Kumpulan cerpen Akar Pule karya Oka Rusmini mengangkat tema feminisme dan ketidaksetaraan gender dengan cara yang lebih halus dibandingkan penulis wanita Indonesia pada umumnya. Melalui sudut pandang perempuan dan latar Bali yang kental, cerita-cerita dalam kumpulan ini menggambarkan berbagai bentuk penindasan dan masalah sosial yang dihadapi perempuan.
1 of 2
More Related Content
Mengakar perempuan, resensi
1. Mengakar Perempuan
Judul : Akar Pule
Penulis : Oka Rusmini
Penerbit : Grasindo
Terbit : 2012
Halaman : vi + 145 hlm
Membaca kumpulan cerpen Akar Pule adalah seperti
menelan biji bernama “keperempuanan” lalu
membiarkannya tumbuh, mengakar pada pikiran dan
perasaan. Oka Rusmini dalam kumpulan cerpen ini
berhasil “menusuk” beberapa aspek sosial dan tradisi
lewat gaya feminismenya. Inilah yang membuat Oka
Rusmini berbeda dengan para penulis wanita Indonesia
kebanyakan.
Kebanyakan penulis wanita Indonesia yang mengusung feminisme, seringkali menghadirkan
adegan seksual vulgar yang memakan banyak halaman, sehingga kerap mengaburkan
perenungan pembaca mengenai apa yang ingin diperjuangkan perempuan itu sendiri. Berbeda
dengan Oka Rusmini, walaupun sama-sama bercerita dengan sudut pandang perempuan dengan
sentimentalitas yang tinggi, namun Oka Rusmini berhasil mencangkok adegan-adegan seksual
dengan cara yang lebih manis.
Seperti pada kutipan dialog tokoh Glatik dalam kumpulan cerpen Akar Pule berikut ini,
“.…Urat-urat lelaki itu. Daging yang tegang di antara dua kakinya. Napasnya yang memburu-
buru. Mendengkur seperti babi! Aku tidak melihat cinta dan kasih sedikit pun....”
Dari kutipan tersebut, Oka Rusmini sepertinya lebih memperlihatkan “kelas” perempuan sebagai
penulis cerita yang diperhitungkan, daripada sibuk memupuk adegan ranjang.
Karena mayoritas pengarang perempuan berusaha menunjukkan ketidaksetaraan gender dan
peran perempuan dalam kehidupan sosial, maka adegan seksual kadang dimunculkan sebagai
2. ranting ceritanya namun tidak perlu dideskripsikan berlebihan. Banyak ranting-ranting cerita
realitas sosial lain yang dapat menjadi perantara bahwa daun ketidaksetaraan itu tumbuh lebat di
pohon keperempuanan. Seperti Oka Rusmini, ia menghadirkan ranting cerita berupa tradisi,
kelokalan suatu daerah, kepercayaan, juga aspek lain yang tidak semata-mata persoalan seksual
untuk menyampaikan bahwa ada ketidaksetaran gender di sana.
Akar Pule lewat penokohan dan latar Balinya yang kental, membawa imaji pembaca untuk
semakin larut dalam masalah penindasan yang lebih jujur. Penindasan pria terhadap perempuan
serta penindasan perempuan terhadap perempuan lain pun diceritakan dengan porsi yang cukup
berimbang. Tentunya, semua tetap dengan sudut pandang perempuan. Karena memang
feminisme itu sendiri, ingin memperlihatkan bahwa sudut pandang perempuan tidak bisa
diabaikan oleh sudut pandang pria.
Jika anda mulai serius “menelan” Akar Pule, pikiran anda akan sedikit berkeringat. Sebab
hampir seluruh sudut pandang penceritaan–entah orang pertama, entah orang ketiga, entah sudut
pandang lainnya –adalah “perempuan” namun banyak pergantian. Sehingga dalam pergantian
sudut pandang yang tiba-tiba tersebut, pikiran pembaca dituntun supaya kerja keras menemukan
tokoh perempuan mana yang sedang bercerita atau diceritakan. Tapi ketika pembaca berhasil
berfikir keras dan menemukannya, tentu ada kepuasan luarbiasa.
Selain pergantian sudut pandang, beberapa fokus “masalah” dalam ceritanya tumbuh dengan
ukuran yang hampir sama dan pembaca kembali dituntut untuk cerdas membaca, fokus masalah
mana yang tumbuh paling tinggi. Seperti pada salah satu judul cerpen, Akar pule. Pada cerita
tersebut timbul berbagai masalah yang sama-sama menonjol. Yaitu permasalahan tokoh utama
dengan masyarakat, permasalahan tokoh utama dengan kekasihnya, juga permasalahan masa lalu
ayah dari tokoh utama dengan masyarakat. Sehingga jika pembaca terlalu asik dengan perasaan
dan melupakan kejelian pembacaan, maka tidak akan menemukan fokus masalah yang ingin di
sampaikan pengarang.
Secara keseluruhan, kumpulan Akar Pule ini menarik untuk dibaca karena banyak manfaat yang
bisa diambil dari buku setebal 145 halaman ini.
Untuk para mahasiswa yang ingin menganalisis karya sastra dengan teori feminisme, buku ini
sangat cocok. Jika dosen anda tidak pernah mencontohkan Oka Rusmini dan cerpen-cerpennya