Film "Soegija" menceritakan kisah Uskup Katolik pertama Indonesia, Mgr. Soegijapranata yang berperan menolong rakyat selama perang kemerdekaan. Film ini mengangkat tema kemanusiaan dan menyatukan kembali keluarga besar manusia. Garin Nugroho sebagai sutradara mampu menyajikan kisah sejarah dengan baik melalui tata artistik dan pesan-pesan bermakna.
1 of 6
More Related Content
Resensi film Soegija
1. FILM “SOEGIJA”
A. SPESIFIKASI FILM
Sutradara : Garin Nugroho
Penulis Naskah : Garin Nugroho
Produser : Murti Hadi Wijayanto S. J.,
Djaduk Ferianto
Pemain Utama : Nirwan Dewanto, Olga Lydia,
Butet Kartaredjasa, Hengky
Soelaiman, Annisa Hertami,
Wouter Braff, Wouter Zweers,
dan lainnya
Musik : Djaduk Ferianto
Sinematografi : Garin Nugroho
Editor : Garin Nugroho
Studio : Audio Visual Puskat
Yogyakarta
Durasi Film : 115 menit
Genre : Drama, Biografi
Tanggal Rilis : 7 Juni 2012
B. SINOPSIS FILM
"Kemanusian itu satu. Kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan
adat istiadatnya, kemajuan, dan cara hidupnya, semuanya merupakan satu keluarga besar."
-Soegija dalam catatan harian Soegijapranata-
Film ini ingin melukiskan kisah-kisah kemanusiaan di masa perang kemerdekaan bangsa
Indonesia (1940-1949). Film ini mengambil tokoh sentral uskup pribumi pertama dalam Gereja
Katolik Indonesia, Soegijapranata. Soegijapranata adalah seorang romo yang diangkat menjadi
uskup pribumi pertama di mana jabatan itu menjadi hal yang sulit didapatkan pada era
Kemerdekaan karena saat itu seorang uskup harus berasal dari kaum kulit putih atau Eropa.
2. Sebagai pemimpin agama Katolik, Soegija dalam kesehariannya sangat bersahaja, sederhana,
merakyat, dan sangat berwibawa. Dalam film ini Soegija memang tidak terjun langsung untuk
berperang, namun ia mempunyai andil yang sangat besar. Ia memerintahkan penyaluran
makanan lebih dulu untuk rakyat yang kelaparan, baru kemudian untuk para imam. Hal lainnya
terlihat dalam apa yang dilakukannya, seperti berinteraksi langsung dengan masyarakat sekitar
yang pada waktu itu lagi dilanda peperangan, ikut memperjuangkan nasib kemerdekaan bangsa
Indonesia yang tertindas oleh penjajah, membuka gereja sebagai tempat perlindungan bagi para
pengungsi di mana pada saat penduduk benar-benar membutuhkan tempat bernaung karena
kondisi jalanan yang kacau balau, dan lain sebagainya. Dengan posisinya sebagai uskup, Soegija
juga melakukan diplomasi diam-diam atau biasa yang disebut dengan silent diplomacy. Tanpa
harus menggunakan kekerasan dan senjata, iman dan semangat kemanusiaannya dapat menjadi
panutan yang tidak lekang waktu. Menurutnya, menggalang cinta kasih dan keadilan belum
cukup, tetapi juga perlu bertempur dengan lembut untuk kemerdekaan. Soegija secara rahasia
mengirim surat ke Vatikan untuk mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.
Perang yang dikisahkan dalam film ini ketika bangsa-bangsa asing, seperti Belanda dan
Jepang yang datang ke Indonesia untuk menjajah tanpa adanya rasa perikemanusiaan yang adil
terhadap negara yang dijajahnya. Ketika Jepang datang ke Indonesia di tahun 1942, Mariyem
(Annisa Hertami) terpisah dari Maryono (Abe), kakaknya. Ling Ling (Andrea Reva) terpisah dari
ibunya (Olga Lydia). Tampaknya keterpisahan itu tidak hanya dialami oleh orang-orang yang
terjajah, tetapi juga oleh para penjajah. Nobuzuki (Suzuki), seorang tentara Jepang dan penganut
agama Buddha tidak pernah tega terhadap anak-anak karena ia juga memiliki anak di Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, Belanda masih tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia
dan mengirim tentaranya untuk menjajah kembali Indonesia. Pusat pemerintahan Indonesia
dipindahkan ke Yogyakarta untuk menjaga kedaulatan. Semua pejuang gerilya mengepung
Yogyakarta demi mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia agar tidak direbut kembali
oleh penjajah kemerdekaan yang sudah dicapai dengan kerja keras. Robert (Wouter Zweers),
seorang tentara Belanda yang selalu merasa jadi mesin perang yang hebat membabi buta mencari
gerilyawan. Namun, pada akhirnya, hatinya tersentuh oleh bayi tidak berdosa yang ia temukan di
medan perang. Ia pun rindu pulang untuk bertemu dengan ibunya, bukan negaranya. Di tengah
perang pun, Hendrick (Wouter Braaf) menemukan cintanya yang tetap tidak mampu ia miliki
karena perang yang terjadi. Perang yang sedang terjadi dapat dikatakan sebagai kisah
1
3. terpecahnya keluarga besar manusia di muka bumi. Film Soegija ingin menyatukan kembali
kisah-kisah cinta keluarga besar kemanusiaan yang sudah terkoyak oleh kekerasan perang dan
kematian.
C. ANALISIS FILM
Soegija adalah salah satu contoh film drama yang cukup fenomenal, inspiratif, dan unik
untuk ditonton. Film panjang berdurasi 115 menit ini meraih penghargaan Museum Rekor
Indonesia (MURI) dengan kategori bahasa dan pemain terbanyak, yaitu terdiri dari lima jenis
bahasa (Indonesia, Jawa, Inggris, Jepang, dan Latin), pemeran sebanyak 2.775 orang, dan kru
film sebanyak 245 orang. Film ini dipersiapkan sejak lima tahun lalu oleh Studio Audio Visual
(SAV), Pusat Pengembangan Masyarakat (Puskat) dan Balai Budaya Sinduharjoang yang
bermarkas di Jalan Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. Film berbudget 12 milyar ini memang sangat
mahal, tetapi mempunyai ketertarikan yang luar biasa bagi orang yang menontonnya. Film ini
bukan hanya menghidupkan kembali sejarah bangsa Indonesia, tetapi juga menjadi film seni
yang menghadirkan keindahan kostum dan latar atau setting. Semua unsur dalam film ini dengan
sangat apik dan menarik diramu berkat tangan dingin Garin Nugroho sebagai sutradara yang
handal dan tidak perlu diragukan lagi. Alur cerita mengalir dengan lancar sehingga drama film
ini sangat terasa ke benak para penontonnya.
Hal yang ditawarkan Garin Nugroho dalam film ini tidak berbicara soal perjalanan
seorang uskup pribumi pertama, melainkan sudut pandang sang uskuplah yang ditawarkan dalam
melihat kondisi peperangan dan penjajahan yang telah terjadi di Indonesia. Film ini terinspirasi
dari catatan harian Soegija. Dalam catatan hariannya, Soegija menuangkan nilai-nilai dan ide-ide
logis sederhana, namun memiliki dampak berarti dan signifikan bagi masyarakat Indonesia saat
itu. Catatan inilah yang juga menjadi benang merah yang mengaitkan kisah kehidupan
msayarakat Indonesia, Belanda, Jepang dan Tionghoa yang tinggal di bumi pertiwi dan dampak
perang terhadap kehidupan mereka.
Film yang dibuat melalui riset panjang selama hampir tiga tahun ini bukanlah film
misionaris agama Katolik seperti yang banyak diperdebatkan orang-orang. Film ini menampilkan
sisi humanis yang masih ada dalam sebuah perang. Film ini sangat kuat dalam mengangkat aspek
kemanusiaan universal dibanding menekankan aspek agama. Bagi Soegija, kemanusiaan itu
adalah satu, walaupun berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya. Dalam setiap perang yang paling
2
4. dikorbankan adalah kemanusiaan. Penjajah maupun terjajah semua kehilangan kemanusiaan
dalam dirinya. Perang menjadi sebuah kisah terpecahnya keluarga besar manusia. Salah satu hal
yang ditekankan dalam film ini adalah menyorot bagaimana agama menyentuh kemanusiaan
setiap orang, penjajah maupun terjajah.
Film ini berupa potongan-potongan kisah yang telah disusun secara menarik dengan
didukung oleh musik yang sangat menyentuh di mana banyak lagu-lagu rohani dan lagu daerah
dimasukkan ke dalamnya sehingga membuat film ini seperti bercorak sangat khas Indonesia.
Sebagian besar adalah lagu-lagu keroncong klasik aransemen Djaduk Ferianto yang menambah
keindahan dalam film ini. Selain musik, sinematografi yang dilakukan oleh sutradara juga sangat
baik dengan shot-shot gambar yang diambil dengan sudut pandang kamera yang baik. Banyak
adegan-adegan dalam film yang diambil long shot ketika tokoh-tokoh sedang berbicara satu
sama lainnya yang seakan-akan mengartikan hubungan kedekatan yang lebih dalam lagi antara
tokoh-tokoh tersebut. Pergerakan kamera yang dilakukan juga sangat elegan dan menawan
sehingga tidak terlihat terburu-buru. Selain itu, dialog yang digunakan para tokoh dalam film
banyak menggunakan bahasa daerah yang disesuaikan dengan tempat mereka berasal yang
seakan-akan dapat membuat penonton merasa lebih menjiwai lagi film ini. Sebenarnya film ini
termasuk sebuah film yang bisa dikatakan sebagai film portrait dengan mengungkap dimensi
peristiwa dalam kemasan-kemasan pendek yang bermakna. Bisa dilihat film ini diawali dan
diakhiri dengan potret gambaran yang begitu memukau dan menyentuh.
Film ini tidak dibangun dari satu cerita, tetapi film ini bercerita tentang banyak cerita,
yaitu pengalaman tokoh-tokohnya ketika menghadapi penjajahan Belanda dan Jepang dengan
berlokasi di Semarang dan Yogyakarta. Untuk bisa menggambarkan pengalaman Soegija, film
ini banyak menampilkan tokoh-tokoh nyata tapi difiksikan baik dari Indonesia, Jepang, Belanda,
sipil, maupun militer dalam peristiwa-peristiwa keseharian yang direkonstruksi dengan cukup
detil. Sebagai contoh, film ini menampilkan tokoh-tokoh nasional Indonesia, seperti Soekarno,
Fatmawati, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Sri Paku Alam
VIII, Jenderal Soedirman, Soeharto, dan lain sebagainya. Sang sutradara juga memilih pemain
dengan sangat tepat sesuai karakter tokohnya masing-masing yang memang tidak bisa dipungkiri
mampu membawa penonton hanyut dalam ceritanya. Soegija sendiri diperankan oleh orang yang
tidak berlatar belakang dunia akting dan perfilman, tetapi sangat menjiwai tokoh yang
diperankannya. Butet Kartaredjasa membawakan karakter Toegimin, seorang asisten pribadi
3
5. Mgr. Soegijapranata dengan aktingnya yang lucu dan menghidupkan suasana film tersebut. Lalu,
bagaimana Wouter Zweers memerankan Robert sebagai pemeran antagonis dengan karakterisasi
yang dingin, namun meninggalkan tempat tersendiri.
Tentunya sebuah film mempunyai kelebihan dan kelemahannya. Kelebihan dalam film
ini adalah lebih banyak mengangkat aspek kemanusiaan yang universal ketimbang aspek
agamanya, dapat menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi bagi masyarakat Indonesia, tata
artistik yang mampu memikat penonton mulai dari pemilihan detil kostum, make-up, sampai
properti-properti yang dipakai disesuaikan dengan kondisi zaman pada saat itu, sinematografi
yang memukau, latar musik yang mengiringi cerita sangat mencirikan waktu dan kondisi dalam
cerita, serta latar tempat yang dipilih untuk setiap adegan film begitu cocok dengan keadaan
negara pada masa tahun 40-an. Di samping kelebihan, film yang dibuat pasti juga mempunyai
kelemahan. Kelemahan dalam film ini adalah sosok Soegija pada cerita tidak terlalu jelas karena
sosoknya hanya terjadi di beberapa adegan sehingga membuat karakter Soegija tidak merekat
kuat, begitu banyak pemain dalam film ini membuat film ini tidak memperlihatkan satu pemain
pun yang mendominasi penceritaan, dan pada pemutaran film Soegija tokoh Soegija tidak
digambarkan secara detil, tetapi hanya berupa potongan-potongan adegan, foto, bahkan puisi
Soegija yang dia tulis pada masa itu yang terinspirasi dari Soegija.
Film ini juga sarat dengan pesan-pesan bermakna, khususnya bagi para pemimpin dan
bagi seluruh rakyat Indonesia pada umumnya dengan menampilkan otokritik untuk bangsa
Indonesia. Pesan dan kritik disampaikan baik berupa visual, maupun kata-kata satir dari goresan
pena dan ucapan Soegija sendiri. Berikut ini adalah beberapa pesan yang saya dapat dari film
"Soegija", antara lain:
1. Untuk apa menjadi bangsa yang MERDEKA jika GAGAL mendidik diri sendiri,
Dalam pesan ini dikatakan bahwa saat ini memang benar bangsa Indonesia telah merdeka. Kita
telah merdeka selama 67 tahun, tetapi hingga saat ini, kita masih belum BENAR-BENAR
MERDEKA.
2. Tidak ada orang yang dapat merencanakan kita LAHIR SEBAGAI APA, tetapi kita dapat
MEMILIH PEMIMPIN yang dapat memberikan yang terbaik bagi kita.
4
6. Seringkali masalah yang terjadi saat ini adalah karena masyarakat telah dibodohi oleh pemimpin
mereka yang notabene telah dipilih sendiri oleh masyarakat. Pada saat pemilihan umum, dia
telah berjanji untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat, bahkan memberikan banyak uang
bagi orang yang memilih mereka, tetapi pada saat mereka terpilih, semua janji yang telah mereka
ucapkan seolah hangus dan hilang ditiup angin, bahkan seringkali sangat bertolak belakang
dengan apa yang mereka katakan saat pemilu.
3. Di masa kemerdekaan ini, kita tidak cukup hanya hidup dengan cinta dan perhatian, tetapi
kita harus berperang dengan lemah lembut demi satu kata KEMANUSIAAN.
Ini hal yang saat ini seringkali terlupakan oleh kita, karena merasa sudah merdeka, kita hidup
dengan bebas dan merdeka, tetapi kita lupa bahwa ada satu hal penting yang harus kita lakukan,
yaitu berjuang demi kemanusiaan sehingga semua manusia merasa dimanusiakan dan ikut
merasakan kemerdekaan itu sendiri, khususnya bagi orang-orang yang miskin dan menderita di
sekitar kita yang tidak pernah merasakan kemerdekaan itu sendiri.
4. Jika kelaparan, biarlah para romo yang pertama kali merasakan KELAPARAN, dan jika
kenyang, biarlah para romo yang terakhir merasakan KEKENYANGAN.
Hal ini bukanlah berarti hanya untuk para romo, romo disini juga dapat berarti sebagai pemimpin
di mana mereka seharusnya berani berkorban demi rakyatnya. Jika rakyat kelaparan, biarlah para
pemimpin yang pertama merasakannya, tetapi jika rakyat kenyang, biarlah para pemimpin yang
terakhir merasakannya.
5. Wahai Pemimpin, ingatlah DARAH PARA PAHLAWAN yang telah menjadi pupuk bagi
tanah air ini.
Hal ini sesuai dengan sebuah semboyan 'bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa
para pahlawannya', tetapi sayang sekali saat ini semboyan ini seakan telah hilang dan dilupakan
oleh bangsa Indonesia. Dengan para pemimpinnya yang sibuk membuat berbagai anggaran fiktif
untuk menghabiskan jatah uang rakyat, membuat alibi, dan pembelaan untuk menutupi
pelanggarannya sehingga lupa dengan rakyatnya yang di bawahnya yang hidup masih sangat
jauh dari kelayakan. Rakyat yang menderita dan sering tidak makan hanya demi mencari sesuap
nasi sering terlupakan para pemimpinnya di zaman sekarang.
5