際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
UJIAN AKHIR SEMESTER 
METODE ARKEOLOGI II 
BETSY EDITH CHRISTIE 
0906521713 
UNIVERSITAS INDONESIA 
2010
ABSTRAK 
Pandangan Tafonomi dalam Arkeologi: 
Penilaian Kembali Atas Teori dan Metode 
Tafonomi merupakan salah satu studi di dalam ilmu geologi yang mempengaruhi 
proses transformasi di dalam ilmu arkeologi. Dengan menguraikan proses 
transformasi, artikel ini berusaha untuk menunjukkan penggunaan transformasi 
pada penelitian arkeologi di Indonesia. Di dalam penelitian, tidak hanya proses 
transformasi saja yang dikaji, proses tingkah laku pun perlu dibahas. Faktor 
penyebab dan berbagai jenis transformasi diuraikan pula di dalam artikel ini untuk 
menjadi bahan pertimbangan terhadap teori dan metode yang digunakan dalam 
penelitian. Pada akhir pembahasan, diungkapkan bahwa peneliti arkeologi 
Indonesia sendiri yang dapat menentukan teori tafonomi perlu dipertimbangkan 
atau tidak.
2) Pada dasarnya, tahapan dalam analisis artefak, fitur, dan ekofak memiliki 
persamaan dalam hal melakukan identifikasi dan klasifikasi. Namun di dalam 
analisis itu sendiri tidak sama. Hal ini didukung oleh Sharer dan Ashmore dalam 
bukunya Archaeology: Discovering Our Past yang mengungkapkan bahwa tahap-tahap 
analisis pada artefak dan fitur pada dasarnya sama. Hal ini dikarenakan 
keduanya dihasilkan oleh manusia. 
Namun, analisis ekofak berbeda dengan analisis artefak dan fitur karena 
tidak dihasilkan oleh kegiatan manusia. Ekofak sendiri mencerminkan aktivitas 
manusia. Berdasarkan Wanny Rahardjo Wahyudi (1985) dalam skripsinya 
Beberapa Metode Analisis Tembikar di Indonesia berdasarkan Penelitian Tahun 
1973-1983 dan Sharer dan Ashmore dalam bukunya Archaeology: Discovering 
Our Past maka berikut akan diuraikan tahap-tahap analisis artefak, fitur, dan 
ekofak: 
1. Analisis artefak dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap 
atribut-atribut antara lain bentuk, teknik pembuatan, teknik hias, motif 
hias, bahan, dan warna. Setelah melakukan identifikasi berdasarkan atribut 
maka dapat dilakukan klasifikasi baik secara analitis maupun taksonomi 
untuk menghasilkan pengelompokan tipe. 
Tipe-tipe tersebut antara lain artefak batu yang dapat dianalisis 
berdasarkan teknologi dan fungsi, artefak keramik yaitu tembikar dan 
artefak logam yang dapat dianalisis berdasarkan stilistik, bentuk, fungsi, 
dan teknologi, dan artefak yang terbuat dari bahan organik yang dianalisis 
berdasarkan bentuk. Hasil dari klasifikasi pada analisis ini akan dapat 
membantu untuk merekonstruksi kebudayaan di masa lalu. 
2. Analisis fitur melibatkan analisis formal, statistik, dan teknologi. 
Di dalam analisis fitur dapat dilakukan identifikasi temuan dalam 
keletakkannya di sebuah lokasi dan pola susunannya yang ada pada 
kehidupan manusia di masa lalu. Di dalam melakukan analisis fitur 
dibutuhkan pula pemahaman mengenai provenience, asosiasi, dan konteks. 
Selanjutnya, maka dapat dilakukan klasifikasi terhadap fitur yang 
terdiri dari dua tipe yaitu construsted dan cumulative features. Analisis
construsted features dapat dikaji dengan melakukan analisis atribut-atribut 
antara lain bentuk, gaya, teknologi, lokasi, dan kombinasi. Sedangkan 
analisis cumulative features dapat dianalisis dengan melakukan 
identifikasi berdasarkan atribut-atribut antara lain bentuk, lokasi, dan 
teknologi. 
3. Analisis ekofak dimulai dengan melakukan klasifikasi temuan 
berdasarkan tiga kategori umum yaitu tumbuhan, binatang, dan batuan. 
Dengan adanya tiga kategori umum ini maka dapat mempermudah dalam 
melakukan klasifikasi terhadap ekofak itu sendiri. Selanjutnya, dilakukan 
identifikasi dengan dibantu ilmu disiplin lain yaitu botani, zoologi, dan 
geologi. Analisis ini dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap 
ekofak yang berkaitan atau digunakan oleh manusia di masa lalu. 
Klasifikasi tipe yang akan didapat dengan analisis ini antara lain 
tumbuhan yang terdiri dari microbotanicals dan macrobotanicals, binatang 
yang termasuk di dalamnya mummified, skeletal, dan coprolite materials, 
dan batuan yang terdiri dari tanah dan endapan. Klasifikasi tumbuhan, 
binatang, dan batuan dapat menggambarkan kondisi lingkungan, aktivitas 
yang dilakukan manusia untuk bertahan hidup, dan berbagai kegiatan lain 
di masa lalu.
3) Wanny Rahardjo Wahyudi (1985) dalam skripsinya Beberapa Metode 
Analisis Tembikar di Indonesia berdasarkan Penelitian Tahun 1973-1983 yang 
mengacu pada Clarke mengungkapkan bahwa analisis khusus adalah analisis yang 
melakukan pengamatan terhadap ciri intrinsik dan sifat fisik data arkeologi 
berdasarkan identifikasi terhadap bentuk, ukuran, hiasan, warna, bahan, jejak-jejak 
pembuatan, dan bekas-bekas pemakaian. Analisis khusus dapat dilakukan 
dengan analisis lahiriah dan laboratorium. Analisis lahiriah dilakukan dengan 
mengamati atribut pada temuan. Sedangkan, analisis laboratorium dilakukan 
dengan mengamati sifat fisik temuan misalnya kandungan mineral di dalamnya. 
Analisis khusus dilakukan untuk mengetahui ide di dalam pembuatan 
temuan. Tahap-tahap di dalam analisis khusus: 
1. Melakukan identifikasi atribut yang ada pada temuan antara lain 
bentuk, teknik pembuatan, teknik hias, motif hias, bahan, dan warna. 
2. Selanjutnya, dilakukan klasifikasi secara analitis maupun taksonomi 
untuk memperoleh kelompok tipologi. 
3. Setelah mendapatkan kelompok tipologi maka dilakukan penghitungan 
untuk mengetahui sebaran temuan di dalam kelompoknya atau sebaran 
kelompok di dalam situs. 
4. Tahap selanjutnya, ciri-ciri dari masing-masing tipe diungkapkan 
dalam uraian kalimat, gambar, foto, dan tabulasi. Tabulasi merupakan 
hal penting dalam proses analisis karena di dalamnya ditampilkan data 
yang jelas, ringkas, dan mudah dipahami. 
Contoh analisis khusus adalah pada pipisan dari Situs Trowulan yang 
diungkapkan oleh Yusmaini Eriawati J. dalam artikel Analisis Cara Pakai 
Peralatan Studi Kasus Pipisan dari Situs Trowulan. Dalam artikel ini 
diungkapkan bahwa analisis khusus diawali dengan melakukan identifikasi 
berdasarkan bentuk yang nantinya akan menghasilkan tipe. Analisis khusus biasa 
dilakukan dengan pendekatan etik. Namun, di dalam studi kasus pipisan di Situs 
Trowulan ini, digunakan pendekatan emik yaitu identifikasi dari pelaku bukan 
peneliti, pendekatan etnoarkeologi, dan percobaan peniruan. Analisis khusus
nampak jelas di dalam studi kasus ini dengan adanya analisis yang dilakukan 
terhadap jejak kaki yang ada pada pipisan. Dengan adanya analisis jejak kaki 
maka dapat membantu pemecahan masalah pada studi kasus itu sendiri yaitu 
untuk mengetahui cara pakai pipisan. 
4) Wanny Rahardjo Wahyudi (1985) dalam skripsinya Beberapa Metode 
Analisis Tembikar di Indonesia berdasarkan Penelitian Tahun 1973-1983 yang 
mengacu pada Clarke mengungkapkan bahwa analisis konteks adalah analisis 
yang dilakukan dengan meletakkan data arkeologi yaitu artefak, ekofak, dan fitur 
ke dalam konteks ruang. Konteks ruang antara lain berupa satuan spit/lot, lapisan 
tanah, kotak gali, situs, atau kawasan. Selain itu, analisis konteks membahas pula 
mengenai hubungan antar temuan dan persebaran dalam waktu. Analisis konteks 
memiliki tujuan untuk mengetahui fungsi dan kronologi relatif dari suatu temuan. 
Wahyudi yang mengacu pada Fagan mengungkapkan bahwa di dalam 
analisis konteks diperlukan pemahaman mengenai provinience yang meliputi 
keletakan dalam bujur, lintang, dan kedalaman, matriks yaitu media fisik yang 
berada di sekitar temuan misalnya tanah humus, berpasir, dan lempung, dan 
asosiasi yaitu hubungan antar temuan yang dapat membantu identifikasi fungsi 
temuan. 
Contoh analisis konteks adalah pada temuan kubur tempayan di Situs 
Plawangan, Jawa Tengah, yang ditulis oleh Fadbila Arifin Aziz dalam artikel 
Simbolisasi dalam Praktek Kubur Tempayan Masa Paleometalik: Kajian Atas 
Data Konteks Kubur yang mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Haris 
Sukendar pada tahun 1977. Pada situs ini ditemukan tempayan yang berisi rangka 
manusia dan adapula yang berisi manik-manik. 
Dengan melakukan analisis konteks terhadap adanya temuan rangka di 
dalam tempayan dengan tempayan itu sendiri maka dapat membuktikan bahwa 
adanya penggunaan tempayan sebagai wadah kubur. Sedangkan analisis yang 
dilakukan terhadap tempayan dengan manik-manik yang ada di dalamnya, dapat 
mengindikasikan adanya penggunaan tempayan sebagai bekal kubur.
DAFTAR PUSTAKA 
Aziz, Fadbila Arifin. Simbolisasi dalam Praktek Kubur Tempayan Masa 
Paleometalik: Kajian Atas Data Konteks Kubur. Amerta: Berkala Arkeologi, 
no. 15. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1994-1995. 
J., Yusmaini Eriawati. Analisis Cara Pakai Peralatan Studi Kasus Pipisan dari 
Situs Trowulan. Pertemuan Ilmiah Arkeologi V:159. Yogyakarta: Ikatan Ahli 
Arkeologi Indonesia, 1989. 
Sharer, Robert J., dan Wendy Ashmore. Archaeology: Discovering Our Past. 
New York: McGraw-Hill, 2003. 
Wahyudi, Wanny Rahardjo. Beberapa Metode Analisis Tembikar di Indonesia 
berdasarkan Penelitian Tahun 1973-1983. Jakarta: FSUI, 1985.

More Related Content

Metode Arkeologi II

  • 1. UJIAN AKHIR SEMESTER METODE ARKEOLOGI II BETSY EDITH CHRISTIE 0906521713 UNIVERSITAS INDONESIA 2010
  • 2. ABSTRAK Pandangan Tafonomi dalam Arkeologi: Penilaian Kembali Atas Teori dan Metode Tafonomi merupakan salah satu studi di dalam ilmu geologi yang mempengaruhi proses transformasi di dalam ilmu arkeologi. Dengan menguraikan proses transformasi, artikel ini berusaha untuk menunjukkan penggunaan transformasi pada penelitian arkeologi di Indonesia. Di dalam penelitian, tidak hanya proses transformasi saja yang dikaji, proses tingkah laku pun perlu dibahas. Faktor penyebab dan berbagai jenis transformasi diuraikan pula di dalam artikel ini untuk menjadi bahan pertimbangan terhadap teori dan metode yang digunakan dalam penelitian. Pada akhir pembahasan, diungkapkan bahwa peneliti arkeologi Indonesia sendiri yang dapat menentukan teori tafonomi perlu dipertimbangkan atau tidak.
  • 3. 2) Pada dasarnya, tahapan dalam analisis artefak, fitur, dan ekofak memiliki persamaan dalam hal melakukan identifikasi dan klasifikasi. Namun di dalam analisis itu sendiri tidak sama. Hal ini didukung oleh Sharer dan Ashmore dalam bukunya Archaeology: Discovering Our Past yang mengungkapkan bahwa tahap-tahap analisis pada artefak dan fitur pada dasarnya sama. Hal ini dikarenakan keduanya dihasilkan oleh manusia. Namun, analisis ekofak berbeda dengan analisis artefak dan fitur karena tidak dihasilkan oleh kegiatan manusia. Ekofak sendiri mencerminkan aktivitas manusia. Berdasarkan Wanny Rahardjo Wahyudi (1985) dalam skripsinya Beberapa Metode Analisis Tembikar di Indonesia berdasarkan Penelitian Tahun 1973-1983 dan Sharer dan Ashmore dalam bukunya Archaeology: Discovering Our Past maka berikut akan diuraikan tahap-tahap analisis artefak, fitur, dan ekofak: 1. Analisis artefak dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap atribut-atribut antara lain bentuk, teknik pembuatan, teknik hias, motif hias, bahan, dan warna. Setelah melakukan identifikasi berdasarkan atribut maka dapat dilakukan klasifikasi baik secara analitis maupun taksonomi untuk menghasilkan pengelompokan tipe. Tipe-tipe tersebut antara lain artefak batu yang dapat dianalisis berdasarkan teknologi dan fungsi, artefak keramik yaitu tembikar dan artefak logam yang dapat dianalisis berdasarkan stilistik, bentuk, fungsi, dan teknologi, dan artefak yang terbuat dari bahan organik yang dianalisis berdasarkan bentuk. Hasil dari klasifikasi pada analisis ini akan dapat membantu untuk merekonstruksi kebudayaan di masa lalu. 2. Analisis fitur melibatkan analisis formal, statistik, dan teknologi. Di dalam analisis fitur dapat dilakukan identifikasi temuan dalam keletakkannya di sebuah lokasi dan pola susunannya yang ada pada kehidupan manusia di masa lalu. Di dalam melakukan analisis fitur dibutuhkan pula pemahaman mengenai provenience, asosiasi, dan konteks. Selanjutnya, maka dapat dilakukan klasifikasi terhadap fitur yang terdiri dari dua tipe yaitu construsted dan cumulative features. Analisis
  • 4. construsted features dapat dikaji dengan melakukan analisis atribut-atribut antara lain bentuk, gaya, teknologi, lokasi, dan kombinasi. Sedangkan analisis cumulative features dapat dianalisis dengan melakukan identifikasi berdasarkan atribut-atribut antara lain bentuk, lokasi, dan teknologi. 3. Analisis ekofak dimulai dengan melakukan klasifikasi temuan berdasarkan tiga kategori umum yaitu tumbuhan, binatang, dan batuan. Dengan adanya tiga kategori umum ini maka dapat mempermudah dalam melakukan klasifikasi terhadap ekofak itu sendiri. Selanjutnya, dilakukan identifikasi dengan dibantu ilmu disiplin lain yaitu botani, zoologi, dan geologi. Analisis ini dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap ekofak yang berkaitan atau digunakan oleh manusia di masa lalu. Klasifikasi tipe yang akan didapat dengan analisis ini antara lain tumbuhan yang terdiri dari microbotanicals dan macrobotanicals, binatang yang termasuk di dalamnya mummified, skeletal, dan coprolite materials, dan batuan yang terdiri dari tanah dan endapan. Klasifikasi tumbuhan, binatang, dan batuan dapat menggambarkan kondisi lingkungan, aktivitas yang dilakukan manusia untuk bertahan hidup, dan berbagai kegiatan lain di masa lalu.
  • 5. 3) Wanny Rahardjo Wahyudi (1985) dalam skripsinya Beberapa Metode Analisis Tembikar di Indonesia berdasarkan Penelitian Tahun 1973-1983 yang mengacu pada Clarke mengungkapkan bahwa analisis khusus adalah analisis yang melakukan pengamatan terhadap ciri intrinsik dan sifat fisik data arkeologi berdasarkan identifikasi terhadap bentuk, ukuran, hiasan, warna, bahan, jejak-jejak pembuatan, dan bekas-bekas pemakaian. Analisis khusus dapat dilakukan dengan analisis lahiriah dan laboratorium. Analisis lahiriah dilakukan dengan mengamati atribut pada temuan. Sedangkan, analisis laboratorium dilakukan dengan mengamati sifat fisik temuan misalnya kandungan mineral di dalamnya. Analisis khusus dilakukan untuk mengetahui ide di dalam pembuatan temuan. Tahap-tahap di dalam analisis khusus: 1. Melakukan identifikasi atribut yang ada pada temuan antara lain bentuk, teknik pembuatan, teknik hias, motif hias, bahan, dan warna. 2. Selanjutnya, dilakukan klasifikasi secara analitis maupun taksonomi untuk memperoleh kelompok tipologi. 3. Setelah mendapatkan kelompok tipologi maka dilakukan penghitungan untuk mengetahui sebaran temuan di dalam kelompoknya atau sebaran kelompok di dalam situs. 4. Tahap selanjutnya, ciri-ciri dari masing-masing tipe diungkapkan dalam uraian kalimat, gambar, foto, dan tabulasi. Tabulasi merupakan hal penting dalam proses analisis karena di dalamnya ditampilkan data yang jelas, ringkas, dan mudah dipahami. Contoh analisis khusus adalah pada pipisan dari Situs Trowulan yang diungkapkan oleh Yusmaini Eriawati J. dalam artikel Analisis Cara Pakai Peralatan Studi Kasus Pipisan dari Situs Trowulan. Dalam artikel ini diungkapkan bahwa analisis khusus diawali dengan melakukan identifikasi berdasarkan bentuk yang nantinya akan menghasilkan tipe. Analisis khusus biasa dilakukan dengan pendekatan etik. Namun, di dalam studi kasus pipisan di Situs Trowulan ini, digunakan pendekatan emik yaitu identifikasi dari pelaku bukan peneliti, pendekatan etnoarkeologi, dan percobaan peniruan. Analisis khusus
  • 6. nampak jelas di dalam studi kasus ini dengan adanya analisis yang dilakukan terhadap jejak kaki yang ada pada pipisan. Dengan adanya analisis jejak kaki maka dapat membantu pemecahan masalah pada studi kasus itu sendiri yaitu untuk mengetahui cara pakai pipisan. 4) Wanny Rahardjo Wahyudi (1985) dalam skripsinya Beberapa Metode Analisis Tembikar di Indonesia berdasarkan Penelitian Tahun 1973-1983 yang mengacu pada Clarke mengungkapkan bahwa analisis konteks adalah analisis yang dilakukan dengan meletakkan data arkeologi yaitu artefak, ekofak, dan fitur ke dalam konteks ruang. Konteks ruang antara lain berupa satuan spit/lot, lapisan tanah, kotak gali, situs, atau kawasan. Selain itu, analisis konteks membahas pula mengenai hubungan antar temuan dan persebaran dalam waktu. Analisis konteks memiliki tujuan untuk mengetahui fungsi dan kronologi relatif dari suatu temuan. Wahyudi yang mengacu pada Fagan mengungkapkan bahwa di dalam analisis konteks diperlukan pemahaman mengenai provinience yang meliputi keletakan dalam bujur, lintang, dan kedalaman, matriks yaitu media fisik yang berada di sekitar temuan misalnya tanah humus, berpasir, dan lempung, dan asosiasi yaitu hubungan antar temuan yang dapat membantu identifikasi fungsi temuan. Contoh analisis konteks adalah pada temuan kubur tempayan di Situs Plawangan, Jawa Tengah, yang ditulis oleh Fadbila Arifin Aziz dalam artikel Simbolisasi dalam Praktek Kubur Tempayan Masa Paleometalik: Kajian Atas Data Konteks Kubur yang mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Haris Sukendar pada tahun 1977. Pada situs ini ditemukan tempayan yang berisi rangka manusia dan adapula yang berisi manik-manik. Dengan melakukan analisis konteks terhadap adanya temuan rangka di dalam tempayan dengan tempayan itu sendiri maka dapat membuktikan bahwa adanya penggunaan tempayan sebagai wadah kubur. Sedangkan analisis yang dilakukan terhadap tempayan dengan manik-manik yang ada di dalamnya, dapat mengindikasikan adanya penggunaan tempayan sebagai bekal kubur.
  • 7. DAFTAR PUSTAKA Aziz, Fadbila Arifin. Simbolisasi dalam Praktek Kubur Tempayan Masa Paleometalik: Kajian Atas Data Konteks Kubur. Amerta: Berkala Arkeologi, no. 15. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1994-1995. J., Yusmaini Eriawati. Analisis Cara Pakai Peralatan Studi Kasus Pipisan dari Situs Trowulan. Pertemuan Ilmiah Arkeologi V:159. Yogyakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1989. Sharer, Robert J., dan Wendy Ashmore. Archaeology: Discovering Our Past. New York: McGraw-Hill, 2003. Wahyudi, Wanny Rahardjo. Beberapa Metode Analisis Tembikar di Indonesia berdasarkan Penelitian Tahun 1973-1983. Jakarta: FSUI, 1985.