3. Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi
berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah
"Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling
melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan
sejarah poltik di wilayah tersebut.
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang
dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga
secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya
berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia
adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua
maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang
dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga
beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia
dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang tinggal
di Singapura.
4. Periodisasi Sastra Indonesia
Kesastraan di Indonesia dibagi dalam beberapa
periode. Salah satu sastrawan yang membuat periodisasi
sastra adalah Rachmat Djoko Pradopo. Periodisasi
sastra yang dibuatnya seperti berikut.
1. Periode Angkatan Balai Pustaka (1920)
2. Periode Angkatan Pujangga Baru (1930)
3. Periode Angkatan 45 (1940)
4. Periode Angkatan 50 (1950)
5. Periode Angkatan 1970
6. Periode Angkatan 2000
5. Periode Angkatan 45 (1940)
Pada periode ini berkembang jenis-jenis sastra: puisi, cerpen, novel,dan
drama.
Berikut ini ciri-ciri karya sastra Angkatan 45.
Puisi
a. Puisi bebas, tidak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan
persajakan (rima).
b. Pilihan kata atau diksi mempergunakan kosakata bahasa seharihari.
c. Menggunakan kata-kata, frasa, dan kalimat-kalimat ambigu
menyebabkan arti ganda dan banyak tafsir.
d. Mengekspresikan kehidupan batin atau kejiwaan manusia melalui
peneropongan batin sendiri.
e. Mengemukakan masalah kemanusiaan umum (humanisme
universal). Misalnya, tentang kesengsaraan hidup, hak-hak asasi
manusia, masalah kemasyarakatan, dan kepincangan dalam
masyarakat, seperti gambaran perbedaan mencolok antara
golongan kaya dan miskin.
f. Filsafat eksistensialisme mulai dikenal.
6. Contoh:
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar, Maret 1943
7. Puisi Aku tidak terikat pembagian bait, jumlah baris, dan
persajakan. Pada bait pertama terdiri atas tiga baris. Pada bait kedua
terdiri atas satu baris. Pada bait ketiga terdiri atas dua baris. Puisi
Aku mengekspresikan langsung perasaan penyair. Diksi atau
pilihan kata yang digunakan adalah kosakata sehari-hari.
Dalam puisi Aku terdapat kalimat-kalimat ambigu yang
menyebabkan banyak tafsiran seperti kalimat Aku mau hidup seribu
tahun lagi yang berarti penyair benar-benar ingin hidup sampai
seribu tahun lagi atau penyair ingin gagasan dan semangatnya
diteruskan dari generasi ke generasi walaupun penyair telah
meninggal.
Hubungan baris dan kalimat pada puisi Aku tidak terlihat,
karena tiap-tiap kalimat pada puisi Aku seperti berdiri sendiri.
Misalnya, pada bait 1 dan 2 secara kosakata tidak berhubungan.
Namun, secara makna bait 1 dan 2 berhubungan.
Puisi Aku mengekspresikan kehidupan batin manusia yang
tetap berpegang teguh pada pendiriannya untuk hidup bebas.
Masalah yang diungkapkan adalah masalah hak asasi manusia
untuk bebas dan berpegang teguh pada prinsipnya. Filsafat
eksistensialisme mulai tampak dalam puisi Aku. Dalam puisi
Aku penyair mulai menghargai keberadaannya meskipun
dalam keadaan yang terasing dan tersiksa.
8. Prosa
a. Banyak alur sorot balik, meskipun ada juga alur lurus.
b. Sisipan-sisipan cerita dihindari, sehingga alurnya padat.
c. Penokohan secara analisis fisik tidak dipentingkan, yang
ditonjolkan analisis kejiwaan, tetapi tidak dengan analisis
langsung, melainkan dengan cara dramatik.
d. Mengemukakan masalah kemasyarakatan. Di antaranya
kesengsaraan kehidupan, kemiskinan, kepincangankepincangan
dalam masyarakat, perbedaan kaya dan miskin, eksploitasi
manusia oleh manusia.
9. Contoh:
....
Banyak yang ditakutinya timbul. Hari-hari depan yang kabur
dan menakutkan. Keselamatan istri dan anaknya. Penghidupan
yang semakin mahal. Dan gaji yang tidak cukup. Hutang pada
warung yang sudah dua bulan tidak dibayar. Sewa rumah yang
sudah dihutang tiga bulan. Perhiasan istrinya dipajak gadai.
....
Dikutip dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka
Jaya, Jakarta, 1990
Dari kutipan tersebut dapat diketahui masalah yang dikemukakan
adalah masalah kemiskinan yang dihadapi tokoh utamanya (Guru
Isa).
10. e. Mengemukakan masalah kemanusiaan yang universal. Misalnya,
masalah kesengsaraan karena perang, tidak adanya perikemanusiaan
dalam perang, pelanggaran hak asasi manusia, ketakutanketakutan
manusia, impian perdamaian, dan ketenteraman hidup.
Contoh:
....
Isa berdiri terengah-engah karena sudah tidak biasa berlari
lagi. Gadis-gadis Palang Merah itu hendak kembali mengambil
orang Tionghoa yang luka, tetapi orang-orang menahan.
Jangan, kata mereka, ubel-ubel itu tidak peduli Palang
Merah.
....
Dikutip dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka
Jaya, Jakarta, 1990
Dari kutipan tersebut dapat dilihat tidak adanya perikemanusiaan
dalam perang. Bahkan, untuk menolong orang yang terluka saja
tentara-tentara tetap menembaki anggota Palang Merah.
11. f. Mengemukakan pandangan hidup dan pikiran-pikiran pribadi
untuk memecahkan sesuatu masalah.
Contoh:
....
Guru Isa merasa perubahan dalam dirinya. Rasa sakit siksaan
pada tubuhnya tidak menakutkan lagi. . . . orang harus belajar
hidup dengan ketakutan-ketakutannya . . . . Sekarang dia tahu
. . . . Tiap orang punya ketakutannya sendiri dan mesti belajar
hidup dan mengalahkan ketakutannya.
....
Dikutip dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka
Jaya, Jakarta, 1990
Dari kutipan di atas diketahui bahwa tokoh Guru Isa mengemukakan
pikirannya untuk mengatasi rasa takut dan ia berhasil.
12. g. Latar cerita pada umumnya latar peperangan, terutama perang
kemerdekaan melawan Belanda, meskipun ada juga latar perang
menentang Jepang. Selain itu, ada juga latar kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Contoh:
....
Ketika tembakan pertama di Gang Jaksa memecah kesunyian
pagi, Guru Isa sedang berjalan kaki menuju sekolahnya di Tanah
Abang. Selintas masuk ke dalam pikirannya rasa waswas tentang
keselamatan istri dan anaknya.
....
Dikutip dari: Jalan Tak Ada jung, Mochtar Lubis, Pustaka
Jaya, Jakarta, 1990
Latar kutipan novel Jalan Tak Ada jung menunjukkan latar
suasana mencekam karena masih dalam suasana peperangan.