uang (quantity theory of money)
Berdasarkan teori ini, jumlah uang yang beredar dalam suatu perekonomian menentukan
nilai uang, sementara pertumbuhan jumlah uang beredar merupakan sebab utama terjadinya inflasi.
Secara umum, teori kuantitas uang menggambarkan pengaruh jumlah uang beredar terhadap
perekonomian, dikaitkan dengan variabel harga dan output. Hubungan antara jumlah uang beredar,
output, dan harga dapat ditulis dalam persamaan matematis sebagai berikut:
MxV=PxY
Dimana P adalah tingkat harga (GDP deflator), Y adalah jumlah output (real GDP), M adalah
jumlah uang beredar, PxY adalah nominal GDP, dan V adalah velocity of money (perputaran uang).
Persamaan ini disebut sebagai persamaan kuantitas (quantity equation).
3. Velocity of money (perputaran uang)
Mengukur tingkat dimana uang bersirkulasi dalam perekonomian (Mankiw, 2003). Atau
dapat dikatakan mengukur kecepatan perpindahan uang dari satu orang ke orang lainnya. Velocity
of money dapat dihitung melalui pembagian antara GDP nominal dengan jumlah uang beredar.
Secara matematis, dapat ditulis sebagai berikut:
V=(PxY)/M
Persamaan di atas dapat dianggap sebagai suatu definisi yang menunjukkan perputaran V
sebagai rasio GDP nominal, PY, terhadap kuantitas uang M. Persamaan tersebut merupakan suatu
identitas. Jika satu atau lebih variabel itu berubah, maka satu atau lebih variabel lainnya juga harus
berubah untuk menjaga kesamaan. Misalnya, jika jumlah uang beredar meningkat, maka akibatnya
dapat dilihat dari ketiga variabel lainnya: harga harus naik, kuantitas output harus naik, atau
kecepatan perputaran uang harus turun.
Dari berbagai kasus, dapat dilihat bahwa perputaran uang relatif stabil. Gambar berikut
menunjukkan hubungan antara GDP nominal, jumlah uang beredar (M2) dan velocity of money di
Amerika Serikat sejak tahun 1960.
Dalam gambar dapat dilihat bahwa dalam periode 1960 – 2000, walaupun velocity of money
tidak konstan, namun tidak berubah banyak. Karenanya, velocity of money sering diasumsikan
sebagai konstan. Sebaliknya, jumlah uang beredar dan GDP nominal meningkat lebih dari sepuluh
kali lipat. Jika diasumsikan bahwa V adalah konstan, maka persamaan kuantitas dapat dilihat
sebagai teori yang menentukan GDP nominal. perubahan dalam kuantitas uang (M) harus
menyebabkan perubahan yang proporsional dalam GDP nominal (PY). Yaitu, jika perputaran adalah
tetap, maka kuantitas uang menentukan nilai dari output perekonomian. Secara teoretis, hubungan
antara tingkat inflasi dan tingkat harga ekuilibrium yang digambarkan dalam quantity theory of
money dapat dijelaskan sebagai berikut (Mankiw, Principles of Macroeconomics edisi 3: 348;
Mankiw (2003): 82):
1. Velocity of money relatif stabil dalam jangka panjang.
2. Karena velocity relatif stabil, saat Bank Sentral mengubah jumlah uang beredar (M), terjadi
perubahan proporsional dalam nilai output nominal (PY).
4. 3. Besarnya output barang dan jasa (Y) ditentukan oleh supply faktor produksi dan teknologi
produksi. Secara khusus, karena uang adalah netral, uang tidak memengaruhi besaran output.
4. Dengan output (Y) ditentukan oleh supply faktor dan teknologi, saat Bank Sentral mengubah
jumlah uang beredar (M) dan menyebabkan perubahan proporsional terhadap nilai output
nominal (PY), perubahan tersebut akan tercermin dalam tingkat harga (P). Jadi, teori ini
menunjukkan bahwa tingkat harga adalah proporsional terhadap jumlah uang beredar.
5. Karena tingkat inflasi ditunjukkan oleh perubahan persentase dalam tingkat harga, maka
meningkatnya jumlah uang beredar akan menyebabkan inflasi.
Persamaan kuantitas dapat ditulis dalam bentuk perubahan persentase, sebagai berikut:
Perubahan % M + Perubahan % V = Perubahan % P + Perubahan % Y
Persamaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, perubahan persentase dalam
kuantitas uang M berada di bawah pengawasan Bank Sentral. Kedua, perubahan persentase dalam
perputaran uang V mencerminkan pergeseran dalam permintaan uang; diasumsikan bahwa
perputaran adalah konstan sehingga perubahan persentase dalam perputaran V adalah nol. Ketiga,
perubahan persentase dalam tingkat harga P adalah tingkat inflasi. Keempat, perubahan persentase
dalam output Y bergantung pada pertumbuhan faktor-faktor produksi dan kemajuan teknologi yang
dapat dianggap sebagai baku (given). Analisis ini menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah uang
beredar menentukan tingkat inflasi.
II. Hubungan Jumlah Uang Beredar dan Inflasi di Indonesia
Friedman dan Schwartz menulis dua makalah yang mendokumentasi sumber dan pengaruh
perubahan dalam kuantitas uang selama periode 1867 – 1960 dan 1867 – 1975 di Amerika Serikat.
Secara empiris, Friedman dan Schwartz berhasil memverifikasi hubungan antara inflasi dan
pertumbuhan jumlah uang beredar. Hasil penelitian Friedman dan Schwartz menunjukkan bahwa di
Amerika Serikat dekade-dekade dengan pertumbuhan uang tinggi cenderung memiliki inflasi yang
tinggi, dan dekade-dekade dengan pertumbuhan uang rendah cenderung memiliki inflasi yang
rendah. Hasil yang sama diperoleh dari perbandingan tingkat rata-rata inflasi dan tingkat rata-rata
pertumbuhan uang di lebih dari 100 negara selama tahun 1990-an. Dalam kajian tersebut, terdapat
hubungan yang jelas antara pertumbuhan uang dan inflasi. Negara-negara dengan pertumbuhan
uang tinggi cenderung memiliki inflasi yang tinggi, sementara negara-negara dengan pertumbuhan
uang rendah cenderung memiliki inlfasi yang rendah.
Namun demikian, menurut Mankiw (2003), keeratan hubungan inflasi dengan jumlah uang
beredar tidak dapat dilihat dalam jangka pendek. Teori inflasi ini bekerja paling baik dalam jangka
panjang, bukan dalam jangka pendek. Dengan demikian, hubungan antara pertumbuhan uang dan
inflasi dalam data bulanan tidak akan seerat hubungan keduanya jika dilihat selama periode 10-
tahun. Paper ini akan mencoba menganalisis hubungan antara inflasi dengan jumlah uang beredar di
Indonesia. Data yang digunakan adalah data tahun 1988 – 2006 yang bersumber dari Asian
Development Bank, sebagai berikut:
5. Data jumlah uang beredar yang digunakan adalah M2, yaitu jumlah total M1 (uang kartal dan
uang giral) dan uang kuasi (deposito berjangka dan tabungan, dalam rupiah dan valuta asing serta
giro valuta asing milik penduduk) dalam trilyun rupiah. Data inflasi merupakan data inflasi menurut
tahun kalender. Sedangkan data nominal PDB adalah PDB atas dasar harga berlaku dalam trilyun
rupiah. Jumlah perputaran uang dihitung melalui pembagian antara GDP nominal dengan jumlah
uang beredar. Dari hasil perhitungan, rata-rata jumlah perputaran uang yang terjadi pada periode
1988 – 2006 adalah sebesar 2,23 kali per tahun. Dapat diartikan, bahwa selama periode tersebut,
terjadi perpindahan uang rata-rata hanya sebesar 2,23 kali per tahun masuk ke dalam pendapatan
individu di Indonesia. Jika jumlah perputaran hanya memerhitungkan M1 (uang kartal dan uang
giral), rata-rata jumlah perputaran yang terjadi pada periode 1988 – 2006 adalah sebesar 9,09 kali
per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa semakin liquid suatu aset (dalam hal ini uang) semakin besar
jumlah perputaran yang terjadi. Kolom terakhir pada tabel berikut menunjukkan besaran k yang
menunjukkan bagian pendapatan nominal yang dipegang seseorang sebagai uang tunai.
Rata-rata bagian pendapatan yang dipegang seseorang di Indonesia pada periode 1988 –
2006 adalah sebesar 46,36%. Dari hasil perhitungan dapat dilihat bahwa, seperti dalam teori,
terdapat hubungan kebalikan antara jumlah perputaran (V) dan besaran k. Jumlah perputaran
terkecil terjadi pada tahun 1998, yaitu pada saat terjadinya krisis moneter di Indonesia. Pada tahun
1998, perputaran uang hanya terjadi sebesar 1,66 kali per tahun, sementara bagian pendapatan yang
6. dipegang sebagai uang tunai sebesar 60,41%. Ketidakpastian yang terjadi dalam perekonomian
Indonesia pada periode krisis (1997 – 1999) menyebabkan orang lebih memilih untuk menyimpan
uang dalam bentuk tunai di rumah dibandingkan menyimpan di Bank atau berinvestasi.
Seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian setelah krisis, jumlah uang yang
dipegang dalam bentuk tunai semakin berkurang, dan jumlah perputaran uang semakin meningkat
walaupun tidak sesering pada masa sebelum krisis.
Dari hasil perhitungan dan dapat dilihat pada grafik berikut, selama periode 1988 – 2006
jumlah perputaran uang relatif stabil. Sebaliknya, GDP nominal meningkat 21 kali lipat dan uang
beredar meningkat hampir 32 kali lipat.
7. Seperti ditunjukkan dalam grafik, pertambahan jumlah uang beredar (M2) di Indonesia
hampir secepat pertambahan GDP nominal. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa selama periode
1988 – 2006, perubahan jumlah uang beredar di Indonesia menyebabkan perubahan yang
proporsional terhadap GDP nominal. Hal ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa, jika
perputaran uang adalah tetap, maka kuantitas uang menentukan nilai dari output perekonomian.
Dengan kata lain, perubahan output nominal yang dicerminkan dalam tingkat harga cukup banyak
dipengaruhi oleh jumlah uang beredar. Lebih jauh dapat diartikan bahwa perubahan tingkat inflasi
di Indonesia sebagai akibat perubahan harga dalam periode tersebut cukup banyak dipengaruhi oleh
jumlah uang beredar. Untuk membuktikan hal tersebut, dilakukan regresi sederhana. Yang menjadi
variabel dependen adalah tingkat inflasi (%), sedangkan variabel independennya adalah
pertumbuhan jumlah uang beredar (%).Hipotesis yang menjadi dasar regresi adalah bahwa terdapat
hubungan yang positif antara inflasi dengan pertumbuhan jumlah uang beredar. Model regresi
sederhana yang dipakai adalah:
Inflasi = β0 + β1.pertumbuhan jumlah uang beredar
Dari hasil regresi diperoleh persamaan sebagai berikut:
Inflasi = - 5,407 + 0,78 (M2growth)
Atau dapat diinterpretasikan bahwa kenaikan pertumbuhan jumlah uang beredar sebesar
1% akan menyebabkan inflasi sebesar 0,78% (ceteris paribus). Uji statistik yang digunakan untuk
membuktikan hipotesis tersebut adalah:
1. Uji t untuk melihat pengaruh variabel independen,
yaitu pertumbuhan jumlah uang beredar, terhadap variabel dependen tingkat inflasi.
Hipotesis yang digunakan: Ho : β1 < 0 Ha : β1 > 0, Jika t-hitung < t-tabel, maka Ho diterima
dan Ha ditolak artinya variabel independen tidak memengaruhi variabel dependen secara
8. signifikan. Jika t-hitung > t-tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima artinya variabel
independen memengaruhi variabel dependen secara signifikan. Dari hasil perhitungan,
diperoleh hasil t-hitung untuk β1 sebesar 3,776 sementara t-tabel pada tingkat kepercayaan
5% adalah sebesar 1,753, dengan kata lain t-hitung > t-tabel. Artinya, variabel independen
(pertumbuhan jumlah uang beredar) memengaruhi variabel dependen (tingkat inflasi)
secara signifikan.
2. Koefisien determinasi (R2). R2 menjelaskan seberapa besar persentasi total variasi variabel
dependen yang dijelaskan oleh model, semakin besar R2 semakin besar pengaruh model
dalam menjelaskan variabel dependen. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai 1. Suatu R2 sebesar
1 berarti ada kecocokan sempurna, sedangkan yang bernilai 0 berarti tidak ada hubungan
antara variabel dependen dengan variabel independen. Dari hasil perhitungan diperoleh R2
sebesar 0,456. Artinya, variabel pertumbuhan jumlah uang beredar menjelaskan terjadinya
perubahan tingkat inflasi sebesar 45,6%. Sementara sisanya, yaitu 54,4%, dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak termasuk dalam model ini.
Secara grafis, hubungan antara tingkat inflasi dengan pertumbuhan uang beredar
digambarkan dalam grafik-grafik di bawah ini. Dalam grafik titik sebar pertumbuhan uang dan
inflasi ini, setiap titik menunjukkan satu tahun. Sumbu horisontal menunjukkan pertumbuhan
jumlah uang beredar (M2) dalam persen, dan sumbu vertikal menunjukkan tingkat inflasi rata-rata.
Dari kedua grafik, dapat dilihat bahwa secara umum terdapat korelasi positif antara tingkat inflasi
dengan pertumbuhan jumlah uang beredar. Korelasi ini membuktikan prediksi teori kuantitas
bahwa pertumbuhan uang yang tinggi mengarah pada inflasi yang tinggi.
9. III. Kesimpulan
Secara teoretis, tingkat inflasi dipengaruhi oleh jumlah uang beredar. Dalam teori kuantitas
uang, ditunjukkan bahwa jika jumlah uang beredar meningkat, maka akibatnya dapat dilihat dari
ketiga variabel lainnya: harga harus naik, kuantitasoutput harus naik, atau kecepatan perputaran
uang harus turun. saat Bank Sentral mengubah jumlah uang beredar (M) dan menyebabkan
perubahan proporsional terhadap nilai output nominal (PY), perubahan tersebut akan tercermin
dalam tingkat harga (P). Karena tingkat inflasi ditunjukkan oleh perubahan persentase dalam tingkat
harga, maka meningkatnya jumlah uang beredar akan menyebabkan inflasi. Hasil regresi
menunjukkan bahwa secara umum selama periode 1988 – 2006 terdapat korelasi positif antara
tingkat inflasi dengan pertumbuhan jumlah uang beredar. Pada periode tersebut, perputaran uang
relatif stabil dengan rata-rata sebesar 2,23 kali per tahun. Kemudian, seperti dapat dilihat pada
grafik 5, 6, dan 7, bahwa selama periode 1988 – 2006, perubahan jumlah uang beredar di Indonesia
menyebabkan perubahan yang cukup proporsional terhadap GDP nominal. Dengan kata lain,
perubahan output nominal yang dicerminkan dalam tingkat harga cukup banyak dipengaruhi oleh
jumlah uang beredar.