1. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 129 TAHUN 2000
TENTANG
PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN,
PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. Bahwa sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan
ekonomi, potensi Daerah, Sosial Budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah
dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah;
b. Bahwa sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan
Otonomi Daerah dapat dihapus dan digabung dengan Daerah lain, dan sesuai dengan
perkembangan Daerah, Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu
Daerah;
c. Bahwa untuk menetapkan syarat-syarat dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan b sesuai ketentuan yang berlaku perlu ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3848;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Ototnom (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN
KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonomi untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan-perundangan;
2. Daerah Otonomi selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas daerah tertentu, yang berwenang dan mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. Pembentukan Daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai Daerah
Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Pemekaran Daerah adalah Pemecahan Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan
Daerah Kota menjadi lebih dari satu Daerah.
5. Penghapusan Daerah adalah Pencabutan status sebagai Daerah Propinsi, Daerah
Kabupaten, dan Daerah Kota.
2. 6. Penggabungan Daerah adalah penyatuan Daerah yang dihapus kepada Daerah lain.
7. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah adalah forum konsultasi Otonomi Daerah di
tingkat Pusat yang bertanggung jawab kepada Presiden.
BAB II
TUJUAN
Pasal 2
Pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui :
a. peningkatan pelayanan kepada masyarakat;
b. percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
c. percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
d. percepatan pengelolaan potensi daerah;
e. peningkatan keamanan dan ketertiban;
f. peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.
BAB III
SYARAT-SYARAT PEMBENTUKAN DAERAH
Pasal 3
Daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut :
a. kemampuan daerah;
b. potensi daerah;
c. sosial budaya;
d. sosial politik;
e. jumlah penduduk;
f. luas daerah;
g. pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
Pasal 4
Kemampuan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan cerminan
hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi,
Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari:
a. produk domestik regional bruto (PDRB);
b. penerimaan daerah sendiri.
Pasal 5
Potensi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, merupakan cerminan
tersedianya sumber daya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap
penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari:
a. lembaga keuangan;
b. sarana ekonomi;
c. sarana pendidikan;
d. sarana kesehatan;
e. sarana transportasi dan komunikasi;
f. sarana pariwisata;
g. ketenagakerjaan.
Pasal 6
Sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c merupakan cerminan yang
berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial budaya
masyarakat yang dapat diukur dari:
a. tempat peribadatan;
b. tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya;
c. sarana olah raga.
3. Pasal 7
Sosial politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, merupakan cerminan kondisi
sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari:
a. partisipasi masyarakat dalam berpolitik;
b. organisasi kemasyarakatan.
Pasal 8
Jumlah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, merupakan jumlah
tertentu penduduk suatu Daerah.
Pasal 9
Luas daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, merupakan luas tertentu suatu
Daerah.
Pasal 10
Pertimbangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g, merupakan
pertimbangan untuk terselenggaranya Otonomi Daerah yang dapat diukur dari:
a. keamanan dan ketertiban;
b. ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan;
c. rentang kendali;
d. Propinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten dan/atau
Kota;
e. Kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan;
f. Kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) kecamatan.
Pasal 11
Cara pengukuran dan penilaian persyaratan pembentukan Daerah, dilakukan berdasarkan
ketentuan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 12
Usul pembentukan Daerah yang sudah memenuhi persyaratan dapat diproses lebih lanjut
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
BAB IV
KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH
Pasal 13
(1) Pemekaran Daerah dapat dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
a. kemampuan ekonomi;
b. potensi daerah;
c. sosial budaya;
d. sosial politik;
e. jumlah penduduk;
f. luas daerah;
g. pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
(2) Cara pengukuran dan penilaian kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama
dengan cara pengukuran dan penilaian pembentukan Daerah sebagaimana diatur
dalam Pasal 12.
Pasal 14
(1) Penghapusan Daerah dilakukan apabila Daerah tidak mampu melaksanakan Otonomi
Daerahnya.
(2) Daerah yang dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digabungkan dengan
Daerah lain.
(3) Penghapusan dan penggabungan daerah mempertimbangkan kriteria sebagai berikut:
a. kemampuan ekonomi;
b. potensi daerah;
4. c. sosial budaya;
d. sosial politik;
e. jumlah penduduk.
Pasal 15
Cara pengukuran dan penilaian penghapusan dan penggabungan Daerah dilakukan
berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.
BABV
PROSEDUR PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN, DAN
PENGGABUNGAN DAERAH
Pasal 16
(1) Prosedur Pembentukan Daerah sebagai berikut:
a. ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan;
b. pembentukan Daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah;
c. usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah c.q. Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan
persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam
wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
d. usul pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil
penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan
DPRD Propinsi, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
e. dengan memperhatikan usulan Gubernur; Menteri Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan
observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah;
f. berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut;
g. para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan
pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
h. berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul
pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah;
i. apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang
Pembentukan Daerah kepada Presiden;
j. apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang
pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk mendapat persetujuan.
(2) Prosedur pemekaran Daerah sama dengan prosedur pembentukan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 17
(1) Prosedur Penghapusan dan Penggabungan Daerah:
a. usul penghapusan dan penggabungan Daerah Propinsi disampaikan oleh Gubernur
dengan persetujuan DPRD Propinsi kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah;
b. usul penghapusan dan penggabungan Daerah Kabupaten/Kota disampaikan oleh
Bupati/Walikota melalui Gubernur kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah;
5. c. sebelum suatu Daerah dihapus, masyarakat daerah tersebut diminta pendapatnya
untuk bergabung dengan Daerah yang berdampingan dan yang diinginkan yang
dituangkan dalam Keputusan DPRD;
d. Daerah yang akan menerima penggabungan Daerah yang dihapus, Kepala Daerah
dan DPRD membuat keputusan mengenai penerimaan Daerah yang dihapus ke
dalam Daerahnya;
e. dengan memperhatikan usulan Gubernur; Menteri Dalam Negeri dan Otonomi
Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan
observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah;
f. berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut;
g. para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan
pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
h. berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul
penghapusan dan penggabungan Daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah;
i. apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah menyetujui usul penghapusan dan penggabungan Daerah, Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
mengajukan usul penghapusan dan penggabungan Daerah tersebut heserta
Rancangan Undang-undang Penghapusan dan Penggabungan Daerah kepada
Presiden;
j. apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang tentang
Penghapusan dan Penggabungan Daerah disampaikan kepada DPR-RI untuk
mendapatkan persetujuan.
(2) Pemerintah atas inisiatif sendiri, berdasarkan hasil penelitian, menyarankan agar suatu
Daerah dihapus dan digabungkan ke dalam wilayah Daerah lainnya.
BAB VI
PEMBIAYAAN
Pasal 18
(1) Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan, terhitung sejak diresmikannya pembentukan Propinsi yang baru
dibentuk, pembiayaan yang diperlukan pada tahun pertama sebelum dapat disusun
APBD Propinsi yang baru dibentuk, dibebankan kepada APBD Propinsi induk,
berdasarkan hasil pendapatan yang diperoleh dari Propinsi yang baru dibentuk,
APBD Kabupaten/Kota yang masuk dalam wilayah Propinsi yang baru dibentuk dan
dapat dibantu melalui APBN.
(2) Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan, terhitung sejak diresmikannya pembentukan Kabupaten/Kota yang
baru dibentuk, pembiayaan yang diperlukan pada tahun pertama sebelum dapat
disusun APBD Kabupaten/Kota yang baru dibentuk, dibebankan kepada APBD
Kabupaten/Kota induk, berdasarkan hasil pendapatan yang diperoleh dari
Kabupaten/Kota yang baru dibentuk.
(3) Segala biaya yang berhubungan dengan penghapusan dan penggabungan Daerah
dibebankan pada APBN.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
6. Pasal19
Untuk melakukan evaluasi tingkat kemampuan Daerah dalam penyelenggaraan
Otonominya, Daerah setiap tahun harus menyampaikan data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 s.d. Pasal10 huruf a, b, dan c kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Desember 2000
PRESIDEN REPUBUK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal13 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBUK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 233
7. PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 129 TAHUN 2000
TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN,
PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH
I. UMUM
Pembagian wilayah administrasi pemerintahan di Indonesia berdasarkan pada Pasal
18 UUD 1945 dan Penjelasannya yang menegaskan bahwa pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil! denga!1 bentuk dan susunan pemerintahannya
ditetapkan dengan
Undang-undang. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah Propinsi dan daerah
Propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah- daerah yang bersifat
OCOnom atau bersifat administratifbelaka, semuanya menurut aturan yang akan
ditetapkan dengan Undang-undang. Dengan ditetapkannya Undang-undang No.
22Tahun 1999tentangPemerintahan Daerah, pembagian Daerah di Indonesia adalah
Daerah Propinsi yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi
serta Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi. Daerah yang dibentuk dengan asas desent"lisasi berwenang untuk n-enentukan
dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat.
Sesuai dengan Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
bahwa pembentukan suatu Daerah Otonom baru, dimungkinkan dengan memekarkan
Daerah dan harus memenuhi syarat- syaratkemampuan ekonomi, potensi daerah,
sosial budaya, sosial poIitik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain
yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Dengan demikian jelas
bahwa usul pembentukan suatu Daerah tidak dapat diproses apabila hanya memenuhi
sebagian syarat saja, seperti halnya sebagian besar dari usul-usul pembentukan
Daerah sebelumnya hanya didasarkan pada pertimbangan faktor politis atau faktor
sejarah saja. Pembentukan Daerah harus bermanfaat bagi pembangunan nasional pada
umumnya dan pembangunan Daerah pada khususnya dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang secara tidak langsung diharapkan dapat meningkatkan
pendapatan Daerah. Disamping itu pembentukan Daerah juga mengandung arti bahwa
Daerah tersebut harus mampu melaksanakan Otonomi Daerahnya sesuai dengan
kondisi, potensi, kebutuhan dan kemampuan Daerah yang bersangkutan.
Pembentukan suatu Daerah Otonom baru, tidak boleh mengakibatkan Daerah induk
tidak mampu lagi melaksanakan Otonomi Daerahnya. Dengan demikian baik Daerah
yang dibentuk maupun Daerah yang dimekarkan atau Daerah Induk secara sendjri-sendiri
dapat melaksanakan Otonomi Daerahnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Begitu juga bagi Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dapat dihapus
apabila Daerah-daerah tersebut berdasarkan hasiJ penelitlan tidak mampu
melaksanakan Otonominya. Daerah yang dihapus digabungkan ke dalam satu atau
beberapa Daerah yang berdampingan yang diinginkan dari Daerah yang dihapus
tersebut. Penghapusan dan penggabungan suatu Daerah ditetapkan dengan Undang-undang.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
8. Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas Huruf b
Yang dimaksud dengan penerimaan daerah sendiri adalah penerimaan Daerah yang
berasal dari Pendapatan Asli Daerah, bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari
sumber daya alam.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Yang maksud dengan jumlah tertentu penduduk suatu Daerah adalah besaran Jumlah
penduduk suatu Daerah yang telah memenuhi syarat sesuai dengan pengukuran dan
penilaian pembentukan Daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan luas tertentu suatu Daerah adalah
besaran luas suatu Daerah yang telah memenuhi syarat sesuai dengan
pengukuran dan penilaian pembentukan Daerah yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cara pengukuran dan penilaian pembentukan Daerah yaitu dengan memberikan bobot
terhadap syarat-syarat pembentukan Daerah, dan menetapkan indikator; serta sub
indikator. Pada setiap indikator dan sub indikator diberi nilai atau skor untuk
menentukan dapat atau tidaknya suatu Daerah dibentuk.
Pasal 12
Pembentukan Daerah sudah memenuhi syarat apabila usul pembentukan Daerah
setelah diadakan penelitian ternyata skor penilaiannya telah memenuhi ketentuan
untuk dapat dibentuknya suatu .Daerah.
Pembentukan Daerah tidak memenuhi syarat apabila usul pembentukan Daerah
setelah diadakan penelitian ternyata skor penilaiannya tidak memenuhi syarat sesuai
dengan skor untuk dapat dibentuknya suatu Daerah.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Sebelum suatu Daerah dihapus, kepada Daerah diberi kesempatan paling lama 5
(lima) tahun sejak penilaian untuk memperbaiki kinerja dan mengembangkan potensi
yang ada. Apabila seteah jangka waktu tersebut ternyata Daerah masih tidak mampu
melaksanakan Otonominya, Daerah dimaksud dapat dihapus.
Ayat (2)
Propinsi yang dihapus sebagai Daerah, wilayahnya digabungkan ke dalam satu atau
beberapa Propinsi yang berdampingan dan yang diinginkan dengan Propinsi yang
dihapus. Kabupaten yang dihapus sebagai Daerah, wilayahnya digabungkan ke dalam
satu atau beberapa Kabupaten yang berdampingan dan yang diinginkan dari
Kabupaten yang dihapus, dalam satu Propinsi. Kota yang dihapus sebagai Daerah,
wilayahnya digabungkan ke dalam satu atau beberapa Kabupaten atau Kota yang
berdampingan dan yang diinginkan atau tetangga dari Kota yang dihapus, dalam satu
Propinsi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
9. Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat
adalah adanya pernyataan-pernyataan masyarakat melalui .LSM-LSM, Organisasi-organisasi
politik dan lain-lain, pemyataan Gubernur, Bupati/Walikota yang
bersangkutan, yang selanjutnya dituangkan secara resmi dalam bentuk persetujuan
tertulis baik melalui Kepala Daerah dan DPRD yang bersangkutan.
Huruf b .
Dalam melaksanakan penelitian awal, pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan
pihak manapun yang dapat mendukung pembentukan Daerah dimaksud.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, menyarankan kepada
Kepala Daerah dan DPRD yang bersangkutan agar Daerah tsb diusulkan untuk
dihapus.
Pasal 18
Ayat (1)
Bantuan APBN kepada propinsi yang baru dibentuk disesuaikan dengan kondisi
keuangan negara.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBUK INDONESIA NOMOR 4036
10. LAMPIRAN
CARA PENILAIAN PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN
DAN PENGGABUNGAN DAERAH
I. PERSYARATAN/KRITERIA, INDIKATOR, DAN SUB INDIKATOR
1. Pembentukan, Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah Otonom
memerlukan penilaian dengan menggunakan Indikator tersedia.
2. Indikator tersedia terdiri dari 7 kriteria/syarat dengan 19 indikator dan 43 sub
indikator, sub indikator dan indikator tersedia adalah, seperti pada Tabel 1.
3. Indikator tersedia dikumpulkan dari sumber data Pemerintah Daerah dan instansi
terkait dengan menggunakan daftar pertanyaan sesuai dengan indikator/sub
indikator pada Tabel 1.
{Tabel ada pada Biro Hukum BPKP}
IV. METODE PENILAIAN
1. Penilaian yang digunakan adalah sistim skoring yang terdiri dari 3 macam metode
yaitu: (1) metode A (Metode Rata-rata), (2) Metode B (Metode Distribusi) dan (3)
Metode C (Metode Kuota).
2. METODE A (Metode Rata-rata) adalah metode yang membandingkan besaran/nilai
tiap daerah terhadap nilai rata-rata keseluruhan daerah. Semakin dekat dengan nilai
rata-rata tertimbang keseluruhan daerah induknya semakin besar nilai skornya, yang
berarti kesenjangan antar daerah semakin berkurang.
3. METODE B (Metode Distribusi) adalah metode rata-rata yang mempertimbangkan
distribusi data. Perhitungan skor dengan metode ini disesuaikan dengan kemencengan
dan kerundngan kurva sebaran data.
4. METODE C (Metode kuota) adalah metode yang menggunakan angka tertentu
sebagai kuota penentuan skoring. Metode ini ditetapkan pada data jumlah penduduk
dan untuk daerah perkotaan saja, misalnya semakin mendekati 150.000 jiwa semakin
tinggi nilai skornya.
5. Metode A digunakan untuk Sub indikator no.1, 2 dan 3. Metode B digunakan untuk
Sub indikator no.4 s.d. 34, dan 36 s.d 43. Sedangkan Metode C digunakan untuk Sub
indikator no.35.
6. Setiap sub indikator mempunyai skor 1 untuk nilai terkecil dan skor 6 untuk nilai
terbesar.
7. Pada Metode A skor 5 s.d 6 adalah skor di atas rata-rata, dan skor di bawah rata-rata
adalah 1 s.d 4.
8. Pada Metode B skor 4 s.d 6 adalah skor di atas rata-rata, dan skor di bawah rata-rata
adalah 1 s.d 3.
9. Pada semua Metode, skor terendah adalah 1.
V. BOBOT UNTUK SETIAP KRITERIA DAN INDIKATOR
1. Setiap kelompok syarat/kriteria mempunyai bobot yang berbeda- beda sesuai dengan
perannya dalam pembentukan daerah otonom.
2. Bobot untuk kemampuan ekonomi adalah 25, potensi daerah adalah 20, sosial budaya
adalah 10, sosial politik adalah 10, jumlah penduduk adalah 15, luas daerah adalah
15, dan pertimbangan lain-lain adalah 5.
3. Total dari seluruh bobot adalah 100.
4. Skor minimal kelulusan adalah jumlah sub indikator pada setiap kelompok
syarat/kriteria dikali skor di atas rata-rata dikali bobot untuk setiap kelompok
syarat/kriteria.
11. VI. KRlTERIA KELULUSAN
1. Suatu daerah dikatakan "Lulus" menjadi daerah otonom apabila daerah induk maupun
calon daerah yang akan dibentuk mempunyai total skor sama dengan atau lebih besar
dari skor minimal kelulusan.
2. Suatu daerah dikatakan "Ditolak" menjadi daerah otonom apabila sebagian besar
(lebih dari separuh) skor sub indikator bernilai 1.
VII. PEMBENTUKAN DAN PENGHAPUSAN DAERAH OTONOM
1. Daerah-daerah yang diusulkan untuk dibentuk menjadi daerah otonom harus
memenuhi persyaratan bahwa setiap skor sub indikator harus bernilai di atas skor
rata-rata yaitu 4 s.d 6.
2. Apabila sampai dengan waktu yang ditentukan tidak dapat memenuhi kriteria atas
skor rata-rata maka daerah tsb dapat dihapus atau digabung dengan daerah lain.
3. Daerah-daerah yang selama ini sudah otonom, dapat diusulkan untuk dihapus dan
digabungkan dengan daerah lain apabila kinerja daerah tsb tergolong di bawah
standar minimal yaitu sebagian besar skor sub indikatornya bernilai 1 (satu).
PRESIDEN REPUBUK INDONESIA
ttd
ABDURRAHMAN WAHID