ݺߣ

ݺߣShare a Scribd company logo
Siaran Pers Untuk disiarkan segera
Komitmen Kosong APP Terhadap Keberlanjutan Pemulihan
Kerusakan Gambut
JAKARTA, 28 Juni 2016 — Sepanjang lebih dari tiga tahun, Koalisi Anti Mafia Hutan menilai
bahwa komitmen Asia Pulp and Paper (APP) Group masih berupa janji kosong. Hasil analisis yang
dilakukan oleh Jikalahari di lapangan menemukan bahwa Forest Conservation Policy (FCP) yang
didengungkan sejak 1 Februari 2013 nyatanya masih banyak dilanggar.
Hasil analisis tersebut dipaparkan dalam konferensi pers bertema Evaluasi Komitmen Forest
Conservation Policy dari Asia Pulp and Paper (APP) di Jakarta pada Selasa (28/6). Pemaparan
mengenai laporan tersebut disampaikan oleh Woro Supartinah (Koordinator Jaringan Kerja
Penyelamat Hutan Riau / Jikalahari), Henri Subagio (Direktur Eksekutif ICEL), dan Syahrul Fitra
(Peneliti Hukum Yayasan Auriga).
Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari, menerangkan bahwa dalam Laporan Pemantauan
Jikalahari terlihat bahwa hingga saat ini temuan lapangan menunjukkan bahwa APP masih
menjalankan pola-pola lama (business as usual). Janji APP bersama afiliasinya yang tertuang
dalam FCP, terbukti lebih banyak tidak terpenuhi, mengingat indikasi kebakaran hutan,
pembukaan hutan alam, dan konflik sosial masih terus terjadi.
Berdasarkan laporan tersebut tercatat setidaknya 7.377 hektar hutan alam dalam konsesi APP dan
pemasoknya di Riau sepanjang tahun 2013-2015 terdeforestasi. Terus terjadinya penebangan
hutan alam termasuk di lahan gambut sangat mengkhawatirkan terutama karena APP saat ini
sedang membangun pabrik berskala besar baru di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera
Selatan. Pembangunan ini akan lebih menekan keberadaan hutan alam dan lahan gambut padahal
perhitungan yang dilakukan oleh Jikalahari setidaknya 725 ribu hektar areal APP berada di lahan
gambut.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di konsesi pemasok serat kayu terjadi setiap tahunnya,
namun APP tidak pernah melakukan restorasi lahan yang terbakar dalam konsesinya tersebut.
Woro menambahkan bahwa “Bukan tidak mungkin kemudian janji kosong APP tersebut juga
memberikan tanda bahwa APP kontradiktif dengan upaya yang dilakukan Presiden Jokowi untuk
melakukan restorasi di lahan gambut yang rusak.”
Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif ICEL mengatakan baru-baru ini bahkan APP sempat menolak
memberikan data lahan gambut dalam konsesinya kepada Badan Restorasi Gambut (BRG).
Dengan alasan bahwa APP sudah menyerahkannya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK). “Seharusnya APP dan perusahaan lainnya lebih kooperatif terhadap program-
program pemulihan lahan gambut. Dukungan semua pihak sangat diperlukan, lebih dari itu, bagi
para pelaku usaha yang arealnya di lahan gambut ini merupakan suatu tanggungjawab.” kata
Henri.
Menurut Henri, Penolakan APP untuk terbuka tersebut harusnya menjadi pembelajaran bagi
pemerintah untuk mendorong keterbukaan informasi terkait dengan perlindungan lingkungan
hidup. “Masyarakat yang terdampak atas usaha skala besar, apalagi kerusakannya sudah nyata
dengan kebakaran sepanjang tahun, berhak atas informasi yang utuh dan akurat terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh pelaku usaha. Ini harus
menjadi komitmen nyata, baik oleh pelaku usaha sendiri maupun pemerintah yang bertugas
memastikannya.”
Sementara itu, menurut Syahrul, peneliti hukum Auriga menyatakan bahwa upaya restorasi lahan
gambut justru momentum bagi KLHK untuk melakukan evaluasi terhadap konsesi hutan tanaman,
termasuk dalam Grup APP. “Hampir seluruh konsesi APP atau pemasoknya selalu mengalami
kebakaran berulang selama tiga tahun berturut-turut di dalam konsesi yang sama mengindikasikan
bahwa konsesi-konsesi tersebut tidak mampu dikelola oleh pemegang izin.”
Sementara tidak pernah ada evaluasi secara menyeluruh oleh pemerintah terhadap kinerja pelaku
usaha untuk mengelola konsesinya. Menurutnya, dari kriteria titik api itu saja sudah cukup untuk
menempatkan sebagian besar konsesi APP sebagai konsesi yang tidak layak untuk diteruskan.
Berdasarkan temuan tersebut terlihat indikasi kuat peluncuran FCP hanyalah jalan untuk
memuluskan bisnis APP di pasar internasional.
Kontak Media
Koalisi Anti Mafia Hutan
Woro Supartinah (Jikalahari) 0811 7574 055
Henri Subagiyo (ICEL) 0815 8574 1001
Syahrul Fitra (Yayasan Auriga) 0811 6611 340

More Related Content

Rilis koalisi anti mafia hutan final

  • 1. Siaran Pers Untuk disiarkan segera Komitmen Kosong APP Terhadap Keberlanjutan Pemulihan Kerusakan Gambut JAKARTA, 28 Juni 2016 — Sepanjang lebih dari tiga tahun, Koalisi Anti Mafia Hutan menilai bahwa komitmen Asia Pulp and Paper (APP) Group masih berupa janji kosong. Hasil analisis yang dilakukan oleh Jikalahari di lapangan menemukan bahwa Forest Conservation Policy (FCP) yang didengungkan sejak 1 Februari 2013 nyatanya masih banyak dilanggar. Hasil analisis tersebut dipaparkan dalam konferensi pers bertema Evaluasi Komitmen Forest Conservation Policy dari Asia Pulp and Paper (APP) di Jakarta pada Selasa (28/6). Pemaparan mengenai laporan tersebut disampaikan oleh Woro Supartinah (Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau / Jikalahari), Henri Subagio (Direktur Eksekutif ICEL), dan Syahrul Fitra (Peneliti Hukum Yayasan Auriga). Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari, menerangkan bahwa dalam Laporan Pemantauan Jikalahari terlihat bahwa hingga saat ini temuan lapangan menunjukkan bahwa APP masih menjalankan pola-pola lama (business as usual). Janji APP bersama afiliasinya yang tertuang dalam FCP, terbukti lebih banyak tidak terpenuhi, mengingat indikasi kebakaran hutan, pembukaan hutan alam, dan konflik sosial masih terus terjadi. Berdasarkan laporan tersebut tercatat setidaknya 7.377 hektar hutan alam dalam konsesi APP dan pemasoknya di Riau sepanjang tahun 2013-2015 terdeforestasi. Terus terjadinya penebangan hutan alam termasuk di lahan gambut sangat mengkhawatirkan terutama karena APP saat ini sedang membangun pabrik berskala besar baru di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan. Pembangunan ini akan lebih menekan keberadaan hutan alam dan lahan gambut padahal perhitungan yang dilakukan oleh Jikalahari setidaknya 725 ribu hektar areal APP berada di lahan gambut. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di konsesi pemasok serat kayu terjadi setiap tahunnya, namun APP tidak pernah melakukan restorasi lahan yang terbakar dalam konsesinya tersebut. Woro menambahkan bahwa “Bukan tidak mungkin kemudian janji kosong APP tersebut juga memberikan tanda bahwa APP kontradiktif dengan upaya yang dilakukan Presiden Jokowi untuk melakukan restorasi di lahan gambut yang rusak.” Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif ICEL mengatakan baru-baru ini bahkan APP sempat menolak memberikan data lahan gambut dalam konsesinya kepada Badan Restorasi Gambut (BRG). Dengan alasan bahwa APP sudah menyerahkannya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). “Seharusnya APP dan perusahaan lainnya lebih kooperatif terhadap program- program pemulihan lahan gambut. Dukungan semua pihak sangat diperlukan, lebih dari itu, bagi para pelaku usaha yang arealnya di lahan gambut ini merupakan suatu tanggungjawab.” kata Henri.
  • 2. Menurut Henri, Penolakan APP untuk terbuka tersebut harusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah untuk mendorong keterbukaan informasi terkait dengan perlindungan lingkungan hidup. “Masyarakat yang terdampak atas usaha skala besar, apalagi kerusakannya sudah nyata dengan kebakaran sepanjang tahun, berhak atas informasi yang utuh dan akurat terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh pelaku usaha. Ini harus menjadi komitmen nyata, baik oleh pelaku usaha sendiri maupun pemerintah yang bertugas memastikannya.” Sementara itu, menurut Syahrul, peneliti hukum Auriga menyatakan bahwa upaya restorasi lahan gambut justru momentum bagi KLHK untuk melakukan evaluasi terhadap konsesi hutan tanaman, termasuk dalam Grup APP. “Hampir seluruh konsesi APP atau pemasoknya selalu mengalami kebakaran berulang selama tiga tahun berturut-turut di dalam konsesi yang sama mengindikasikan bahwa konsesi-konsesi tersebut tidak mampu dikelola oleh pemegang izin.” Sementara tidak pernah ada evaluasi secara menyeluruh oleh pemerintah terhadap kinerja pelaku usaha untuk mengelola konsesinya. Menurutnya, dari kriteria titik api itu saja sudah cukup untuk menempatkan sebagian besar konsesi APP sebagai konsesi yang tidak layak untuk diteruskan. Berdasarkan temuan tersebut terlihat indikasi kuat peluncuran FCP hanyalah jalan untuk memuluskan bisnis APP di pasar internasional. Kontak Media Koalisi Anti Mafia Hutan Woro Supartinah (Jikalahari) 0811 7574 055 Henri Subagiyo (ICEL) 0815 8574 1001 Syahrul Fitra (Yayasan Auriga) 0811 6611 340