ºÝºÝߣ

ºÝºÝߣShare a Scribd company logo
2.1 DEFINISI 
Adapun definisi dari beberapa ahli mengenai asma yaitu : 
A. Asma adalah radang kronis pada jalan nafas yang berkaitan dengan obstruksi reversible dari 
spasme, edema, dan produksi mucus dan respon yang berlebihan terhadap stimuli. (Varney, 
Helen. 2003) 
B. Asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, 
dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang. (Sylvia 
Anderson (1995 : 149) 
C. Asma adalah suatu inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel 
netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas kumat-kumatan, 
batuk, dada terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau tanpa pengobatan (Cris Sinclair, 
1994) 
Asma dalam kehamilan adalah gangguan inflamasi kronik jalan nafas terutama sel 
mast dan eosinofil sehingga menimbulkan gejala periodik berupa mengi, sesak nafas, dada 
terasa berat, dan batuk yang ditemukan pada wanita hamil. Asma mungkin membaik, 
memburuk atau tetap tidak berubah selama masa kehamilan, tetapi pada kebanyakan wanita 
gejala-gejalanya cenderung meningkat selama tiga bulan terakhir dari masa kehamilan. 
Dengan bertumbuhnya bayi dan membesarnya rahim, sebagian wanita mungkin sering 
mengalami sesak nafas. Tetapi ibu - ibu yang tidak menderita asmapun mengalami hal 
tersebut karena gerakan diafragma / sekat rongga badan menjadi terbatas. 
2.2 ETIOLOGI 
Sebagian besar penyempitan pada saluran nafas disebabkan oleh semacam reaksi alergi. 
Alergi adalah reaksi tubuh normal terhadap alergen, yakni zat-zat yang tidak berbahaya bagi 
kebanyakan orang yang peka. Alergen menyebabkan alergi pada orang-orang yang peka. 
Alergen menyebabkan otot saluran nafas menjadi mengkerut dan selaput lendir menjadi 
menebal. Selain produksi lendir yang meningkat, dinding saluran nafas juga menjadi 
membengkok. Saluran nafas pun menyempit, sehingga nafas terasa sesak. Alergi yang 
diderita pada penderita asma biasanya sudah ada sejak kecil. Asma dapat kambuh apabila 
penderita mengalami stress dan hamil merupakan salah satu stress secara psikis dan fisik, 
sehingga daya tahan tubuh selama hamil cenderung menurun, daya tahan tubuh yang menurun 
akan memperbesar kemungkinan tersebar infeksi dan pada keadaan ini asma dapat kambuh. 
(Ilmu Penyakit Dalam) 
Berdasarkan etiologinya, asma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asma 
intrinsik dan asma ektrinsik. 
a. Asma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik 
yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu, telor ikan 
obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain. 
b. Asma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang bereaksi terhadap 
pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat sebagai iritan 
seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , 
ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ). 
2.3 KLASIFIKASI 
Adapun klasifikasi asma berdasarkan etiologi : 
1. Asma Bronkiale Tipe Atopik (Ekstrinsik) 
Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang 
masuk ketubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan 
ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah 
alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel 
Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui 
penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal 
untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk IgE.
IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil 
yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada 
permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga 
memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki 
sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan 
gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan. 
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang 
sama, alergen yang masuk ketubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan 
mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan input Ca++ ke dalam sel dan terjadi 
perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Kadar cAMP yang menurun itu akan 
menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan 
adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma 
yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), 
Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh 
mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin. 
Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut (konstriksi) bila 
terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak 
menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / 
dapur, bau-bauan yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan iritan. 
Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi bronkus 
yang kronik. Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajad berat penyakit. Di klinik adanya 
hiperreaktifitas bronkus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin 
atau histamin. 
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asma dianggap secara klinik 
sebagai penyakit bronkospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper 
reaksi bronkus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran nafas. Bronkus pada 
pasien asma odema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta 
terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu 
daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asma 
bronkiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang 
bronkus. 
Akibat dari bronkospasme, odema mukosa dan dinding bronkus serta hipersekresi 
mukus maka terjadi penyempitan bronkus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan 
rasa sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang produktif. 
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress 
yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno 
corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam 
darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan 
untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi 
pada bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale. 
2. Asma Bronkiale Tipe Non Atopik (Intrinsik) 
Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi 
terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olah raga atau 
kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau stress psikologik. Serangan asma terjadi 
akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik 
beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta 
lebih dominan daripada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik 
alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak 
nafas. 
Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran 
sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga messegner kedua. Bila reseptor ini 
dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan mengkatalisasi ATP
dalam sel menjadi 3’5’ cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot 
polos bronkus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit / basofil dan menghambat 
sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor 
adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. 
Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (baratawidjaja, 1990). 
3. Asma Bronkiale Campuran (Mixed) 
Pada tipe ini keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik. 
2.4 PATOFISIOLOGI 
Pada asma akut, obstruksi akut disebabkan oleh kontraksi otot polos bronkus, 
meningkatnya sekresi lender, dan radang saluran nafas serangan ini dipicu oleh stimulasi yang 
beragam misalnya infeksi saluran nafas menghirup tepung sari atau bahan kimia, udara dingin 
atau kelembapan. Penyempitan bronkus terjadi sebagai respon terhadap infeksi yang 
diperantai saraf vagus atau akibat dari kerja zat-zat yang dilepaskan oleh sel mast terhadap 
otot polos, atau sebagai akibat kedua dari mekanisme itu penyempitan bronkiolus 
meningkatkan resistensi saluran nafas, menurunkan kecepatan aliran gas, dan menyebabkan 
terperangkapnya udara. Ketidaksesuaian ventilasi/perfusi yang diakibatkannya menimbulkan 
hipoksemia, yang mula-mula merangsang pernafasan, mengakibatkan hiperventilasi yang 
ditunjukan oleh suatu PaCO2 yang rendah dan alkalosis pernafasan akut. 
Suatu serangan asma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang 
ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu 
diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain 
akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen 
diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal 
kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel 
plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE). 
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang 
ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadi pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi 
atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih 
dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam 
permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan input Ca++ kedalam sel dan 
perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP. 
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan 
menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing 
suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) 
dan lain-lain. Hal ini akan menyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot 
polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan 
bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya 
edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatan sekresi 
kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan 
gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan 
gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan 
asidosis pada tahap yang sangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 
1995 ) 
2.5 FAKTOR PREDISPOSISI 
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronkiale atau sering disebut 
sebagai faktor pencetus adalah : 
a. Alergen 
Alergen adalah sat-zat tertentu bila dihisap atau di makan dapat menimbulkan 
serangan asma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus) 
spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya. 
b. Infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influenza merupakan salah satu faktor 
pencetus yang paling sering menimbulkan asma bronkiale. Diperkirakan dua pertiga penderita 
asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas (Sundaru, 1991). 
c. Stress 
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress 
yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno 
corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam 
darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan 
untuk merealisis sel radang menjadi menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk 
inflamasi pada bronkus sehingga menimbulkan asma bronkiale. 
d. Olah raga / kegiatan jasmani yang berat 
Sebagian penderita asma bronkiale akan mendapatkan serangan asma bila melakukan 
olah raga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling mudah 
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena kegiatan jasmani (Exercise induced 
asthma /EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik yang cukup berat dan jarang 
serangan timbul beberapa jam setelah olah raga. 
e. Obat-obatan 
Beberapa pasien asma bronkiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti 
penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya. 
f. Polusi udara 
Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik / kendaraan, asap 
rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang 
tajam. 
g. Lingkungan kerja 
Diperkirakan 2 – 15% pasien asma bronkiale pencetusnya adalah lingkunagn kerja 
(Sundaru, 1991). 
2.6 TANDA DAN GEJALA 
Keluhan yang biasanya dirasakan saat terjadi asma, yaitu : 
a. Nafas pendek 
b. Nafas terasa sesak dan yang paling khas pada penderita asma adalah terdengar 
bunyi 
wheezing yang timbul saat menghembuskan nafas. 
c. Kadang-kadang batuk kering menjadi salah satu penyebabnya 
d. Pada kehamilan, biasanya serangan asma akan timbul pasa usia kehamilan 24 
minggu sampai 36 minggu dan pada akhir kehamilan serangan jarang terjadi. 
2.7 KOMPLIKASI 
2.8 PENGARUH ASMA TERHADAP KEHAMILAN 
Asma sewaktu kehamilan terutama asma yang berat dan tidak terkontrol dapat 
menyebabkan peningkatan resiko komplikasi perinatal seperti preeklampsi, kematian 
perinatal, prematur dan berat badan lahir rendah. 
Pada asma yang sangat berat dapat mengakibatkan kematian ibu. Mekanisme yang dapat 
menerangkan ini adalah hipoksia akibat dari asma yang tidak terkontrol, akibat pengobatan 
asma, atau faktor patogenetis.Walaupun beberapa mekanisme yang pasti belum diketahui 
tetapi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen yang baik sewaktu kehamilan 
akan memberikan hasil yang baik pada periode perinatal. 
Penelitian Shiliang Liu terhadap 2193 wanita dengan asma dibandingkan dengan 8772 
wanita yang dipilih secara random sebagai kelompok kontrol di Canada, menemukan bahwa 
asma pada ibu hamil secara signifikan berhubungan dengan beberapa kondisi seperti kelahiran 
preterm, bayi kecil atau besar dari usia kehamilan, preeklampsia, hipertensi selama 
kehamilan, perdarahan antepartum, korioamnionitis dan persalinan dengan seksio sesar.
Kelainan terhadap janin didapatkan bayi besar dari usia kehamilan 12,4%, bayi kecil dari 
masa kehamilan 12,2% dan persalinan preterm 10%. 
Efek pada ibu : 
Komplikasi untuk ibu pada asma yang tidak terkontrol adalah kemungkinan : 
1) Abortus 
2) Perdarahan vagina 
3) Persalinan premature 
4) Solusio plasenta 2,5% 
5) Korioamnionitis 10,4% 
Efek pada janin : 
Kompensasi yang terjadi pada fetus adalah : 
1) Menurunnya aliran darah pada uterus 
2) Menurunnya venous return ibu 
3) Kurva dissosiasi oksiHb bergeser ke kiri 
Sedangkan pada ibu yang hipoksemia, respon fetus yang terjadi : 
1) Menurunnya aliran darah ke tali pusat 
2) Meningkatnya resistensi pembuluh darah paru dan sistemik 
3) Menurunnya cardiac output 
Asma yang tidak ditangani dapat menyebabkan BBLR (Berat badan Lahir rendah). 
Jika ibu sering mengalami serangan asama selama hamil, maka dapat menyebabkan suplai 
oksigen ke janin yang sangat diperlukan sel darah merah untuk mengangkut nutrisi ke janin 
menjadi teganggu sehingga janin dapat mengalami hipoksia dan pertumbuhannya menjadi 
terhambat (IUGR). Terhadap ibu didapatkan juga beberapa keadaan seperti preeklampsia 
3,3%, hipertensi selama kehamilan 8%, solusio plasenta 2,5%, korioamnionitis 10,4% dan 
persalinan dengan seksio sesar 26,4%. Oleh karena itu diperlukan perhatian ekstra terhadap 
ibu dan janin pada wanita hamil dengan asma. 
2.8 PEMERIKSAAN 
a. Riwayat 
Pasien dengan riwayat asma yang telah berlangsung sejak lama ditanya sejak kapan, 
derajat serangan-serangan sebelumnya. Penggunaan kortikosteroid yang telah lalu, riwayat 
sering dirawat di rumah sakit, riwayat ventilasi mekanik yang pernah dialami, atau perawatan 
di ruang rawat darurat yang baru dialami dapat memberikan petunjuk bagi adanya serangan 
lebih parah atau membandel yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. 
b. Pemeriksaan Fisik 
Serangan yang parah dicurigai dari adanya sesak nafas pada waktu istirahat, kesulitan 
mengucapkan kalimat, diaforesis atau penggunaan otot-otot pernafasan tambahan. Kecepatan 
respirasi lebih besar dari 30 kali/menit, nadi berdenyut lebih cepat dari 120 kali/menit dan 
pulsus paradoksus yang lebih besar dari 18 mmHg menunjukkan serangan berat yang 
berbahaya. 
Gejala yang ditemui : wheezing sedang sampai bronkokonstriksi berat. Bronkospasme 
akut dapat bergejala obstruksi saluran nafas dan menurunnya aliran udara. Kerja system 
pernafasan menjadi meningkat drastis dan pada pasien dapat dilihat gerakan dada yang 
tertinggal, wheezing atau kesukaran bernafas. Peristiwa berikutnya pada refleks oksigen 
primer terjadi reflek ventilasi perfusi yang tidak sepadan karena distribusi dari saluran udara 
(bronchus) secara merata tidak terjadi. 
c. Pemeriksaan Fungsi Paru 
Pemeriksaan fungsi paru seringkali normal dalam masa remisi. Selama masa serangan 
akut dan kadang-kadang ketika tidak ada simptom, volume ekspirasi paksa dalam satu detik 
(FEV1) berkurang dan juga kapasitas vital paksa (FVC) mengalami penurunan yang secara 
proporsional lebih kecil sehingga perbandingan FEV1 terhadap FVC menjadi berkurang (< 
0,75). Dapat juga dijumpai hiperinflasi dengan kenaikan volume residual (FRC). 
d. Pemeriksaan-pemeriksaan Laboratorium
1) Spirometri 
Pengukuran yang objektif terhadap aliran udara sangat penting dalam evaluasi dan 
terapi terhadap serangan. Perawatan di rumah sakit dianjurkan bila FEV1 inisial kurang dari 
30% dari harga normal atau tidak meningkat hingga paling sedikit 40% dari harga normal 
setelah diberikan terapi kuat selama 1 jam. 
2) Gas-gas Darah Arteri (GDA) 
Ketimpangan ventilasi dan perfusi (ketimpangan V/Q) akibat obstruksi jalan nafas 
akan menimbulkan peningkatan selisih tekanan oksigen alveolar-arterial [P(A-a) O2] yang 
berkorelasi secara kasar dengan keparahan serangan. Tekanan oksigen arterial (Pa O2) kurang 
dari 60 mmHg bisa merupakan tanda suatu serangan akut atau keadaan yang menyulitkan. 
Hampir semua pasien asma yang mengalami serangan ringan hingga sedang-berat 
akan mengalami hiperventilasi dan mempunyai tekanan CO2 arterial (Pa CO2) kurang dari 35 
mmHg. Pada serangan berat atau yang berlangsung lama Pa CO2 bisa meninggi sebagai 
akibat dari kombinasi obstruksi berat jalan nafas, perbandingan V/Q yang tinggi 
menyebabkan peningkatan ventilasi, dan kelelahan otot-otot pernafasan. Pa CO2 yang 
meninggi bisa merupakan tanda bagi kegagalan pernafasan yang sedang mengancam. 
Pa CO2 lebih besar dari 40 mmHg yang berkelanjutan dan disertai tanda-tanda lain 
asma berat, hendaknya dikelola dalam unit perawatan intensif dengan evaluasi yang seksama 
untuk mengetahui perlu tidaknya diberikan intubasi atau ventilasi mekanik. 
3) Foto Thorax 
Foto Thorax perlu dilakukan ringan. Pertimbangkan usia kehamilan 
2.9 PENATALAKSANAAN 
a. Mencegah timbulnya stres 
b. Mencegah penggunaan obat seperti aspirin semacamnya yang dapat menjadi pencetus 
timbulnya serangan 
c. Pada penderita asma ringan dapat digunakan obat local yang berbentuk inhalasi atau peroral 
seperti isoproterenol 
d. Serangan asma yang ringan diatasi dengan pemberian bronkodilator hirup misalnya 
isoproterenol yang akan memperlebar penyempitan saluran udara pada paru-paru. Tetapi obat 
ini tidak boleh terlalu sering digunakan. 
e. Serangan asma yang lebih berat biasanya diatasi dengan infus aminofilin. 
Serangan asma yang sangat berat (status asmatikus) diatasi dengan pemberian infus 
kortikosteroid. Jika terdapat infeksi, diberikan antibiotik. 
f. Setelah suatu serangan, bisa diberikan tablet yang mengandung teofilin untuk mencegah 
serangan lanjutan. Bronkodilator dan kortikosteroid banyak digunakan oleh ibu hamil dan 
tidak menimbulkan masalah yang berat. 
2.10 PENGOBATAN 
Obat asma dibedakan menurut fungsinya, yaitu obat untuk melebarkan saluran nafas 
(bronkodilator) mengurangi bengkak saluran nafas (anti inflamasi), dan untuk memudahkan 
pengeluaran lender. Selain itu obat dapat diberiakan melalui peroral, inhaler, infuse, suntikan 
dan melalui rectal. Namun bagi ibu hamil yang paling aman digunakan adalah melalui inhaler 
(Alupen efeknya paling keras, Ventolin, Bereotech, Inflamide efeknya paling lembut), karena 
efeknya tidak terlalu berdampak dan langsung focus pada saluran nafas, selain itu dosisnya 
lebih kecil, sehingga relative tidak akan mempengaruhi janin dalam kandungan. 
Pengobatan asma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non farmakologik dan 
pengobatan farmakologik
1. Pengobatan non farmakologik 
a. Penyuluhan 
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma 
sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat 
secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan. 
b. Menghindari faktor pencetus 
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada 
lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk 
pemasukan cairan yang cukup bagi klien. 
c. Fisioterapi 
Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan 
dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada. 
2. Pengobatan farmakologik 
a. Agonis beta 
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan 
pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol ( Alupent, 
metrapel ). 
b. Metil Xantin 
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan 
beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 
mg empatkali sehari. 
c. Kortikosteroid 
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan 
kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol ( beclometason dipropinate ) dengan disis 
800 empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek 
samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat. 
d. Kromolin 
Kromolin merupakan obat pencegah asma, khususnya anak-anak . Dosisnya berkisar 1-2 
kapsul empat kali sehari.

More Related Content

materi pendidikan khusus

  • 1. 2.1 DEFINISI Adapun definisi dari beberapa ahli mengenai asma yaitu : A. Asma adalah radang kronis pada jalan nafas yang berkaitan dengan obstruksi reversible dari spasme, edema, dan produksi mucus dan respon yang berlebihan terhadap stimuli. (Varney, Helen. 2003) B. Asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang. (Sylvia Anderson (1995 : 149) C. Asma adalah suatu inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas kumat-kumatan, batuk, dada terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau tanpa pengobatan (Cris Sinclair, 1994) Asma dalam kehamilan adalah gangguan inflamasi kronik jalan nafas terutama sel mast dan eosinofil sehingga menimbulkan gejala periodik berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batuk yang ditemukan pada wanita hamil. Asma mungkin membaik, memburuk atau tetap tidak berubah selama masa kehamilan, tetapi pada kebanyakan wanita gejala-gejalanya cenderung meningkat selama tiga bulan terakhir dari masa kehamilan. Dengan bertumbuhnya bayi dan membesarnya rahim, sebagian wanita mungkin sering mengalami sesak nafas. Tetapi ibu - ibu yang tidak menderita asmapun mengalami hal tersebut karena gerakan diafragma / sekat rongga badan menjadi terbatas. 2.2 ETIOLOGI Sebagian besar penyempitan pada saluran nafas disebabkan oleh semacam reaksi alergi. Alergi adalah reaksi tubuh normal terhadap alergen, yakni zat-zat yang tidak berbahaya bagi kebanyakan orang yang peka. Alergen menyebabkan alergi pada orang-orang yang peka. Alergen menyebabkan otot saluran nafas menjadi mengkerut dan selaput lendir menjadi menebal. Selain produksi lendir yang meningkat, dinding saluran nafas juga menjadi membengkok. Saluran nafas pun menyempit, sehingga nafas terasa sesak. Alergi yang diderita pada penderita asma biasanya sudah ada sejak kecil. Asma dapat kambuh apabila penderita mengalami stress dan hamil merupakan salah satu stress secara psikis dan fisik, sehingga daya tahan tubuh selama hamil cenderung menurun, daya tahan tubuh yang menurun akan memperbesar kemungkinan tersebar infeksi dan pada keadaan ini asma dapat kambuh. (Ilmu Penyakit Dalam) Berdasarkan etiologinya, asma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asma intrinsik dan asma ektrinsik. a. Asma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus spesifik yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu, telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain. b. Asma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ). 2.3 KLASIFIKASI Adapun klasifikasi asma berdasarkan etiologi : 1. Asma Bronkiale Tipe Atopik (Ekstrinsik) Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk ketubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk IgE.
  • 2. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ketubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan input Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin. Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut (konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajad berat penyakit. Di klinik adanya hiperreaktifitas bronkus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asma dianggap secara klinik sebagai penyakit bronkospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran nafas. Bronkus pada pasien asma odema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asma bronkiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkus. Akibat dari bronkospasme, odema mukosa dan dinding bronkus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang produktif. Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale. 2. Asma Bronkiale Tipe Non Atopik (Intrinsik) Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas. Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga messegner kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan mengkatalisasi ATP
  • 3. dalam sel menjadi 3’5’ cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit / basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (baratawidjaja, 1990). 3. Asma Bronkiale Campuran (Mixed) Pada tipe ini keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik. 2.4 PATOFISIOLOGI Pada asma akut, obstruksi akut disebabkan oleh kontraksi otot polos bronkus, meningkatnya sekresi lender, dan radang saluran nafas serangan ini dipicu oleh stimulasi yang beragam misalnya infeksi saluran nafas menghirup tepung sari atau bahan kimia, udara dingin atau kelembapan. Penyempitan bronkus terjadi sebagai respon terhadap infeksi yang diperantai saraf vagus atau akibat dari kerja zat-zat yang dilepaskan oleh sel mast terhadap otot polos, atau sebagai akibat kedua dari mekanisme itu penyempitan bronkiolus meningkatkan resistensi saluran nafas, menurunkan kecepatan aliran gas, dan menyebabkan terperangkapnya udara. Ketidaksesuaian ventilasi/perfusi yang diakibatkannya menimbulkan hipoksemia, yang mula-mula merangsang pernafasan, mengakibatkan hiperventilasi yang ditunjukan oleh suatu PaCO2 yang rendah dan alkalosis pernafasan akut. Suatu serangan asma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE). IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadi pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan input Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akan menyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yang sangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 ) 2.5 FAKTOR PREDISPOSISI Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronkiale atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah : a. Alergen Alergen adalah sat-zat tertentu bila dihisap atau di makan dapat menimbulkan serangan asma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus) spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya. b. Infeksi saluran nafas
  • 4. Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influenza merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma bronkiale. Diperkirakan dua pertiga penderita asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas (Sundaru, 1991). c. Stress Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk merealisis sel radang menjadi menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkus sehingga menimbulkan asma bronkiale. d. Olah raga / kegiatan jasmani yang berat Sebagian penderita asma bronkiale akan mendapatkan serangan asma bila melakukan olah raga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena kegiatan jasmani (Exercise induced asthma /EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olah raga. e. Obat-obatan Beberapa pasien asma bronkiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya. f. Polusi udara Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik / kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam. g. Lingkungan kerja Diperkirakan 2 – 15% pasien asma bronkiale pencetusnya adalah lingkunagn kerja (Sundaru, 1991). 2.6 TANDA DAN GEJALA Keluhan yang biasanya dirasakan saat terjadi asma, yaitu : a. Nafas pendek b. Nafas terasa sesak dan yang paling khas pada penderita asma adalah terdengar bunyi wheezing yang timbul saat menghembuskan nafas. c. Kadang-kadang batuk kering menjadi salah satu penyebabnya d. Pada kehamilan, biasanya serangan asma akan timbul pasa usia kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu dan pada akhir kehamilan serangan jarang terjadi. 2.7 KOMPLIKASI 2.8 PENGARUH ASMA TERHADAP KEHAMILAN Asma sewaktu kehamilan terutama asma yang berat dan tidak terkontrol dapat menyebabkan peningkatan resiko komplikasi perinatal seperti preeklampsi, kematian perinatal, prematur dan berat badan lahir rendah. Pada asma yang sangat berat dapat mengakibatkan kematian ibu. Mekanisme yang dapat menerangkan ini adalah hipoksia akibat dari asma yang tidak terkontrol, akibat pengobatan asma, atau faktor patogenetis.Walaupun beberapa mekanisme yang pasti belum diketahui tetapi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen yang baik sewaktu kehamilan akan memberikan hasil yang baik pada periode perinatal. Penelitian Shiliang Liu terhadap 2193 wanita dengan asma dibandingkan dengan 8772 wanita yang dipilih secara random sebagai kelompok kontrol di Canada, menemukan bahwa asma pada ibu hamil secara signifikan berhubungan dengan beberapa kondisi seperti kelahiran preterm, bayi kecil atau besar dari usia kehamilan, preeklampsia, hipertensi selama kehamilan, perdarahan antepartum, korioamnionitis dan persalinan dengan seksio sesar.
  • 5. Kelainan terhadap janin didapatkan bayi besar dari usia kehamilan 12,4%, bayi kecil dari masa kehamilan 12,2% dan persalinan preterm 10%. Efek pada ibu : Komplikasi untuk ibu pada asma yang tidak terkontrol adalah kemungkinan : 1) Abortus 2) Perdarahan vagina 3) Persalinan premature 4) Solusio plasenta 2,5% 5) Korioamnionitis 10,4% Efek pada janin : Kompensasi yang terjadi pada fetus adalah : 1) Menurunnya aliran darah pada uterus 2) Menurunnya venous return ibu 3) Kurva dissosiasi oksiHb bergeser ke kiri Sedangkan pada ibu yang hipoksemia, respon fetus yang terjadi : 1) Menurunnya aliran darah ke tali pusat 2) Meningkatnya resistensi pembuluh darah paru dan sistemik 3) Menurunnya cardiac output Asma yang tidak ditangani dapat menyebabkan BBLR (Berat badan Lahir rendah). Jika ibu sering mengalami serangan asama selama hamil, maka dapat menyebabkan suplai oksigen ke janin yang sangat diperlukan sel darah merah untuk mengangkut nutrisi ke janin menjadi teganggu sehingga janin dapat mengalami hipoksia dan pertumbuhannya menjadi terhambat (IUGR). Terhadap ibu didapatkan juga beberapa keadaan seperti preeklampsia 3,3%, hipertensi selama kehamilan 8%, solusio plasenta 2,5%, korioamnionitis 10,4% dan persalinan dengan seksio sesar 26,4%. Oleh karena itu diperlukan perhatian ekstra terhadap ibu dan janin pada wanita hamil dengan asma. 2.8 PEMERIKSAAN a. Riwayat Pasien dengan riwayat asma yang telah berlangsung sejak lama ditanya sejak kapan, derajat serangan-serangan sebelumnya. Penggunaan kortikosteroid yang telah lalu, riwayat sering dirawat di rumah sakit, riwayat ventilasi mekanik yang pernah dialami, atau perawatan di ruang rawat darurat yang baru dialami dapat memberikan petunjuk bagi adanya serangan lebih parah atau membandel yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. b. Pemeriksaan Fisik Serangan yang parah dicurigai dari adanya sesak nafas pada waktu istirahat, kesulitan mengucapkan kalimat, diaforesis atau penggunaan otot-otot pernafasan tambahan. Kecepatan respirasi lebih besar dari 30 kali/menit, nadi berdenyut lebih cepat dari 120 kali/menit dan pulsus paradoksus yang lebih besar dari 18 mmHg menunjukkan serangan berat yang berbahaya. Gejala yang ditemui : wheezing sedang sampai bronkokonstriksi berat. Bronkospasme akut dapat bergejala obstruksi saluran nafas dan menurunnya aliran udara. Kerja system pernafasan menjadi meningkat drastis dan pada pasien dapat dilihat gerakan dada yang tertinggal, wheezing atau kesukaran bernafas. Peristiwa berikutnya pada refleks oksigen primer terjadi reflek ventilasi perfusi yang tidak sepadan karena distribusi dari saluran udara (bronchus) secara merata tidak terjadi. c. Pemeriksaan Fungsi Paru Pemeriksaan fungsi paru seringkali normal dalam masa remisi. Selama masa serangan akut dan kadang-kadang ketika tidak ada simptom, volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) berkurang dan juga kapasitas vital paksa (FVC) mengalami penurunan yang secara proporsional lebih kecil sehingga perbandingan FEV1 terhadap FVC menjadi berkurang (< 0,75). Dapat juga dijumpai hiperinflasi dengan kenaikan volume residual (FRC). d. Pemeriksaan-pemeriksaan Laboratorium
  • 6. 1) Spirometri Pengukuran yang objektif terhadap aliran udara sangat penting dalam evaluasi dan terapi terhadap serangan. Perawatan di rumah sakit dianjurkan bila FEV1 inisial kurang dari 30% dari harga normal atau tidak meningkat hingga paling sedikit 40% dari harga normal setelah diberikan terapi kuat selama 1 jam. 2) Gas-gas Darah Arteri (GDA) Ketimpangan ventilasi dan perfusi (ketimpangan V/Q) akibat obstruksi jalan nafas akan menimbulkan peningkatan selisih tekanan oksigen alveolar-arterial [P(A-a) O2] yang berkorelasi secara kasar dengan keparahan serangan. Tekanan oksigen arterial (Pa O2) kurang dari 60 mmHg bisa merupakan tanda suatu serangan akut atau keadaan yang menyulitkan. Hampir semua pasien asma yang mengalami serangan ringan hingga sedang-berat akan mengalami hiperventilasi dan mempunyai tekanan CO2 arterial (Pa CO2) kurang dari 35 mmHg. Pada serangan berat atau yang berlangsung lama Pa CO2 bisa meninggi sebagai akibat dari kombinasi obstruksi berat jalan nafas, perbandingan V/Q yang tinggi menyebabkan peningkatan ventilasi, dan kelelahan otot-otot pernafasan. Pa CO2 yang meninggi bisa merupakan tanda bagi kegagalan pernafasan yang sedang mengancam. Pa CO2 lebih besar dari 40 mmHg yang berkelanjutan dan disertai tanda-tanda lain asma berat, hendaknya dikelola dalam unit perawatan intensif dengan evaluasi yang seksama untuk mengetahui perlu tidaknya diberikan intubasi atau ventilasi mekanik. 3) Foto Thorax Foto Thorax perlu dilakukan ringan. Pertimbangkan usia kehamilan 2.9 PENATALAKSANAAN a. Mencegah timbulnya stres b. Mencegah penggunaan obat seperti aspirin semacamnya yang dapat menjadi pencetus timbulnya serangan c. Pada penderita asma ringan dapat digunakan obat local yang berbentuk inhalasi atau peroral seperti isoproterenol d. Serangan asma yang ringan diatasi dengan pemberian bronkodilator hirup misalnya isoproterenol yang akan memperlebar penyempitan saluran udara pada paru-paru. Tetapi obat ini tidak boleh terlalu sering digunakan. e. Serangan asma yang lebih berat biasanya diatasi dengan infus aminofilin. Serangan asma yang sangat berat (status asmatikus) diatasi dengan pemberian infus kortikosteroid. Jika terdapat infeksi, diberikan antibiotik. f. Setelah suatu serangan, bisa diberikan tablet yang mengandung teofilin untuk mencegah serangan lanjutan. Bronkodilator dan kortikosteroid banyak digunakan oleh ibu hamil dan tidak menimbulkan masalah yang berat. 2.10 PENGOBATAN Obat asma dibedakan menurut fungsinya, yaitu obat untuk melebarkan saluran nafas (bronkodilator) mengurangi bengkak saluran nafas (anti inflamasi), dan untuk memudahkan pengeluaran lender. Selain itu obat dapat diberiakan melalui peroral, inhaler, infuse, suntikan dan melalui rectal. Namun bagi ibu hamil yang paling aman digunakan adalah melalui inhaler (Alupen efeknya paling keras, Ventolin, Bereotech, Inflamide efeknya paling lembut), karena efeknya tidak terlalu berdampak dan langsung focus pada saluran nafas, selain itu dosisnya lebih kecil, sehingga relative tidak akan mempengaruhi janin dalam kandungan. Pengobatan asma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non farmakologik dan pengobatan farmakologik
  • 7. 1. Pengobatan non farmakologik a. Penyuluhan Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan. b. Menghindari faktor pencetus Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang cukup bagi klien. c. Fisioterapi Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada. 2. Pengobatan farmakologik a. Agonis beta Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol ( Alupent, metrapel ). b. Metil Xantin Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali sehari. c. Kortikosteroid Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol ( beclometason dipropinate ) dengan disis 800 empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat. d. Kromolin Kromolin merupakan obat pencegah asma, khususnya anak-anak . Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.