際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
PERMASALAHAN PEMBELAJARAN SEJARAH DI INDONESIA
oleh :
Dede Yusuf
Pendidikan Sejarah 2011-Universitas Pendidikan Indonesia
A. PERMASALAHAN PEMBELAJARAN SEJARAH DI INDONESIA
Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi
pendidikan. Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari
berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu. Pada tingkat mikro, pencapaian
kualitas pembelajaran merupakan tanggungjawab profesional seorang guru, misalnya melalui
penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa dan fasilitas yang didapat siswa
untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Pada tingkat makro, melalui sistem
pembelajaran yang berkualitas, lembaga pendidikan bertanggungjawab terhadap
pembentukan tenaga pengajar yang berkualitas, yaitu yang dapat berkontribusi terhadap
perkembangan intelektual, sikap, dan moral dari setiap individu peserta didik sebagai anggota
masyarakat.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran, baik secara eksternal
maupun internal diidentifikasikan sebagai berikut. Faktor-faktor eksetrnal mencakup guru,
materi, pola interaksi, media dan teknologi, situasi belajar dan sistem. Masih ada pendidik
yang kurang menguasai materi dan dalam mengevaluasi siswa menuntut jawaban yang persis
seperti yang ia jelaskan. Dengan kata lain siswa tidak diberi peluang untuk berfikir kreatif.
Guru juga mempunyai keterbatasan dalam mengakses informasi baru yang memungkinkan ia
mengetahui perkembangan terakhir dibidangnya (state of the art) dan kemungkinan
perkembangn yang lebih jauh dari yang sudah dicapai sekarang (frontier of knowledge).
Sementara itu materi pembelajaran dipandang oleh siswa terlalu teoritis, kurang
memanfaatkan berbagai media secara optimal (Anggara, 2007:100).
Selama KBM guru belum memberdayakan seluruh potensi dirinya sehingga sebagian
besar siswa belum mampu mencapai kompetensi individual yang diperlukan unuk mengikuti
pelajaran lanjutan. Beberapa siswa belum belajar sampai pada tingkat pemahaman. Siswa
belum mampu mempelajari fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan inovatif lainnya
pada tingkat ingatan, mereka belum mampu menerapkannya secara efektif dalam pemecahan.
Di era globalisasi ini diperlukan pengetahuan dan keanekaragaman keterampilan agar siswa
mampu memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan, menilai dan menggunakan
informasi, serta melahirkan gagasan kreatif untuk menentukan sikap dalam pengambilan
keputusan.
Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), khususnya sejarah, sering dianggap sebagai
pelajaran hafalan dan membosankan. Pembelajaran ini dianggap tidak lebih dari rangkaian
angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat
menjawab soal-soal ujian. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena masih terjadi sampai
sekarang. Pembelajaran sejarah yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah dirasakan kering
dan membosankan. Menurut cara pandang Pedagogy Kritis, pembelajaran sejarah seperti ini
dianggap lebih banyak memenuhi hasrat dominant group seperti rezim yang berkuasa,
kelompok elit, pengembang kurikulum dan lain-lain, sehingga mengabaikan peran siswa
sebagai pelaku sejarah zamannnya (Anggara, 2007:101).
Tidak dipungkiri bahwa pendidikan sejarah mempunyai fungsi yang sangat penting
dalam membentuk kepribadian bangsa, kualitas manusia dan masyarakat Indonesia
umumnya. Agakya pernyataan tersebut tidaklah berlebihan. Namun sampai saat ini masih
terus dipertanyakan keberhasilannya, mengingat fenomena kehidupan berbangsa dan
bernegara Indonesia khususnya generasi muda makin hari makin diragukan eksistensinya.
Dengan kenyataan tersebut artinya ada sesuatu yang harus dibenahi dalam pelaksanaan
pendidikan sejarah (Alfian, 2007:1).
B. BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Beberapa pakar pendidikan sejarah maupun sejarawan memberikan pendapat tentang
fenomena pembelajaran sejarah yang terjadi di Indonesia diantaranya masalah model
pembelajaran sejarah, kurikulum sejarah, masalah materi dan buku ajar atau buku teks,
profesionalisme guru sejarah dan lain sebagainya.
Yang pertama adalah masalah model pembelajaran sejarah. Menurut Hamid Hasan
dalam Alfian (2007) bahwa kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran sejarah jauh dari
harapan untuk memungkinkan anak melihat relevansinya dengan kehidupan masa kini dan
masa depan. Mulai dari jenjang SD hingga SMA, pembelajaran sejarah cenderung hanya
memanfaatkan fakta sejarah sebagai materi utama. Tidak aneh bila pendidikan sejarah terasa
kering, tidak menarik, dan tidak memberi kesempatan kepada anak didik untuk belajar
menggali makna dari sebuah peristiwa sejarah.
Taufik Abdullah memberi penilaian, bahwa strategi pedagogis sejarah Indonesia
sangat lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan chronicle dan
cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa (Abdullah dalam Alfian, 2007:2).
Siswa tidak dibiasakan untuk mengartikan suatu peristiwa guna memahami dinamika suatu
perubahan.
Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan sebenarnya tidak lepas dari
pengaruh budaya yang telah mengakar. Model pembelajaran yang bersifat satu arah dimana
guru menjadi sumber pengetahuan utama dalam kegiatan pembelajaran menjadi sangat sulit
untuk dirubah. Pembelajaran sejarah saat ini mengakibatkan peran siswa sebagai pelaku
sejarah pada zamannya menjadi terabaikan. Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh
siswa sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan pelajaran di kelas,
sehingga menempatkan siswa sebagai peserta pembelajaran sejarah yang pasif (Martanto,
dkk, 2009:10). Dengan kata lain, kekurangcermatan pemilihan strategi mengajar akan
berakibat fatal bagi pencapaian tujuan pengajaran itu sendiri (Widja, 1989:13).
Kedua adalah masalah kurikulum sejarah, karena kurikulum adalah salah satu
komponen yang menjadi acuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Secara umum
dapat dikatakan bahwa kurikulum adalah rencana tertulis dan dilaksanakan dalam suatu
proses pendidikan guna mengembangkan potensi peserta didik menjadi berkualitas. Dalam
sebuah kurikulum termuat berbagai komponen, seperti, tujuan, konten dan organisasi konten,
proses yang menggambarkan posisi peserta didik dalam belajar dan asessmen hasil belajar.
Selain komponen tersebut, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis dapat pula berisikan
sumber belajar dan peralatan belajar dan evaluasi kurikulum atau program.
Sejak Indonesia merdeka, telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum dan mata
pelajaran sejarah berada didalamnya. Akan tetapi materi-materi yang diberikan dalam
kurikulum yang sering mendapat kritik dari masyarakat maupun para pemerhati sejarah baik
dari pemilihannya, teori pengembangannya dan implimentasinya yang seringkali digunakan
untuk mendukung kekuasaan (Alfian, 2007:3).
Ketika Orde Baru bermaksud menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara
sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, tujuan pendidikan nasional diarahkan untuk
mendukung maksut tersebut. Tentu saja kurikulum sekolahan dikembangkan sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional. Kurikulum 1986 yang berlaku pada awal masa Orde Baru
kemudian mengalami pergantian menjadi kurikulum 1975, kurikulum sejarah juga
mengalami penyempurnaan. Demikian seterusnya terjadi beberapa perubahan kurikulum
menjadi kurikulum 1984, 1994 dan 2004 (Umasih dalam Alfian, 2007:3). Kurikulum yang
dipakai arahannya kurang jelas dan sangat berbau politis, artinya kurikulum yang digunakan
tidak lepas dari adanya kepentingan-kepentinagn dari rezim yang berkuasa. Sejarah dijadikan
alat untuk membangun paradigma berfikir masyarakat mengenai perjalanan sejarah bangsa
dengan mengagung-agungkan rezim yang mempunyai kekuasaan. Sistem pembelajaran yang
diterapkan tidak mengarahkan siswa untuk berfikir kritis mengenai suatu peristiwa sejarah,
sehingga siswa seakan-akan dibohongi oleh pelajaran tentang masa lalu (Anggara, 2007:103).
Selain masalah kurikulum yang selalu mengalami perubahan, masalah yang tak kalah
pentingnya adalah masalah materi dan buku ajar/buku teks sejarah. Menurut Lerissa (dalam
Alfian, 2007), masalah buku ajar ini sudah ada sejak sistem pendidikan nasional mulai
diterapkan di Indonesia tahun 1946. Saat buku ajar yang dipakai sebagai bahan ajar sejarah
adalah karangan Sanusi Pane yang berjudul Sejarah Indonesia (4 Jilid) yang ditulis atas
permintaan pihak Jepang pada tahun 1943-1944, yang kemudian dicetak ulang pada tahun
1946 dan 1950. Pada tahun 1957 Anwar Sanusi menulis buku sejarah Indonesia untuk
sekolah menengah (3 Jilid). Setelah itu kemudian muncul berbagai buku ajar laniya yang
ditulis oleh berbagai pihak, terutama oleh guru, salah satunya buku yang dikarang oleh
Subantardjo.
Pada tahun 1970, para ahli sejarah yang terhimpun dalam Masyarakat Sejarawan
Indonesia (MSI) mengadakan Seminar Sejarah II di Jogjakarta dan menghasilkan sebuah
keputusan untuk menulis buku sejarah untuk keperluan perguruan tinggi dan bisa dijadikan
sumber buku ajar di SMP dan SMA. Buku yang terdiri dari 6 jilid itu, kemudian juga tidak
luput dari permasalahannya dan sempat memunculkan pertentangan. Tidak semua penulis
menggunakan metodo;logi yang sama yang telah ditentukan oleh editor umum, Prof. sartono
Kartodirdjo (pendekatan structural); masing-masing penulis membawa tradisi ilmiah yang
telah melekat pada dirinya (i structural atau naratif/kisah). Pada masa itu perbedaan antara
pendekatan structural dan pendekatan naratif secara metodologis tidak bisa dijembatani sama
sekali. Masing-masing mempunyai domain sendiri-sendiri. Konflik yang berkepanjangan ini
menyebabkan Sartono mengundurkan diri dan diikuti oleh penulis-penulis lainnya. Setelah
buku tersebut dicetak ulang (1983-1984) sebagi editor umum hanya tercantum nama Prof. Dr.
Nugroho Notosusanto dan Prof. Dr. Marwati Djoned Poesponegoro (Alfian, 2007:5). Tahun
1993 sempat dilakukan revisi oleh RZ Lerissa dan Anhar Gonggong dan kawan-kawan,
namun entah kenapa kabarnya buku itu tidak diedarkan (Purwanto dan Adam, 2005:105).
Hampir seluruh buku ajar, baik yang diterbitkan oleh swasta maupun pemerintah
sebenarnya tidak layak untuk dijadikan referensi. Hampir seluruh penulis buku hanya
membaca dokumen kurikulum secara harfiah dan tidak mampu memahami jiwa kurikulum
dengan baik. Sebagian besar penulis buku juga tidak paham sejarah sebagi ilmu, historiografi,
dan tertinggal sangat jauh dalam referensi mutahkir penulisan (Purwanto, 2006:268).
Masalah profesionalisme guru sejarah juga masih dipertanyakan, sampai saat ini
masih berkembang kesan dari para guru, pemegang kebijakan di sekolah bahwa pelajaran
sejarah dalam mengajarkannya tidak begitu penting memperhatikan masalah keprofesian,
sehingga tidak jarang tugas mengajar sejarah diberikan kepada guru yang bukan profesinya.
Akibatnya, guru mengajarkan sejarah dengan ceramah mengulangi apa isi yang ada dalam
buku (Anggara, 2007:102). Sementara itu terlalu banyak sekolah yang memposisikan guru
sejarah sebagi orang buangan, dan mata pelajaran sejarah sekedar sebagai pelengkap. Bahkan
banyak kasus ditemukan, guru sejarah menjadi sasaran untuk menaikkan nilai siswa agar
yang bersangkutan dapat naik kelas. Selain itu, sebagian besar guru juga tidak mengikuti
perkembangan hasil penelitian dan penerbitan mutakhir sejarah Indonesia. Hal yang terekhir
itu juga berkaitan denagn adanya kenyataan bahwa institusi resmi yang menjadi tempat
pendidikan tambahan bagi guru sejarah itu hanya berkutat pada substansi historis dan metode
pengajaran sejarah yang tertinggal jauh (Purwanto, 2006:268).
Pengajaran sejarah di sekolah selama ini sering dilakukan kurang optimal. Pelajaran
sejarah seolah sangat mudah dan digampangkan. Banyak pendidik yang tidak berlatar
belakang pendidikan sejarah terpaksa mengajar sejarah di sekolah (Hariyono, 1995:143).
C. DAFTAR PUSTAKA
Alfian, Magdalia. 2007. Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi. Makalah.
Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-
Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007
Anggara, Boyi. 2007. Pembelajaran Sejarah yang Berorientasi pada Masalah- Masalah
Sosial Kontemporer. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan
Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri
Semarang, Semarang, 16 April 2007
Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta : Pustaka Jaya
Hasan, Hamid S. 2007. Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi. Makalah.
Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-
Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007
Martanto, SD, dkk. 2009. Pembelajaran Sejarah Berbasis Realitas Sosial Kontemporer
Untuk Meningkatkan Minat Belajar Siswa. PKM-GT. Semarang. Tidak
Dipublikasikan
Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta : Ombak
Purwanto, Bambang dan Adam AW. 2005. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta.
Ombak
Widja, I Gde. 1989. Dasar  Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah.
Jakarta : Debdikbud

More Related Content

Permasalahan pembelajaran sejarah di indonesia

  • 1. PERMASALAHAN PEMBELAJARAN SEJARAH DI INDONESIA oleh : Dede Yusuf Pendidikan Sejarah 2011-Universitas Pendidikan Indonesia A. PERMASALAHAN PEMBELAJARAN SEJARAH DI INDONESIA Pembelajaran merupakan jantung dari proses pendidikan dalam suatu institusi pendidikan. Kualitas pembelajaran bersifat kompleks dan dinamis, dapat dipandang dari berbagai persepsi dan sudut pandang melintasi garis waktu. Pada tingkat mikro, pencapaian kualitas pembelajaran merupakan tanggungjawab profesional seorang guru, misalnya melalui penciptaan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa dan fasilitas yang didapat siswa untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Pada tingkat makro, melalui sistem pembelajaran yang berkualitas, lembaga pendidikan bertanggungjawab terhadap pembentukan tenaga pengajar yang berkualitas, yaitu yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan intelektual, sikap, dan moral dari setiap individu peserta didik sebagai anggota masyarakat. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses pembelajaran, baik secara eksternal maupun internal diidentifikasikan sebagai berikut. Faktor-faktor eksetrnal mencakup guru, materi, pola interaksi, media dan teknologi, situasi belajar dan sistem. Masih ada pendidik yang kurang menguasai materi dan dalam mengevaluasi siswa menuntut jawaban yang persis seperti yang ia jelaskan. Dengan kata lain siswa tidak diberi peluang untuk berfikir kreatif. Guru juga mempunyai keterbatasan dalam mengakses informasi baru yang memungkinkan ia mengetahui perkembangan terakhir dibidangnya (state of the art) dan kemungkinan perkembangn yang lebih jauh dari yang sudah dicapai sekarang (frontier of knowledge). Sementara itu materi pembelajaran dipandang oleh siswa terlalu teoritis, kurang memanfaatkan berbagai media secara optimal (Anggara, 2007:100). Selama KBM guru belum memberdayakan seluruh potensi dirinya sehingga sebagian besar siswa belum mampu mencapai kompetensi individual yang diperlukan unuk mengikuti pelajaran lanjutan. Beberapa siswa belum belajar sampai pada tingkat pemahaman. Siswa belum mampu mempelajari fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan gagasan inovatif lainnya pada tingkat ingatan, mereka belum mampu menerapkannya secara efektif dalam pemecahan. Di era globalisasi ini diperlukan pengetahuan dan keanekaragaman keterampilan agar siswa mampu memberdayakan dirinya untuk menemukan, menafsirkan, menilai dan menggunakan
  • 2. informasi, serta melahirkan gagasan kreatif untuk menentukan sikap dalam pengambilan keputusan. Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), khususnya sejarah, sering dianggap sebagai pelajaran hafalan dan membosankan. Pembelajaran ini dianggap tidak lebih dari rangkaian angka tahun dan urutan peristiwa yang harus diingat kemudian diungkap kembali saat menjawab soal-soal ujian. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena masih terjadi sampai sekarang. Pembelajaran sejarah yang selama ini terjadi di sekolah-sekolah dirasakan kering dan membosankan. Menurut cara pandang Pedagogy Kritis, pembelajaran sejarah seperti ini dianggap lebih banyak memenuhi hasrat dominant group seperti rezim yang berkuasa, kelompok elit, pengembang kurikulum dan lain-lain, sehingga mengabaikan peran siswa sebagai pelaku sejarah zamannnya (Anggara, 2007:101). Tidak dipungkiri bahwa pendidikan sejarah mempunyai fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian bangsa, kualitas manusia dan masyarakat Indonesia umumnya. Agakya pernyataan tersebut tidaklah berlebihan. Namun sampai saat ini masih terus dipertanyakan keberhasilannya, mengingat fenomena kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya generasi muda makin hari makin diragukan eksistensinya. Dengan kenyataan tersebut artinya ada sesuatu yang harus dibenahi dalam pelaksanaan pendidikan sejarah (Alfian, 2007:1). B. BEBERAPA PERMASALAHAN DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH Beberapa pakar pendidikan sejarah maupun sejarawan memberikan pendapat tentang fenomena pembelajaran sejarah yang terjadi di Indonesia diantaranya masalah model pembelajaran sejarah, kurikulum sejarah, masalah materi dan buku ajar atau buku teks, profesionalisme guru sejarah dan lain sebagainya. Yang pertama adalah masalah model pembelajaran sejarah. Menurut Hamid Hasan dalam Alfian (2007) bahwa kenyataan yang ada sekarang, pembelajaran sejarah jauh dari harapan untuk memungkinkan anak melihat relevansinya dengan kehidupan masa kini dan masa depan. Mulai dari jenjang SD hingga SMA, pembelajaran sejarah cenderung hanya memanfaatkan fakta sejarah sebagai materi utama. Tidak aneh bila pendidikan sejarah terasa kering, tidak menarik, dan tidak memberi kesempatan kepada anak didik untuk belajar menggali makna dari sebuah peristiwa sejarah. Taufik Abdullah memberi penilaian, bahwa strategi pedagogis sejarah Indonesia sangat lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan chronicle dan cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa (Abdullah dalam Alfian, 2007:2).
  • 3. Siswa tidak dibiasakan untuk mengartikan suatu peristiwa guna memahami dinamika suatu perubahan. Sistem pembelajaran sejarah yang dikembangkan sebenarnya tidak lepas dari pengaruh budaya yang telah mengakar. Model pembelajaran yang bersifat satu arah dimana guru menjadi sumber pengetahuan utama dalam kegiatan pembelajaran menjadi sangat sulit untuk dirubah. Pembelajaran sejarah saat ini mengakibatkan peran siswa sebagai pelaku sejarah pada zamannya menjadi terabaikan. Pengalaman-pengalaman yang telah dimiliki oleh siswa sebelumnya atau lingkungan sosialnya tidak dijadikan bahan pelajaran di kelas, sehingga menempatkan siswa sebagai peserta pembelajaran sejarah yang pasif (Martanto, dkk, 2009:10). Dengan kata lain, kekurangcermatan pemilihan strategi mengajar akan berakibat fatal bagi pencapaian tujuan pengajaran itu sendiri (Widja, 1989:13). Kedua adalah masalah kurikulum sejarah, karena kurikulum adalah salah satu komponen yang menjadi acuan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Secara umum dapat dikatakan bahwa kurikulum adalah rencana tertulis dan dilaksanakan dalam suatu proses pendidikan guna mengembangkan potensi peserta didik menjadi berkualitas. Dalam sebuah kurikulum termuat berbagai komponen, seperti, tujuan, konten dan organisasi konten, proses yang menggambarkan posisi peserta didik dalam belajar dan asessmen hasil belajar. Selain komponen tersebut, kurikulum sebagai suatu rencana tertulis dapat pula berisikan sumber belajar dan peralatan belajar dan evaluasi kurikulum atau program. Sejak Indonesia merdeka, telah terjadi beberapa kali perubahan kurikulum dan mata pelajaran sejarah berada didalamnya. Akan tetapi materi-materi yang diberikan dalam kurikulum yang sering mendapat kritik dari masyarakat maupun para pemerhati sejarah baik dari pemilihannya, teori pengembangannya dan implimentasinya yang seringkali digunakan untuk mendukung kekuasaan (Alfian, 2007:3). Ketika Orde Baru bermaksud menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, tujuan pendidikan nasional diarahkan untuk mendukung maksut tersebut. Tentu saja kurikulum sekolahan dikembangkan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum 1986 yang berlaku pada awal masa Orde Baru kemudian mengalami pergantian menjadi kurikulum 1975, kurikulum sejarah juga mengalami penyempurnaan. Demikian seterusnya terjadi beberapa perubahan kurikulum menjadi kurikulum 1984, 1994 dan 2004 (Umasih dalam Alfian, 2007:3). Kurikulum yang dipakai arahannya kurang jelas dan sangat berbau politis, artinya kurikulum yang digunakan tidak lepas dari adanya kepentingan-kepentinagn dari rezim yang berkuasa. Sejarah dijadikan alat untuk membangun paradigma berfikir masyarakat mengenai perjalanan sejarah bangsa
  • 4. dengan mengagung-agungkan rezim yang mempunyai kekuasaan. Sistem pembelajaran yang diterapkan tidak mengarahkan siswa untuk berfikir kritis mengenai suatu peristiwa sejarah, sehingga siswa seakan-akan dibohongi oleh pelajaran tentang masa lalu (Anggara, 2007:103). Selain masalah kurikulum yang selalu mengalami perubahan, masalah yang tak kalah pentingnya adalah masalah materi dan buku ajar/buku teks sejarah. Menurut Lerissa (dalam Alfian, 2007), masalah buku ajar ini sudah ada sejak sistem pendidikan nasional mulai diterapkan di Indonesia tahun 1946. Saat buku ajar yang dipakai sebagai bahan ajar sejarah adalah karangan Sanusi Pane yang berjudul Sejarah Indonesia (4 Jilid) yang ditulis atas permintaan pihak Jepang pada tahun 1943-1944, yang kemudian dicetak ulang pada tahun 1946 dan 1950. Pada tahun 1957 Anwar Sanusi menulis buku sejarah Indonesia untuk sekolah menengah (3 Jilid). Setelah itu kemudian muncul berbagai buku ajar laniya yang ditulis oleh berbagai pihak, terutama oleh guru, salah satunya buku yang dikarang oleh Subantardjo. Pada tahun 1970, para ahli sejarah yang terhimpun dalam Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) mengadakan Seminar Sejarah II di Jogjakarta dan menghasilkan sebuah keputusan untuk menulis buku sejarah untuk keperluan perguruan tinggi dan bisa dijadikan sumber buku ajar di SMP dan SMA. Buku yang terdiri dari 6 jilid itu, kemudian juga tidak luput dari permasalahannya dan sempat memunculkan pertentangan. Tidak semua penulis menggunakan metodo;logi yang sama yang telah ditentukan oleh editor umum, Prof. sartono Kartodirdjo (pendekatan structural); masing-masing penulis membawa tradisi ilmiah yang telah melekat pada dirinya (i structural atau naratif/kisah). Pada masa itu perbedaan antara pendekatan structural dan pendekatan naratif secara metodologis tidak bisa dijembatani sama sekali. Masing-masing mempunyai domain sendiri-sendiri. Konflik yang berkepanjangan ini menyebabkan Sartono mengundurkan diri dan diikuti oleh penulis-penulis lainnya. Setelah buku tersebut dicetak ulang (1983-1984) sebagi editor umum hanya tercantum nama Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan Prof. Dr. Marwati Djoned Poesponegoro (Alfian, 2007:5). Tahun 1993 sempat dilakukan revisi oleh RZ Lerissa dan Anhar Gonggong dan kawan-kawan, namun entah kenapa kabarnya buku itu tidak diedarkan (Purwanto dan Adam, 2005:105). Hampir seluruh buku ajar, baik yang diterbitkan oleh swasta maupun pemerintah sebenarnya tidak layak untuk dijadikan referensi. Hampir seluruh penulis buku hanya membaca dokumen kurikulum secara harfiah dan tidak mampu memahami jiwa kurikulum dengan baik. Sebagian besar penulis buku juga tidak paham sejarah sebagi ilmu, historiografi, dan tertinggal sangat jauh dalam referensi mutahkir penulisan (Purwanto, 2006:268).
  • 5. Masalah profesionalisme guru sejarah juga masih dipertanyakan, sampai saat ini masih berkembang kesan dari para guru, pemegang kebijakan di sekolah bahwa pelajaran sejarah dalam mengajarkannya tidak begitu penting memperhatikan masalah keprofesian, sehingga tidak jarang tugas mengajar sejarah diberikan kepada guru yang bukan profesinya. Akibatnya, guru mengajarkan sejarah dengan ceramah mengulangi apa isi yang ada dalam buku (Anggara, 2007:102). Sementara itu terlalu banyak sekolah yang memposisikan guru sejarah sebagi orang buangan, dan mata pelajaran sejarah sekedar sebagai pelengkap. Bahkan banyak kasus ditemukan, guru sejarah menjadi sasaran untuk menaikkan nilai siswa agar yang bersangkutan dapat naik kelas. Selain itu, sebagian besar guru juga tidak mengikuti perkembangan hasil penelitian dan penerbitan mutakhir sejarah Indonesia. Hal yang terekhir itu juga berkaitan denagn adanya kenyataan bahwa institusi resmi yang menjadi tempat pendidikan tambahan bagi guru sejarah itu hanya berkutat pada substansi historis dan metode pengajaran sejarah yang tertinggal jauh (Purwanto, 2006:268). Pengajaran sejarah di sekolah selama ini sering dilakukan kurang optimal. Pelajaran sejarah seolah sangat mudah dan digampangkan. Banyak pendidik yang tidak berlatar belakang pendidikan sejarah terpaksa mengajar sejarah di sekolah (Hariyono, 1995:143). C. DAFTAR PUSTAKA Alfian, Magdalia. 2007. Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se- Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007 Anggara, Boyi. 2007. Pembelajaran Sejarah yang Berorientasi pada Masalah- Masalah Sosial Kontemporer. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007 Hariyono. 1995. Mempelajari Sejarah Secara Efektif. Jakarta : Pustaka Jaya Hasan, Hamid S. 2007. Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se- Indonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007 Martanto, SD, dkk. 2009. Pembelajaran Sejarah Berbasis Realitas Sosial Kontemporer Untuk Meningkatkan Minat Belajar Siswa. PKM-GT. Semarang. Tidak Dipublikasikan Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta : Ombak
  • 6. Purwanto, Bambang dan Adam AW. 2005. Menggugat Historiografi Indonesia. Yogyakarta. Ombak Widja, I Gde. 1989. Dasar Dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah. Jakarta : Debdikbud