際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
1
ISU PENGASUHAN ORANGTUA DALAM MASA SULIT (BENCANA ALAM)
Disusun oleh :
Andi Nur Maharani Islami1,Esny Baroroh2, Program Studi Pascasarjana Pendidikan Anak
Usia Dini, Universitas Negeri Yogyakarta, andiemi.maharani@yahoo.co.id,
esnybaroroh@gmail.com, 187172510181, 187172510052
Bencana alam memiliki keragaman dalam prediksinya dan yang tidak bisa diprediksi
akan meningkatkan stres. Badai bisa diantisipasi dan kadang bisa dihindari, tetapi gempa bumi
dan tornado bersifat tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi. Dampak dari bencana alam tergantung
pada durasi yang biasanya berlangsung singkat dibandingkan dengan penganiayaan atau
kekerasan di masyarakat yang mungkin berkelanjutan, dan tergantung pada tingkat kerusakan
yang ditimbulkan. Secara umum, di tahun-tahun awal setelah bencana terjadi, gejala biasa
hingga gejala serius PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stress pasca
trauma ditemukan pada 30-50 persen anak yang merasakan dampak bencana. Hal ini karena
anak-anak secara fisik dan mental masih dalam pertumbuhan dan masih tergantung dengan
orang dewasa. Gejala PTSD yang dialami setelah bencana alam lebih sering mencakup
pengulangan rasa atas kejadian dan memiliki pikiran instrusif dan kadang-kadang kekakuan
serta menghindari topik tersebut. Hanya sedikit anak yang mengalami gejala ini dalam periode
lama, tetapi biasanya gejala ini menurun setelah tahun pertama. Anak yang memiliki masalah
sebelum bencana terjadi cenderung memiliki kesulitan yang meningkat karena bencana yang
dialaminya tersebut.
Dampak terjadinya bencana sangat bervariasi mulai dari kerugian, kerusakan hingga
kematian. BNPB telah mencatat bahwa selama kurun waktu 2004 hingga 2014 korban
meninggal akibat bencana mencapai 12.437. Jumlah ini cukup besar karena dalam kuruan
waktu singkat hanya selama 10 tahun. Kondisi ini memperlihatkan masih lemahnya kesiapan
menghadapi bencana di Indonesia. Hal itu sesuai dengan pendapat Rinaldi (2009) bahwa
kesiapan indonesia dalam mengahadapi bencana masih lemah dengan bukti jumlah korban jiwa
dan kehilangan yang masih tinggi setiap kejadian bencana.
Dampak bencana juga terjadi pada pendidikan. Bencana memberikan dampak pada
kerusakan gedung sekolah. Sebanyak 26.856 unit sekolah mengalami kerusakan baik ringan
hingga berat. Kerugian pada elemen sekolah seperti guru dan murid, proses pembelajaran,
properti, dan penyediaan akibat bencana, mengakibatkan jutaan masa depan generasi muda
terancam (Lesmana dan Purobrini, 2015). Terhentinya pendidikan akibat dari konflik dan
2
bencana alam merupakan sebab utama dari keluarnya anak-anak dan generasi muda dari jalur
pendidikan (Pereznieto and Harding, 2013).
Pendidikan bencana adalah hal baru bagi pendidikan di Indonesia. Beberapa peristiwa
bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir dan tanah longsor belum
menjadi prioritas utama dalam pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Peristiwa bencana
telah merugikan masyarakat luas. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang bahaya,
kerentanan dan risiko yang diduga menyebabkan orang cenderung memiliki kemampuan
kesiapsiagaan yang rendah dalam menghadapi bencana. Kemampuan dalam menghadapi
kesiapsiagaan bencana harus diajarkan dan dilatih sejak dini melalui pendidikan bencana.
Pendidikan bencana bisa dilakukan mulai dari sekolah dasar.
Pihak yang berperan penting dalam pendidikan bencana adalah learning community.
Masyarakat belajar di sekolah yang terdiri dari guru, siswa, dan perangkat lainnya harus
memiliki kemampuan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Kesiapsiaagaan dalam
menghadapi bencana akan menumbuhkan budaya siaga dan aman di sekolah. Sekolah sebagai
satuan pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan, khususnya
kesiapsiagaan bencana. Sampai saat ini sekolah tetap dipercaya sebagai wahana efektif untuk
membangun budaya bangsa, termasuk membangun budaya kesiapsiagaan bencana warga
negara; yakni secara khusus kepada peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, lingkungan
sekitar dan para pemangku kepentingan lainnya, dan secara umum kepada masyarakat luas.
(Qurniawan, 2014). Peran sekolah sangat penting dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan
bencana. Komunitas belajar di sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa, dan orang
lain di sekolah harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang risiko bencana di sekolah
dan lingkungan sekitarnya. Kesiapan masyarakat belajar dalam bentuk pengetahuan dan
pemahaman yang lebih baik, diyakini dapat mengurangi risiko bencana.
Pendidikan kebencanaan harus dimulai sejak dini. Hal ini didasarkan pada fakta setiap
tahun diperkirakan sekitar 66 juta anak di seluruh dunia terkena dampak bencana (Hedwiyanti
dan Sudaryono, 2013). Anak-anak memliki kerentanan bencana yang lebih rendah
dibandingkan dengan orang dewasa. Hal tersebut terjadi karena mereka memiliki kemampuan
dan sumberdaya terbatas untuk mengontrol atau mempersiapkan diri ketika merasa takut
sehingga sangat bergantung pada pihak-pihak di luar dirinya supaya dapat pulih kembali dari
bencana (Sulistyaningsih, 2011; Hedwiyanti dan Sudaryono, 2013). Pendidikan kebencanaan
sejak dini akan membantu anak-anak memainkan peranan penting dalam penyelamatan hidup
dan perlindungan anggota masyarakat (Honesti dan Djali, 2012). Tujuan utamanya mereka
3
mampu menyelamatkan diri dan mengontrol diri agar tidak terjadi trauma pascaerupsi. Tujuan
besarnya dapat ikut serta memberikan edukasi kepada lingkungan sekitarnya.
Kurangnya perhatian pada penanganan korban bencana alam, khususnya upaya
pemulihan trauma di setiap bencana alam yang terjadi di Indonesia merupakan masalah yang
belum ditangani secara serius dan efektif. Padahal trauma dapat menyebabkan masalah besar
dalam kehidupan pasca bencana alam. Bencana berarti juga terhambatnya laju pembangunan.
Berbagai hasil pembangunan ikut menjadi korban sehingga perlu adanya proses membangun
ulang. Siswa pun harus terpaksa berhenti sekolah. Kenyataan seperti ini berarti pula muncul
kemungkinan kegagalan di masa mendatang. Dari berbagai masalah seperti itu bisa
menyebabkan timbulnya trauma (Faturochman, 2013).
Bantuan berupa materi untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan serta
penanganan medis adalah hal yang penting yang dapat mendukung keberlangsungan hidup
para korban bencana. Namun, satu hal yang tak kalah penting adalah bantuan penanganan
psikologis berupa pemulihan trauma. Pemulihan trauma pasca bencana akan mencegah
munculnya gangguan psikologis yang lebih berat. Selain itu, pemberian pelayanan psikologis
yang intensif dalam level individu, kelompok atau komunitas bagi korban bencana dapat
meningkatkan ketahanan (resiliensi) sehingga kelak mereka menjadi lebih tangguh dan siap
menghadapi permasalahan yang ada.
Pemulihan trauma bukanlah hal yang instan. Kegiatan ini membutuhkan waktu yang
realistis dan sumber daya manusia (fasilitator seperti psikolog, pekerja kreatif, pekerja sosial,
relawan, dll) yang profesional dan memadai. Saat satu atau dua penanganan psikologis telah
dilakukan, bukan berarti semuanya telah berakhir. Proses monitoring dan evaluasi juga masih
perlu dikerjakan agar program pemulihan trauma dapat mencapai hasil yang signifikan, yaitu
terwujudnya kesejahteraan psikologis pada korban bencana.
Pemulihan trauma berarti mengatasi rasa bersalah, kecemasan, ketakutan dan
menyediakan mekanisme coping (penyelesaian) terhadap pikiran dan perasaan negatif yang
muncul. Pihak yang paling rentan mengalami trauma akibat bencana adalah anak dan remaja.
Hal ini disebabkan karena mereka belum memiliki kapasitas yang memadai dalam mengontrol
emosi dan menyelesaikan masalah secara adaptif. Setelah bencana terjadi, anak harus pindah
dari situasi dan rutinitas keseharian yang membuatnya aman dan nyaman. Ada yang kehilangan
orang tua atau saudara. Ada yang pindah dari rumah dan tinggal sementara waktu di tempat
pengungsian. Malah, ada yang tidak bisa bersekolah, bermain dan mendapatkan istirahat yang
cukup. Oleh karena itu, diperlukan metode dan media yang tepat untuk membantu anak
4
mengekspresikan rasa takut, cemas, pesimis dan menumbuhkan harapan serta optimisme
mengenai masa yang akan datang.
Menurut American Psychological Association, ada beberapa reaksi dan respon yang
umumnya dialami saat menghadapi bencana antara lain:
1. Merasa cemas, gugup, lebih sensitif dari pada biasanya
2. Terjadinya perubahan pada pola pikir dan perilaku. Biasanya, korban mengingat kembali
peristiwa yang telah terjadi meskipun ia tidak menginginkannya (re-experiencing). Hal ini
mempengaruhi kondisi fisik (hyper arousal) seperti berkeringat dingin, meningkatnya detak
jantung, sulit berkonsentrasi sehingga pola tidur dan makan pun menjadi terganggu.
3. Sensitif terhadap lingkungan sekitar. Suara ribut, getaran atau stimulus lainnya yang
memicu ingatan akan bencana menimbulkan kecemasan serta rasa takut akan terulangnya
bencana
4. Munculnya gejala fisik yang berkaitan dengan stres (psikosomatis) seperti sakit kepala, sakit
dada, insomnia dan lainnya.
Di samping itu, Florence Halstead, seorang peneliti Geografi Manusia
(Antropogeografi) dari Universitas Hull, Inggris menyarankan cara memfasilitasi anak dalam
pemulihan trauma pasca bencana bagi orang tua, guru, pekerja sosial, atau pihak yang terlibat
langsung dalam penanganan bencana. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain:
1. Mendorong anak untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya
Anak yang menjadi korban bencana alam seringkali menyampaikan bahwa keluarga dan
sekolah tidak mendengarkan kekuatiran atau masalah yang mereka alami. Mereka juga
mengatakan bahwa mereka tidak ingin membebani keluarga dan guru dengan kekuatiran
yang mereka rasakan. Meskipun anak tampak baik-baik saja dari luar, namun belum tentu
demikian dengan perasaan yang di dalam diri anak.
Orang tua, guru atau pekerja sosial perlu peka dalam melihat kondisi dan kebutuhan
anak. Yakinkan anak bahwa perasaan adalah hal yang penting untuk disampaikan. Berikan
kesempatan bagi anak untuk berbicara mengenai perasaan dan pengalaman yang mereka
alami terkait dengan bencana. Rancanglah aktivitas semenarik mungkin yang dapat
membuat anak merasa nyaman dan terbuka untuk bercerita, misalnya dengan menggambar,
menulis, bercerita dengan boneka.
2. Menjadi role model yang positif dan optimis bagi anak
Orang tua, guru atau pekerja sosial dan pihak lainnya perlu menyadari bahwa anak
memandang orang dewasa sebagai role model (teladan) dalam menghadapi kesulitan yang
terjadi pasca bencana.
5
Jangan menyampaikan hal-hal yang dapat membuat anak merasa takut. Sebaliknya,
tunjukkan sikap dan perilaku yang optimis bahwa hari yang akan datang akan lebih baik.
Yakinkan pada anak untuk mengetahui bahwa mereka akan tetap aman dengan bantuan dan
perlindungan yang tersedia.
3. Mengedukasi anak mengenai bencana
Fakta mengenai bencana dapat menjadi suatu pengetahuan dan wawasan baru bagi anak.
Sampaikanlah dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan dapat dipahami oleh anak.
Misalnya, penyebab terjadinya gempa atau cara melindungi diri dan orang lain bila gempa
terjadi lagi. Hal ini akan membantu anak untuk merasa lebih berdaya dan percaya diri untuk
mengatasi masalah-masalah akibat bencana yang mungkin terjadi di masa yang akan
datang.
4. Menciptakan rutinitas sederhana bagi anak
Meminta anak untuk melakukan rutinitas, apalagi saat tinggal di tempat pengungsian
merupakan hal yang agak sulit. Namun, hal ini dapat dimulai dengan memberlakukan
rutinitas sehari-hari seperti jam makan dan jam tidur. Selain itu, berikan waktu pada anak
untuk tetap berinteraksi dan bermain dengan teman-temannya. Dengan menjalankan
rutinitas dapat membantu mengurangi rasa cemas atau kebosanan yang mungkin dirasakan
oleh anak karena kehilangan mainan yang dimiliki atau karena ditutupnya sekolah.
Selain itu, Lazarus, et.al (2002) mengatakan dalam situasi pasca bencana, kehidupan
yang serba darurat perhatian dari orang tua mengambil peran penting dalam membantu anak
melewat masa-masa krisis setelah bencana. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan peran
orang tua dalam melakukan pendampingan terhadap anak-anak sesuai dengan kapasitas yang
bisa diperankan oleh orang tua. Peran sederhana yang bisa diperankan oleh orang tua dalam
pendampingan anak pasca bencana adalah sebagai berikut:
1. Orang tua bersikap tenang, karena secara psikologis anak-anak melihat tanda dari apa yang
diperlihatkan oleh orang tua. Anak akan menjadi semakin panik dan stress ketika orang tua
mereka menunjukkan kepanikan dan stress. Oleh karena itu orang tua harus mendampingi
anak dan meyakinkan anak bahwa keluarga dan masyarakat akan memperhatikan anak dan
keadaan akan kembali normal.
2. Memposisikan orang tua sebagai teman anak yang dapat mendorong anak untuk
mengungkapkan perasaan dan perhatian mereka terkait dengan bencana. Kemampuan
mendengarkan dan empati dari orang tua menjadi kekuatan yang luar bisaa dalam
membantu anak melewat masa-masa krisis akibat bencana.
6
Pendapat dari Lazarus, et.al (2002) di atas diperkuat oleh Jane Brooks (2011: 900) yang
mengatakan bahwa orang tua merupakan sosok penting dalam membantu anak mengatasi
trauma dan stress akibat bencana. Peran penting yang bisa dilakukan orang tua dalam
membantu anak mengatasi trauma dan stress akibat bencana adalah mengajak anak berbicara.
Berikut ini peran yang bisa dilakukan orang tua dalam membantu anak mengatasi trauma dan
stress akibat bencana:
1. Membatasi anak untuk melihat televisi ataupun mendengarkan radio untuk mengurangi
stress anak karena televise yang menampilkan gambar kejadian bencana dan radio yang
menyampaikan pembahasan terkait bencana secara berulang-ulang.
2. Orang tua harus merespon pertayaan anak sesuai dengan usia anak, mendengarkan dan
mengamati kekhawatiran anak untuk mengetahui dan menentukan tingkat stress yang anak
alami.
3. Memberikan pernyataan yang menenangkan untuk anak, menjaga kegiatan dan rutinitas
harian keluarga karena pola perilaku keluarga memberikan ketentraman dan rasa aman
untuk anak.
4. Orangtua mengajak anak untuk menghargai dan memberikan komentar positf tentang apa
yang sedang dialami saat ini. Hal ini akan memberikan kekuatan untuk anak mengatasi
stress.
5. Memberikan semangat kepada anak melalui cerita yang menginspirasu da memberikan
kepercayaan kepada anak bahwa bisa bertahan dan berkembang melewati masa penuh
perjuangan dan kesulitan yang dihadapi sekarang.
`
7
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, Jane. (2011). The Process of Parenting (Edisi Delapan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lazarus, P. J., & Jimerson, S. R., Brock, S. E., Helping Children Afer a Natural Disaster:
Informaton for Parents and Teachers, dalam S. E. Brock, P. J. Lazarus, & S. R. Jimerson
(Eds.), Best Practces in School Crisis Preventonand InterventonBethesda, MD: Natonal
Associaton of School, 2002.
Evans, Linda & Judy Oehler. 2006. Children and Natural Disasters: A Primer for School
Psychologists. School Psychology Internasional. Vol.27(1): 33-48.
Nugroho, D.U., Nurulia, Rengganis,N.R., Wigati, P.A., 2012 Sekolah Petra (Penanganan
Trauma) Bagi Anak Korban Bencana Alam. Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Vol.2(2): 97-
101.
Nawangsih, Endah. 2014. Play Therapy Untuk anak-anak Korban Bencana Alam Yang
Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD). Jurnal Ilmiah Psikologi.
Vol.1(2): 164-178.

More Related Content

Pengasuhan Orangtua Dalam Masa Sulit (Bencana Alam)

  • 1. 1 ISU PENGASUHAN ORANGTUA DALAM MASA SULIT (BENCANA ALAM) Disusun oleh : Andi Nur Maharani Islami1,Esny Baroroh2, Program Studi Pascasarjana Pendidikan Anak Usia Dini, Universitas Negeri Yogyakarta, andiemi.maharani@yahoo.co.id, esnybaroroh@gmail.com, 187172510181, 187172510052 Bencana alam memiliki keragaman dalam prediksinya dan yang tidak bisa diprediksi akan meningkatkan stres. Badai bisa diantisipasi dan kadang bisa dihindari, tetapi gempa bumi dan tornado bersifat tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi. Dampak dari bencana alam tergantung pada durasi yang biasanya berlangsung singkat dibandingkan dengan penganiayaan atau kekerasan di masyarakat yang mungkin berkelanjutan, dan tergantung pada tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Secara umum, di tahun-tahun awal setelah bencana terjadi, gejala biasa hingga gejala serius PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stress pasca trauma ditemukan pada 30-50 persen anak yang merasakan dampak bencana. Hal ini karena anak-anak secara fisik dan mental masih dalam pertumbuhan dan masih tergantung dengan orang dewasa. Gejala PTSD yang dialami setelah bencana alam lebih sering mencakup pengulangan rasa atas kejadian dan memiliki pikiran instrusif dan kadang-kadang kekakuan serta menghindari topik tersebut. Hanya sedikit anak yang mengalami gejala ini dalam periode lama, tetapi biasanya gejala ini menurun setelah tahun pertama. Anak yang memiliki masalah sebelum bencana terjadi cenderung memiliki kesulitan yang meningkat karena bencana yang dialaminya tersebut. Dampak terjadinya bencana sangat bervariasi mulai dari kerugian, kerusakan hingga kematian. BNPB telah mencatat bahwa selama kurun waktu 2004 hingga 2014 korban meninggal akibat bencana mencapai 12.437. Jumlah ini cukup besar karena dalam kuruan waktu singkat hanya selama 10 tahun. Kondisi ini memperlihatkan masih lemahnya kesiapan menghadapi bencana di Indonesia. Hal itu sesuai dengan pendapat Rinaldi (2009) bahwa kesiapan indonesia dalam mengahadapi bencana masih lemah dengan bukti jumlah korban jiwa dan kehilangan yang masih tinggi setiap kejadian bencana. Dampak bencana juga terjadi pada pendidikan. Bencana memberikan dampak pada kerusakan gedung sekolah. Sebanyak 26.856 unit sekolah mengalami kerusakan baik ringan hingga berat. Kerugian pada elemen sekolah seperti guru dan murid, proses pembelajaran, properti, dan penyediaan akibat bencana, mengakibatkan jutaan masa depan generasi muda terancam (Lesmana dan Purobrini, 2015). Terhentinya pendidikan akibat dari konflik dan
  • 2. 2 bencana alam merupakan sebab utama dari keluarnya anak-anak dan generasi muda dari jalur pendidikan (Pereznieto and Harding, 2013). Pendidikan bencana adalah hal baru bagi pendidikan di Indonesia. Beberapa peristiwa bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir dan tanah longsor belum menjadi prioritas utama dalam pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Peristiwa bencana telah merugikan masyarakat luas. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang bahaya, kerentanan dan risiko yang diduga menyebabkan orang cenderung memiliki kemampuan kesiapsiagaan yang rendah dalam menghadapi bencana. Kemampuan dalam menghadapi kesiapsiagaan bencana harus diajarkan dan dilatih sejak dini melalui pendidikan bencana. Pendidikan bencana bisa dilakukan mulai dari sekolah dasar. Pihak yang berperan penting dalam pendidikan bencana adalah learning community. Masyarakat belajar di sekolah yang terdiri dari guru, siswa, dan perangkat lainnya harus memiliki kemampuan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Kesiapsiaagaan dalam menghadapi bencana akan menumbuhkan budaya siaga dan aman di sekolah. Sekolah sebagai satuan pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menyelenggarakan pendidikan, khususnya kesiapsiagaan bencana. Sampai saat ini sekolah tetap dipercaya sebagai wahana efektif untuk membangun budaya bangsa, termasuk membangun budaya kesiapsiagaan bencana warga negara; yakni secara khusus kepada peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, lingkungan sekitar dan para pemangku kepentingan lainnya, dan secara umum kepada masyarakat luas. (Qurniawan, 2014). Peran sekolah sangat penting dalam upaya meningkatkan kesiapsiagaan bencana. Komunitas belajar di sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa, dan orang lain di sekolah harus memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang risiko bencana di sekolah dan lingkungan sekitarnya. Kesiapan masyarakat belajar dalam bentuk pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik, diyakini dapat mengurangi risiko bencana. Pendidikan kebencanaan harus dimulai sejak dini. Hal ini didasarkan pada fakta setiap tahun diperkirakan sekitar 66 juta anak di seluruh dunia terkena dampak bencana (Hedwiyanti dan Sudaryono, 2013). Anak-anak memliki kerentanan bencana yang lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa. Hal tersebut terjadi karena mereka memiliki kemampuan dan sumberdaya terbatas untuk mengontrol atau mempersiapkan diri ketika merasa takut sehingga sangat bergantung pada pihak-pihak di luar dirinya supaya dapat pulih kembali dari bencana (Sulistyaningsih, 2011; Hedwiyanti dan Sudaryono, 2013). Pendidikan kebencanaan sejak dini akan membantu anak-anak memainkan peranan penting dalam penyelamatan hidup dan perlindungan anggota masyarakat (Honesti dan Djali, 2012). Tujuan utamanya mereka
  • 3. 3 mampu menyelamatkan diri dan mengontrol diri agar tidak terjadi trauma pascaerupsi. Tujuan besarnya dapat ikut serta memberikan edukasi kepada lingkungan sekitarnya. Kurangnya perhatian pada penanganan korban bencana alam, khususnya upaya pemulihan trauma di setiap bencana alam yang terjadi di Indonesia merupakan masalah yang belum ditangani secara serius dan efektif. Padahal trauma dapat menyebabkan masalah besar dalam kehidupan pasca bencana alam. Bencana berarti juga terhambatnya laju pembangunan. Berbagai hasil pembangunan ikut menjadi korban sehingga perlu adanya proses membangun ulang. Siswa pun harus terpaksa berhenti sekolah. Kenyataan seperti ini berarti pula muncul kemungkinan kegagalan di masa mendatang. Dari berbagai masalah seperti itu bisa menyebabkan timbulnya trauma (Faturochman, 2013). Bantuan berupa materi untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan serta penanganan medis adalah hal yang penting yang dapat mendukung keberlangsungan hidup para korban bencana. Namun, satu hal yang tak kalah penting adalah bantuan penanganan psikologis berupa pemulihan trauma. Pemulihan trauma pasca bencana akan mencegah munculnya gangguan psikologis yang lebih berat. Selain itu, pemberian pelayanan psikologis yang intensif dalam level individu, kelompok atau komunitas bagi korban bencana dapat meningkatkan ketahanan (resiliensi) sehingga kelak mereka menjadi lebih tangguh dan siap menghadapi permasalahan yang ada. Pemulihan trauma bukanlah hal yang instan. Kegiatan ini membutuhkan waktu yang realistis dan sumber daya manusia (fasilitator seperti psikolog, pekerja kreatif, pekerja sosial, relawan, dll) yang profesional dan memadai. Saat satu atau dua penanganan psikologis telah dilakukan, bukan berarti semuanya telah berakhir. Proses monitoring dan evaluasi juga masih perlu dikerjakan agar program pemulihan trauma dapat mencapai hasil yang signifikan, yaitu terwujudnya kesejahteraan psikologis pada korban bencana. Pemulihan trauma berarti mengatasi rasa bersalah, kecemasan, ketakutan dan menyediakan mekanisme coping (penyelesaian) terhadap pikiran dan perasaan negatif yang muncul. Pihak yang paling rentan mengalami trauma akibat bencana adalah anak dan remaja. Hal ini disebabkan karena mereka belum memiliki kapasitas yang memadai dalam mengontrol emosi dan menyelesaikan masalah secara adaptif. Setelah bencana terjadi, anak harus pindah dari situasi dan rutinitas keseharian yang membuatnya aman dan nyaman. Ada yang kehilangan orang tua atau saudara. Ada yang pindah dari rumah dan tinggal sementara waktu di tempat pengungsian. Malah, ada yang tidak bisa bersekolah, bermain dan mendapatkan istirahat yang cukup. Oleh karena itu, diperlukan metode dan media yang tepat untuk membantu anak
  • 4. 4 mengekspresikan rasa takut, cemas, pesimis dan menumbuhkan harapan serta optimisme mengenai masa yang akan datang. Menurut American Psychological Association, ada beberapa reaksi dan respon yang umumnya dialami saat menghadapi bencana antara lain: 1. Merasa cemas, gugup, lebih sensitif dari pada biasanya 2. Terjadinya perubahan pada pola pikir dan perilaku. Biasanya, korban mengingat kembali peristiwa yang telah terjadi meskipun ia tidak menginginkannya (re-experiencing). Hal ini mempengaruhi kondisi fisik (hyper arousal) seperti berkeringat dingin, meningkatnya detak jantung, sulit berkonsentrasi sehingga pola tidur dan makan pun menjadi terganggu. 3. Sensitif terhadap lingkungan sekitar. Suara ribut, getaran atau stimulus lainnya yang memicu ingatan akan bencana menimbulkan kecemasan serta rasa takut akan terulangnya bencana 4. Munculnya gejala fisik yang berkaitan dengan stres (psikosomatis) seperti sakit kepala, sakit dada, insomnia dan lainnya. Di samping itu, Florence Halstead, seorang peneliti Geografi Manusia (Antropogeografi) dari Universitas Hull, Inggris menyarankan cara memfasilitasi anak dalam pemulihan trauma pasca bencana bagi orang tua, guru, pekerja sosial, atau pihak yang terlibat langsung dalam penanganan bencana. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain: 1. Mendorong anak untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya Anak yang menjadi korban bencana alam seringkali menyampaikan bahwa keluarga dan sekolah tidak mendengarkan kekuatiran atau masalah yang mereka alami. Mereka juga mengatakan bahwa mereka tidak ingin membebani keluarga dan guru dengan kekuatiran yang mereka rasakan. Meskipun anak tampak baik-baik saja dari luar, namun belum tentu demikian dengan perasaan yang di dalam diri anak. Orang tua, guru atau pekerja sosial perlu peka dalam melihat kondisi dan kebutuhan anak. Yakinkan anak bahwa perasaan adalah hal yang penting untuk disampaikan. Berikan kesempatan bagi anak untuk berbicara mengenai perasaan dan pengalaman yang mereka alami terkait dengan bencana. Rancanglah aktivitas semenarik mungkin yang dapat membuat anak merasa nyaman dan terbuka untuk bercerita, misalnya dengan menggambar, menulis, bercerita dengan boneka. 2. Menjadi role model yang positif dan optimis bagi anak Orang tua, guru atau pekerja sosial dan pihak lainnya perlu menyadari bahwa anak memandang orang dewasa sebagai role model (teladan) dalam menghadapi kesulitan yang terjadi pasca bencana.
  • 5. 5 Jangan menyampaikan hal-hal yang dapat membuat anak merasa takut. Sebaliknya, tunjukkan sikap dan perilaku yang optimis bahwa hari yang akan datang akan lebih baik. Yakinkan pada anak untuk mengetahui bahwa mereka akan tetap aman dengan bantuan dan perlindungan yang tersedia. 3. Mengedukasi anak mengenai bencana Fakta mengenai bencana dapat menjadi suatu pengetahuan dan wawasan baru bagi anak. Sampaikanlah dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan dapat dipahami oleh anak. Misalnya, penyebab terjadinya gempa atau cara melindungi diri dan orang lain bila gempa terjadi lagi. Hal ini akan membantu anak untuk merasa lebih berdaya dan percaya diri untuk mengatasi masalah-masalah akibat bencana yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. 4. Menciptakan rutinitas sederhana bagi anak Meminta anak untuk melakukan rutinitas, apalagi saat tinggal di tempat pengungsian merupakan hal yang agak sulit. Namun, hal ini dapat dimulai dengan memberlakukan rutinitas sehari-hari seperti jam makan dan jam tidur. Selain itu, berikan waktu pada anak untuk tetap berinteraksi dan bermain dengan teman-temannya. Dengan menjalankan rutinitas dapat membantu mengurangi rasa cemas atau kebosanan yang mungkin dirasakan oleh anak karena kehilangan mainan yang dimiliki atau karena ditutupnya sekolah. Selain itu, Lazarus, et.al (2002) mengatakan dalam situasi pasca bencana, kehidupan yang serba darurat perhatian dari orang tua mengambil peran penting dalam membantu anak melewat masa-masa krisis setelah bencana. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan peran orang tua dalam melakukan pendampingan terhadap anak-anak sesuai dengan kapasitas yang bisa diperankan oleh orang tua. Peran sederhana yang bisa diperankan oleh orang tua dalam pendampingan anak pasca bencana adalah sebagai berikut: 1. Orang tua bersikap tenang, karena secara psikologis anak-anak melihat tanda dari apa yang diperlihatkan oleh orang tua. Anak akan menjadi semakin panik dan stress ketika orang tua mereka menunjukkan kepanikan dan stress. Oleh karena itu orang tua harus mendampingi anak dan meyakinkan anak bahwa keluarga dan masyarakat akan memperhatikan anak dan keadaan akan kembali normal. 2. Memposisikan orang tua sebagai teman anak yang dapat mendorong anak untuk mengungkapkan perasaan dan perhatian mereka terkait dengan bencana. Kemampuan mendengarkan dan empati dari orang tua menjadi kekuatan yang luar bisaa dalam membantu anak melewat masa-masa krisis akibat bencana.
  • 6. 6 Pendapat dari Lazarus, et.al (2002) di atas diperkuat oleh Jane Brooks (2011: 900) yang mengatakan bahwa orang tua merupakan sosok penting dalam membantu anak mengatasi trauma dan stress akibat bencana. Peran penting yang bisa dilakukan orang tua dalam membantu anak mengatasi trauma dan stress akibat bencana adalah mengajak anak berbicara. Berikut ini peran yang bisa dilakukan orang tua dalam membantu anak mengatasi trauma dan stress akibat bencana: 1. Membatasi anak untuk melihat televisi ataupun mendengarkan radio untuk mengurangi stress anak karena televise yang menampilkan gambar kejadian bencana dan radio yang menyampaikan pembahasan terkait bencana secara berulang-ulang. 2. Orang tua harus merespon pertayaan anak sesuai dengan usia anak, mendengarkan dan mengamati kekhawatiran anak untuk mengetahui dan menentukan tingkat stress yang anak alami. 3. Memberikan pernyataan yang menenangkan untuk anak, menjaga kegiatan dan rutinitas harian keluarga karena pola perilaku keluarga memberikan ketentraman dan rasa aman untuk anak. 4. Orangtua mengajak anak untuk menghargai dan memberikan komentar positf tentang apa yang sedang dialami saat ini. Hal ini akan memberikan kekuatan untuk anak mengatasi stress. 5. Memberikan semangat kepada anak melalui cerita yang menginspirasu da memberikan kepercayaan kepada anak bahwa bisa bertahan dan berkembang melewati masa penuh perjuangan dan kesulitan yang dihadapi sekarang. `
  • 7. 7 DAFTAR PUSTAKA Brooks, Jane. (2011). The Process of Parenting (Edisi Delapan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lazarus, P. J., & Jimerson, S. R., Brock, S. E., Helping Children Afer a Natural Disaster: Informaton for Parents and Teachers, dalam S. E. Brock, P. J. Lazarus, & S. R. Jimerson (Eds.), Best Practces in School Crisis Preventonand InterventonBethesda, MD: Natonal Associaton of School, 2002. Evans, Linda & Judy Oehler. 2006. Children and Natural Disasters: A Primer for School Psychologists. School Psychology Internasional. Vol.27(1): 33-48. Nugroho, D.U., Nurulia, Rengganis,N.R., Wigati, P.A., 2012 Sekolah Petra (Penanganan Trauma) Bagi Anak Korban Bencana Alam. Jurnal Ilmiah Mahasiswa, Vol.2(2): 97- 101. Nawangsih, Endah. 2014. Play Therapy Untuk anak-anak Korban Bencana Alam Yang Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD). Jurnal Ilmiah Psikologi. Vol.1(2): 164-178.