1. PIPIB untuk Mendukung Upaya Penurunan Emisi Karbon
Peraturan Presiden RI Nomor 61 tahun 2001 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca terbit sebagai salah satu bentuk kebijakan dalam hal pengurangan
emisi karbon. Disampaikan oleh Presiden SBY pada KTT Negara G-20 di Pittsburgh, 25
September 2009, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK)
sebanyak 26 persen pada tahun 2020 dari skenario Business As Usual (BAU).
Adapun emisi karbon di Indonesia terbesar dihasilkan dari aktivitas terkait gambut dan
dinamika perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (LULUCF), sedangkan yang lain dari
sektor energi. Data DNPI menyebutkan bahwa emisi karbon Indonesia pada tahun 2005
sebesar 2.100 MtCO2e dan cenderung meningkat menjadi 3.300 MtCO2e pada tahun
2030.Dari nilai tersebut emisi yang dihasilkan dari gambut dan ULUCF masing-masing
sebesar 850 MtCO2e dan 760 MtCO2e. Besaran tersebut setara dengan 2,5% dari emisi GRK
dunia.
Disebutkan dalam Perpres 61/2011 bahwa dari target penurunan emisi GRK sebesar 26%
tersebut 80%-nya dari sektor LULUCF, termasuk gambut. Artinya emisi dari sektor tersebut
harus berkurang sebesar 賊600 MtCO2e pada tahun 2020. Namun dalam pelaksanannya
tidaklah mudah. Banyak hal yang masih menjadi kendala dalam pelaksanaan Perpres
61/2011, salah satunya adalah data dasar yang belum lengkap dan sempurna seperti
inventarisasi lahan gambut dan hutan yang belum valid saat itu. Belum lagi pelaksanaan di
daerah, terkait dengan konversi lahan dengan banyaknya ijin-ijin pengelolaan lahan dari
Bupati dan atau Gubernur. Untuk itu terbitlah Instruksi Presiden No.10 tahun 2011 tentang
Moratorium/Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
Primer dan Lahan Gambut.
Gambut merupakan substansi organik yang terurai sebagian yang terbentuk di lahan basah
atau akumulasi sisa-sisa tumbuh-tumbuhan, kayu-kayu besar yang setengah membusuk.
2. Dan seiring waktu, material ini menjadi gambut yang memiliki kandungan organik dan
karbon paling kaya dibanding jenis tanah lainnya.
Terlepas dari komitmen Indonesia mengurangi emisi karbon hingga 26% untuk pelestarian
lingkungan, ada beberapa pihak yang menilai adanya kepentingan negara maju yang
terkamuflase dalam isu perubahan iklim dunia. Sebagai negara maju tentunya telah memiliki
perhitungan yang jauh lebih ke depan terkait dengan apa yang akan terjadi dengan
lingkungan global dunia. Secara global memang benar bahwa ekosistem dunia telah
terganggu karena adanya perubahan iklim. Mereka (negara maju) menuduh negara-negara
berkembang, seperti Indonesia sebagai penyebab utama dalam perubahan iklim global,
terkait dengan emisi karbon, dimana sebagai negara yang hijau dan masih memiliki banyak
hutan dianggap tidak mampu dan tidak serius dalam mengendalikan konversi hutan menjadi
fungsi lain yang tentunya juga dianggap merusak kelestarian lingkungan. Sedangkan pada
kenyatannya, negara-negara maju itu sendiri yang telah menghabiskan hutan mereka untuk
keperluan industri yang menghasilkan jauh lebih banyak emisi karbon.
Ada benarnya juga jika mereka memang mencemaskan kondisi lingkungan global yang
semakin mengalami degradasi, sehingga mereka menuntut negara-negara yang masih
memiliki timbunan karbon (hutan) untuk lebih serius dalam misi penyelamatan lingkungan,
karena memang meraka tidak memiliki sumberdaya (hutan) yang cukup untuk mengurangi
laju degradasi lingungan. Negara maju menjajikan adanya perdagangan karbon antara
negara-negara penghasil emisi (net emitter) dengan negara-negara yang mampu
mempertahankan timbunan karbonnya (hutan) baik dalam bentuk hibah, transfer teknologi
atau lainnya. Namun mekanisme perdagangan karbon tersebut juga belum dapat
diimplementasikan secara jelas.
Sebagai negara maju tentunya memiliki misi-misi lain untuk memperkuat negaranya dengan
mengambil keuntungan dari negara lain yang dianggap lemah atau bisa dipermainkan.
Hibah yang diberikan misalnya, ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Negara penerima
hibah, terutama di sektor daerah sebagai sasaran merasa tidak mendapatkan apa-apa,
bahkan malah mengorbankan alokasi anggaran dan sumberdaya yang terbatas. Dari
beberapa hibah yang ada, dalam implementasinya hampir keseluruhannya kembali ke
negara pemberi hibah. Dikatakan demikian karena mulai dari tenaga ahli, metode hingga
tools berupa software maupun hardware dalam hibah disyaratkan sesuai dengan keinginan
pemberi hibah. Itulah hibah.
Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa kepedulian negara maju terhadap isu lingkungan
dilatarbelakangi karena adanya kepentingan bisnis/industri. Sebagai negara industri, negara
maju mendapatkan pemasukan terbesarnya dari sektor industri. Mereka cemas produkproduk industrinya tersaingi oleh negara lain. Sebagai contoh terkait dengan isu degradasi
lingkungan, digembor-gemborkan bahwa industri perkebunan sawit di Indonesia merupakan
salah satu sektor penyumbang terjadinya degradasi lingkungan dengan besarnya emisi
karbon yang dihasilkan. Hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Produk kelapa sawit (CPO)
Indonesia merupakan yang terbesar di dunia dengan kualitasnya yang baik. Produk-produk
turunan dari CPO itu sendiri juga sangat banyak. Hal inilah yang menjadikan cemas industri
di negara maju dengan adanya calon pesaing produknya.
3. Namun demikian dengan beberapa testimoni di atas bukan berarti kita tidak perlu
mendukung kebijakan pemerintah dalam hal pengurangan emisi karbon. 26% memang
bukan angka yang kecil. Kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah harus didukung dengan
strategi yang berpihak terhadap kesejahteraan rakyat. Strategi tersebut tentunya juga harus
didasarkan pada data dan informasi yang akurat tentang kondisi wilayah di Indonesia. Bisa
saja dengan mudah mencapai angka 26% dengan konservasi lahan. Namun di sisi lain rakyat
Indonesia butuh makan. Kebijakan terkait dengan penyelamatan lingkungan harus
mengutamakan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, yang dapat dilakukan sebagai tindak lanjut
komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26% tersebut adalah
menyelamatkan lahan-lahan hutan alami yang dapat dikonservasi tanpa harus ada pihak
yang dirugikan.
Dengan adanya Inpres No.10/2011 ini tidak boleh ada lagi penerbitan ijin-ijin baru di area
hutan alam primer dan lahan gambut sejak terbitnya Inpres ini, kecuali untuk beberapa
sektor seperti pelaksanaan pembangunan yang bersifat vital, perpanjangan ijin dan restorasi
ekosistem. Produk dari Inpres ini berupa Peta Indikatif Penundaan Ijin Baru (PIPIB) sebagai
acuan zonasi dimana diberlakukan moratorium tersebut.
PIPIB, sesuai dengan namanya,pada prinsipnya hanya bersifat infikatif karena memiliki skala
tinjau, yaitu 1:250.000. Dengan skala tersebut, secara operasional dalam peta PIPIB masih
ditemui berbagai ketidaksesuaian dengan fakta dan kondisi di lapangan. Itulah sebabnya
PIPIB direvisi setiap 6 bulan sekali. Sejak terbitnya Inpres tersebut, telah dilakukan 3 kali
revisi, dan revisi yang keempat akan diluncurkan pada bulan April 2013 berupa PIPIB REVISI
IV.
No.
PIPIB
No. SK
Luas
Moratorium
(Ha)
Pengurangan
(Ha)
1.
PIPIB
SK.323/Menhut-II/2011
69.144.073
Data BPN
belum masuk
2.
PIPIB Revisi I
SK.7416/Menhut-VII/
IPSDH/2011
65.374.252
3.769.821
3.
PIPIB Revisi II
SK.
2771/Menhut-VII/
IPSDH/2012
65.281.892
92.360
4.
PIPIB Revisi III
SK.6315/Menhut-VII/
IPSDH/2012
64.796.237
485.655
Terbitnya PIPIB tentu saja memunculkan beberapa implikasi. Salah satunya adalah
berkurangnya laju konversi lahan alami menjadi lahan termanfaatkan/terbangun sehingga
kelestarian lingkungan dapat lebih terjaga. Implikasi yang lain adalah terjadinya
kekhawatiran masyarakat dan swasta terkait dengan area pengusahaan mereka yang
mungkin masuk dalam area moratorium.
4. Perkantoran
Kab.
Perkantoran Kabupaten Muarojambi berada di area moratorium
Dengan PIPIB yang memiliki skala 1:250.000 ini secara operasional memang tidak dapat
digunakan secara akurat sebagai dasar dalam penentuan batas, khususnya yang
menyangkut persil atau area ijin usaha. Diperlukan peta yang lebih operasional untuk
menghindari adanya konflik penguasaan lahan karena ketidakpastian mengenai batas, baik
batas ijin, batas kawasan maupun batas area moratorium. Untuk itu disusunlah SNI
pemetaan lahan gambut skala 1:50.000.
SNI pemetaan gambut skala 1:50.000 ini merupakan standar penyempurnaan peta gambut
skala 1:250.000, agar lebih operasional di lapangan. Peta gambut skala 1:50.000 ini akan
menjadi input utama dalam PIPIB selanjutnya, terlepas apakah moratorium akan dilanjutkan
atau tidak. Diharapkan dengan adanya peta gambut skala 1:50.000, inventarisasi luasan
gambut serta persebarannya dapat dipetakan secara lebih akurat, sehingga kebijakankebijakan terkait konservasi gambut atau kebijakan lainnya akan lebih tepat sasaran. Selain
itu mengurangi konflik terhadap kepentingan-kepentingan dari pihak lain yang secara legal
telah memiliki hak untuk mengelola.
Sebagai bagian prosedur dalam penyusunan SNI pemetaan gambut tersebut, dilakukan uji
SNI dengan mangambil area studi di Kabupaten Muarojambi dan Kuburaya. Hasil uji SNI ini
nantinya berupa Peta Lahan Gambut skala 1:50.000 sejumlah 18 NLP untuk wilayah
Kabupaten Muarojambi dan 24 NLP untuk wilayah Kabupaten Kuburaya. Selain survei
lapangan sebagai bagian tahapan dalam uji SNI pada 4-11 Maret 2013 lalu, dilaksanakan
juga sosialisasi SNI kepada berbagai stakeholder terkait dengan implementasi PIPIB di
daerah.
Hadir sebagai narasumber dalam acara sosialisasi tersebut perwakilan dari Tim Penyusun
PIPIB dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, BPN
dan BIG. Berbagai permasalahan dan informasi tercetus dalam pertemuan tersebut, terkait
dengan implementasi PIPIB di daerah. Banyak tanggapan dari para undangan yang
mayoritas berasal dari SKPD Kabupaten yang umumnya mengkritisi adanya PIPIB.
Disampaikan bahwa masih ada beberapa kesalahan dalam peta PIPIB, diantaranya adalah
5. ada ijin-ijin lokasi yang belum masuk, kesalahan dalam zonasi lahan gambut hingga
kekurangakuratan batas kawasan serta ijin usaha yang ada. Menanggapi komentarkomentar para peserta tersebut, disampaikan oleh Tim Narasumber bahwa PIPIB sifatnya
adalah indikatif. Batas-batas yang ada di dalam PIPIB bukanlah merupakan batas pasti,
masih perlu dilihat lagi berdasarkan kenyataan di lapangan. Selain itu, PIPIB akan direvisi
setiap 6 bulan sekali untuk mengakomodir informasi dan data yang belum masuk,
khususnya mengenai ijin.
Oleh: Arif Aprianto, S.Si
Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik
Badan Informasi Geospasial