際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
PARADIGMA BARU APOTEKER INDONESIA
Pembukaan
Tulisan ini bermaksud menggugah para pembaca khususnya para apoteker dan
memberikan gambaran sesungguhnya apa yang sudah terjadi dan yang sedang terjadi
dengan apoteker Indonesia serta upaya apa sejauh ini yang akan dilakukan IAI untuk
mengantisipasi agar kondisi ini tetap baik
Sekilas kalau kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah apoteker itu profesi seperti
halnya Notaris, Dokter, tentu kita menyatakan bahwa apoteker adalah profesi, namun
bila kita bertanya kepada petugas pajak apakah apoteker itu profesi atau tidak, mereka
menjawab tidak karena apoteker berjualan obat tidak memberikan pelayanan Jasa
sebagaimana halnya dokter dan notaris
Hal ini selaras dengan penyampaian materi pada Rakernas IAI tahun 2013 oleh
Habullah Tabrany seorang konsultan JKN bagaimana kondisi apoteker saat ini
Mainstream apoteker masih penjual obat atau membantu penjual obat, layanan
profesi-konsultasi, meyakinkan cara, dosis obat tapat, meningkatkan efektifitas terapi
obat dan lain-lain belum menjadi modus praktik, (Hasbullah Tabrany,2013)
Melihat pernyataan diatas sudah tentu menyedihkan, prihatin, betapa tidak apoteker
adalah satu profesi kesehatan yang mempunyai kedudukan terhormat, dihormati,
professional namun kenyataannya hanya sebagai pembantu penjual obat (PSA) kondisi
ini menggugah hati, oleh karena itu mulai terlihat upaya-upaya IAI untuk bertekad
mengubah, membenahi paradigma apoteker penjual obat menjadi paradigma baru
apoteker melaksanakan praktik dengan penuh tanggung jawab
Pada sisi lain (Hasbullah Tabrany,2013) menyampaikan pula bagaimana seharusnya
apoteker melaksanakan perannya dalam pelayanan kefarmasian dimasa mendatang :
Apoteker yang ideal adalah menjadi konsultan obat, memantau resep dokter yang
salah, tidak tepat dosis, menjelaskan kepada pasien cara dan waktu minum obat dan
lain-lain
Perubahan Paradigma
Perubahan paradigma baru adalah satu langkah penting yang dilaksanakan oleh IAI
untuk melihat jauh ke depan, bila para apoteker tidak disadarkan akan pentingnya
perubahan paradigma, maka apoteker tidak diperhitungkan lagi dan akan terlindas oleh
perubahan-perubahan lebih maju dari profesi kesehatan lain seperti dokter, dokter gigi,
bidan, perawat, sejalan dengan perkembangan pelayanan JKN.
Bila keadaan ini dibiarkan, selanjutnya peran apoteker akan hilang sehingga profesi
apoteker tidak perlu diperhitungkan oleh profesi kesehatan lain dan tidak dikenal oleh
masyarakat
Peraturan Per-UU belum berjalan
Apoteker adalah satu profesi yang banyak didukung oleh Peraturan dan Undang-
undang antara lain, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 1027/Menkes/SK/IX/2004
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Peraturan Pemerintah No. 51 tahun
2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, kedua peraturan ini sebagai upaya agar para
apoteker dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan baik, yang berikutnya
Undang-undang Kesehatan No. 36 Tentang Kesehatan pasal 108 yang telah mengalami
uji materi di Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa hanya apoteker yang dapat
mengelola obat karena apoteker mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu,
walaupun peraturan dan undang-undang sudah sangat baik namun apoteker tetap juga
tidak praktek
Sebagai satu organisasi yang mengayomi anggotanya, IAI, terus melaksanakan upaya
pembinaan terhadap anggotanya, berupaya menjadikan apoteker memiliki kompetensi
dengan melaksanakan CPD, seminar-seminar, SKPA, semua upaya ini untuk
mengangkat atau menempatkan apoteker sejajar dengan profesi kesehatan lainnya,
dan melaksanakan amanah peraturan per-undang-undangan
Upaya IAI
Upaya yang saat ini sedang dirintis oleh IAI adalah upaya pembenahan meningkatkan
partisipasi aktif apoteker, khususnya apoteker praktek swasta untuk dapat
menikmati jasa pelayanan dalam JKN namun belum berhasil, mengapa hal ini terjadi,
setelah mengkaji, dibahas, masalahnya tetap kembali kepada partisipasi aktif dalam
pelayanan atau bahasa mudahnya kehadiran apoteker di apotek sehingga seandainya
bila ada usulan dari IAI berkaitan peran apoteker dalam JKN kepada pemegang
kebijakan di Kementrian Kesehatan, selalu kembali mempertanyakan, bila usulan
tersebut diterima, apakah ada jaminan apoteker akan hadir di Apotek, kekuatiran lain
adalah jangan-jangan setelah diberi peran dalam JKN apoteker tetap tidak praktek.
Inilah salah satu permasalahan yang terjadi sampai saat ini, belum ada keyakinan,
masih terlihat keraguan pihak user, pemerintah, belum tertarik untuk melibatkan
apoteker dalam system pelayanan
Dengan melihat kontek ketidakhadiran apoteker, apoteker harus memahami
permasalahan, karena masih diragukan peran serta Apoteker dalam pelayanan
kefarmasian, maka jawabannya sederhana bahwa apoteker harus kembali kepada
peran apoteker sebagai seorang professional, jadikanlah apoteker sebagai profesi
tentunya dengan kemauan dan tanggung jawab
Kehadiran apoteker di apotek seperti disebutkan diatas adalah suatu tuntutan
perubahan paradigma apoteker, mau tidak mau, suka tidak suka adalah kewajiban yang
harus dilaksanakan, karena pelayanan berbagai profesi kesehatan, dokter, dokter gigi,
bidan, dan perawat merupakan pelayanan profesi terus berkembang pesat karena
mereka melakukan praktek profesi
Apoteker dalam JKN
Jaminan Kesehatan Nasional berjalan sejak awal Januari 2014, timbul pertanyaan
apakah apoteker yang bekerja di sarana pemerintah, swasta telah mendapatkan
perannya dalam JKN, terlihat kedudukan Apoteker dalam system JKN semakin jelas
sebagai jaringan dari pelayanan dokter, hal ini terlihat dari UU SJSN No. 40/2004 pasal
23 disebutkan manfaat jaminan kesehatan diberikan kepada fasilitas kesehatan
pemerintah dan swasta yang bekerjasama dengan BPJS; dan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan
Kesehatan Nasional, pasal 6 ayat (a.3) dokter praktek harus memiliki perjanjian
kerjasama dengan apotek bunyi pasal ini menjelaskan bila terjadi kerjasama antara
dokter praktek swasta (dps) dan apoteker yang juga berpraktek disarana swasta,
dengan demikian akan memberikan peluang bagi apoteker untuk mendapatkan take
home income dari BPJS
Komunitas apoteker swasta yang berada diluar sarana pelayanan kesehatan
pemerintah, yaitu apotek swasta, adalah komunitas terbesar jumlah apotekernya,
komunitas ini belum mendapat sentuhan dari peraturan yang ada sebagaimana
disebutkan pada Permenkes 71/2013,
Walaupun bunyi Pemenkes No. 71/2013 diatas menjelaskan kaharusan dokter praktek
swasta menjalin kerjasama dengan apotek Apoteker namun pada pelaksanaannya
belum terlihat kenyataannya, karena kebanyakan dokter keluarga pada masa Askes
yang sekarang disebut dokter praktek swasta (dps) bekerjasama dengan Pemilik Sarana
Apotek (PSA) bukan dengan Apoteker Penanggung Jawab (APJ), pada umumya APJ
tidak mengetahui kondisi ini sehingga bila mendapat hasil, yang menikmatinya adalah
PSA mengapa hal ini terjadi karena apoteker tidak berperan
Kondisi ini berbeda dengan apoteker yang bertugas di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama seperti Puskesmas; Rumah Sakit Umum, telah mengacu kepada Permenkes
No. 19 tahun 2014 tentang Penggunaan dana kapitasi JKN untuk jasa pelayanan dan
operasional pasal 3 ayat (2) disini sudah jelas alokasi dana jasa pelayanan 60% dan
dana operasional 40% kemudian pada pasal 4 ayat (2) dan (3) menjelaskan pembagian
jasa pelayanan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan tingkat
pertama seperti dokter, apoteker, perawat dan tenaga kesehatan lainnya secara
terstruktur, dengan demikian jasa bagi apoteker di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
(FKTP) sudah sesuai dengan peraturan yang ada dan sudah berjalan
Jadi melihat kesejahteraan dan peran serta apoteker yang bekerja disarana pelayanan
pemerintah dalam JKN sudah berjalan sesuai peratuan, diharapkan akan diberi peran
lebih baik lagi sejalan dengan perkembangan pelayanan JKN, semua ini tidak terjadi
tanpa sebab karena apoteker disarana pemerintah telah melakukan tugas profesinyaru
Kebutuhan Apoteker dalam JKN
Pada awal persiapan JKN pada tahun 2011 Oleh Ketua DJSN disampaikan kebutuhan
apoteker pada pelaksanaan JKN di tahun 2014 :
Untuk Puskesmas dibutuhkan apoteker 6000 apoteker, kebutuhan apoteker untuk
rumah sakit sebanyak 1000 apoteker, Untuk verifikator pelayanan BPJS sebanyak 1000
apoteker, kebutuhan untuk setiap provinsi sebanyak 33 apoteker dan kebutuhan untuk
setiap kabupaten sebanyak 500 apoteker, total keseluruhan 8533 apoteker (UCH BPJS,
(Kontribusi apoteker) oleh Ketua DJSN pada Rakernas Manado 28  30 Oktober 2011
Pada pelaksanaan system JKN tahun 2014, distribusi apoteker di Puskesmas dibanding
dokter, dokter gigi, perawat, bidan ternyata lebih maju, penyebaran dokter, dokter gigi,
bidan, perawat merata, hampir disemua Puskesmas terdapat dokter, bidan dan
perawat, sementara apoteker, banyak puskesmas tidak memiliki apoteker, pengelolaan
obat cukup dilola oleh perawat saja
Kondisi ini akan semakin serius karena apoteker baru yang dilahirkan oleh Perguruan
Tinggi Farmasi sekitar 5000 Apoteker setiap tahun, mau kemana ditempatkan apoteker
baru, ini adalah suatu tanda tanya besar.
Dalam skala kecil untuk tingkat puskesmas, gambaran diatas sudah cukup
memperlihatkan bahwa peran apoteker tidak penting-penting amat karena tanpa
apoteker, pelayanan obat di puskesmas tetap dapat berjalan, pada sisi lain terlihat
belum ada keyakinan dari pemerintah terhadap apoteker untuk diberikan tugas dan
tanggung jawab di dalam memberikan pelayanan kefarmasian karena sekali lagi
sesungguhnya apoteker belum siap
Kondisi demikian sudah sewajarnya bagi semua apoteker untuk melakukan introspeksi
untuk merubah ke paradigma baru melaksanakan praktek profesi karena perubahan
akan terjadi apabila semua apoteker mempunyai semangat untuk meningkatkan citra
profesi apoteker lebih baik
Langkah strategis IAI
Mengamati kondisi demikian, tidak berlebihan bila PP IAI memberikan warning Gawat
Darurat Apoteker Indonesia betapa seriusnya kondisi ini dan perlu segera upaya-upaya
strategis
Pencanangan Pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien oleh
Pengurus Pusat IAI priode 2014  2018 adalah suatu gagasan paradigma baru, langkah
progresif yang sangat mendasar, tepat waktu dan menentukan, dengan tujuan
melindungi, survival bagi profesi Apoteker Indonesia dimasa depan
Pertimbangan lain yang mendorong untuk melaksanakan perubahan adalah bahwa PP
51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, telah berjalan selama 5 tahun namun
pelaksanannya belum berjalan dan cenderung mulai terlupakan, perilaku apoteker
sebagai seorang professional tetap tidak berubah, kewajiban hadir ke Apotek secara
tertib tidak berjalan hal ini sebagaimana tertera pada PP 51/2009 pasal 2 ayat (2) 
Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu dan ini merupakan preseden buruk bagi
pencapaian peran aktif apoteker dalam JKN
Untuk melaksanakan Pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
terlihat bahwa akan dilaksanakan tindakan persuasive pada awalnya, tahap berikutnya
tindakan assertif yaitu akan memberikan sanksi bagi apoteker yang belum mempunyai
keinginan untuk melakanakan praktek bertanggung jawab
Sanksi apa saja yang akan dilaksanakan, bahwa bagi apoteker yang melanggar kode
etik atau disiplin termasuk tidak melaksanakan praktek sesuai ketentuan organisasi,
akan mendapatkan peringatan tertulis dari MEDAI Daerah dan bila peringatan ini tidak
diindahkan maka akan sampai kepada tindakan usulan pencabutan SIPA kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota
Dari mana MEDAI Daerah mandapat informasi adanya pelanggaran kode etik atau
disiplin oleh apoteker, MEDAI Daerah akan membuka system on-line untuk menerima
informasi, informasi dapat diterima dari masyarakat, apoteker sendiri, pengurus cabang,
pengurus daerah atau siapa saja yang merasa dirugikan, tentunya informasi tersebut
disertai dengan bukti
Bagi apoteker yang tidak mengindahkan peringatan tertulis maka akan dilakukan
pemanggilan untuk menjalankan sidang, tentunya keputusan sidang nantinya tetap
akan mengutamakan tindakan persuasive, mengajak untuk melaksanakan paradigma
baru, sebelum sampai permohonan pencabutan SIPA bahkan sampai kepada
pencabutan STRA
Bagaimana criteria Praktek Bertanggung Jawab, sebenarnya tidak sulit untuk
dilaksanakan, cukup menyiapkan papan praktek ukuran 60 X 80 CM yang
mencantumkan jam praktek, menggunakan jas praktek dan melaksanakan praktek
sesuai jam praktek secara konsekuen dan berkelanjutan
Perubahan paradigma ini harus disadari pentingnya, bagi semua apoteker karena
perubahan ini suatu kondisi yang harus terlaksana, butuh pengorbanan mental, butuh
keteladanan terutama para apoteker yang menjabat sebagai pengurus dan masih
bertindak sebagai APJ, baik sebagai PP, PD dan PC, Ketua MEDAI Pusat dan Daerah,
Ketua Pengawas Pusat dan Daerah serta semua anggota pengurus untuk mampu
sebagai perintis terdepan memberikan contoh teladan dalam melaksanakan perubahan
ini.
Semoga langkah strategis yang dilakukan oleh IAI akan memberi pemahaman lebih
baik, memberikan semangat baru bagi apoteker untuk melakukan perubahan karena
paradigma baru ini untuk kepentingan apoteker Indonesia
=====

More Related Content

Paradigma baru apoteker indonesia

  • 1. PARADIGMA BARU APOTEKER INDONESIA Pembukaan Tulisan ini bermaksud menggugah para pembaca khususnya para apoteker dan memberikan gambaran sesungguhnya apa yang sudah terjadi dan yang sedang terjadi dengan apoteker Indonesia serta upaya apa sejauh ini yang akan dilakukan IAI untuk mengantisipasi agar kondisi ini tetap baik Sekilas kalau kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah apoteker itu profesi seperti halnya Notaris, Dokter, tentu kita menyatakan bahwa apoteker adalah profesi, namun bila kita bertanya kepada petugas pajak apakah apoteker itu profesi atau tidak, mereka menjawab tidak karena apoteker berjualan obat tidak memberikan pelayanan Jasa sebagaimana halnya dokter dan notaris Hal ini selaras dengan penyampaian materi pada Rakernas IAI tahun 2013 oleh Habullah Tabrany seorang konsultan JKN bagaimana kondisi apoteker saat ini Mainstream apoteker masih penjual obat atau membantu penjual obat, layanan profesi-konsultasi, meyakinkan cara, dosis obat tapat, meningkatkan efektifitas terapi obat dan lain-lain belum menjadi modus praktik, (Hasbullah Tabrany,2013) Melihat pernyataan diatas sudah tentu menyedihkan, prihatin, betapa tidak apoteker adalah satu profesi kesehatan yang mempunyai kedudukan terhormat, dihormati, professional namun kenyataannya hanya sebagai pembantu penjual obat (PSA) kondisi ini menggugah hati, oleh karena itu mulai terlihat upaya-upaya IAI untuk bertekad mengubah, membenahi paradigma apoteker penjual obat menjadi paradigma baru apoteker melaksanakan praktik dengan penuh tanggung jawab Pada sisi lain (Hasbullah Tabrany,2013) menyampaikan pula bagaimana seharusnya apoteker melaksanakan perannya dalam pelayanan kefarmasian dimasa mendatang : Apoteker yang ideal adalah menjadi konsultan obat, memantau resep dokter yang salah, tidak tepat dosis, menjelaskan kepada pasien cara dan waktu minum obat dan lain-lain Perubahan Paradigma Perubahan paradigma baru adalah satu langkah penting yang dilaksanakan oleh IAI untuk melihat jauh ke depan, bila para apoteker tidak disadarkan akan pentingnya perubahan paradigma, maka apoteker tidak diperhitungkan lagi dan akan terlindas oleh perubahan-perubahan lebih maju dari profesi kesehatan lain seperti dokter, dokter gigi, bidan, perawat, sejalan dengan perkembangan pelayanan JKN.
  • 2. Bila keadaan ini dibiarkan, selanjutnya peran apoteker akan hilang sehingga profesi apoteker tidak perlu diperhitungkan oleh profesi kesehatan lain dan tidak dikenal oleh masyarakat Peraturan Per-UU belum berjalan Apoteker adalah satu profesi yang banyak didukung oleh Peraturan dan Undang- undang antara lain, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, kedua peraturan ini sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan baik, yang berikutnya Undang-undang Kesehatan No. 36 Tentang Kesehatan pasal 108 yang telah mengalami uji materi di Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa hanya apoteker yang dapat mengelola obat karena apoteker mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, walaupun peraturan dan undang-undang sudah sangat baik namun apoteker tetap juga tidak praktek Sebagai satu organisasi yang mengayomi anggotanya, IAI, terus melaksanakan upaya pembinaan terhadap anggotanya, berupaya menjadikan apoteker memiliki kompetensi dengan melaksanakan CPD, seminar-seminar, SKPA, semua upaya ini untuk mengangkat atau menempatkan apoteker sejajar dengan profesi kesehatan lainnya, dan melaksanakan amanah peraturan per-undang-undangan Upaya IAI Upaya yang saat ini sedang dirintis oleh IAI adalah upaya pembenahan meningkatkan partisipasi aktif apoteker, khususnya apoteker praktek swasta untuk dapat menikmati jasa pelayanan dalam JKN namun belum berhasil, mengapa hal ini terjadi, setelah mengkaji, dibahas, masalahnya tetap kembali kepada partisipasi aktif dalam pelayanan atau bahasa mudahnya kehadiran apoteker di apotek sehingga seandainya bila ada usulan dari IAI berkaitan peran apoteker dalam JKN kepada pemegang kebijakan di Kementrian Kesehatan, selalu kembali mempertanyakan, bila usulan tersebut diterima, apakah ada jaminan apoteker akan hadir di Apotek, kekuatiran lain adalah jangan-jangan setelah diberi peran dalam JKN apoteker tetap tidak praktek. Inilah salah satu permasalahan yang terjadi sampai saat ini, belum ada keyakinan, masih terlihat keraguan pihak user, pemerintah, belum tertarik untuk melibatkan apoteker dalam system pelayanan
  • 3. Dengan melihat kontek ketidakhadiran apoteker, apoteker harus memahami permasalahan, karena masih diragukan peran serta Apoteker dalam pelayanan kefarmasian, maka jawabannya sederhana bahwa apoteker harus kembali kepada peran apoteker sebagai seorang professional, jadikanlah apoteker sebagai profesi tentunya dengan kemauan dan tanggung jawab Kehadiran apoteker di apotek seperti disebutkan diatas adalah suatu tuntutan perubahan paradigma apoteker, mau tidak mau, suka tidak suka adalah kewajiban yang harus dilaksanakan, karena pelayanan berbagai profesi kesehatan, dokter, dokter gigi, bidan, dan perawat merupakan pelayanan profesi terus berkembang pesat karena mereka melakukan praktek profesi Apoteker dalam JKN Jaminan Kesehatan Nasional berjalan sejak awal Januari 2014, timbul pertanyaan apakah apoteker yang bekerja di sarana pemerintah, swasta telah mendapatkan perannya dalam JKN, terlihat kedudukan Apoteker dalam system JKN semakin jelas sebagai jaringan dari pelayanan dokter, hal ini terlihat dari UU SJSN No. 40/2004 pasal 23 disebutkan manfaat jaminan kesehatan diberikan kepada fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta yang bekerjasama dengan BPJS; dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 tahun 2013 tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional, pasal 6 ayat (a.3) dokter praktek harus memiliki perjanjian kerjasama dengan apotek bunyi pasal ini menjelaskan bila terjadi kerjasama antara dokter praktek swasta (dps) dan apoteker yang juga berpraktek disarana swasta, dengan demikian akan memberikan peluang bagi apoteker untuk mendapatkan take home income dari BPJS Komunitas apoteker swasta yang berada diluar sarana pelayanan kesehatan pemerintah, yaitu apotek swasta, adalah komunitas terbesar jumlah apotekernya, komunitas ini belum mendapat sentuhan dari peraturan yang ada sebagaimana disebutkan pada Permenkes 71/2013, Walaupun bunyi Pemenkes No. 71/2013 diatas menjelaskan kaharusan dokter praktek swasta menjalin kerjasama dengan apotek Apoteker namun pada pelaksanaannya belum terlihat kenyataannya, karena kebanyakan dokter keluarga pada masa Askes yang sekarang disebut dokter praktek swasta (dps) bekerjasama dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) bukan dengan Apoteker Penanggung Jawab (APJ), pada umumya APJ tidak mengetahui kondisi ini sehingga bila mendapat hasil, yang menikmatinya adalah PSA mengapa hal ini terjadi karena apoteker tidak berperan
  • 4. Kondisi ini berbeda dengan apoteker yang bertugas di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama seperti Puskesmas; Rumah Sakit Umum, telah mengacu kepada Permenkes No. 19 tahun 2014 tentang Penggunaan dana kapitasi JKN untuk jasa pelayanan dan operasional pasal 3 ayat (2) disini sudah jelas alokasi dana jasa pelayanan 60% dan dana operasional 40% kemudian pada pasal 4 ayat (2) dan (3) menjelaskan pembagian jasa pelayanan bagi tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti dokter, apoteker, perawat dan tenaga kesehatan lainnya secara terstruktur, dengan demikian jasa bagi apoteker di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) sudah sesuai dengan peraturan yang ada dan sudah berjalan Jadi melihat kesejahteraan dan peran serta apoteker yang bekerja disarana pelayanan pemerintah dalam JKN sudah berjalan sesuai peratuan, diharapkan akan diberi peran lebih baik lagi sejalan dengan perkembangan pelayanan JKN, semua ini tidak terjadi tanpa sebab karena apoteker disarana pemerintah telah melakukan tugas profesinyaru Kebutuhan Apoteker dalam JKN Pada awal persiapan JKN pada tahun 2011 Oleh Ketua DJSN disampaikan kebutuhan apoteker pada pelaksanaan JKN di tahun 2014 : Untuk Puskesmas dibutuhkan apoteker 6000 apoteker, kebutuhan apoteker untuk rumah sakit sebanyak 1000 apoteker, Untuk verifikator pelayanan BPJS sebanyak 1000 apoteker, kebutuhan untuk setiap provinsi sebanyak 33 apoteker dan kebutuhan untuk setiap kabupaten sebanyak 500 apoteker, total keseluruhan 8533 apoteker (UCH BPJS, (Kontribusi apoteker) oleh Ketua DJSN pada Rakernas Manado 28 30 Oktober 2011 Pada pelaksanaan system JKN tahun 2014, distribusi apoteker di Puskesmas dibanding dokter, dokter gigi, perawat, bidan ternyata lebih maju, penyebaran dokter, dokter gigi, bidan, perawat merata, hampir disemua Puskesmas terdapat dokter, bidan dan perawat, sementara apoteker, banyak puskesmas tidak memiliki apoteker, pengelolaan obat cukup dilola oleh perawat saja Kondisi ini akan semakin serius karena apoteker baru yang dilahirkan oleh Perguruan Tinggi Farmasi sekitar 5000 Apoteker setiap tahun, mau kemana ditempatkan apoteker baru, ini adalah suatu tanda tanya besar. Dalam skala kecil untuk tingkat puskesmas, gambaran diatas sudah cukup memperlihatkan bahwa peran apoteker tidak penting-penting amat karena tanpa apoteker, pelayanan obat di puskesmas tetap dapat berjalan, pada sisi lain terlihat belum ada keyakinan dari pemerintah terhadap apoteker untuk diberikan tugas dan tanggung jawab di dalam memberikan pelayanan kefarmasian karena sekali lagi sesungguhnya apoteker belum siap
  • 5. Kondisi demikian sudah sewajarnya bagi semua apoteker untuk melakukan introspeksi untuk merubah ke paradigma baru melaksanakan praktek profesi karena perubahan akan terjadi apabila semua apoteker mempunyai semangat untuk meningkatkan citra profesi apoteker lebih baik Langkah strategis IAI Mengamati kondisi demikian, tidak berlebihan bila PP IAI memberikan warning Gawat Darurat Apoteker Indonesia betapa seriusnya kondisi ini dan perlu segera upaya-upaya strategis Pencanangan Pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien oleh Pengurus Pusat IAI priode 2014 2018 adalah suatu gagasan paradigma baru, langkah progresif yang sangat mendasar, tepat waktu dan menentukan, dengan tujuan melindungi, survival bagi profesi Apoteker Indonesia dimasa depan Pertimbangan lain yang mendorong untuk melaksanakan perubahan adalah bahwa PP 51/2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, telah berjalan selama 5 tahun namun pelaksanannya belum berjalan dan cenderung mulai terlupakan, perilaku apoteker sebagai seorang professional tetap tidak berubah, kewajiban hadir ke Apotek secara tertib tidak berjalan hal ini sebagaimana tertera pada PP 51/2009 pasal 2 ayat (2) Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan ini merupakan preseden buruk bagi pencapaian peran aktif apoteker dalam JKN Untuk melaksanakan Pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien terlihat bahwa akan dilaksanakan tindakan persuasive pada awalnya, tahap berikutnya tindakan assertif yaitu akan memberikan sanksi bagi apoteker yang belum mempunyai keinginan untuk melakanakan praktek bertanggung jawab Sanksi apa saja yang akan dilaksanakan, bahwa bagi apoteker yang melanggar kode etik atau disiplin termasuk tidak melaksanakan praktek sesuai ketentuan organisasi, akan mendapatkan peringatan tertulis dari MEDAI Daerah dan bila peringatan ini tidak diindahkan maka akan sampai kepada tindakan usulan pencabutan SIPA kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Dari mana MEDAI Daerah mandapat informasi adanya pelanggaran kode etik atau disiplin oleh apoteker, MEDAI Daerah akan membuka system on-line untuk menerima informasi, informasi dapat diterima dari masyarakat, apoteker sendiri, pengurus cabang, pengurus daerah atau siapa saja yang merasa dirugikan, tentunya informasi tersebut disertai dengan bukti
  • 6. Bagi apoteker yang tidak mengindahkan peringatan tertulis maka akan dilakukan pemanggilan untuk menjalankan sidang, tentunya keputusan sidang nantinya tetap akan mengutamakan tindakan persuasive, mengajak untuk melaksanakan paradigma baru, sebelum sampai permohonan pencabutan SIPA bahkan sampai kepada pencabutan STRA Bagaimana criteria Praktek Bertanggung Jawab, sebenarnya tidak sulit untuk dilaksanakan, cukup menyiapkan papan praktek ukuran 60 X 80 CM yang mencantumkan jam praktek, menggunakan jas praktek dan melaksanakan praktek sesuai jam praktek secara konsekuen dan berkelanjutan Perubahan paradigma ini harus disadari pentingnya, bagi semua apoteker karena perubahan ini suatu kondisi yang harus terlaksana, butuh pengorbanan mental, butuh keteladanan terutama para apoteker yang menjabat sebagai pengurus dan masih bertindak sebagai APJ, baik sebagai PP, PD dan PC, Ketua MEDAI Pusat dan Daerah, Ketua Pengawas Pusat dan Daerah serta semua anggota pengurus untuk mampu sebagai perintis terdepan memberikan contoh teladan dalam melaksanakan perubahan ini. Semoga langkah strategis yang dilakukan oleh IAI akan memberi pemahaman lebih baik, memberikan semangat baru bagi apoteker untuk melakukan perubahan karena paradigma baru ini untuk kepentingan apoteker Indonesia =====