Tiga parasit endemik utama di Pulau Jawa adalah bakteri Leptospira interrogans di DKI Jakarta, cacing tambang Necator americanus dan Ancylostoma duodenale di Jawa Barat dan Jawa Timur, serta protozoa Leucocytozoonosis di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan. Ketiga parasit ini menyebabkan berbagai penyakit pada manusia dan unggas.
1 of 7
More Related Content
Parasit Endemik di Jawa
1. AISYAH WARDANI (2110610012)
PARASIT ENDEMIK DI PULAU JAWA
1. Leptospira interrogans sebagai Parasit Endemik di DKI Jakarta
Spesies bakteri Leptospira interrogans merupakan penyebab penyakit
zoonosis yaitu leptospirosis. Bakteri ini tergolong dalam divisi Gracillicutes, kelas
Scotobacteria, ordo Spirochaetales dan famili Leptospiraceae (Vijayachari dkk,
2008 dalam Pratiwi, 2012). Leptospirosis menginfeksi berbagai jenis hewan,
terutama roden (Maroun dkk, 2011 dalam Pratiwi, 2012). Roden atau tikus
merupakan reservoir utama leptospirosis dan dapat menularkan ke manusia
(Ernawati, 2008 dalam Pratiwi, 2012). Leptospira hidup di tubulus ginjal hewan
reservoir dan dikeluarkan ke lingkungan melalui urin (Vijayachari dkk, 2008
dalam Pratiwi, 2012). Berikut (Tabel 1) adalah hewan-hewan yang dapat menjadi
sumber penularan leptospirosis yang membawa serovar yang berbeda (Bharti dkk,
2003 dalam Pratiwi, 2012).
Tabel 1. Reservoir Host dan Servoar Leptospira
Reservoir host
Serevoar
Babi
pomona, tarassovi
Sapi
hardjo, pamona
Kuda
bratislava
Anjing
canicola
Domba
hardjo
Raccoon (sejenis kucing)
grippotyphosa
Tikus besar
icterhaemorrhagiae, copenhageni
Tikus rumah
ballum, arborea, bim
Hewan marsupial
grippotyphosa
Kelelawar
cynopteri, wolfi
Leptospirosis dapat ditularkan ke manusia baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penularan langsung terjadi apabila Leptospira yang berasal dari jaringan
ataupun cairan tubuh hewan yang terinfeksi masuk ke dalam tubuh manusia. Hal
ini dapat dikarenakan oleh faktor pekerjaan, misalnya pekerjaan yang
berhubungan langsung dengan hewan-hewan penjamu. Sedangkan penularan tidak
langsung terjadi saat hewan yang terinfeksi menyebarkan Leptospira ke
lingkungan, misalnya ke dalam air atau tanah, sehingga air dan tanah menjadi
terkontaminasi. Manusia dengan kontak air atau tanah tersebut dapat terinfeksi
Leptospira(Vijayachari dkk, 2008 dalam Pratiwi, 2012).Leptospira masuk ke
dalam tubuh melalui luka, lecet, membran mukosa, konjungtiva atau inhalasi
aerosol dari droplet mikroskopik. Migrasi Leptospira ke organ tubuh difasilitasi
oleh sistem vaskuler (Levett dkk, n.d dalam Pratiwi, 2008). Leptospira masuk ke
dalam tubuh manusia dan menyebar ke jaringan intersisial dan jaringan tubukus
2. yang berdampak pada terjadinya nefritis intersisial dan nekrosis tubuler
(Kemenkes, 2003 dalam Pratiwi, 2012).
Jakarta merupakan salah satu provinsi dengan kejadian leptospirosis tertinggi
di Indonesia. Selama tahun 2003-2007, kasus leptospirosis terbanyak dilaporkan
dari Provinsi DKI Jakarta dibandingkan dengan daerah endemis lainnya
(Kemenkes, 2009). Pada tahun 2002, terjadi outbreak leptospirosis seiring dengan
terjadinya banjir besar di Jakarta (WHO, 2009a dalam Pratiwi, 2008). Pada tahun
2003 terdapat 65 kasus leptospirosis dan terjadi peningkatan sebesar 13 kasus
menjadi 78 kasus pada tahun 2004 (Dirjen PP&PL Kemenkes, 2008dalam Pratiwi,
2012).
Penyebab utama DKI Jakarta merupakan tempat parasit endemik Leptospira
interogans adalah:
a. Iklim
Hubungan tidak langsung antara curah hujan terhadap kejadian kasus
leptospirosis, yaitu melalui banjir. Hujan yang tinggi meningkatkan resiko
leptospirosis melalui kontaminasi air banjir atau migrasi tikus akibat adanya banjir
(WHO, 2011 dalam Pratiwi, 2012).
b. Kelembapan dan suhu
Leptospira dapat hidup lebih lama pada lingkungan yang lembab dan suhu yang
panas atau hangat (Mohammed dkk, 2011 dalam Pratiwi, 2012).
c. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada
tingginya angka penularan Leptospirosis di Asia Tenggara (Riccardo dkk, n.d
dalam Pratiwi, 2012). Beban penyakit leptospirosis salah satunya berada pada
masyarakat yang tinggal di perkotaan khususnya di daerah kumuh dengan sanitasi
yang tidak baik (Stein dkk, 2007 dalam Pratiwi, 2012).
2. Cacing tambang Necatoramericanus dan Ancylostoma duodenale sebagai
Parasit Endemik di Jawa Barat dan Jawa Timur
Infeksi cacing merupakan penyakit parasit endemik di Indonesia. Salah satu
parasit penyebab utama penyakit yaitu cacing tambang. Pada umumnya prevalensi
cacing tambang berkisar antara 30-50% di berbagai daerah di Indonesia.Prevalensi
yang lebih tinggi di temukan di daerah perkebunan seperti di perkebunan karetdi
sukabumi, Jawa Barat (93,1%) dan di perkebunan kopi di Jawa Timur(80,69%). (
Gandahusada S, dkk, 1998).
Penyakit cacing tambang yang paling berbahaya adalah penyakit darispesies
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Keduanya tergolong dalam Soil
Transmitted Helminth dengan filum Nemathelminthes dan kelas Nematoda.
Spesies Necator americans bersuper famili: Strongyloidea, genus: Necator.
3. Sedangkan Anyclostoma duodenale bersuper famili yang sama, yaitu: :
Strongyloidea dan genus Anyclostoma.
Morfologi cacing kedua cacing tambang tersebut adalah:
Memiliki benyuk badan silindris dengan mulut yang besar dan berwarna putih
keabuan.
Cacing betina berukuran panjang 9-13 mm, sedangkan jantan 8-11 mm. Di
ujung posterior tubuh cacing jantan terdapat bursa kopulatrik yang bergunan
untuk memegang cacing betina pada waktu mengadakan kopulasi (Soedarto,
1991).
Kedua spesies tambang ini memiliki perbedaan bentuk morfologik pada tubuhnya.
N. Americaus memiliki lengkungan kepala berlawanan dengan lengkungan tubuh
(seperti huruf S). Rongga mulut (buccal capsule) cacing memliki 2 pasang pelat
pemotong (cutting plate) yang kasar. Bentuk alat pemotong semilunar dan terdapat
di sebelah ventral dan dorsal. Pada cacing betina, di daerah kaudal tidak
didapatkan spina kaudal. A. Duodenale lengkung kepala sesuai dengan
lengkungan tubuh (seperti koma). Rongga mulut cacing ini memiliki 2 pasang gigi
sebelah ventral dan satu pasang tonjolan. Gigi yang sebelah dalam lebih kecil dari
gigi yang sebelah luar. Pada cacing betina memiliki spina kaudal (Soedarto,
1991).
Gambar 2. Morfologi Cacing Tambang. (dari atas ke bawah: a. Cacing betina dan
b. Cacing jantan; dari urutan nomor: 1. Oesophagus, 2. Usus, 3. Ova, 4. Testis, 5.
Uterus, 6. Bursa kopulatriks)
Telur kedua cacing ini sulit dibedakan satu sama lainnya. Telur berbentuk lonjong
atau elips dengan ukuran 65-40 mikron. Telur tidak berwarna ini memiliki dinding
tipis yang tembus sinar dan mengandung embrio dengan empat blastomer.
Terdapat stadium larva rhaditiform yang tidak infektif dan lerva filariform yang
infektif. Larva rhabditiform bentuknya gemuk dengan panjang sekitar 250 mikron,
4. sedangkan larva filariform bentuknya langsing, panjang kira-kira 600 mikron
(Soedarto, 1991).
Gambar 3. Morfolgi Telur Cacing Tambang
Gambar 4. Morfologi larva cacing tambang (a. Larva rhabditiform, b. Larva
filaform dengan nomor: 1. Rongga mulur, 2. Oesophagus (pada larva rhabditiform
pendek) dan 3. Bulbus oesophagus.
Telur keluar bersama tinja penderita, di lingkungan yang sesuai akan menetas
menjadi larva rhabditiform. Larva rhabditiform akan berubah menjadi larva
filariform yang infektif setelah mengadakan pergantian kulit, kemudian larva
filariform menembus kulit, masuk kealiran darah. Larva mengalami lung
migration dan akan menjadi dewasa di usus (Soedarto, 1991).
3. Leucocytozoonosis endemik di Jawa Timur, Jawa Tengah dan
Kalimantan Selatan
Leucocytozoonosis atau yang lebih dikenal dengan sebutan malaria like
merupakan salah satu penyakit pada unggas yang disebabkan oleh
parasit protozoa. Protozoa penyebab penyakit ini adalah Leucocytozoon sp. dari
familiPlasmodiidae, salah satu contoh spesiesnya adalah Leucocytozoon caulleryi.
Leucocytozoonosis ditularkan
oleh
lalat
hitam
(Simulium sp.)
dan Culicoides sp. Kedua serangga tersebut bertindak sebagai vektor dan
5. menginfeksi unggas sehat melalui gigitan. Simulium sp., atau lalat hitam, biasa
hidup pada air yang mengalir dan menggigit pada siang hari,
sedangkan Culicoides sp. hidup pada air yang menggenang, kotoran ayam yang
becek dan cenderung menggigit pada malam hari. Leucocytozoon
caulleryi menyebar
melalui
seranggaCulicoides sp.,
sedangkan
spesies Leucocytozoon lainnya melalui lalat hitam.
Banyaknya kasus malaria like umumnya terjadi pada musim pancaroba,
yaitu pada perubahan musim penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya.
Penyakit ini juga termasuk musiman karena dipengaruhi oleh siklus
perkembangbiakan vektor. Penyakit malaria like akan semakin tinggi
kejadiannya saat kondisi lingkungan mendukung bagi perkembangan nyamuk dan
lalat selaku vektor penyakit ini. Populasi nyamuk atau serangga cenderung
meningkat saat terjadi perubahan musim, dari musim hujan ke musim panas atau
sebaliknya. Di musim hujan banyak air tergenang. Nyamuk dan lalat
kemungkinan akan membawa bibit penyakit berkembang dan kemudian
menularkan bibit penyakit tersebut ke ayam melalui gigitan serta akan berperan
menjadi vektor atau agen penular ke ayam lainnya. Seringkali outbreak mulai
terlihat saat musim kemarau tiba.
Beberapa area endemik leucocytozoonosis seperti Jawa Timur, Jawa
Tengah dan Kalimantan Selatan dengan berbagai tingkat keparahan. Demikian
pula pada 2009 sampai pertengahan 2010, kasus leucocytozoonosis masih sering
ditemukan di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Data tenaga
lapangan Medion, 2010dalam info medion, 2013).
Ayam yang terinfeksi parasit protozoa dapat mengalami muntah darah,
mengeluarkan feses berwarna hijau dan mati akibat perdarahan.
Infeksi Leucocyztooon caulleryi dapat mengakibatkan muntah darah dan
perdarahan atau kerusakan yang parah pada ginjal. Kematian biasanya mulai
terlihat dalam waktu 8-10 hari pasca infeksi. Ayam yang terinfeksi dan dapat
bertahan akan mengalami infeksi kronis dan selanjutnya dapat terjadi gangguan
pertumbuhan dan produksi. Pada gejala yang bersifat akut, proses penyakit
berlangsung cepat dan mendadak. Suhu tubuh yang sangat tinggi akan dijumpai
pada 3-4 hari post infeksi, kemudian diikuti dengan anemia akibat rusaknya sel-sel
darah merah, kehilangan nafsu makan (anoreksia), lesu dan lemah serta lumpuh.
Ayam yang terinfeksi protozoa ini akan menunjukkan adanya perdarahan dengan
ukuran yang sangat bervariasi pada kulit, jaringan subkutan, otot dan berbagai
organ, misalnya ginjal, hati, paru-paru, usus dan bursa Fabricius. Hati dan ginjal
biasanya membengkak dan berwarna merah hitam. Ayam muda di bawah umur 1
bulan (mulai umur 15 hari) lebih rentan terserang, biasanya mulai terlihat setelah 1
minggu terinfeksi. Beberapa penyakit yang memiliki gejala mirip
6. dengan leucocytozoonosis diantaranya ND, AI, ILT, kolera, Gumboro dan
keracunan sulfonamida.
Diagnosa
banding
penyakit
penyakit leucocytozoonosis diantaranya :
tersebut
dengan
Perdarahan pada ayam terserang leucoytozoonosis berbentuk bintik
sedangkan pada serangan Gumboro berbentuk garis
Muntah darah pada kasus ILT berasal dari perdarahan saluran pernapasan,
sedangkan muntah darah padaleucocytozoonosis berasal dari perdarahan
saluran pencernaan
Pada kasus serangan ND, AI dan kolera terlihat berak hijau lumut (diare)
dengan
gumpalan
putih
sedangkan
pada
serangan leucocytozoonosis terlihat berak hijau dengan gumpalan putih
tetapi tidak encer/tidak diare (info medion, 2013).
DAFTAR PUSTAKA
__________. 2013. Online (http://info.medion.co.id/index.php/artikel/broiler
/penyakit/waspada-outbreak-leucocytozoonosis) diakses pada tanggal 17
November 2013.
Kemenkes. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia
Pratiwi, N. 2008. Analisis Temporal dan Spasial Unsur Iklim, Kepadatan
Penduduk, Daerah Rawan Banjir dan Kasus Leptospirosis di DKI Jakarta
(Skripsi). Depok: Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.
Soedarto. 1991. Helmintologi Kedokteran. Surabaya: EGC.
Ganahusada S, dkk. 2006. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FKUI.