際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
Merawat Keistimewaan Yogyakarta
Oleh: Bagus Kurniawan1
Perubahan tagline Jogja dari Jogja Never Ending Asia menjadi Jogja Istimewa yang
diresmikan oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam rapat koordinasi rebranding di Kantor
Gubernur, Kepatihan, Kota Yogyakarta (5/2/2015) harus disambut dengan baik dan kesadaran spiritual
yang sebenar-benarnya. Pergantian tagline tersebut harus dimaknai sekaligus diimbangi dengan
semangatuntukmenghidupkankembali ruhbudayadi KotaYogyakarta.Persoalanini sangatpenting
untuk segera disadari karena Jogja cenderung berkembang menjadi kota yang akrab bagi kaum
kapitalis. Pembangunan Jogja didominasi oleh tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan, mal, hotel,
kawasan ekonomi, dan pusat-pusat perkembangan kebudayaan populer. Perkembangan itu
menunjukkanbahwaJogja tengah menuju masyarakat industri. Metamorfosis kultural yang terjadi
seolah-olah meninggalkan semangat dan mentalitas kebudayaan Jawa. Memberi ruang bagi para
pelaku usaha untuk berinvestasi memang sah-sah saja, tetapi keterjagaan kebudayaan dan
mentalitas kolektif sebagai pilar kehidupan pembentukan manusia yang bermartabat tidak boleh
dilupakan.
Keistimewaan Jogjatidakterletakpadajumlahmal,jumlahhotel mewah, cafe-cafe mewah,
atau tempat hiburan malam yang penuh glamor, namun terletak pada kelestarian budaya serta
mental kolektif masyarakatnya. Oleh sebab itu, keberlangsungan dan kelestarian peradaban yang
ramah terhadapsesamamanusiaharusterus diperhatikan. Harus seimbang dengan perkembangan
industrialisasi,jumlahruangpublikharusditambah,even-evenbudayaharusdidukung sepenuhnya,
dan fasilitaspenunjangpendidikanbagi siswaperluditingkatkan sehingga kebijakan-kebijakan yang
berujung pada pembangunan citra perlu ditinggalkan. Terkikisnya mental dan kultur kolektif yang
diiringi perubahan sosial menuju masyarakat industri memang tidak hanya terjadi di Jogja, namun
semuaitudapat diminimalisasikan asalkan ada kebijakan yang berorientasi pada nilai-nilai budaya
dari pihak pemerintah.
Menuju Masyarakat Industri
Barangkali sebuah lirik lagu Kla Project berjudul Yogyakarta yang berbunyi tiap sudut
menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna mengingatkan kita mengenai sebuah arti kata
istimewa bagi Jogja. Jika lirik itu ditafsirkan, keistimewaan yang ditunjukkan Jogja terletak pada
mental kolektif masyarakatnya. Pertanyaannya adalah masih samakah situasi di dalam lirik lagu itu
dengan realitas sosial masyarakat Jogja sekarang? atau Jogja saat ini telah berbeda dengan Jogja
yang dimaksudolehKlaProjectdalamlagunyaitu? Tampaknya,pengertianterakhirlahyangmenjadi
jawabannya karena fenomena yang ditunjukkan oleh mental dan kultur kolektif masyarakat Jogja
saat ini tengah beralih menuju masyarakat industri. Mental dan kolektivitas kultural masyarakat
Jogja di dalam aspek tertentu memang masih tampak, tetapi tengah mengalami degradasi yang
masif.
Sebuah contoh kecil mengenai lunturnya mental dan kultur kolektif yang menandakan
ketidakpedulian sosial ketika kita memperhatikan tingkah masyarakat di tempat umum misalnya,
seseorang akan lebih asik dengan gadget atau telepon genggamnya daripada beramah-tamah
1 Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia,UniversitasSebelas MaretSurakarta,aktif dalamlingkar studi Serikat
Pekerja Sastra Indonesia,tinggal di Yogyakarta.
dengan orang di sekelilingnya. Keramahan masyarakat pun tampaknya juga sudah berbeda
dibandingkan dengan satu dasawarsa yang lalu. Munculnya permukiman pekerja yang tidak
mengenal satu sama lain di lingkungan sekitarnya menandai adanya sebuah komunitas semu yang
tidakdiikatkanolehikatanprimordial sehinggatidak memiliki kolektivitas kultural yang kuat. Hal ini
menurutMarx adalahsebuahkonsekuensi logisyangharusditerimasebagaimanadikutipoleh Franz
Magnis Suseno dalam Pemikiran Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (1999)
bahwa kapitalisme dan industrialisasi selain menghadirkan konflik kelas juga menghadirkan
keterasingan di masyarakat.
Ujung dari diskursus mengenai perubahan masyarakat menuju industrialisasi yang tengah
dihadapi Jogja saat ini adalah berkembangnya pusat-pusat kebudayaan populer. Yang harus
diwaspadai dari budaya populer menurut Chris Barker dalam Cultural Studies: Teori dan Praktik
(2013) adalah selalu menjadi alat bagi kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan, apapun cara
yang harusditempuh.Berkaitan dengan hal itu, perubahan tagline Jogja harus diiringi juga sebagai
sebuah kesadaran kultural untuk terus menjaga mentalitas dan kultur kolektif sebagai sebuah
semangat keistimewaan. Tumbuhnya mal, hotel-hotel mewah, dan pusat-pusat kebudyaan pop
harus diimbangi dengan jaminan keberlangsungan pelestari budaya, even seni dan budaya
difasilitasi, ketersediaan ruang publik yang memadai, dan pembangunan manusia didukung
sepenuhnya oleh pemerintah. Kapitalisme tidak mungkin lagi untuk dihindari, tetapi upaya
mempertahankankeistimewaanJogjadengansegalastrategi budayatepatjugabukanmimpi belaka.
Satu yang harus diyakini bahwa sepanjang mental dan kultur kolektif terus dapat dipertahankan,
maka sepanjang itulah Jogja akan tetap istimewa.

More Related Content

Merawat keistimewaan yogyakarta

  • 1. Merawat Keistimewaan Yogyakarta Oleh: Bagus Kurniawan1 Perubahan tagline Jogja dari Jogja Never Ending Asia menjadi Jogja Istimewa yang diresmikan oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam rapat koordinasi rebranding di Kantor Gubernur, Kepatihan, Kota Yogyakarta (5/2/2015) harus disambut dengan baik dan kesadaran spiritual yang sebenar-benarnya. Pergantian tagline tersebut harus dimaknai sekaligus diimbangi dengan semangatuntukmenghidupkankembali ruhbudayadi KotaYogyakarta.Persoalanini sangatpenting untuk segera disadari karena Jogja cenderung berkembang menjadi kota yang akrab bagi kaum kapitalis. Pembangunan Jogja didominasi oleh tumbuhnya pusat-pusat perbelanjaan, mal, hotel, kawasan ekonomi, dan pusat-pusat perkembangan kebudayaan populer. Perkembangan itu menunjukkanbahwaJogja tengah menuju masyarakat industri. Metamorfosis kultural yang terjadi seolah-olah meninggalkan semangat dan mentalitas kebudayaan Jawa. Memberi ruang bagi para pelaku usaha untuk berinvestasi memang sah-sah saja, tetapi keterjagaan kebudayaan dan mentalitas kolektif sebagai pilar kehidupan pembentukan manusia yang bermartabat tidak boleh dilupakan. Keistimewaan Jogjatidakterletakpadajumlahmal,jumlahhotel mewah, cafe-cafe mewah, atau tempat hiburan malam yang penuh glamor, namun terletak pada kelestarian budaya serta mental kolektif masyarakatnya. Oleh sebab itu, keberlangsungan dan kelestarian peradaban yang ramah terhadapsesamamanusiaharusterus diperhatikan. Harus seimbang dengan perkembangan industrialisasi,jumlahruangpublikharusditambah,even-evenbudayaharusdidukung sepenuhnya, dan fasilitaspenunjangpendidikanbagi siswaperluditingkatkan sehingga kebijakan-kebijakan yang berujung pada pembangunan citra perlu ditinggalkan. Terkikisnya mental dan kultur kolektif yang diiringi perubahan sosial menuju masyarakat industri memang tidak hanya terjadi di Jogja, namun semuaitudapat diminimalisasikan asalkan ada kebijakan yang berorientasi pada nilai-nilai budaya dari pihak pemerintah. Menuju Masyarakat Industri Barangkali sebuah lirik lagu Kla Project berjudul Yogyakarta yang berbunyi tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna mengingatkan kita mengenai sebuah arti kata istimewa bagi Jogja. Jika lirik itu ditafsirkan, keistimewaan yang ditunjukkan Jogja terletak pada mental kolektif masyarakatnya. Pertanyaannya adalah masih samakah situasi di dalam lirik lagu itu dengan realitas sosial masyarakat Jogja sekarang? atau Jogja saat ini telah berbeda dengan Jogja yang dimaksudolehKlaProjectdalamlagunyaitu? Tampaknya,pengertianterakhirlahyangmenjadi jawabannya karena fenomena yang ditunjukkan oleh mental dan kultur kolektif masyarakat Jogja saat ini tengah beralih menuju masyarakat industri. Mental dan kolektivitas kultural masyarakat Jogja di dalam aspek tertentu memang masih tampak, tetapi tengah mengalami degradasi yang masif. Sebuah contoh kecil mengenai lunturnya mental dan kultur kolektif yang menandakan ketidakpedulian sosial ketika kita memperhatikan tingkah masyarakat di tempat umum misalnya, seseorang akan lebih asik dengan gadget atau telepon genggamnya daripada beramah-tamah 1 Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia,UniversitasSebelas MaretSurakarta,aktif dalamlingkar studi Serikat Pekerja Sastra Indonesia,tinggal di Yogyakarta.
  • 2. dengan orang di sekelilingnya. Keramahan masyarakat pun tampaknya juga sudah berbeda dibandingkan dengan satu dasawarsa yang lalu. Munculnya permukiman pekerja yang tidak mengenal satu sama lain di lingkungan sekitarnya menandai adanya sebuah komunitas semu yang tidakdiikatkanolehikatanprimordial sehinggatidak memiliki kolektivitas kultural yang kuat. Hal ini menurutMarx adalahsebuahkonsekuensi logisyangharusditerimasebagaimanadikutipoleh Franz Magnis Suseno dalam Pemikiran Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (1999) bahwa kapitalisme dan industrialisasi selain menghadirkan konflik kelas juga menghadirkan keterasingan di masyarakat. Ujung dari diskursus mengenai perubahan masyarakat menuju industrialisasi yang tengah dihadapi Jogja saat ini adalah berkembangnya pusat-pusat kebudayaan populer. Yang harus diwaspadai dari budaya populer menurut Chris Barker dalam Cultural Studies: Teori dan Praktik (2013) adalah selalu menjadi alat bagi kaum kapitalis untuk mengeruk keuntungan, apapun cara yang harusditempuh.Berkaitan dengan hal itu, perubahan tagline Jogja harus diiringi juga sebagai sebuah kesadaran kultural untuk terus menjaga mentalitas dan kultur kolektif sebagai sebuah semangat keistimewaan. Tumbuhnya mal, hotel-hotel mewah, dan pusat-pusat kebudyaan pop harus diimbangi dengan jaminan keberlangsungan pelestari budaya, even seni dan budaya difasilitasi, ketersediaan ruang publik yang memadai, dan pembangunan manusia didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Kapitalisme tidak mungkin lagi untuk dihindari, tetapi upaya mempertahankankeistimewaanJogjadengansegalastrategi budayatepatjugabukanmimpi belaka. Satu yang harus diyakini bahwa sepanjang mental dan kultur kolektif terus dapat dipertahankan, maka sepanjang itulah Jogja akan tetap istimewa.