Dokumen ini menjelaskan tentang perhiasan masa Majapahit berdasarkan temuan arkeologi. Terdapat berbagai jenis perhiasan seperti anting-anting, gelang, kalung, dan hiasan kepala yang ditemukan di berbagai situs seperti Trowulan, Nglinguk, dan Mojokerto. Perhiasan-perhiasan tersebut memiliki beragam hiasan seperti pola sulur, binatang, dan cerita Ramayana.
2. PERHIASAN-PERHIASAN
MASA MAJAPAHIT
Paper ini secara khusus menjelaskan mengenai temuan berupa perhiasan-perhiasan
masa Majapahit. Namun, sebelumnya akan dipaparkan mengenai Kerajaan Majapahit dan
Situs Trowulan. Kerajaan Majapahit berdiri pada awal abad XIV-XV. Pendirian kerajaan
tersebut sebenarnya telah direncanakan oleh Raden Wijaya yang ingin melanjutkan
kemegahan Singhasari yang akan runtuh ketika dipimpin oleh Krtanagara, mertua Raden
Wijaya. Sebagai langkah awal, Raden Wijaya dan kawan-kawannya membuka hutan yang di
dalam Pararaton disebut sebagai alasing wong Trik... (hutannya orang Trik) berdasarkan
anjuran Arya Wiraraja, penguasa Madura. Rencana Raden Wijaya untuk membangun
Kerajaan Majapahit tersebut didukung dengan kehadiran tentara Mongol (Cina) pada akhir
tahun 1293 yang ingin menghukum Raja Jawa yang dianggap menghina utusan Kaisar
Kubhlai Khan yaitu Krtanagara (Munandar, 2006: 27).
Namun, Krtanagara telah gugur ketika menahan serangan tentara Glangglang yang
dipimpin Jayakatwang. Dikatakan bahwa terdapat kemungkinan adanya ketidakpahaman
pada tentara Mongol, sehingga Raden Wijaya dan kawan-kawannya memberi arahan untuk
menyerang Raja Jawa pada masa itu yaitu Jayakatwang yang telah berkedudukan di Kadiri.
Hasil dari pertempuran tersebut adalah dapat dikalahkannya Kadiri dan penawanan atas
Jayakatwang. Selanjutnya, Raden Wijaya pun memukul mundur tentara Mongol untuk
kembali ke daerah asalnya (Munandar, 2006: 27).
Di dalam pemberitaan diketahui bahwa Raden Wijaya memerintah pada 1293-1309.
Pada masa pemerintahannya, banyak terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh sahabatnya
yang merupakan rekan seperjuangan di dalam mendirikan Kerajaan Majapahit. Pada awal dan
akhir pemerintahan, kerajaan Majapahit dipenuhi dengan masalah politik internal. Tahap
pembentukan
kemegahan
terjadi
pada
masa
pemerintahan
Jayanagara
dan
Tribuwonottunggadewijayawisnuwarddani. Sedangkan, puncak kejayaan kerajaan ada pada
masa pemerintahan Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanagara (1350-1389)
(Munandar, 2006: 27-28)
Kerajaan Majapahit yang bercorak agama Hindu-Buddha dan merupakan kerajaan
terbesar pada masa Indonesia Kuna, mulai mengalami keruntuhan setelah peninggalan
Hayam Wuruk. Di mana pada masa itu terus terjadi peperangan yang dinamakan dengan
Paregrek (1401-1406). Kerajaan semakin runtuh karena para raja yang kemudian pun tidak
3. mampu untuk mengangkat kerajaan untuk kembali berjaya. Akhirnya, pada awal abad XVI,
Kerajaan Majapahit runtuh karena adanya masalah keluarga (Munandar, 2006: 28-29).
Di dalam pemberitaan mengenai Kerajaan Majapahit, terdapat pula berita Cina yang
ditulis oleh Ma-Huan mengenai keadaan masyarakat Majapahit pada abad XV. Dikatakan
bahwa penduduk Majapahit pada masa itu 200-300 keluarga. Penduduk tersebut dibagi
menjadi 3 golongan yaitu orang-orang Islam yang datang dari Barat dan memiliki mata
pencarian di ibukota, orang-orang Cina yang beragama Islam bekerja sebagai niagawan dan
bertempat tinggal di ibukota dan kota pelabuhan, dan penduduk pribumi yang masih
menyembah berhala (beragama Hindu-Buddha) dan suka memelihara anjing. Pada masa
tersebut kesenian yang populer adalah bentuk cerita Wayang Beber yang kisahnya dilukiskan
pada selembar kain panjang. Penduduk pun pada masa itu telah mengenal tulis menulis
menggunakan daun kajang sebagai kertas dan pisau tajam sebagai pena. Perdagangan pun
telah dikenal pada masa itu. Hal ini diketahui dengan adanya pengunaan uang kepeng untuk
membeli barang seperti barang-barang Cina yaitu porselin dan kain sutera
(Munandar, 2006: 29-31).
Pada masa Kerajaan Majapahit pun diketahui terdapat kitab hukum dan perundangundangan. Di dalam prasasti Bendasari dan Trowulan yang berangka tahun 1358 dan
dikeluarkan pada pemerintahan Rajasanagara terdapat kitab hukum yang dinamakan Kutara
Manawa. Kitab tersebut berisi hukum pidana dan perdata misalnya ketentuan denda, delapan
macam pembunuhan (astadusta), dan jual beli (adol-atuku) (Munandar, 2006: 32).
Berbicara mengenai Kerajaan Majapahit maka tidak akan lepas dengan Situs
Trowulan. Situs Trowulan dikatakan terletak diantara Canggu dan Japan. Canggu sendiri
merupakan sebuah desa di tepi Sungai Brantas, Mojokerto dan di sebelah selatannya terdapat
Trowulan. Sedangkan, Japan dahulu merupakan kabupaten dengan pusat kotanya adalah
Penarip, daerah Mojokerto. Namun, dengan adanya keputusan pemerintah Hindia Belanda
No. 14 tanggal 12 September 1838, pusatnya dipindahkan dan sekarang menjadi Mojokerto.
Trowulan sebenarnya merupakan sebuah desa di wilayah Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto. Trowulan sendiri berasal dari kata Antahwulan tempat Pratista (arca perwujudan)
Jayanegara setelah wafat. Ibukota Majapahit dikatakan di Trowulan karena adanya
penyebutan Antahwulan di dalam kraton pada Kitab Nagarakrtagama
(Sumarno, dkk., 2007: 97).
Pada awal paper telah dikemukakan bahwa akan dibahas secara khusus mengenai
perhiasan-perhiasan masa Majapahit, maka selanjutnya akan dibahas mengenai temuan
berupa perhiasan-perhiasan tersebut. Seperti diketahui bahwa Pusat Penelitian Arkeologi
4. Nasional telah melakukan penelitian sejak 1976 namun belum pernah menemukan perhiasan
dengan keadaan utuh. Temuan berupa perhiasan tersebut biasa ditemukan berupa fragmen
kawat atau benda lain dengan ukuran sangat kecil. Namun, diketahui pula bahwa di sekitar
Nglinguk banyak ditemukan kowi kecil (foto 1) yang digunakan untuk melelehkan emas
dengan diameter sekitar 5 cm. Perhiasan Majapahit sendiri terbagi menjadi 3 kelompok:
temuan dari Dusun Nglinguk, Trowulan, Dusun Bedok, Sooko, dan dari daerah lain di Jawa
Timur (Hardiati, 2006: 127).
Foto 1. Kowi
(Sumber: Hardiati, 2006: 126)
Temuan dari Dusun Nglinguk terdiri dari 9 buah yaitu 2 gelang, 2 rantai kalung (satu
diantaranya dengan liontin), dan masing-masing 1 buah cepuk bertutup, cepuk, tutup cepuk,
wadah, dan fragmen rantai. Pada temuan tersebut tidak ditemukan banyak pola hias. Namun
pada cepuk terdapat hiasan berupa kelopak bunga padma dan rangkaian bulatan
(Hardiati, 2006: 127-128).
Sedangkan temuan dari Dusun Bedok, Sooko yaitu cepuk perunggu besi berisi bendabenda emas: anting-anting, gelang lengan, fragmen liontin, dan hiasan hulu pedang. Hiasan
hulu pedang (foto 2) berukuran tinggi 6 cm dan berbentuk bulat, berlubang ditengah sebagai
tempat dimasukkannya hulu pedang. Pada bagian atas terdapat hiasan deretan segitiga seperti
antefix besar dan kecil. Pada antefix besar terdapat hiasan pola sulur sedangkan pada antefix
kecil terdapat hiasan berupa rumah panggung, candi, dan burung. Di bawah deretan antefix
terdapat relief yang menggambarkan rusa, sapi, dan kambing. Di bawah bagian relief terdapat
deretan antefix dengan ukuran lebih kecil. Selanjutnya, pada bagian dasar terdapat deretan 12
buah batu kemerahan yang masing-masing diberi bingkai dengan dua tonjolan
(Hardiati, 2006: 128).
5. Foto 2. Hiasan Hulu Pedang
(Sumber: Hardiati, 2006: 128)
Selain itu, terdapat pula temuan dari Jawa Timur (abad XII-XV) berupa anting-anting,
hiasan dada atau rambut, kalung, rantai selempang dada, dan jempang (penutup alat kelamin
anak perempuan). Pada anting-anting terdapat dua tipe bentuk yaitu bulatan dan memanjang.
Pada anting-anting dengan bentuk bulatan terdapat hiasan relief pola sulur dan deretan
bulatan. Terdapat pula, anting-anting dengan hiasan pola sulur yang memanjang dengan
lengkungan-lengkungan. Dikemukakan pula bahwa terdapat anting-anting yang berhiaskan
kepala raksasa. Berikut adalah anting dengan hiasan kepala raksasa dengan mulut terbuka
(foto 3) yang di dalamnya terdapat batu berwarna hijau (Hardiati, 2006: 128-129).
Foto 3. Anting-Anting
(Sumber: Hardiati, 2006: 128)
Selanjutnya, terdapat pula mengenai koleksi yang ada di Museum Nasional Jakarta
dengan nomor inventaris 6816 dan 6914. Koleksi dengan nomor inventaris 6816 (foto 4)
memiliki relief yang menggambarkan dewa Surya menaiki kuda dan dikelilingi lingkaran
yang mengeluarkan sinar dalam bentuk segitiga yang memiliki ujung runcing. Motif
lingkaran tersebut biasa disebut dengan sinar majapahit. Motif tersebut sering pula
ditemukan pada arca maupun relief candi abad XIV-XV. Di bawah relief dewa Surya tersebut
terdapat relief sangkha bersayap yang pada sisi kanan dan kirinya diapit oleh kepala naga
6. dengan mulut terbuka dan menunjukkan gigi. Pada sebagian tempat di atas maupun bawah
terdapat lekukan bekas batu permata yang telah hilang (Hardiati, 2006: 129-130).
Foto 4. Hiasan
(Sumber: Hardiati, 2006: 129)
Koleksi berikutnya adalah dengan nomor inventaris 6914 (foto 5). Koleksi ini
memiliki relief yang menggambarkan salah satu adegan di dalam cerita Ramayana. Pada
relief tersebut terdapat dua ekor kera yang berjalan di atas air dengan membawa batu karang
di atas kepala (Hardiati, 2006: 130).
Foto 5. Hiasan
(Sumber: Hardiati, 2006: 130)
Di sebelah barat Trowulan yaitu Mojoagung ditemukan pula dua buah kalung dengan
bentuk kawat atau tali polos. Kalung tersebut berbentuk bulat penuh dan pipih. Kalung ini
tidak memiliki hiasan atau polos. Selain itu, terdapat pula kalung berbentuk pilinan kawat
atau disebut dengan kalung untiran (foto 6). Untiran sendiri berasal dari kata untir yang di
dalam bahasa Jawa berarti pilin. Kalung ini memiliki rongga. Pada bagian tengah, terdapat
pasak yang dapat dibuka sehingga kedua bagiannya dapat terpisah (Hardiati, 2006: 131).
7. Foto 6. Kalung Untiran
(Sumber: Hardiati, 2006: 131)
Selain itu, terdapat pula temuan di Besuki berupa sebuah bandul yang terbuat dari
lembaran emas yang berbentuk seperti daun (foto 7). Pada bagian atas bandul terdapat hiasan
berupa pola sulur dengan batu-batu permata yang sekarang hanya bersisa satu saja berupa
batu berwarna hijau. Gantungan berbentuk seperti daun bulat menjadi hiasan pada bandul
yang dikaitkan ke bandul dengan menggunakan kawat emas (Hardiati, 2006: 131-132).
Foto 7. Bandul Kalung
(Sumber: Hardiati, 2006: 131)
Di Tulungagung dijumpai pula temuan yang dibentuk dari rangkaian kawat emas
berbentuk angka delapan yang dipipihkan (foto 8). Pada bagian ujung terdapat jumbai
berbentuk kuncup teratai sedangkan pada pangkal terdapat kait berbentuk huruf S yang dapat
dimasukkan ke mata kait yang berbentuk belah ketupat (Hardiati, 2006: 132)
8. Foto 8. Rantai Emas
(Sumber: Hardiati, 2006: 132)
Terdapat pula hiasan lain yaitu jempang. Jempang adalah seperti bandul lebar
berbentuk hati yang digunakan untuk menutupi alat kelamin anak perempuan. Di sisi lain,
para wanita yang melakukan pertapaan juga menggunakan jempang sebagai lambang
kesucian. Pada umumnya, dikatakan bahwa jempang berhiaskan relief cerita misalnya Sri
Tanjung (foto 9) dan Arjunawiwaha (foto 10) (Hardiati, 2006: 132-133).
Foto 9. Jempang yang ada di Madiun, Jawa timur
(Sumber: Hardiati, 2006: 132)
Foto 10. Jempang yang ada di Jepara
(Sumber: Hardiati, 2006: 133)
9. Selain itu, terdapat pula jempang dari Bondowoso. Jempang tersebut memiliki relief
yang menggambarkan seorang wanita yang duduk dan seorang anak yang berbaring
dipangkuannya. Pada bagian atas, terdapat kait yang dibentuk dari rangkaian bunga
berkelopak empat (foto 11) (Hardiati, 2006: 133). Dari ketiga contoh diatas maka dapat
diketahui bahwa terdapat persamaan pada jempang yaitu terdapat pola hias berupa sulur yang
mengelilingi tokoh cerita. Akan tetapi, sulur tersebut distilir sehingga bentuknya agak lebar
(Hardiati, 2006: 133-134).
Foto 11. Jempang yang ada di Bondowoso
(Sumber: Hardiati, 2006: 133)
Di dalam berbicara mengenai perhiasan-perhiasan masa Majapahit penting pula untuk
dibahas mengenai teknik pembuatan. Pada umumnya teknik yang digunakan dalam
pembuatan emas adalah cor yaitu penuangan logam cair dan penempaan yaitu menempa
lembaran tipis dengan palu atau kayu. Di dalam proses penempaan pun terdapat variasi yang
dikenal dengan istilah repousse. Teknik tersebut dilakukan dengan menempelkan lembaran
emas pada batu atau logam lain yang sudah bermotif lalu dipukul-pukul sehingga berbentuk
relief cembung pada lembaran tersebut. Untuk memperkuat proses tersebut digunakan pula
perunggu. Sedangkan diantara emas dan perunggu diisi dengan tanah liat halus yang tidak
dibakar. Pada tahap akhir pembuatan terdapat proses penyempurnaan. Salah satu proses
penyempurnaan adalah dengan cara poles (Hardiati, 2006: 134-135). Demikianlah pemaparan
mengenai perhiasan-perhiasan Majapahit, menurut hemat saya dengan adanya temuantemuan lepas tersebut dan mengacu kepada pendapat Handriati maka dapat diketahui bahwa
perhiasan-perhiasan tersebut merupakan perhiasan badan.
10. DAFTAR PUSTAKA
Hardiati, Endang Sri. Perhiasan dalam Majapahit: Trowulan.
Jakarta: Indonesian Heritage Society, 2006. 124-135.
Munandar, Agus Aris. Kerajaan Majapahit dalam Majapahit: Trowulan.
Jakarta: Indonesian Heritage Society, 2006. 26-33.
Sumarno, Aris, dkk. Mutiara-Mutiara Majapahit. Jakarta: Departemen Kebudayaan dan
Pariwisata, 2007. 97.