2. ï‚ž Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli
menjadi kaku mengembang dan terus menerus
terisi udara walaupun setelah ekspirasi.(Kus
Irianto.2004.216)
ï‚ž Emfisema merupakan morfologik didefisiensi
sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang udara
distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi
dindingnya.(Robbins.1994.253)
ï‚ž Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat
kurangnya elastisitas paru dan luas permukaan
alveoli.(Corwin.2000.435)
3. Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan
berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru :
ï‚ž Panlobular (panacinar), yaitu terjadi kerusakan bronkus
pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Semua ruang udara
di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit
penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang
hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan
penurunan berat badan.
ï‚ž Sentrilobular (sentroacinar), yaitu perubahan patologi
terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari
asinus tetap baik. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-
ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia
(peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan
episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada
sianosis, edema perifer, dan gagal napas.
4. Beberapa hal yang dapat menyebabkan emfisema paru yaitu :
ï‚ž Rokok
Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia
pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan
hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bromkus.
ï‚ž Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan
angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang
padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat
menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar.
ï‚ž Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat.
Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma
bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
ï‚ž Genetik
ï‚ž Paparan Debu
5. ï‚ž Dispnea
 Pada inspeksi: bentuk dada ‘burrel chest’
ï‚ž Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak
efektif, dan penggunaan otot-otot aksesori
pernapasan (sternokleidomastoid)
ï‚ž Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan
fremitus pada seluruh bidang paru.
ï‚ž Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan
krekels, ronki, dan perpanjangan ekspirasi
ï‚ž Anoreksia, penurunan berat badan, dan
kelemahan umum
ï‚ž Distensi vena leher selama ekspirasi.
6. Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru
disertai perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat
pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai
sebagian tau seluruhparu.
Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat
dari obstrusi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau
bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus
menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan
demikian terjadi penimbunan udara yang bertambah di
sebelah distal dari alveolus.
Pada emfisema terjadi penyempitan saluran
nafas, penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan
nafas dan sesak, penyempitan saluran nafas disebabkan oleh
berkurangnya elastisitas paru-paru.
7. ï‚ž Sering mengalami infeksi pada saluran
pernafasan
ï‚ž Daya tahan tubuh kurang sempurna
ï‚ž Tingkat kerusakan paru semakin parah
ï‚ž Proses peradangan yang kronis pada saluran
nafas
ï‚ž Pneumonia
ï‚ž Atelaktasis
ï‚ž Pneumothoraks
ï‚ž Meningkatkan resiko gagal nafas pada
pasien.
8. ï‚ž Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya
diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda
vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
ï‚ž Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab
dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah
obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan
untuk mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
ï‚ž TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada
asma; penurunan emfisema
ï‚ž Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema
ï‚ž Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan
asma
ï‚ž FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat
menurun pada bronkitis dan asma
9. ï‚ž GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis
h.Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus
pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat
(emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada
bronkitis
ï‚ž JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas),
peningkatan eosinofil (asma)
ï‚ž Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema primer
ï‚ž Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi,
mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk
mengetahui keganasan atau gangguan alergi
ï‚ž EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma
berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P
pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS
(emfisema)
ï‚ž EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan/evaluasi program latihan