Kapitalis bumiputra mengalami masa kejayaann sekaligus masa kemunduran. Masa kejayaannya menjadi antitesa dari para ilmuan barat dimana bumiputra tidak memiliki sistem sosial budaya yang mampu melahirkan kapitalis yang tangguh. Lihat saja ketangguhan kapitalis seperti Nitisemito dan Mangkunegara IV yang tangguh di tengah-tengah cengkraman negara kolonial.
Namun disisi lain, kemunduran kapitalis bumiputra sebagai pembenar para ilmuan terkemuka, dimana bumiputra tidak memiliki sistem sosial budaya yang mampu menjadikan warganya menjadi seorang kapitalis yang tangguh dalam membangun kemapanan sistem ekonomi bangsanya.
1 of 3
Download to read offline
More Related Content
PERTARUNGAN KAPITALIS BUMIPUTRA
1. PERTARUNGAN KAPITALIS BUMIPUTRA:
Dalam Konteks Hitoris dan Ramalannya Dikemudian
Mata Kuliah : Indonesia dan Dunia Dalam Sejarah
Modern
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Wasino, M. Hum.
Disusun oleh:
Nama : Suhadi (Rembang)
NIM : 0301510058
Kelas : IPS B2
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPS
2012
2. PERTARUNGAN KAPITALIS BUMIPUTRA:
Dalam Konteks Hitoris dan Ramalannya Dikemudian
Oleh: Suhadi Rembang
Kapitalis bumiputra mengalami masa kejayaann sekaligus masa
kemunduran. Masa kejayaannya menjadi antitesa dari para ilmuan barat dimana
bumiputra tidak memiliki sistem sosial budaya yang mampu melahirkan kapitalis
yang tangguh. Lihat saja ketangguhan kapitalis seperti Nitisemito dan
Mangkunegara IV yang tangguh di tengah-tengah cengkraman negara kolonial.
Namun disisi lain, kemunduran kapitalis bumiputra sebagai pembenar para
ilmuan terkemuka, dimana bumiputra tidak memiliki sistem sosial budaya yang
mampu menjadikan warganya menjadi seorang kapitalis yang tangguh dalam
membangun kemapanan sistem ekonomi bangsanya.
Tiga ilmuan barat meramalkan, sistem sosial budaya masyarakat bumputra
tidak mampu melahirkan barisan para kapitalis tangguh. Mereka adalah Geertz
dengan involusi ekonomi, Boeke dengan dualisme ekonomi, dan Furnival dengan
indigenious plural economic. Ketiganya sekapat menaruh sikap pesimis akan
kebangkitan sistem ekonomi bumiputra yang tangguh.
Konteks historis kapitalisme bumiputra yang di kupas oleh Wasino (2008)
dalam bukunya yang berjudul Berjuang Menjadi Wirausaha: Sejarah Kehidupan
Kapitalis Bumi Putra Indonesia menjadi spirit akademik dalam melahirkan para
wirausahawan bumiputra yang tangguh dalam percaturan sistem ekonomi global
di era kekinian.
Keberanian dalam bersiikap, Wasino, dengan tegas bersikap menolak
kehadiran investasi asing yang diyakini akan melahirkan struktur sosial
masyarakat buruh. Dengan lugas pula, Wasino dalam bukunya menawarkan agar
masyarakat Indonesia berani memilih menjadi wirausaha, bukan hanya memilih
menjadi seorang guru dan pejabat saja.
Wasino juga memberi guratan kritis, dimana dalam melahirkan wirausaha
bumiputra yang dapat menciptakan kedaulatan ekonomi bangsa, menjadi kapitalis
struktural (birokrat) dan kapitalisme pinggiran memiliki ragam kekacauan.
Kapitalisme birokratis akan berbenturan dengan aksi pelemahan struktural dan
kekuasaan. Sedangkan kapitalisme pinggiran, akan berhadap-hadapan dengan aksi
pelemahan dari pemodal asing yang tiada lawan. Walaupun demikian,
membangkitkan kapitalis bumiputra adalah satu pilihan dalam membangun sistem
sosial yang berdaulat, mandiri, sejahtera, adil, dan makmur, tulis Wasino
demikian.
Pemikiran Wasino dalam era kekinian menjadi relevan, seiring dengan
nada dan tangga perilaku penguasa di era otonomi daerah sekarang yang
bermental korup dan antisosial. Keberanian berdiri tegak dalam mengibarkan
kemandirian ekonomi daerah, wirausahawan lokal menjadi pondasi dasar. Bukan
sebaliknya, malah mencengkeram sumber daya alam yang melimpah, yang harus
diusung dan dinikmati oleh investor asing yang mengebiri akan kemandirian
ekonomi lokal.
3. Seiring isu-isu kekuasaan dan kebangkitan sistem ekonomi lokal kekinian,
gagasan Wasino terancam gagal menjadi pilihan, karena sistem politik yang
mengusung pilihan menjadi pejabat/ raja lokal, harus tergantung dengan stimulus
modal asing untuk menjadikan mereka menjadi penguasa lokal. Politik balas budi
kongkalikong dan penuh aroma persekongkolan inilah, menjadi biangkerok dalam
membangkitkan konstruksi sistem kapitalis bumiputra di kemudian.
Untuk itu, membangun mental masyarakat bumiputra (Indonesia) untuk
memilih menjadi wirausahwan, seperti yang ditawarkan Wasino (lihat halaman
66), mendesak dilakukan. Tidak sebaliknya, memilih menjadi pejabat yang berdiri
dalam kedaulatan sosial semu, menjadi pilihan. Tampaknya membangunkan kode-
kode ideologi dan budaya yang berdaulat, masih penting untuk diinjeksikan,
kerena dengan itulah, perilaku masyarakat bumiputra (Indonesia) dapat
terbebaskan dari penjajah (modal) yang bermuka gombal, memberi mimpi
kesejahteraan yang instan, namun sejatinya memperdalam jurang kemiskinan
suatu sistem sosial ekonomi masyarakat lokal.
Semarang, 12 Januari 2012