Teks tersebut membahas reaktualisasi nilai-nilai ungkapan tradisional Jawa dalam Pancasila. Nilai-nilai seperti keagamaan, kemanusiaan, persatuan, dan kerakyatan direaktualisasikan dalam sila-sila Pancasila berdasarkan analisis 250 ungkapan tradisional. Ungkapan-ungkapan itu mencerminkan nilai-nilai seperti keimanan, tanggung jawab, nasionalisme konstruktif, dan keseimbangan al
1 of 9
More Related Content
Pancasila jawa
1. III. REAKTUALISASI NILAI-NILAI UNGKAPAN TRADISIONAL DALAM
PANCASILA
Pada bagian ini dipaparkan nilai-nilai ungkapan tradisional yang direaktualisasi dalam nilai-nilai
yang masuk pada sila-sila Pancasila. Sebagai suatu teks yang berasal dari khasanah budaya dan
sastra, maka batas antara kutub nilai yang satu dengan yang lain bersifat relatif.
Dibawah ini adalah tabel nilai ungkapan tradisional yang dikategorisasikan dari 250 buah teks
ungkapan tradisional yang datanya diambil dari berbagai sumber kepustakaan.
No
Konsep/ sila
Sila I Sila II Sila III Sila IV Sila V
1 Agama tiang
kehidupan
Realistis
menghadapi
kehidupan
Kebersamaan Tertib religi,
sosial, dan
kosmos
Pemimpin yang
adil dan
bijaksana
2 Tempat
memohon
Introspeksi untuk
keselarasan hidup
Nasionalisme Gotong
royong
3 Keimanan pada
Allah
Tanggung jawab
dalam kehidupan
Patriotisme
konstruktif
4 Tuhan Hati-hati dan
waspada pada
setiap tindakan5 Manusia
Berikut dipaparkan nilai-nilai ungkapan tradisional yang direaktualisasikan dalam konsep sila-
sila Pancasila.
I. Ketuhanan Yang Maha Esa
1) Agama tiang kehidupan
Agama ageming aji
Ungkapan tradisional tersebut mempunyai arti agama adalah busana yang mulia, atau dapat pula
diartikan sebagai agama harus menjadi landasan pandangan pemimpin dalam bertindak.
Agama adalah segenap kepercayaan atau keyakinan serta ajaran dan kewajiban-kewajiban yang
bertalian dengan kepercayaan atau keyakinan tersebut. A berarti tidak, gama artinya rusak. Jadi,
suatu keyakinan bila dipatuhi ajarannya maka membuat masyarakat tidak rusak. Bagi pandangan
masyarakat Jawa agama diibaratkan sebagai busana. Untuk kehidupannya, manusia
membutuhkan busana yang setiap hari dipakai. Untuk itu, busana yang paling berharga dan
mulia adalah agama. Dengan kata lain, agama adalah tiang kehidupan. Sementara ituseorang
pemimpin sebaiknya memimpin dengan dasar keagamaan. Bagi masyarakat Jawa, pemimpin
adalah juga pemimpin agama. Dengan demikian, rakyat akan menerima berkah atas
2. kedudukannya. Oleh karena itu, pemimpin harus memperhatikan rakyat. Konsep ini sejalan
dengan landasan Negara yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Allah tempat memohon
Hidup sangat keras, penuh perjuangan. Oleh karena itu, manusia hendaknya selalu berupaya
dan berdoa. Dibawah ini yang dimasukkan dalam kategori ini.
Manekung anungku samadi
Ungkapan tersebut mempunyai arti melakukan semedi, mengheningkan cipta dan berdoa
untuk memohon ridha dan pertolongan Allah.
Bagi masyarakat Jawa, samadi merupakan aktivitas yang sudah umum dilakukan generasi tua
untuk pengolahan jiwa, membersihkan jiwa dari yang negatif dan melakukan upaya untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Samadi akan menghasilkan jiwa yang bersih dengan keimanan
dan kearifan yang tinggi.
3) Keimanan pada Allah
Nilai ini ditunjukkan oleh ungkapan tradisional sebagai berikut.
a. Manungsa saderma nglakoni
Arti ungkapan tradisional tersebut adalah manusia sekedar menjalani. Manusia merencanakan
dan berusaha, namun Allah yang menentukan semuanya. Masyarakat Jawa menyikapi fenomena
kegagalan dari suatu usaha keras atau rencana dengan kepasrahan yang dalam. Kepasrahan
tersebut disertai keimanan yang tinggi karena disebutkan dalam ungkapan tradisional berikutnya.
b. Gusti ora sare
Allah tidak pernah tidur, Allah mengetahui apa yang dilakukan oleh manusia, baik yang secara
nyata maupun secara sembunyi. Orang Jawa meyakini bahwa Tuhan ada dimana-mana dan
mengetahui yang baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia, mengetahui orang yang sudah
melakukan perjuangan untuk kebaikan, pasti suatu ketika akan mendapat imbalan dari Allah.
Prinsip keimanan ini diyakini orang Jawa mampu membuat kehidupan jadi tentram. Nilai-nilai
tersebut mengandung sifat universal yang sesuai dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa.
c. Manunggaling kawula Gusti
Nilai tersebut bermakna kesatuan hamba dengan Tuhan. Ungkapan tradisional tersebut menjadi
konsep yang banyak menjadi dasar penulisan karya-karya sastra suluk. Konsep ini sering disebut
sebagai wahdatul wujud. Manusia yang sudah melakukan laku sampai tataran tertinggi akan
dapat bersatu dengan Tuhan. Dalam Suluk Wujil bahkan disebutkan tentang mistik cermin yang
dimaknai bahwa orang yang telah sempurna perbuatan baiknya maka manusia tersebut akan
memiliki sifat-sifat Tuhan. Olah karena itu, dengan keimanan yang tinggi maka manusia akan
mampu untuk mencapai laku tertinggi dengan ibadah. Seperti halnya orang yang bercermin, bila
cermin bersih akan mencerminkan semua keadaan benda/ orang yang bercermin. Konsep
manunggaling kawula Gusti juga sering dimaknai sebagai konsep manunggaling rakyat dengan
rajanya.
3. II. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Nilai ungkapan tradisional yang dapat dimasukkan dalam konsep tersebut adalah sebagai berikut.
a. Realistis menghadapi kehidupan
1) Asu rebutan balung
Yang bermakna orang yang memperebutkan barang yang sesungguhnya tidak perlu
diperebutkan. Oleh keadaan itu, maka diperlukan sikap realistis menghadapi kehidupan. Apabila
sejak semula masyarakat tahu apa yang diperebutkan tentu tidak terjadi perebutan.
2) Asu gedhe menang kerahe
Orang yang mempunyai pangkat yang tinggi, tentu mempunyai kekuasaan yang lebih besar.
Oleh karena masyarakat harus bersikap realistis, bahwa masyarakat harus mau diatur dan tidak
perlu cemburu, iri, dengki terhadap teman yang kebetulan menjadi penguasa/ pejabat di
lingkungannya.
3) Banyu pinarang ora bakal pedhot
Pertengkaran saudara tidak mungkin akan memutuskan tali persaudaraan. Oleh karena itu,
orang lain tidak perlu ikut campur karena justru akan merusak keadaan. Dengan sikap realistik
menghadapi kenyataan dalam kehidupan, maka masyarakat dapat saling menghormati karena
masyarakat menyadari kedudukan masing-masing.
b. Introspeksi diri
1) Becik ketitik ala ketara
Yang bermakna perbuatan baik dan buruk pasti akan dapat diketahui kelak kemudian hari.
Oleh karena itu, harus introspeksi diri terhadap perbuatan masing-masing.
2) Kebat kliwat gancang pincang
Ungkapan ini mempunyai makna bahwa bertindak terburu-buru pasti banyak orang tidak
puas karena banyak kekurangan.
Ungkapan-ungkapan tersebut mengandung pesan untuk selalu introspeksi diri agar selamat dan
pekerjaan yang dilakukan bisa berhasil.
Adanya introspeksi dalam diri manusia yang merupakan anggota masyarakat dan pemimpinmaka
tindakan dapat diukur. Adanya keseimbangan, akan terjadi keadilan dan masyarakat yang
beradab.
c. Tanggung jawab
Ungkapan tradisional yang mempunyai nilai tanggung jawab anggota masyarakat terhadap
sesama atau pemimpin pada anak buah terdapat pada ungkapan berikut.
1) Anak polah bapa kepradah
Yang mempunyai makna bahwa tingkah polah anak menjadi tanggung jawab orang tua.
Oleh karena itu, anak dan orang tua harus saling mengendalikan diri dan orang tua member
4. teladan serta modal yang baik untuk anak-anaknya agar menjadi anak-anak yang bisa
dibanggakan.
2) Bawa leksana
Arti ungkapan ini adalah menepati kata-kata. Orang Jawa mengajarkan agar manusia
menepati janji yang telah terucap dan menjalankan komitmennya.
Konsep tanggung jawab tampak pada ungkapan tradisional tersebut, dengan menyadari adanya
tanggung jawab tersebut maka orang hidup harus hati-hati dan waspada.
d. Hati-hati dan waspada
Ungkapan tradisional yang mengandung nilai hati-hati dan bersifat pepeling atau nasehat
adalah sebagai berikut.
1. Blaba wuda
Yang mempunyai makna bahwa disebabkan oleh terlalu baik dan tidak
pelitjustru semua yang dimiliki diberikan sehingga barangnya menjadi
tidak bersisa.
2. Mbidhung api rowang
Ungkapan tersebut mempunyai makna seolah-olah ingin menolong
namun sesungguhnya akan membuat persoalan.
3. Cedhak celeng boloten
Ungkapan tradisional ini mempunyai makna berdekatan dengan orang
yang mempunyai perilaku buruk, maka akan ikut berpengaruh
berperilaku buruk pula.
Orang Jawa mengajarkan bahwa hati-hati dan waspada dalam kehidupan membuat masyarakat
mempertimbangkan semua yang akan dilakukan agar tidak meleset dari sasaran, tidak menyakiti
orang, menimbulkan kenyamanan. Oleh karena itu, maka pemimpin yang melakukan
kepemimpinannya dengan penuh perhitungan matang pasti juga akan menimbulkan kebaikan.
Dapat disebutkan bahwa kehati-hatian dan kewaspadaan menjadikan bangsa lebih beradab.
III. Persatuan Indonesia
1) Nasionalisme
Menurut Ernest Renan (dalam Buletin Seni Budaya, 2007:6) menyebutkan bahwa nasionalisme
adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan bersama baik dalam pengorbanan maupun
dalam kebersamaan. Sementara menurut Benedick Anderson, nasionalisme didefinisikan sebagai
sebuah komunitas politik terbayang, semula dibayangkan dalam pikiran tentang sebuah
komunitas selanjutnya diterima sebagai persahabatan yang kuat dan dalam. Nasionalisme
merupakan perasaan bersama yang menjadi ikatan dan solidaritas. Dalam ungkapan tradisional
nasionalisme tampak pada:
5. a. Sabaya pati, sabaya mukti
Ungkapan tradisional tersebut mempunyai makna semangat untuk
bersama dalam keadaan apapun, diibaratkan kerukunan yang sampai
terbawa mati.
b. Rumangsa melu handarbeni, rumangsa wajib hangrungkebi, mulat
sarira hangrasa wani
Ungkapan tradisional tersebut bermakna orang merasa ikut memiliki,
merasa wajib membela, mencermati diri sendiri dan mawas diri.
c. Negara mawa tata, desa mawa cara
Yang berarti Negara mempunyai peraturan, desa memiliki
adat-istiadat. Masyarakat Jawa mengajarkan bahwa setiap anggota
masyarakat harus memahami, menghormati adat-istiadat masing-
masing. Dengan demikian akan tercipta harmoni. Pandangan
masyarakat Jawa terkait dengan semangat dan solidaritas bersama
bahwa masing-masing daerah mempunyai kekhususan yang akan
dibawa maju bersama menjadi cita-cita konsep persatuan Indonesia.
d. Mangan ora mangan kumpul
Makna yang menarik diungkapan oleh Laksono (2007:16) yang
menyatakan bahwa ungkapan Jawa seringkali mendua, arti yang
paradoksal.
Ungkapan tersebut harus dilihat dalam konteks sejarah saat
digunakannya ungkapan itu. Konon ungkapan tersebut merupakan
semboyan perjuangan Raden Wijaya ketika dalam keadaan terjerat
dan terkepung oleh tentara Tartar. Disebutkan makna ungkapan
tersebut bahwa meski dalam keadaan serba kekurangan karena
terkepung prajurit musuh, semangat nasionalisme ditumbuhkan
melalui semboyan itu agar prajurit Majapahit tetap bersatu.
2) Patriotisme konstruktif
Staub dalam Buletin Seni dan Budaya (2007) menyatakan bahwa patriotisme dibagi dalam
blind patriotism dan constructive patriotisme. Patriotisme buta adalah keterikatan kepada negara
dengan tidak mempertanyakan segala sesuatu, tetapi loyal dan tidak toleran terhadap kritik.
Patriotisme konstruktif juga tetap menuntut kesetiaan dan kecintaan rakyat terhadap bangsa,
namun tidak meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Pemimpin tidak selamanya benar, bahkan
sebutan orang tidak patriotis oleh seorang pemimpin bisa jadi berarti sebaliknya. Seorang layak
disebut patriot adalah orang yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.
Adapun nilai-nilai patriotisme konstruktif dalam ungkapan tradisional adalah sebagai berikut.
6. a. Sadumuk bathuk, sanyari bumi, den lakoni tekan pati, pecahing
dhadha wutahing ludira
Ungkapan tersebut mempunyai makna seberapa jangkauan bahkan
sampai seluas bumi, apabila sudah berniat membela akan dibela
sampai mati, pecahnya dada dan keluarnya darah. Jadi manusia Jawa
mengajarkan bahwa kehormatan atau harga diri dari tanah air
merupakan sesuatu yang sangat penting. Masyarakat sanggup
membelanya dengan taruhan nyawa. Disatu sisi, ungkapan tersebut
juga mengandung makna bahwa sentuhan di dahi oleh orang lain bagi
orang Jawa dapat dianggap sebagai penghinaan. Demikian pula
penyerobotan atas kepemilikan tanah walaupun luasnya hanya selebar
satu jari tangan.
b. Rawe-rawe rantas malang-malang putung
Ungkapan ini mengandung makna segala sesuatu yang menghalangi
harus disingkirkan. Ungkapan ini menyiratkan adanya patriotisme
konstruktif dimana masyarakat perlu mengusir musuh bersama-sama
masa kini yaitu korupsi, kebodohan, dan kemiskinan. Untuk mengusir
itu harus serius, sesuatu yang menghalangi harus dilawan atau
disingkirkan.
IV. Kerakyatan yang Dipimpim oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan Perwakilan
1. Tertib religi, sosial, dan kosmos
a. Aja nggege mangsa
Yang diartikan jangan mempercepat waktu. Ungkapan tersebut
mengandung ajaran bahwa manusia menjaga tertib religi, sosial, dan
kosmos agar segalanya berjalan melalui proses. Segala sesuatu yang
dilakukan secara instan akan tidak tahan lama dan dapat berakibat
buruk.
b. Memayu hayuning bawana
Artinya menjaga ketertiban dunia. Masyarakat Jawa mengajarkan
dengan menjaga ketertiban dunia maka tidak ada eksploitasi
lingkungan, terjadi saling menjaga. Selanjutnya kerusakan alam,
pencemaran dapat dikurangi.
7. 2. Gotong royong
Ungkapan tradisional yang memiliki nilai tersebut adalah:
a. Sayuk rukun saiyeg saeka praya
Yang artinya bersatunya perasaan antar individu, anggota masyarakat
untuk satu tujuan. Ungkapan tradisional ini menjadi roh
kegotongroyongan masyarakat yang terwujud dalam kegiatan bersama,
misalnya kerja bakti.
b. Gugur gunung
Ungkapan ini mempunyai makna kerja sosial yang harus dilakukan
secara bersama-sama untuk menyelesaikan kerja fisik yang besar,
sehingga diibaratkan seperti mau menghancurkan gunung.
Ungkapan tradisional tersebut kadang-kadang dipakai untuk kerja bakti memperbaiki fasilitas
desa. Masyarakat Jawa mengajarkan konsep kegotongroyongan untuk mengerjakan fasilitas
milik masyarakat sendiri.
Nilai-nilai tersebut menyerukan masyarakat untuk melakukan tertib religi, sosial, dan kosmos.
Nilai gotong royong merupakan nilai yang mengandung sifat universal.
V. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Pemimpin yang adil dan bijaksana:
a. Maju tanpa bala
Makna ungkapan tersebut adalah seorang pemimpin hendaknya berani bertanggung jawab
dan berada di garda depan tanpa didampingi anak buahnya. Makna implisit yang ada di
dalamnya adalah pemimpin harus bisa memayungi rakyat, bijaksana karena memikirkan
rakyat, dan adil ketika memperlakukannya.
b. Raja gung binathara
Ungkapan tradisional tersebut mempunyai makna raja besar (agung) seperti dewa. Raja
yang agung adalah raja yang mendapatkan keagungan dari rakyat, karena kebijaksanaan,
karisma, dan keadilan yang dimiliki sehingga kedudukan dan sifatnyaseperti dewa.
8. Kesimpulan
Ungkapan tradisional Jawa adalah harta cultural yang mencerminkan pandangan hidup, cita-cita,
dan keinginan masyarakat Jawa. Dewasa ini, ungkapan tradisional Jawa sudah tidak banyak yang
memahami maknanya. Untuk melestarikan dan mengembangkannya harus direaktualisasikan
dalam konteks yang lebih luas dan konsep yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Konsep nilai
tersebut adalah nilai dalam sila-sila Pancasila.
Adapun reaktualisasi nilai ungkapan tradisional antara lain
a. agama tiang kehidupan,
b. Allah tempat memohon,
c. Keimanan pada Allah,
d. Manunggaling kawula gusti direaktualisasi dalam Sila I Pancasila yaitu Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Nilai ungkapan tradisional
a. realistis menghadapi kehidupan,
b. introspeksi diri,
c. tanggung jawab,
d. hati-hati direaktualisasi dalam Sila ke II yakni Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab.
Nilai ungkapan tradisional
a. nasionalisme,
b. patriotism konstruktif dimasukkan dalam Sila ke III yaitu Persatuan Indonesia.
9. Nilai ungkapan tradisional
a. tertib religi, sosial, dan kosmos,
b. gotong royong direaktualisasikan dalam Sila ke IV, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.
Nilai ungkapan tradisional Pemimpin yang adil dan bijaksana dimasukkan dalam Sila ke V yakni
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.