1. Bidayah al-Mujtahid Menggagas Fikih Mazhab Kritis?
Oleh Wiyanto Suud
Dalam setiap pembahasan, Ibnu Rusyd selalu mengemukakan objek masalah
dengan gaya pernyataan. Kemudian, ia jawab dengan mengemukakan pendapat jumhur
ulama, lengkap dengan argumentasinya.
Kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid ditulis oleh Ibnu Rusyd,
sebuah karya klasik paling komprehensif dan sistematis dalam kajian perbandingan
mazhab fikih. Bidayah al-Mujtahid merupakan rujukan awal bagi seseorang yang mulai
belajar berijtihad (menggali sumber hukum), dan Nihayah (akhir) bagi seseorang yang
mencukupkan dirinya dengan pengetahuan tentang dasar-dasar hukum Islam. Dengan
mempelajari kitab ini, seseorang diharapkan mampu berijtihad atas masalah-masalah
yang belum ada ketetapan hukumnya, ataupun masalah fikih klasik yang harus
disesuaikan ketetapan hukumnya dengan tuntutan zaman.
Hampir setiap aliran atau mazhab fikih mempunyai tokoh yang menulis
perbandingan mazhab fikih (muqarin). Tujuan akhirnya jelas, untuk memenangkan
mazhab yang didukungnya. Seperti, Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w 189 H)
dengan al-Hujjah 'ala Ahl al-Madinah dari mazhab Hanafi, Ibn Qudama (w 620 H) dengan
al-Mughni dari mazhab Hambali, Nawawi (w 676 H) dengan al-Majmu' dari mazhab
Syafi'i, Abu Ja'far Muhammad al-Thusi (460 H) dengan al-Khilaf fi al-Ahkam dari mazhab
Syiah Imamiyah, dan Ibnu Rusyd dengan Bidayah al-Mujtahid dari mazhab Maliki.
Dalam setiap pembahasan, Ibnu Rusyd selalu mengemukakan objek masalah
dengan gaya pernyataan. Kemudian, ia jawab dengan mengemukakan pendapat jumhur
ulama, lengkap dengan argumentasinya. Kadang ia mengunggulkan pendapat suatu
mazhab atas mazhab yang lain (qaul ar-rajih). Bahkan, tak jarang, Ibn Rusyd
?
Dimuat di Republika, Islam Digest, Kolom Kitab, 19 Juli 2009.
2. mengungkapkan pendapatnya sendiri tentang suatu masalah, setelah menunjukkan
kelemahan argumentasi masing-masing mazhab yang ia diskusikan.
Ungkapan yang sering ia gunakan untuk menunjukkan kesepakatan ulama, di
antaranya, menurut 'kesepakatan umumnya' (ittafaqa an-nas), 'kesepakatan kelompok'
(ittafaqa al-qaum), 'kesepakatan mayoritas ulama' (ittafaqa jumhur), dan 'kesepakatan
fuqaha' (ittafaqa fuqaha).
Ibnu Rusyd--dalam kitab ini--berusaha untuk mengintegrasikan antara
kecenderungan tekstual dan kecenderungan kontekstual. Hal ini bisa dimaklumi, karena
pertama, Ibnu Rusyd hidup di tengah-tengah keluarga dan masyarakat pengikut mazhab
Maliki, yang inti doktrin teori hukumnya adalah rasio harus diperhatikan untuk
mempertimbangkan kemaslahatan (al-Mashalih al-Mursalah).
Kedua, pemikiran Ibnu Rusyd melintasi mazhab-mazhab fikih yang sedang
berkembang, karena pengaruh filsafat dan kedokteran yang ditekuninya, dan cenderung
mengedepankan penggunaan penalaran (rasional-empiris).
Melihat cakupan fikih perbandingan yang ada dalam kitab ini, tampak jelas bahwa
Ibnu Rusyd hanya berkonsentrasi pada aliran-aliran fikih yang berkembang di kalangan
komunitas Sunni. Ia juga tidak memberi porsi yang cukup signifikan terhadap pendapat
Ahmad bin Hanbal, mengingat kecenderungan mazhab Hanbali yang sangat ketat terikat
pada hadis, dan kurang memberi porsi yang longgar pada nalar.
Objektif dalam Sikap
Secara kultural, Ibnu Rusyd hidup dalam lingkungan yang terikat dengan mazhab
Maliki, ayah dan kakeknya seorang faqih bermazhab Maliki, dan ia juga seorang hakim
Agung (qadhi qudhat) bermazhab Maliki. Tapi, dalam beberapa hal, ia menentang
mazhabnya sendiri dan mengikuti pendapat Syafi'i dan Hanafi. Ini menunjukkan bahwa
Ibnu Rusyd kritis menilai, objektif memandang, dan jauh dari sikap fanatik. Di antara
contohnya sebagai berikut.
3. Pertama, tentang sperma yang menempel pada baju, apakah najis atau tidak? Ibnu
Rusyd cenderung pada pendapat yang menyatakan najis. Pendapat ini dikemukakan
oleh Abu Hanifah, berdasarkan pada 'pengerokan' sperma yang dilakukan oleh Aisyah
pada baju Rasulullah, itu sama kedudukannya dengan penyucian menggunakan air, yang
juga menunjukkan bahwa sperma itu najis (Kitab Thaharah dari Najis, Bab Macam-
macam Najis, Fasal Sperma).
Kedua, dalam masalah waktu qadha shalat karena lalai, menurut Malik cara qadha
-nya wajib tertib sesuai dengan urutan shalat yang ditinggalkan. Sedang menurut Syafi'i
dan Hanafi, tertib itu tidak wajib, dalam arti seseorang boleh mengerjakan shalat yang
harus dilakukan pada waktunya, sedangkan shalat yang akan di- qadha dikerjakan
kemudian. Tetapi, jika ia akan melaksanakan qadha lebih dahulu, asalkan waktu shalat
masih mencukupi, menurut Syafi'i dan Hanafi, itu lebih baik. Dan, Ibnu Rusyd
mendukung pendapat kedua imam ini (Kitab Shalat, Bab Shalat yang Bukan Ada', dalam
Fasal Qadha).
Ketiga, dalam masalah menyewa kendaraan yang melampaui batas kesepakatan,
Ibnu Rusyd cenderung mendukung pendapat Syafi'i yang mewajibkan penyewa
menambah ongkos. Ia melemahkan pendapat Malik, yang menyatakan pemilik
kendaraan boleh memilih untuk meminta tambahan ongkos sewa atau penyewa harus
menanggung kerusakan kendaraan, jika kerusakan itu terjadi dalam jarak pelanggaran.
Dan, Ibnu Rusyd menganggap pendapat Abu Hanifah yang menyatakan penyewa
tidak berkewajiban untuk menambah ongkos sewa, sebagai pendapat yang jauh dari
esensi ajaran syariat. Menurutnya, dalam masalah ini, pendapat Syafi'i lebih dekat pada
kebenaran yang dikehendaki oleh syariat (Kitab Sewa Menyewa, Bab Hukum Sewa
Menyewa, dalam Fasal Sebab-sebab Adanya Tanggungan Menyewakan Barang).
Kitab ini ditulis, ketika pilar-pilar mazhab fikih dan ilmu-ilmu keislaman yang lain
sudah terkodifikasi secara mapan. Kenyataan ini berimbas pada kreasi intelektual umat
menjadi jumud dan terhenti. Padahal, perkembangan sosial dan tantangan zaman
4. berjalan begitu cepat. Kondisi inilah yang mendorong Ibnu Rusyd mencari terobosan
'ijtihad baru' dengan cara menyeleksi (al-intiqa) pendapat mazhab yang berkembang
pada saat itu, kemudian melacak argumen masing-masing fuqaha dan memberikan
beberapa catatan (anotasi).
Kitab ini menjadi penting, karena pertama, membuka pemikiran kita tentang
berbagai argumentasi dan ketetapan hukum yang diperselisihkan, sekaligus berbagai
pendekatan penggalian hukum masing-masing mazhab. Dengan demikian, kita bisa
keluar dari sikap taqlid buta dan akan timbul sikap saling menghargai.
Kedua, untuk mendorong memunculkan karya yang berintegrasi serupa, di tengah-
tengah peradaban sekuler yang mendominasi dunia, yang sesuai dengan semangat
zaman (zeitgeist) dan menjawab segala problematika yang ada (kontekstual).
5. Berpikir Emansipatoris Ala Ibn Rusyd?
Oleh Wiyanto Suud
Sebelum membicarakan problem-problem hukum Islam, Ibnu Rusyd memaparkan
proses penerimaan hukum Islam, macam-macamnya dan sebab terjadinya perselisihan.
Problem akan muncul, ketika kita mendapatkan sebuah perkara yang tidak ada
ketentuan hukumnya dalam nas, baik dalam Alquran, hadis, atau ijmak sahabat.
Bagaimana menentukan status hukum terhadap suatu benda atau perbuatan?
Ibnu Rusyd memilih menggunakan metode analogi (qiyas), yakni mengeluarkan status
hukum atas masalah baru (furu') yang dianalogikan dengan masalah lama (ashl), karena
ada kesamaan illat (alasan) ataupun maqshad (maksud atau tujuan).Dalam menentukan
status hukum, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa ada enam perkara pokok yang menjadi
penyebab perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu:
Pertama, adanya perbedaan pemahaman fuqaha atas nas, apakah bersifat umum
('Am) atau khusus (khash), menunjukkan pengertian yang sama (mujmal) atau
memungkinkan untuk dipahami dengan beberapa arti (muhtamal).
Kedua, adanya lafadz yang digunakan secara ganda. Di antaranya, lafadz dengan
beberapa arti (isytirakatul lafdzi) yang menjadi landasan hukum, lam ta'rif (alif lam/al)
yang dikaitkan dengan jenis hukum, serta makna dalam lafadz perintah (amr) dan
larangan (nahy).
Ketiga, karena adanya perbedaan i'rab . Keempat, satu kata yang dapat dipahami
secara hakiki, majazi, atau isti'arah . Kelima, penyebutan kata terikat (muqayyad) atau
mutlak (muthlaq). Dan, keenam, pertentangan atau antagonisme (ta'arudl) antara dua
sumber hukum, baik berupa perbuatan (af'al), perkataan (aqwal), atau persetujuan
(iqrar) Rasul.
?
Dimuat di Republika, Islam Digest, Kolom Kitab, 19 Juli 2009.
6. Seperti, contoh firman Allah dalam Alquran, ¡°Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu. (QS an-Nur [24]:
4-5).
Kata 'orang-orang yang bertobat sesudah itu', kembali pada kefasikan saja atau
pada kefasikan dan persaksian secara bersamaan. Artinya, tobat itu bisa menghapus
dosa karena fasik, dengan konsekuensi boleh menjadi saksi, walaupun sebelumnya
menjadi penuduh zina pada orang lain (qadzif) atau tidak.
Menurut Malik dan Syafi'i, kesaksiannya dapat diterima, sedangkan menurut Abu
Hanifah, kesaksiannya tidak diterima untuk selama-lamanya. Ibnu Rusyd setuju dengan
pendapat yang pertama, karena ketika kefasikan telah hilang, seharusnyalah kesaksian
itu bisa diterima.
Inilah keistimewaan gaya berpikir emansipatoris yang ditawarkan oleh Ibnu Rusyd.
Yakni, dengan memadukan antara fikih dan ushul fikih dalam satu kitab sekaligus.
Biasanya para ulama menulis fikih dan ushul fikih secara terpisah, seperti Syafi'i menulis
ushul fikih dalam ar-Risalah, dan fikih dalam al-Um . Al-Ghazali menulis fikih dalam al-
Mushthafa serta perpaduan antara fikih dan tasawuf dalam Ihya' Ulum ad-din.
Thaha Abdurrauf Sa'ad dalam pengantar tahqiq buku ini berani menyatakan
bahwa mutu kitab Bidayah al-Mujtahid , baik secara metodologis maupun jangkauan
kelengkapan pembahasan tidak tertandingi oleh karya lain dalam disiplin ilmu yang
sama.
Hasan Hanafi dalam buku Dirasat Islamiyyah menyatakan, ¡°Ibn Rusyd bukanlah
orang yang teralienasi, melainkan ia adalah anak zaman kontemporer.¡±
7. Ulama Multidisipliner?
Oleh Wiyanto Suud
Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin
Ahmad bin Ahmad bin Rusyd al-Hafidz al-Andalusi al-Qurthubi al-Maliki, yang lebih
masyhur dengan sapaan Ibnu Rusyd, di Barat dikenal dengan nama Averroes. Ia lahir di
Cordoba pada tahun 520 H/1126 M, dan wafat di Maroko pada tahun 595 H/1198 M.
Michael Angelo meletakkan patung siluetnya di atas atap Gereja Syktien di Vatikan
karena dipandang sebagai filsuf pemikir merdeka (free thinker). Dante dalam Divine
Comedia menyebutnya 'Sang Komentator', karena dianggap sebagai komentator
terbesar atas karya-karya Aristoteles.
Ia juga banyak mengomentari karya-karya filsuf Muslim pendahulunya, seperti al-
Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajjah, dan al-Ghazali. Komentar-komentarnya itu banyak
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Ibrani. Oleh karena itu, banyak ilmuwan Eropa
yang terpengaruh dengan ulasan-ulasannya (Averroeisme). Ia tidak hanya memberi
komentar (anotasi), tapi juga menambahkan pandangan-pandangan filosofinya sendiri.
Sejak kecil, ia telah mempelajari Alquran, lalu ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti
tafsir, hadis, fikih, dan sastra Arab. Kemudian, ia mendalami ilmu matematika, fisika,
astronomi, logika, filsafat, dan ilmu kedokteran.
Ia banyak berguru kepada Abu al-Aim Basykawal, Abu Marwan bin Masarrah, Abu
Bakar bin Samhun, Abu Ja'far bin Abd al-Aziz, Abdullah al-Maziri, dan Abu Muhammad
bin Rizq. Mereka merupakan representasi fuqaha yang menonjol di Andalusia ketika itu.
Kemudian, belajar ilmu kedokteran pada Abu Ja'far Harun at-Tirjani dan Abu Marwan
Kharbul.
?
Dimuat di Republika, Islam Digest, Kolom Kitab, 19 Juli 2009.
8. Ibnu Rusyd banyak meninggalkan karya tulis, ada yang mengatakan karyanya
mencapai 78 buku dalam berbagai disiplin ilmu. Seluruh daftar karya-karyanya dapat
diketahui dalam Mu'allafat Ibnu Rusyd , sebuah buku yang khusus diterbitkan pada
Festival Ibnu Rusyd untuk memperingati delapan abad wafatnya.
Setidaknya ada empat karya monumental yang bisa kita baca sampai sekarang,
yakni :
1. Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dalam Kitab Kerancuan). Kitab ini membahas
tentang pembelaan terhadap kaum filsuf dari beberapa kritikan yang dilontarkan
al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Meskipun
keduanya tidak pernah saling bertatap muka, karena al-Ghazali hidup antara tahun
450-505 H, sedangkan Ibnu Rusyd hidup antara tahun 520-595 H.
2. Fash al-Maqal fi ma bain al-Syari'ah wa al-Hikmah min al-Ittishal (Kaitan Syariat
dengan Filsafat), di- tahqiq Yousep Muller di Munich, Jerman, 1959 dan
diterjemahkan sekaligus diberi kata pengantar oleh George Hourani, 1962. Kitab
ini menguraikan tentang keselarasan antara agama dan akal.
3. Kulliyat fi at-Thibb (tujuh jilid), diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada tahun
1255 M oleh Bonacosa. Kemudian, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan
judul General Rules of Medicine. Kitab ini merupakan buku panduan wajib dan
selalu menjadi rujukan bagi mahasiswa kedokteran di berbagai Universitas di
Eropa.
4. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Analisis Fikih Para Mujtahid).
Menguraikan tentang berbagai pendapat imam-imam mazhab dan komentar Ibn
Rusyd terhadap uraian tersebut.
Kitab yang terakhir ini, banyak diajarkan di pesantren-pesantren yang akrab
dengan kajian kitab kuning, dan menjadi salah satu bacaan wajib bagi para mahasiswa