際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
Menagih Master Plan Suplai Air Indonesia Pada Negara
oleh: Helsi Dinafitri
Praktisi Bisnis Air
Pemerintah kini bersiap membuat UU Sumber Daya Air untuk mengganti UU
Sumber Daya Air no 7 tahun 2004 yang telah dibatalkan pada Februari 2015 lalu. Di
luar diskusi penguasaan negara vs swasta dalam pengelolaan suplai air, kita hendaknya
paham bahwa selama 70 tahun merdeka, Indonesia belum punya Master Plan Suplai Air
untuk negara yang begitu kaya oleh sumber-sumber air. Pembatalan UU SDA no 7 tahun
2004 serta pembatalan salah satu perjanjian kerjasama PDAM dengan mitra swastanya
merupakan produk dari kegamangan kita akibat ketiadaan Master Plan tersebut.
Kita tidak punya Master Plan Suplai Air Indonesia. Akibatnya, pemenuhan suplai
air Indonesia benar-benar berjalan tanpa arah dan di tengah jalan berbelok-belok hingga
menguras energi. Visi pembangunan suplai air Indonesia, strategic initiative-nya,
strategic operasional hingga prinsip-prinsip dasar yang diperlukan untuk keberhasilan
pemenuhan suplai air Indonesia belum pernah dibuat dalam bentuk Master Plan Suplai
Air Indonesia. Kita juga tidak punya Master Plan Suplai Air untuk masing-masing
wilayah di Indonesia. DKI Jakarta pun tidak memilikinya. Mereka hanya punya Bisnis
Plan tetapi tak pernah memiliki Master Plan Suplai Air Kota Jakarta.
Menengok pada keberhasilan Singapura dalam memenuhi kebutuhan suplai air
penduduknya, terlihat kekuatan fungsi Water Master Plan Singapura yang ditelurkan
pada tahun 1972. Master Plan tersebut ditelurkan setelah negeri itu mengalami musim
kering panjang tahun 1963 dan 1964 sampai-sampai negara ini menjatah air bagi warga
negaranya. Dari sana, manajemen suplai air Singapura terus berevolusi dengan full
commitment hingga mencapai kinerja terbaik di dunia. Salah satu evolusinya adalah
kehadiran NEWater yang memenuhi kebutuhan 30% air negeri itu hanya dengan
mendaur-ulang air bekas pakai. Ketika Master Plan dibuat, Singapura telah
berkomitmen untuk menggunakan air bekas pakai. Singapura melakukan pemenuhan
suplai air rakyatnya atas nama negara, selaras dengan prinsip pembangunan
ekonominya yang bertumpu pada kekuatan negara.
Ada pun Indonesia, kita tidak memiliki Master Plan Suplai Air Indonesia. Kita
memiliki UUD 1945 pasal 33 , di mana pasal 3 menegaskan bahwa Bumi air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi, kita telah berbelok menerapkan
UU no 7 tahun 2004 selama satu dekade yang jiwanya berakar pada neoliberalism
sedangkan PDAM kita dikembangkan dengan semangat keynesian di mana negara
menguasai air. Tentu saja dua semangat ini, Keynesian vs neoliberalism menyebabkan
konflik yang berujung pada pembatalan UU no 7 tahun 2004.
Renegosiasi Tiap Dua Tahun
Dalam pola neoliberalism, seluruh investasi swasta dibebankan pada rakyat
untuk pengembaliannya. Akibatnya timbul konflik PDAM dengan Swasta, sebagaimana
kita lihat dalam kasus PAM Jaya dengan mitra swastanya. PAM Jaya teriak-teriak tak
mampu membayar jasa Swasta, sedangkan Swasta teriak teriak tak mampu
merealisasikan beban pelayanan sebagaimana yang diharapkan akibat tarif air yang
ditahan-tahan. Tarif air yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut dibuat dalam
konsep full cost recovery alias sepenuhnya investasi dikembalikan oleh
masyarakat/pelanggan. Akibatnya tarif melambung tinggi, sebagai dampak meledaknya
nilai dolar di tahun 1998 ditambah lagi sebagai dampak inflasi. Protes pun tak terkira.
Maka tarif pun mulai tertahan-tahan naiknya. Akibatnya, swasta pun menahan-nahan
investasinya. Lalu pada akhirnya pelayanan pun berbatas-batas.
Akibat kondisi berlarut tanpa ada jalan keluar, investor asing pun hengkang
yang dimulai oleh Thames Water Plc tahun 2007 dengan menjual seluruh sahamnya.
Kemudian Lyonnaise Des Eaux berniat menjual sahamnya di tahun 2014, tetapi tak
kesampaian. Jelaslah, ini menunjukkan kelemahan dalam sistem pengembangan suplai
air Indonesia, di mana swasta dan PDAM sama sama gagal memberikan kemakmuran
sebesar-besarnya pada rakyat.
Gonjang-ganjing bisnis pun masih berlanjut di 2015, yaitu pembatalan seluruh
Perjanjian Kerjasama (PKS) antara PAM Jaya dengan mitra-mitra swastanya. Termasuk
terhadap PT Aetra Air Jakarta, meski perusahaan ini telah mengambil inisitatif
memangkas tingkat keuntungannya dari 22% menjadi hanya 15,82 persen sejak 2012,
serta berbagai benefit lain ditawarkan kepada PAM Jaya dan telah disepakati. Tetapi,
semuanya buyar. Kini kasusnya masuk ke tahap banding.
Kelemahan dalam pelayanan suplai air akan terlihat jelas bila kita melihat banyak
sekali tenaga dan energi pikir tersita untuk melangsungkan renegosiasi Perjanjian
kerjasama. Misalnya, pada salah satu mitra swasta PAM Jaya, PT Aetra Air Jakarta
(sebelumnya bernama Thames PAM Jaya) bersama sama PAM Jaya harus masuk ke dalam
renegosiasi setiap dua tahun. Hingga saat ini terdapat perubahan kontrak dan
adendum hingga 7 kali alias rata-rata setiap 2 tahun sekali, sepanjang 1998 hingga
2012 (14 tahun). Perubahan Adendum hingga 7 kali meliputi: 22 Oktober 2001
(perubahan main contract), 11 Juni 2003, 7 Oktober 2005, 21 Desember 2006, 28
Desember 2007, 8 Januari 2009, dan 5 Juni 2012 (Master Agreement).
Rangkaian renegosiasi tersebut setidaknya menunjukkan pemerintah juga tidak
siap dalam banyak hal yang berakibat merugikan pelayanan suplai air pada akhirnya.
Apalagi, di dalam pelaksanaan perjanjian tersebut berlangsung tanpa pembelaan apa-
apa dari pihak pemerintah terhadap pihak swasta. Pemerintah seakan tak melakukan
kesalahan apa-apa dalam tugasnya mengawal kerjasama ini. Swasta dibiarkan fight
sendiri di tengah tekanan opini publik yang tidak puas akibat tarif tinggi dan pelayanan
dianggap tidak beranjak membaik.
Pembatalan-pembatalan regulasi, maupun perjanjian kerjasama ini menunjukkan
lemahnya kerangka acuan negara dalam mengimplementasi UUD 1945 pasal 33,
terutama ketika negara beralih dari konsep keynesian menuju konsep neoliberalism.
Tidakkah ini merupakan bentuk kelemahan pemerintah secara nyata.
Selain itu, ada satu hal yang menarik ketika Gubernur DKI Jakarta yang akrab
disapa dengan Ahok meresmikan fasilitas pengolahan limbah (decanter) salah satu
mitra swasta, yaitu PT Aetra Air Jakarta, senilai senilai Rp 22 miliar Mei 2015. Gubernur
DKI tersebut mengatakan DKI memiliki anggaran yang begitu besar yang harus
digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Gubernur mengatakan DKI bisa membangun
50 pengolahan limbah serupa. Gubernur DKI Jakarta tentu tidak main-main. Masalahnya,
tidak mungkin dalam skema perjanjian kerjasama PAM Jaya dan Swasta yang full cost
recovery dana pemerintah masuk dengan mudahnya.
Di sini terlihat bahwa pada satu sisi pemerintah mengatakan ketiadaan dana
sehingga membutuhkan kehadiran swasta. Sebaliknya, pernyataan Gubernur DKI
Jakarta tersebut seakan mengatakan bahwa negara punya begitu banyak uang untuk
digelontorkan. Jadi, ada apa sebenarnya dengan semua ini ? Di mana letak
ketidaknyambungan keduanya? Tidakkah ini terlihat masing-masing pihak terperangkap
dalam frame masing-masing secara kaku. Finally, lagi lagi, rakyat dirugikan.
Seandainya, kita memiliki Master Plan Suplai Air Indonesia, paling tidak, kita
memiliki prinsip-prinsip dasar hingga ke strategi operational yang jelas bagi kita semua
dalam upaya memenuhi kebutuhan suplai air masyarakatnya. Negara memang
berdasarkan pada UUD 1945 pasal 33 dalam pengembangan perekonomiannya. Tetapi,
ketika pada tahun 1990-an kita dihadapkan pada keterbatasan dana, lalu arus
globalisasi dengan neoliberalism masuk ke negeri ini, kita tiba-tiba menjadi sangat
awam terhadap visi ekonomi dalam konstitusi negara kita sendiri.
Regulasi terdahulu UU SDA no 7 tahun 2004 kini sedang digodok penggantinya.
Sekarang, pemerintah terlihat mencoba mencari jalan tengah, dengan tetap menguasai
bisnis air tetapi tetap memungkinkan kehadiran swasta. Sungguh, pelanggan air tidak
pernah memasalahkan apakah air dikuasai oleh negara ataukah swasta. Keinginan
pokok mereka adalah adanya akses air yang reliable ( kualitasnya, kuantitasnya,
kontinuitasnya) dan terjangkau harganya. Pelibatan BUMN/D bukanlah jaminan roh
negara itu hadir sebagaimana dijumpai dalam histori sejumlah BUMN/D kita di masa
lalu.
Negara hendaknya menyadari bahwa BUMN/D atau pun swasta, dua duanya
berpikir bisnis. Tidak mungkin BUMN/D disuruh bunuh diri atau terbebani terus
menerus oleh misi sosialnya, kecuali bila BUMN/D benar-benar diposisikan sebagai
bisnis sosial, yang semua keuntungannya totalnya hanyalah untuk reinvestasi,
sebagaimana diketengahkan oleh Pemenang Nobel Perdamaian asal Bangladesh,
Muhammad Yunus.
Sebuah regulasi dan Master Plan akan membuat jelas bagaimana menyelamatkan
roh negara di tengah pelibatan swasta (yang kerap diharapkan, tapi kerap dibenci).
Negara harus menjamin bahwa sejak awal tidak ada yang dikorbankan, baik BUMN/D,
Swasta, maupun negara dalam mewujudkan pelayanan dan hak-hak publik. (***)

More Related Content

MENAGIH MASTER PLAN SUPLAI AIR INDONEISA (Bisnis Indonesia 19 Juni 2015)

  • 1. Menagih Master Plan Suplai Air Indonesia Pada Negara oleh: Helsi Dinafitri Praktisi Bisnis Air Pemerintah kini bersiap membuat UU Sumber Daya Air untuk mengganti UU Sumber Daya Air no 7 tahun 2004 yang telah dibatalkan pada Februari 2015 lalu. Di luar diskusi penguasaan negara vs swasta dalam pengelolaan suplai air, kita hendaknya paham bahwa selama 70 tahun merdeka, Indonesia belum punya Master Plan Suplai Air untuk negara yang begitu kaya oleh sumber-sumber air. Pembatalan UU SDA no 7 tahun 2004 serta pembatalan salah satu perjanjian kerjasama PDAM dengan mitra swastanya merupakan produk dari kegamangan kita akibat ketiadaan Master Plan tersebut. Kita tidak punya Master Plan Suplai Air Indonesia. Akibatnya, pemenuhan suplai air Indonesia benar-benar berjalan tanpa arah dan di tengah jalan berbelok-belok hingga menguras energi. Visi pembangunan suplai air Indonesia, strategic initiative-nya, strategic operasional hingga prinsip-prinsip dasar yang diperlukan untuk keberhasilan pemenuhan suplai air Indonesia belum pernah dibuat dalam bentuk Master Plan Suplai Air Indonesia. Kita juga tidak punya Master Plan Suplai Air untuk masing-masing wilayah di Indonesia. DKI Jakarta pun tidak memilikinya. Mereka hanya punya Bisnis Plan tetapi tak pernah memiliki Master Plan Suplai Air Kota Jakarta. Menengok pada keberhasilan Singapura dalam memenuhi kebutuhan suplai air penduduknya, terlihat kekuatan fungsi Water Master Plan Singapura yang ditelurkan pada tahun 1972. Master Plan tersebut ditelurkan setelah negeri itu mengalami musim kering panjang tahun 1963 dan 1964 sampai-sampai negara ini menjatah air bagi warga negaranya. Dari sana, manajemen suplai air Singapura terus berevolusi dengan full commitment hingga mencapai kinerja terbaik di dunia. Salah satu evolusinya adalah kehadiran NEWater yang memenuhi kebutuhan 30% air negeri itu hanya dengan mendaur-ulang air bekas pakai. Ketika Master Plan dibuat, Singapura telah berkomitmen untuk menggunakan air bekas pakai. Singapura melakukan pemenuhan suplai air rakyatnya atas nama negara, selaras dengan prinsip pembangunan ekonominya yang bertumpu pada kekuatan negara. Ada pun Indonesia, kita tidak memiliki Master Plan Suplai Air Indonesia. Kita memiliki UUD 1945 pasal 33 , di mana pasal 3 menegaskan bahwa Bumi air dan
  • 2. kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi, kita telah berbelok menerapkan UU no 7 tahun 2004 selama satu dekade yang jiwanya berakar pada neoliberalism sedangkan PDAM kita dikembangkan dengan semangat keynesian di mana negara menguasai air. Tentu saja dua semangat ini, Keynesian vs neoliberalism menyebabkan konflik yang berujung pada pembatalan UU no 7 tahun 2004. Renegosiasi Tiap Dua Tahun Dalam pola neoliberalism, seluruh investasi swasta dibebankan pada rakyat untuk pengembaliannya. Akibatnya timbul konflik PDAM dengan Swasta, sebagaimana kita lihat dalam kasus PAM Jaya dengan mitra swastanya. PAM Jaya teriak-teriak tak mampu membayar jasa Swasta, sedangkan Swasta teriak teriak tak mampu merealisasikan beban pelayanan sebagaimana yang diharapkan akibat tarif air yang ditahan-tahan. Tarif air yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut dibuat dalam konsep full cost recovery alias sepenuhnya investasi dikembalikan oleh masyarakat/pelanggan. Akibatnya tarif melambung tinggi, sebagai dampak meledaknya nilai dolar di tahun 1998 ditambah lagi sebagai dampak inflasi. Protes pun tak terkira. Maka tarif pun mulai tertahan-tahan naiknya. Akibatnya, swasta pun menahan-nahan investasinya. Lalu pada akhirnya pelayanan pun berbatas-batas. Akibat kondisi berlarut tanpa ada jalan keluar, investor asing pun hengkang yang dimulai oleh Thames Water Plc tahun 2007 dengan menjual seluruh sahamnya. Kemudian Lyonnaise Des Eaux berniat menjual sahamnya di tahun 2014, tetapi tak kesampaian. Jelaslah, ini menunjukkan kelemahan dalam sistem pengembangan suplai air Indonesia, di mana swasta dan PDAM sama sama gagal memberikan kemakmuran sebesar-besarnya pada rakyat. Gonjang-ganjing bisnis pun masih berlanjut di 2015, yaitu pembatalan seluruh Perjanjian Kerjasama (PKS) antara PAM Jaya dengan mitra-mitra swastanya. Termasuk terhadap PT Aetra Air Jakarta, meski perusahaan ini telah mengambil inisitatif memangkas tingkat keuntungannya dari 22% menjadi hanya 15,82 persen sejak 2012, serta berbagai benefit lain ditawarkan kepada PAM Jaya dan telah disepakati. Tetapi, semuanya buyar. Kini kasusnya masuk ke tahap banding.
  • 3. Kelemahan dalam pelayanan suplai air akan terlihat jelas bila kita melihat banyak sekali tenaga dan energi pikir tersita untuk melangsungkan renegosiasi Perjanjian kerjasama. Misalnya, pada salah satu mitra swasta PAM Jaya, PT Aetra Air Jakarta (sebelumnya bernama Thames PAM Jaya) bersama sama PAM Jaya harus masuk ke dalam renegosiasi setiap dua tahun. Hingga saat ini terdapat perubahan kontrak dan adendum hingga 7 kali alias rata-rata setiap 2 tahun sekali, sepanjang 1998 hingga 2012 (14 tahun). Perubahan Adendum hingga 7 kali meliputi: 22 Oktober 2001 (perubahan main contract), 11 Juni 2003, 7 Oktober 2005, 21 Desember 2006, 28 Desember 2007, 8 Januari 2009, dan 5 Juni 2012 (Master Agreement). Rangkaian renegosiasi tersebut setidaknya menunjukkan pemerintah juga tidak siap dalam banyak hal yang berakibat merugikan pelayanan suplai air pada akhirnya. Apalagi, di dalam pelaksanaan perjanjian tersebut berlangsung tanpa pembelaan apa- apa dari pihak pemerintah terhadap pihak swasta. Pemerintah seakan tak melakukan kesalahan apa-apa dalam tugasnya mengawal kerjasama ini. Swasta dibiarkan fight sendiri di tengah tekanan opini publik yang tidak puas akibat tarif tinggi dan pelayanan dianggap tidak beranjak membaik. Pembatalan-pembatalan regulasi, maupun perjanjian kerjasama ini menunjukkan lemahnya kerangka acuan negara dalam mengimplementasi UUD 1945 pasal 33, terutama ketika negara beralih dari konsep keynesian menuju konsep neoliberalism. Tidakkah ini merupakan bentuk kelemahan pemerintah secara nyata. Selain itu, ada satu hal yang menarik ketika Gubernur DKI Jakarta yang akrab disapa dengan Ahok meresmikan fasilitas pengolahan limbah (decanter) salah satu mitra swasta, yaitu PT Aetra Air Jakarta, senilai senilai Rp 22 miliar Mei 2015. Gubernur DKI tersebut mengatakan DKI memiliki anggaran yang begitu besar yang harus digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Gubernur mengatakan DKI bisa membangun 50 pengolahan limbah serupa. Gubernur DKI Jakarta tentu tidak main-main. Masalahnya, tidak mungkin dalam skema perjanjian kerjasama PAM Jaya dan Swasta yang full cost recovery dana pemerintah masuk dengan mudahnya. Di sini terlihat bahwa pada satu sisi pemerintah mengatakan ketiadaan dana sehingga membutuhkan kehadiran swasta. Sebaliknya, pernyataan Gubernur DKI Jakarta tersebut seakan mengatakan bahwa negara punya begitu banyak uang untuk digelontorkan. Jadi, ada apa sebenarnya dengan semua ini ? Di mana letak
  • 4. ketidaknyambungan keduanya? Tidakkah ini terlihat masing-masing pihak terperangkap dalam frame masing-masing secara kaku. Finally, lagi lagi, rakyat dirugikan. Seandainya, kita memiliki Master Plan Suplai Air Indonesia, paling tidak, kita memiliki prinsip-prinsip dasar hingga ke strategi operational yang jelas bagi kita semua dalam upaya memenuhi kebutuhan suplai air masyarakatnya. Negara memang berdasarkan pada UUD 1945 pasal 33 dalam pengembangan perekonomiannya. Tetapi, ketika pada tahun 1990-an kita dihadapkan pada keterbatasan dana, lalu arus globalisasi dengan neoliberalism masuk ke negeri ini, kita tiba-tiba menjadi sangat awam terhadap visi ekonomi dalam konstitusi negara kita sendiri. Regulasi terdahulu UU SDA no 7 tahun 2004 kini sedang digodok penggantinya. Sekarang, pemerintah terlihat mencoba mencari jalan tengah, dengan tetap menguasai bisnis air tetapi tetap memungkinkan kehadiran swasta. Sungguh, pelanggan air tidak pernah memasalahkan apakah air dikuasai oleh negara ataukah swasta. Keinginan pokok mereka adalah adanya akses air yang reliable ( kualitasnya, kuantitasnya, kontinuitasnya) dan terjangkau harganya. Pelibatan BUMN/D bukanlah jaminan roh negara itu hadir sebagaimana dijumpai dalam histori sejumlah BUMN/D kita di masa lalu. Negara hendaknya menyadari bahwa BUMN/D atau pun swasta, dua duanya berpikir bisnis. Tidak mungkin BUMN/D disuruh bunuh diri atau terbebani terus menerus oleh misi sosialnya, kecuali bila BUMN/D benar-benar diposisikan sebagai bisnis sosial, yang semua keuntungannya totalnya hanyalah untuk reinvestasi, sebagaimana diketengahkan oleh Pemenang Nobel Perdamaian asal Bangladesh, Muhammad Yunus. Sebuah regulasi dan Master Plan akan membuat jelas bagaimana menyelamatkan roh negara di tengah pelibatan swasta (yang kerap diharapkan, tapi kerap dibenci). Negara harus menjamin bahwa sejak awal tidak ada yang dikorbankan, baik BUMN/D, Swasta, maupun negara dalam mewujudkan pelayanan dan hak-hak publik. (***)