1. 07
09
18
• Anita Wulandari
• Baiq Salimatul Rosdiana
• Herman Maulana HS
• Nor Hidayatul Elma
28 • R. Dwi Arifa Camelia
30 • Robiatul Adawiyah
24
2. • Masa berburu dan mengumpulkan makanan
(food gathering and hunting period) adalah masa
dimana cara manusia purba mengumpulkan
makanan-makanan yang dibutuhkan mereka
untuk bertahan hidup dengan berburu dan
mengumpulkan makanan yang tersedia dari alam
(sungai, danau, laut, dan hutan-hutan yang ada di
sekitar tempat bermukim mereka pada saat itu).
• Masa Berburu dan Mengumpulkan makanan
terjadi pada masa Paleolithikum (zaman batu
tua), yang berbarengan dengan kala Pleistosen
yang terjadi sejak 2 juta tahun yang lalu. Masa
berburu dan mengumpulkan makanan
berlangsung selama 600.000 tahun
3. • Dalam masa prasejarah Indonesia, corak
kehidupan dengan cara berburu dan
mengumpulkan makanan (food gathering)
dibagi menjadi dua masa, yaitu :
1. masa berburu dan mengumpulkan atau
meramu makanan tingkat sederhana.
2. masa berburu dan mengumpulkan makanan
tingkat lanjut.
4. 1. Masa berburu dan mengumpulkan atau meramu
makanan tingkat sederhana.
Keadaan Lingkungan
• Pada awalnya manusia purba hidup di padang terbuka. Alam
sekitarnya merupakan tempat mereka mencari makanan.
• Mereka hidup berkelompok, tinggal di gua-gua atau membuat
tempat tinggal di atas pohon besar. Manusia yang tinggal di gua-gua
dikenal sebagai cavemen (orang gua). Dengan demikian, mereka
sangat bergantung pada kebaikan alam; mereka cenderung pasif
terhadap keadaan.
• Kehidupan di dalam gua-gua pada masa ini menghasilkan lukisanlukisan pada dinding-dinding gua yang (kemungkinan besar)
menggambarkan kehidupan sosial-ekonomi mereka. Lukisan-lukisan
pada dinding gua lain berupa cap tangan, babi dan rusa dengan
panah dibagian jantungnya, gambar binatang melata, dan gambar
perahu. Lukisan dinding gua antara lain ditemukan di Sulawesi
Selatan, Irian Jaya, Kepulauan Kei, dan Pulau Seram.
5. Keadaan Sosial
Kondisi alam sangat berpengaruh terhadap sifat dan fisik makhluk hidup tanpa kecuali manusia. Pola
kehidupan manusia yang primitif sangat menggantungkan hidupnya pada ketersediaan alam, di mana
daerah-daerah yang didiami harus cukup untuk memenuhi kebutuhannya, untuk kelangsungan hidup
terutama di daerah yang cukup persediaan air. Temuan artefak pada Zaman Palaeolitikum menunjukkan
bahwa manusia Pithecanthropus sudah mengenal perburuan dan menangkap hewan dengan cara yang
sederhana.
Hewan yang menjadi mangsa perburuan adalah hewan yang berukuran besar, seperti gajah, sapi, babi
atau kerbau. Saat perburuan, tentu diperlukan adanya kerja sama antarindividu yang kemudian
membentuk sebuah kelompok kecil. Hasil buruannya dibagikan kepada anggota-anggotanya secara rata.
Adanya keterikatan satu sama lain di dalam satu kelompok, yang laki-laki bertugas memburu hewan dan
yang perempuan mengumpulkan makanan dan mengurus anak. Satu kelompok biasanya terdiri dari 10
– 15 orang.
Pada masa ini, manusia tinggal di gua-gua yang tidak jauh dari air, tepi pantai dan tepi sungai.
Penangkapan ikan menggunakan mata panah atau ujung tombak yang berukuran kecil. Temuan-temuan
perkakas tersebut antara lain kapak Sumatera (Sumatralith), mata panah, serpih-bilah dan lancipan
tulang Muduk. Ini menunjukkan adanya kegiatan perburuan hewan-hewan yang kecil dan tidak
membutuhkan anggota kelompok yang banyak atau bahkan dilakukan oleh satu orang. Dalam
kehidupan berkelompok, satu kelompok hanya terdiri dari satu atau dua keluarga.
6. Budaya dan alat yang dihasilkan
Mereka mulai membuat alat-alat berburu, alat
potong, pengeruk tanah, dan perkakas lain. Pola
hidup berburu membentuk suatu kebutuhan akan
pembuatan alat dan penggunaan api. Kebutuhan ini
membentuk suatu budaya membuat alat-alat
sederhana dari batu, kayu, tulang yang selanjutnya
berkembang dengan munculnya suatu kepercayaan
terhadap kekuatan alam. Diduga, alat-alat ini
diciptakan oleh manusia pithecanthropus dari
zaman Paleolitikum, misalnya alat-alat yang
ditemukan di Pacitan.
7. • Menurut H.R. von Heekeren dan R.P. Soejono, serta Basuki yang
melakukan penelitian
• tahun 1953-1954, kebudayaan Pacitan merupakan kebudayaan
tertua di Indonesia. Pada masa berburu dan meramu tingkat lanjut,
ditemukan alat-alat dari bambu yang dipakai untuk membuat
keranjang, membuat api, membuat anyaman dan pembakaran.
•
• Selain di Pacitan, temuan sejenis terdapat pula di Jampang Kulon
(Sukabumi), Gombong, Perigi, Tambang Sawah di Bengkulu, Lahat,
Kalianda di Sumatera Selatan, Sembiran Trunyan di Bali, Wangka,
Maumere di Flores, Timor-Timur (Timor Leste), Awang Bangkal di
Kalimantan Timur, dan Cabbenge di Sulawesi selatan.
8. Hasil-hasil kebudayaan yang ditemukan pada masa
berburu dan mengumpulkan makanan antara lain:
• Kapak perimbas : tidak memiliki tangkai dan digunakan
dengan cara digenggam; diduga hasil
kebudayaan Pithecanthropus Erectus. Kapak perimbas
ditemukan pula di Pakistan, Myanmar, Malaysia, Cina,
Thailand, Filipina, dan Vietnam.
• Kapak penetak : bentuknya hampir sama dengan kapak
perimbas, namun lebih besar dan masih kasar; berfungsi
untuk membelah kayu, pohon, bambu; ditemukan hampir
di seluruh wilayah Indonesia.
• Kapak genggam : bentuknya hampir sama dengan kapak
perimbas dan penetak, namun bentuknya lebih kecil dan
masih sederhana dan belum diasah; ditemukan hampir di
seluruh wilayah Indonesia; digenggam pada ujungnya yang
lebih ramping.
9. • Pahat genggam : bentuknya lebih kecil dari kapak
genggam; berfungsi untuk menggemburkan tanah dan
mencari ubiubian untuk dikonsumsi.
• Alat serpih atau flake : bentuknya sangat sederhana;
berukuran antara 10 hingga 20 cm; diduga digunakan
sebagai pisau, gurdi, dan penusuk untuk mengupas,
memotong, dan menggali tanah; banyak ditemukan di
goa-goa yang pernah ditinggali manusia purba.
• Alat-alat dari tulang : berupa tulang-belulang binatang
buruan. Alat-alat tulang ini dapat berfungsi sebagai
pisau, belati, mata tombak, mata panah; banyak
ditemukan di Ngandong.
10. Sistem Kepercayaan
•
Penemuan akan kuburan primitif merupakan bukti bahwa manusia berburu makanan ini telah
memiliki kepercayaan yang bersifat rohani dan spiritual. Masyarakat zaman ini menganggap bahwa
orang yang telah mati akan tetap hidup di dunia lain dan tetap mengawasi anggota keluarganya
yang masih hidup.
•
Adanya penggunaan alat-alat berburu dari alam menimbulkan kepercayaan akan adanya kekuatan
alam yang dianggap telah membantu keberhasilan berburu. Adanya seni lukis di gua-gua yang
menceritakan tentang kejadian perburuan, patung dewi kesuburan dan penguburan mayat bersama
alat-alat berburu, merupakan suatu bukti tentang adanya kepercayaan primitif masyarakat purba.
Orang yang meninggal saat berburu harus diberi perhargaan dalam bentuk rasa penghormatan.
•
Temuan lukisan di dinding-dinding gua menunjukkan adanya hasrat manusia purba untuk
merasakan suatu kekuatan yang melebihi kekuatan dirinya. Lukisan dibuat dalam bentuk cerita
upacara penghormatan nenek moyang, upacara kesuburan, perkawinan, dan upacara minta hujan,
seperti yang terdapat di Papua. Lukisan-lukisan lain yang ditemukan antara lain lukisan kadal di
Pulau Seram yang menggambarkan penjelmaan roh nenek moyang, gambar manusia sebagai
penolak roh-roh jahat, serta gambar perahu yang melambangkan perahu bagi roh nenek moyang
dalam perjalanan ke alam baka. Ini terjadi pada masa berburu dan meramu makanan tingkat lanjut.
11. Sistem Bahasa
Interaksi antaranggota kelompok saat berburu
menimbulkan sistem komunikasi dalam bentuk
bunyi-mulut, yakni dalam bentuk kata-kata atau
gerakan badan yang sederhana. Perkembangan
komunikasi antaranggota kelompok maupun
antar kelompok ini terus berkembang pada
masa hidupnya Homo sapien dalam bentuk
bahasa.