Masyarakat Rembang mengalami perubahan dalam memaknai nilai tanah. Tanah pegunungan yang sebelumnya hanya berfungsi untuk pertanian dan sumber daya alam, kini menjadi komoditas yang nilainya melampaui batas setelah ditemukan mengandung bahan baku semen. Perubahan ini menimbulkan ketidakadilan karena pemilik tanah pegunungan yang memiliki tagihan pajak rendah dapat menjual tanah dengan harga tinggi, berbeda den
1 of 3
Download to read offline
More Related Content
Perubahan makna tanah yang melampaui batas
1. Perubahan Makna Tanah yang Melampaui Batas
Oleh: Suhadi Rembangi
Masyarakat Rembang saat ini telah mengalami
perubahan dalam memaknai tanah. Jika dahulu
tanah memiliki nilai tawar lebih rendah dibanding
manusia dan kerja. Namun sekarang tidak, tanah
mampu melakukan lompatan besar-besaran dalam
nilai tawar.
Tanah Rembang, khususnya tanah pegunungan
yang memuat kandungan trass (dll) sebagai bahan
baku semen (dll), saat ini menjadi idola investor.
Padahal sebelumnya, tanah gunung tidak banyak yang melirik. Gunung hanya
difungsikan untuk areal pertanian, lumbung pakan ternak, ketahanan air serta
oksigen sebagai sumber hidup, dan sedikit sebagai wahana rekreasi.
Lompatan cara pandang tentang makna tanah yang cenderung kuat dalam aras
feodalistik ini, berlahan ber-aroma khas kapitalistik. Lompatan cara pandang ini
beriringan dengan lahirnya Orang Kaya Baru di Rembang yang memiliki tanah
gunung trass. Mereka yang terbukti memiliki surat sppt tanah gunung,
dilegalkan menjual kepada perusahaan semen. Dalam sekejab, beberapa pemilik
tanah gunung meraup rupiah yang melampau batas.
Secara hak dan kewajiban, tampak terdapat ketidak-adilan dalam masyarakat
Rembang. Hal ini dapat dilihat pemilik tanah gunung yang memiliki tagihan wajib
pajak yang tertera pada sppt lebih rendah, malah memiliki hak jual tanah lebih
tinggi. Sedangkan tanah non-gunung yang memiliki nilai sppt wajib pajak tinggi,
tidak pernah mampu mengejar nilai tawar tanah gunung.
Beda besaran wajib pajak ini, mungkin tanah gunung lebih difokuskan fungsi
dalam hal areal pertanian, lumbung pakan ternak, dan ketahanan air serta
oksigen sebagai sumber hidup. Bukan sebaliknya, tanah gunung yang memiliki
nilai komoditi tanpa batas. Tampaknya terdapat etika salah dalam hal ini.
Fenomena perubahan makna tanah gunung di atas, tentu saja melanggar
keadilan akan kemakmuran sosial masyarakat Rembang. Bagaimana tidak, sama-
sama memiliki sepetak tanah (misal yang satu memiliki tanah gunung dan yang
satu memiliki tanah sawah bukan gunung), dengan harga beli pada awalnya yang
relatif sama, namun memiliki perbedaan yang terlampau batas dalam peralihan
hak kepemilikannya (jual).
2. Dalam perspektif keadilan kemakmuran sosial, fenomena di atas jelas-jelas tidak
adil sekaligus tidak rasional. Bagaimana tidak, mereka pemilik sppt tanah gunung
yang tidak melakukan kegiatan produksi di atas tanah gunung, meraup uang
terlampau batas. Sedangkan yang melakukan kegiatan produksi di atas tanah
(misal sawah), harus membayar biaya produksi tinggi untuk melawan biaya bibit,
obat kendali hama, hingga permainan harga komoditi panen.
Tanah merupakan aset utama pembangunan. Selayaknya tanah tidak dijadikan
sebagai komoditi. Jika tanah dijadikan komoditi, tentu saja tatanan sosial (desa)
tidak akan mendiri. Desa (tanah) akan terkooptasi dengan ukuran materi
(kapitalis). Terlebih nilai tukar tanah gunung yang mempengaruhi naiknya nilai
tawar harga tanah non-gunung, yang terjadi adalah merendahkan harkat dan
martabat manusia beserta nilai suatu kerja. Dan ketika masyarakat (lokal) tidak
mampu bertransaksi dengan tanah di sekitarnya, yang terjadi adalah menjadi kuli
di negeri sendiri. Bukankah hal demikian adalah rencana yang tidak mungkin kita
harapkankah? Namun kenapa terjadi?
Lantas bagaimana menyikapi perubahan makna tanah gunung yang terlampau
batas ini? Bagaimana perlakukan suatu tanah yang nilai tukarnya terlanjur
terlampau batas? Dan bagaimana memperlakukan tanah yang nilai tukarnya
belum atau sedang berproses melampau batas?
Kembalikan nilai-nilai kearifan sosial pada tanah menjadi penting, baik secara
etika sosial maupun etika lingkungan hidup. Menandaskan etika sosial adalah
memaknai tanah sebagai faktor produksi saja, bukan sebagai objek perniagaan.
Selanjutnya menandaskan etika lingkungan hidup adalah memaknai tanah untuk
sumber hidup dengan tersedianya air dan oksigen.
Lantas bagaimana yang sudah terlanjur? Jika tanah gunung tersebut sudah
terlanjur di jual dengan harga terlampau batas, maka kelebihan harga yang
terlampau batas itu harus dikembalikan kepada hak komunal. Secara teknis, hak
komunal ini, pengelolaannya dapat diwakilkan oleh lembaga sosial formal.
Apakah mereka yang telah mendapatkan uang terlampau batas itu dapat
menerima, jika uangnya harus diminta oleh pihak komunalitas? Jika mereka tidak
mau memberikan uang yang terlampau batas itu, maka mereka harus
berkewajiban membayar biaya sosial (pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik,
seni, informasi, teknologi, dll) yang terlampau batas pula. Termasuk terancamnya
ketahanan air dan oksigen untuk sumber kehidupan masyarakat Rembang
selayaknya harus dibayar oleh mereka.
3. Lantas bagaimana mereka yang belum terlanjur dan masih proses? Jika pemilik
sppt tanah gunung belum terlanjur dan masih proses dalam transaksinya, pilihan
terbaik adalah mengembalikan fungsi tanah sebagai aset utama produksi.
Masyarakat Rembang belum siap melompat sebagai masyarakat industri.
Memfungsikan tanah (gunung) untuk pertanian, lumbung pakan ternak, dan
ketahanan air serta oksigen sebagai sumber hidup, dan wahana rekreasi, tentu
akan lebih menghargai martabat manusia dan kerja masyarakat Rembang dalam
rangka mewujudkan keadilan dalam kemakmuran sosial masyarakat Rembang.
Melanjutkan tradisi agung sebagai masyarakat bahari dan masyarakat hutan,
masyarakat Rembang lebih siap, dibanding melakukan lompatan yang melampau
batas dalam hal harga tanah.
Rembang, 16 Juli 2013.
i
Penulis adalah pegiat tradisi agung masyarakat bahari dan hutan Rembang