1. Occupy Wall Street, Gerakan Lawan Keserakahan dan Kesenjangan Mulai
Merambah Seluruh Dunia
Berawal dari aksi dari segelintir orang di pertengah bulan September lalu, gerakan Occupy Wall
Street telah mulai menggurita dan menyebar ke kota-kota lain di AS, bahkan sampai ke seluruh
dunia. Aksi yang menyuarakan protes terhadap keserakahan perusahaan-perusahaan besar dan
kesenjangan social yang makin melebar ini bahkan juga dapat kita temui di Jakarta tercinta.
Awal mula dari aksi protes ini adalah dari aktivis asal Kanada Adbusters. Slogan dari para
peserta aksi ini adalah Kami adalah yang 99% (We are the 99%) mengacu kepada perbedaan
antara kekayaan 1% orang paling kaya di AS dengan sisanya 99% dari masyarakat AS.
Meskipun para peserta aksi protes tersebut meyuarakan keluhan yang berbeda-beda dan
kepentingan yang belainan, akan tetapi seluruhnya menyuarakan rasa frustasi mengenai kondisi
ekonomi dan tingkat pengangguran yang tinggi yang terjadi di AS tersebut.
Salah satu hal penting yang disuarakan oleh para peserta protes merupakan kekesalan mengenai
kebijakan pemerintah AS yang justru menyuntikkan miliar dolar uang pembayar pajak untuk
membantu bank-bank besar, yang notabene merupakan biang kerok dari krisis sub prime yang
menjadi pangkal masalah krisis keuangan di AS yang menyebar ke seluruh dunia, yang
dampaknya masih dirasakan hingga saat ini.
Bank-bank besar di AS seperti Citigroup dan Goldman Sachs telah menerima dana bantuan dari
pemerintah karena mereka terlalu besar untuk bangkrut (too big to fail). Istilah ini mengacu
kepada institusi keuangan yang apabila bangkrut menyimpan potensi besar untuk menimbulkan
risiko sistemik.
Asia dan Indonesia Juga Bersuara
Aksi-aksi serupa bisa kita dapati bukan hanya di AS dan Eropa. Bahkan Negara-negara Asia
sudah mulai tertular aksi-aksi ini. Di Asia sendiri pangkah permasalahan yang menjadi isu utama
bukan mengenai protes terhadap kebijakan pemerintah yang membuang dana miliaran dolar
untuk membantu sector perbankan, akan tetapi intinya tetap sama yaitu ketidakpuasan mengenai
kesenjangan yang makin melebar antara si kaya dan si miskin. Hal ini dianggap mengancam bai
proses demokrasi.
Perkembangan Asia memang terlihat makin timpang. Ekonomi kawasan yang tumbuh antara 5-
7% per tahun tidak mampu terdistribusi dengan seimbang. Ketika kondisi ekonomi global mulai
mengarah kembali ke resesi tentunya yang paling menderita adalah masyarakat miskin.
Terlebih lagi kesenjangan ekonomi yang dalam di Asia tidak lepas dari akibat pejabat dan pihak
berwenang yang korup. Kondisi ini makin mengancam proses demokrasi, di mana kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah makin tipis.
Mestinya jika pertumbuhan ekonomi tinggi dan trickle-down effect terjadi, maka secara umum
tingkat kesejahteraan masyarakat di sebuah negera sudah pasti meningkat. Akan tetapi meskipun
2. teorinya demikian, nyatanya tingginya pertumbuhan ekonomi tersebut terkonsentrasi pada
beberapa persen penduduk saja, atau tidak teralokasikan dengan sempurna. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi menjadi indikator yang insufficient untuk
mengukur tingkat kesejahteraan sosial.
Disparitas pendapatan merupakan penyebab dari gagalnya pertumbuhan ekonomi menjadi tolak
ukur bagi tingkat kesejahteraan. Istilah ini menggambarkan bahwa terjadi perbedaan distribusi
aset ekonomi dan pendapatan di sebuah negara atau kawasan. Termin ini menunjukkan bahwa
telah terjadi ketidakadilan distribusi dalam individu atau kelompok dalam sebuah komunitas
dalam artian ada individu atau kelompok yang menguasai aset lebih besar dibandingkan individu
atau kelompok lain.