1. Ketika pertama kali melihat kantorku yang baru, hatiku langsung miris. Betapa tidak, kantor terkesan
kumuh, kotor, dan tak terawat. Papan nama sudah penuh dengan karat. Tulisannya pun nyaris tak
terlihat, tertutup dengan rerimbunan pohon mangga. Taman di depan halaman sudah tak berwujud
taman lagi. Parit di depan kantor tak disender sehingga terkesan menjijikkan. Arsip data pun
berantakan. Padahal ia adalah kantor pemerintah. Milik negara!
Terbayangdi kepalaku,berapabanyak uang yang dikeluarkan untuk membiayai renovasi kantor besar-
besaran ini. Hutang pembangunan di kantor sebelumnya saja belum terlunasi. Apakah sekarang aku
harus menjadikan SK lagi sebagai jaminan kredit demi pembangunan kantor?! Ah, aku harus berpikir
untuk mencari alternatif lain.
Menurutseorang temanku, tak perlu pusing-pusing memikirkan pembangunan kantor. Toh, kantor itu
punbukan milikkitapribadi.Iaadalahmilikdantanggungjawabpemerintah.Jikaadakerusakan,tinggal
laporkansaja.Tak perlukitarepotuntukmencari dana sendiri.Nanti salah-salahkitadituduhmelakukan
korupsi. Mengapa bisa membangun? Dananya dari mana? Wah, repot lagi deh!
Memang ada benarnyalogikasang teman itu. Kantor instansi pemerintah memang milik dan tanggung
jawab pemerintah. Tapi apakah kita harus menunggu kantor itu ambruk, baru kemudian kita
membangunnya?! Apakah harus selalu menunggu dana dari pemerintah, baru kita boleh membangun
dan merenovasi kantor?! Sementara mengharapkan dana dari pemerintah sering kali hanya
menggantang asap. Kalaupun toh dana itu turun, jumlahnya sudah tak utuh lagi. Lagu Potong Bebek
Angsa menjadi lagu wajib jika ada dana turun.
Membangun kantor semestinya adalah bagian dari pengabdian. Saya jadi teringat ucapan John F.
Kennedy, mantan presiden Amerika Serikat yang terkenal, My fellow Americans, ask not what your
country can do for you,askwhatyou can do for yourcountry.Pengabdian yang diberikan oleh seorang
rakyat terhadapnegaranyatentusajamembutuhkan pengorbanan.Adapularesikoyangharusdihadapi.
Bagaimanapun seorang pegawai negeri sipil adalah abdi negara. Termasuk pula dalam konteks
pengabdian, jika seorang PNS melakukan suatu tindakan perbaikan kantor meski harus mengeluarkan
biaya dari kocek sendiri, bukan dari pemerintah.
Tindakan tersebut memang mengandung resiko. Jika inspektorat datang, hal itu bisa menjadi temuan
kasus. Membangun gedung pemerintah dengan biaya swadaya bisa rentan sekali menjadi bahan
penyelidikan pihak inspektorat. Apalagi sekarang, dengan munculnya PP 48 Tahun 2014, tak boleh lagi
ada biayaswadayadari masyarakatyang selamaini terkumpulmelalui pendaftaran nikah. Membangun
kantor menjadi sesuatu yang penuh risiko dan pengorbanan. Tapi apa hendak dikata. Kantor yang
berada di pelosok memang biasa tak diperhatikan. Mau roboh atau rusak, toh tidak banyak yang tahu.
Pemerintahbiasahanyamenyediakandanauntukkantor-kantoryangberadadi wilayahperkotaan yang
berada di pinggir jalan raya utama. Untuk kantor yang berada jauh di pelosok, prioritas
pembangunannya berada di urutan kesekian. Yah, sudahlah!
Seorang pimpinan di kantor pemerintahan memang tidak memiliki tanggung jawab untuk membiayai
pembangunan kantor. Hal itu karena mestinya, biaya pembangunan itu diperoleh dari pemerintah.
Tetapi sangpimpinantentumemiliki kewajiban moral untuk memperbaiki kantornya. Terlepas apakah
2. uangnyaberasal dari APBN atau bukan, tapi kewajiban itu tentu harus ditunaikan. Sungguh tidak elok,
jikasang pimpinan membiarkan kantornya rusak atau ambruk hanya karena alasan itu bukan tanggung
jawab dirinya.
Membangun kantor adalah bagian dari pengorbanan. Bahkan, jika melihat betapa besar pengorbanan
para pejuang dahulu dalam merebut kemerdekaan, tampaknya pengorbanan kita saat ini tak akan
sebanding. Mereka mengorbankan nyawa, waktu, keluarga, dan lain-lain. Mereka berjuang tanpa
mengharapkan lencana penghargaan, publikasi, jabatan, dan lain-lain. Tetapi ketika ada orang yang
melakukan pengorbanan demi negaranya sekarang ini, terkadang kita masih terheran-heran, bahkan
menganggap mereka orang yang naif. Yah, sudahlah. Toh, berbuat baik tak perlu menunggu sistem
berjalan dengan baik. Berbuat baik tak perlu menanti kebaikan orang lain. Di situlah letaknya makna
keikhlasan dan pengorbanan. Di situ pula kita mencari kebermaknaan hidup.