1. I. PENDAHULUAN
Syahwat merupakan fitrah manusia dan manusia merasa indah jika
syahwatnya terpenuhi maka syahwat menjadi penggerak tingkah laku. Jika seseorang
sedang lapar atau haus maka tingkahlakunya selalu mengarah kepada tempat dimana
dapat diperoleh makanan dan minuman. Jika yang sedang dominan syahwat seksual
maka perilakunya juga selalu mengarah kepada hal-hal yang memberi kepuasan
seksual. Begitulah seterusnya, perilaku manusia sangat dpengaruhi oleh syahwat apa
yang sedang dominant dalam dirinya; syahwat seksual, syahwat politik, syahwat
pemilikan, syahwat kenyamanan, syahwat harga diri, syahwat kelezatan dan lain-
lainnya.. Syahwat itu wataknya seperti anak-anak, jika dilepas maka ia akan
melakukan apa saja tanpa kendali, karena anak-anak hanya mengikuti dorongan
kepuasan, belum mengerti tanggung jawab.Jika dididik, maka jangankan anak-anak.
Binatangpun tingkahlakunya bisa dikendalikan. Syahwat yang dimanjakan akan
mendorong orang pada pola hidup glamour dan hedonis.
Syahwat, yang sering diterjemahkan dengan hasrat seksual, sebenarnya
memiliki pengertian yang jauh lebih luas. Dalam pengetian bahasa (Arab), syahwat
dimaknai sebagai kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang
bersifat inderawi dan materiil. Dalam fitrahnya, syahwat bukanlah sesuatu yang layak
dibenci, namun merupakan karunia Allah yang harus dikendalikan, sehingga
memiliki nilai tambah bagi setiap diri (pribadi) manusia. Ego (nafs) manusia bisa
terbawa ke arah positif atau negatif, tergantung pada kemampuan setiap diri (pribadi)
manusia untuk mengarahkannya. Oleh karenanya, menjadai tugas setiap manusia
untuk mengarahkan syahwat ke arah yang serba positif dan mengendalikannya jangan
sampai menuju ke arah yang serba negatif.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apakah yang dimaksud dengan Syahwat?
B. Apa Macam-macam Syahwat?
C. Bagaimanakah cara mengendalikan Syahwat farji?
2. III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Syahwat
Kalimat syahwat disebut al-Qur'an dalam berbagai kata bentukannya
sebanyak tiga belas kali, lima kali di antaranya dalam bentuk masdar, yakni dua
kali dalam bentuk mufrad dan tiga kali dalam bentuk jama'.1
Secara lughawi,
syahwat artinya menyukai dan menyenangi (syahiya, syaha-yasha, atau syahwatan),
sedangkan maknanya adalah kecenderungan jiwa terhadap apa yang
dikehendakinya (nuzuan nafsi ilama turiduhu , )2
Dalam
bahasa Arab, syahwah yang berasal dari kata .
Dengan singkat Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan syahwat yaitu
nafsu atau keinginan bersetubuh, kebirahian.3
Demikian pula WJS
Poerwadarminta mengartikan syahwat berarti kebirahian, nafsu atau kegemaran
bersetubuh.4
Arti yang sama terdapat dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia,
syahwat berarti nafsu, keinginan, terutama keinginan bercampur antara laki-laki
dan perempuan.5
Adapun Al-Qur'an menggunakan term syahwat untuk beberapa arti:
Pertama, dalam kaitannya dengan pikiran-pikiran tertentu, yakni mengikuti pikiran
orang karena mengikuti hawa nafsu seperti dijelaskan dalam al-Quran surat al-
Nisa/4:27
Kedua, dihubungkan dengan keinginan manusia terhadap kelezatan dan kesenangan
seperti dijelaskan dalam al-Quran surat Ali 'Imran/3:14 dan Maryam/19:59.
Ketiga, berhubungan dengan perilaku seks menyimpang seperti dijelaskan dalam al-
Quran surat al-A'raf/7:81, dan QS. al-Naml/27:55.
Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut al- Quran, di
dalam diri manusia terkandung dorongan-dorongan yang mendesak manusia untuk
1
Achmad Mubarok, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern: Jiwa dalam Al-Quran, Jakarta:
Paramadina, 2000, hlm. 156
2
Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Jilid V, Dar al-Maarif, hlm, 3432-3435.
3
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 2002, hlm. 1114.
4
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta PN Balai Pustaka,, 1976, hlm. 985.
5
Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, tth, hlm. 893.
3. melakukan hal-hal yang memberikan kepada kepuasan seksual, kepuasan
kepemilikan, kepuasan kenyamanan dan kepuasan harga diri.
Orang-orang yang menapaki jalan Allah, dari bermacam-macam aliran
(thariqat) dan suluk mereka, telah bersepakat bahwa nafsu insaniah itu sebagai
penghalang bagi hati insani untuk mencapai Tuhannya. Hidayat Allah tidak akan
menembus dalam sanubarinya, sebelum ia berhasil menundukkan bahkan
melenyapkan hawa nafsunya.
B. Macam-macam Syahwat
Dalam kajian tasawuf-akhlak, nafsu itu lazim dibagi ke dalam dua kategori:
Pertama adalah nafsu marah (nafs gadabiyyat), yakni nafsu yang mendorong
orang untuk marah atau benci kepada apa saja yang mengganggu atau berbahaya bagi
kehidupannya. Karena adanya nafsu marah itu, ia berupaya menyingkirkan gangguan
atau bahaya itu, dan kalau ia tidak mampu menyingkirkannya, ia akan didorong oleh
nafsu itu untuk menyingkirkan diri sendiri, agar jauh dari bahaya itu. Kedua adalah
nafsu senang (nafs syahwaniyyat), yakni yang mendorong orang untuk mendapatkan,
memiliki, atau dekat dengan apa yang menyenangkan dirinya.
Nafsu, yang keberadaannya vital bagi setiap manusia, bersifat buta, dan
karena itu perlu dikembangkan serta dikontrol secara benar dan baik oleh akal atau
ajaran agama. la dapat dimisalkan seperti sungai yang bisa mengalir tenang dan bisa
meluap atau menghancurkan, dan karena itu perlu dikontrol dengan sistem
bendungan dan irigasi yang baik, sehingga memberikan manfaat yang maksimal bagi
kehidupan manusia dan lingkungannya. Nafsu yang tidak terkontrol dengan baik akan
menghasilkan kerusakan, tapi yang terkontrol dengan baik, niscaya membuahkan
kebaikan.
Nafsu marah yang dikembangkan secara baik (pada jalan yang lurus) oleh
akal atau ajaran agama, akan mengangkat orang menjadi manusia yang berani dalam
kebenaran. Sebaliknya, bila nafsu marah seseorang tidak dikembangkan niscaya
4. menjadi manusia pengecut, atau kalau dikembangkan tanpa kendali, niscaya menjadi
manusia nekad, yang merugikan diri sendiri.
Nafsu senang (syahwat), yang dikembangkan secara baik (pada jalan yang
lurus) oleh akal atau ajaran agama, akan mengangkat orang menjadi manusia yang
bersih (suci). Sebaliknya, ia akan jatuh menjadi manusia serakah (rakus), bila ia
membiarkan nafsunya berkembang merajalela, tanpa kontrol, atau menjadi manusia
beku, tak berselera, bila nafsu syahwatnya itu dibiarkan tak berkembang.
Demikianlah, nafsu yang bersifat vital itu perlu dikembangkan oleh akal yang
bijaksana, atau akal yang mendapat penerangan dari agama yang benar. Nafsu yang
sering dikatakan senantiasa mendorong kepada kejahatan (nafs ammarat), tidak lain
dari nafsu yang lepas dari kontrol akal yang bijaksana.6
Kedua, mencintai kelezatan dunia. jika hati manusia ini sudah terbelenggu
penyakit cinta dunia, kedudukan, popularitas, atau harta kekayaan, maka syahwat dan
nafsunya yang secara alami cenderung pada kejelekan akan mengendalikan hatinya
agar menjadi budak bagi semua yang dicintainya. Bagaimana jika nafsu liar ini bebas
memangsa dunia yang dicintainya? Akibatnya, bimbingan hati nurani atas semua
jasad akan lepas. Tidak akan ada lagi hidayah yang membimbingnya, selain dorongan
nafsu semata. Demikian halnya dengan pencinta popularitas, yang mendambakan
setiap orang mengenal kebaikan atau kemahirannya, untuk mendapatkan status yang
lebih tinggi di tengah masyarakat.7
Penyakit hati yang satu ini akan menyebabkan munculnya penyakit-penyakit
lain, seperti 'ujub (merasa paling hebat ibadahnya), riya' (sombong), dan terlalu
bergantung pada amal kebaikannya sehingga lupa bahwa di antara kebaikannya
tersimpan banyak kesalahan. Lebih parah lagi jika penyakit dunia dan status ini
menyerang para pemuka agama. Agama akan dijadikan sarana untuk mengumpulkan
6
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, Anggota
IKAPI, 1992, hlm. 723
7
Uwes Al-Qorni, Penyakit Hati, Bandung: Rosda Karya, 2003, hlm. 10 11.
5. materi dan merebut simpati massa, yang pada gilirannya akan mendorongnya menjadi
budak nafsu yang menghalalkan segala cara.
Akan tetapi, bagi mereka yang mendapatkan pemeliharaan dari Allah, tentu
saja tidak demikian. Bagi mereka, dunia, kedudukan, dan popularitas duniawi yang
didapatkannya tidak akan pernah menggusurnya hanyut dalam kerusakan; karena
semua aspek duniawi yang mereka peroleh tidak pernah mendapat tempat di hatinya.
Mereka bahkan berkuasa mengatur dan mengendalikan dunia sebagaimana yang
dilakukan oleh para nabi, para wali, dan para ulama yang saleh.8
Seseorang yang terpanah cinta dunia menganggap kehidupan itu hanyalah apa
yang dapat dilihat, didengar dan rasakan di dunia ini. Mereka dipermainkan oleh
dunianya sehingga sebanyak-banyaknya mengumpulkan dan menghimpun seluruh
materi dunia yang dia cintai. Banyak manusia yang menjadi buta dan dungu dengan
tipuan dunianya. Mereka menghabiskan waktu, tenaga dan pikirannya untuk meraih
kemenangan dalam kompetisi duniawi yang segera akan berakhir dengan kematian,
sementara dirinya lelah karena diperbudak dunia. Mereka selalu merasa belum
mendapatkannya. Padahal mereka tidak merasakan apa pun selain bayangan
fatamorgana yang menjanjikan kesegaran semu di tengah kehausan. Adanya larangan
hubbud-dunya merupakan peringatan agar setiap orang selalu waspada dalam
menghadapi dan mengantisipasi seluruh problematika dan dinamika kehidupan di
dunia.9
Ketiga, syahwat dalam arti nafsu seks yang menyimpang atau free sex.
Elisabeth Lukas, seorang logoterapis kondang, sebagaimana dikutip oleh Hanna
Djumhana Bastaman mengatakan: salah satu prestasi penting dari proses modernisasi
di dunia Barat, yakni melepaskan diri dari berbagai belenggu tradisi yang serba
menghambat, sekaligus berhasil meraih kebebasan (freedom) dalam hampir semua
8
Ibid., hlm. 12.13
9
Aba Firdaus Al-Halwani dan Sriharini, Manajemen Terapi Qalbu, Yogyakarta: Media Insani, 2002,
hlm. 34 35.
6. bidang kehidupan.10
Di antaranya, yaitu pertama, kebebasan seks dan peluang untuk
melakukannya ternyata menjadikan fungsi hubungan seks bukan sebagai ungkapan
cinta kasih melainkan sebagai tuntutan dan keharusan untuk berhasil meraih puncak
kenikmatan; kedua, makin sering terjadi gangguan fungsi seksual pada pria dan
wanita dewasa.11
C. Upaya Pengendalian Syahwat
Seorang yang berakal perlu mengetahui bahwa menderita karena
menahan keinginan lebih mudah dari menuruti keinginan itu sendiri. Dampak
yang paling kecil yang dihadapi oleh orang-orang yang selalu mengumbar
syahwatnya, mereka tidak dapat merasakan nikmatnya, karena tidak mudah
melepaskan diri dari rasa ketergantungannya, karena ia telah menjadi
kebiasaan hidup mereka, seperti kebiasaan bersetubuh dan mabuk-
mabukkan. Berfikir jernih tentang masalah-masalah seperti itu dapat
mempermudah manusia untuk mengendalikan syhwatnya. Termasuk juga,
jika manusia memikirkan dirinya, maka ia akan menilai syahwatnya sebagai
sesuatu yang hina, karena ia mengetahui bahwa ia dijadikan bukan untuk
menyetujui segala keinginan syahwatnya. Sebab, seekor onta mampu makan
lebih banyak dari seekor burung kecil, karena itu, seekor burung kecil lebih
mampu menempuh perjalanan jauh dari seekor onta.
Begitu juga, pada umumnya binatang dapat bebas mengumbar
nafsunya, karena mereka tidak mempunyai fikiran yang pelik. Demikian juga,
kalau seorang pandai mengendalikan nafsunya dan ia mengetahui berbagai
kekurangannya, pasti ia sadar bahwa ia tidak diciptakan untuk mengumbar
nafsunya.12
10
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam, menuju psikologi islami, Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 1995, hlm. 192.
11
Ibid.
12
Al-Imam Ibnul Jauziy, Terapi Mengatasi Penyakit Rohani, Rembang: Pustaka Anisah, 2003, hlm. 21-
22.
7. Menurut Imam Yahya Ibn Hamzah, perkara terbesar yang sering
mencelakakan manusia adalah nafsu perutnya. Nafsu itulah yang telah
mengeluarkan Adam dan Hawa dari tempat abadi ke tempat penuh kehinaan,
kerendahan, dan kebutuhan, ketika mereka berdua melanggar larangan agar tidak
memakan buah dari suatu jenis pohon. Tetapi karena nafsu telah mengalahkan
mereka, mereka tetap memakannya. Maka tampaklah aurat keduanya. Sesungguhnya
perut adalah sumber nafsu itu, sekaligus merupakan asal mula semua malapetaka.
Sedangkan nafsu seks, yang bersifat birahi hanya mengikuti nafsu perut.13
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, bahwa cara menepis hawa nafsu ada lima
puluh cara dan yang paling utama di antaranya ada sepuluh cara yaitu:14
a. Harus ada semangat secara bebas agar muncul kecemburuan terhadap dirinya
sendiri.
b. Modal kesabaran untuk menghadapi masa-masanya yang terasa pahit.
c. Kekuatan jiwa yang bisa mendorongnya berani menenggak kepahitan itu,
karena keberanian merupakan kesabaran sesaat, dan sebaik-baik hidup adalah
yang bisa diketahui seseorang berkat kesabarannya.
d. Mencermati secara baik akibat suatu kejadian dan mencari kesembuhan
dengan menenggak kepahitan itu.
e. Mengamati dan mempertimbangkan penderitaan yang semakin bertambah
dari pada kenikmatan menuruti nafsu.
f. Mempertahankan kedudukannya di sisi Allah dan di hati manusia. Ini lebih
baik dan lebih bermanfaat baginya daripada kenikmatan karena mengikuti
nafsu.
g. Lebih mementingkan kenikmatan menjaga kehormatan daripada kenikmatan
melakukan kedurhakaan.
13
Iman Yahya ibn Hamzah, Kiat-Kiat Mengendalikan Nafsu, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001,
hlm. 43.
14
Ibnu Qayyim, 50 Cara Menepis Hawa Nafsu, Terj. Kathur Suhardi, Jakarta: Dar al Falah, tth, hlm. 65
69.
8. h. Kesenangan mengalahkan musuh, mengusir dan menimbulkan kemarahannya.
Sebab ia tak akan mendapatkan jaminan keamanan dari mereka. Allah senang
jika hamba-Nya yang Mukmin menghindari musuh-musuh-Nya dan
membenci mereka.
i. Berpikir bahwa dia tidak diperuntukkan bagi nafsu, tapi dipersiapkan untuk
suatu urusan yang besar. Urusan ini tidak akan diperoleh kecuali dengan
memusuhi nafsu.
j. Jangan membuat diri sendiri seakan-akan kondisi hewan lebih baik dari
kondisinya. Dengan nalurinya, hewan bisa membedakan antara yang
bermanfaat dan yang berbahaya bagi dirinya.
Sedangkan menurut Ghaz但l樽 yang bisa menundukkan nafsu dan melunakkan
kesenangan nafsu itu hanya tiga, yaitu:15
1. Mencegah kesenangan nafsu. Karena, hewan tunggangan (kuda) yang nakal
itu dapat melunak bila dikurangi makanannya.
2. Membebani nafsu dengan ibadah yang berat-berat. Karena, khimar itu bila
ditambah muatannya dan dikurangi makanannya maka menjadi tunduk dan
menurut.
3. Memohon pertolongan Allah Azza wa Jalla
IV. KESIMPULAN
Sumber segala dosa adalah syahwat perut, dan dari situlah timbul syahwat
kemaluan. Dan Manusia akan menganggap baik setiap kejelekan yang datang dari diri
(nafsu)nya dan hampir-hampir tidak dapat melihat celanya, padahal nafsu tetap
memusuhi dan membuat madlarat. Tidak memakan waktu lama, nafsu itu tentu akan
menjerumuskannya ke dalam keterbukaan aib dan kerusakan, sedangkan ia tidak
15
Imam Al-Ghaz但l樽, Minhaj al-'Abidin, Beirut: Dar-al-Fikri, tth, hlm. 15.
9. merasa, kecuali jika Allah menjaganya dan menolongnya mengalahkan nafsu, dengan
anugerah dan rahmatNya.
V. PENUTUP
Demikianlah, makalah yang saya paparkan serta masih jauh dari kata
baik.Oleh sebab itu, masukan dari berbagai pihak sangatlah saya harapkan, untuk
memperkaya materi dan memperdalam pemahaman.Tak lupa ucapan maaf dan
terima kasih saya haturkan dengan sepenuh hati kepada semua pihak atas kerjasama
di dalam pembuatan maupun penyampaian materi ini. Ihdina al-Shirathal
Mustaqim..Wallahu Alamu Bi al-Shawab.