Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Resusitasi jantung paru merupakan tindakan pertolongan darurat untuk korban henti jantung dan henti napas. Golden period untuk melakukan resusitasi adalah kurang dari 10 menit agar otak tidak mengalami kerusakan permanen. Prinsip resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan hidup dengan melakukan kompresi dada, ventilasi, dan defibrilasi secara tepat w
1 of 10
More Related Content
Rjpo
1. Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan pertolongan yang dilakukan
kepada korban yang mengalami henti napas dan henti jantung. Pada kondisi napas
dan denyut jantung berhenti, sirkulasi darah dan transportasi oksigen juga berhenti
sehingga dalam waktu singkat organ-organ tubuh terutama organ vital akan
mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami
kerusakan. Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena
otak hanya akan mampu bertahan jika ada asupan glukosa dan oksigen. Jika dalam
waktu lebih dari 10 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa, maka
otak akan mengalami kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula
kematian si korban. Oleh karena itu golden period (waktu emas) pada korban
yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah di bawah 10 menit. Artinya,
dalam waktu kurang dari 10 menit penderita yang mengalami henti napas dan
henti jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan. Jika tidak, maka
harapan hidup si korban sangat kecil. Adapun pertolongan yang harus dilakukan
pada penderita yang mengalami henti napas dan henti jantung adalah dengan
melakukan resusitasi jantung paru/CPR.
Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan
hidup (chain of survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi
koordinasi rantai kelangsungan hidup. Urutan rantai kelangsungan hidup pada
pasien dengan henti jantung (cardiac arrest) dapat berubah tergantung lokasi
kejadian: apakah cardiac arrest terjadi di dalam lingkungan rumah sakit (HCA)
atau di luar lingkungan rumah sakit (OHCA). Gambar 1 menunjukkan chain of
survival pada kondisi HCA maupun OHCA.
Dalam melakukan resusitasi jantung-paru, AHA (American Heart
Association) merumuskan panduan BLS-CPR yang saat ini digunakan secara
global. Gambar 2 menunjukkan skema algoritma dalam tindakan resusitasi
jantung-paru pada pasien dewasa.
2. Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup HCA dam OHCA
Gambar 2. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Dewasa
3. Dalam melakukan resusitasi jantung paru, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
1. Pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggapan darurat
Jika melihat seorang yang tiba-tiba jatuh atau tidak responsif maka petugas
kesehatan harus mengamankan tempat kejadian dan memeriksa respon
korban. Tepukan pada pundak dan teriakkan nama korban sembari melihat
apakah korban tidak bernafas atau terengah-engah. Lihat apakah korban
merespon dengan jawaban, erangan atau gerakan. Penolong harus memanggil
bantuan terdekat setelah korban tidak menunjukkan reaksi. Akan lebih baik
bila penolong juga memeriksa pernapasan dan denyut nadi korban seiring
pemeriksaan respon pasien agar tidak menunda waktu dilakukannya RJP..
2. Resusitasi Jantung Paru dini
Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kompresi (sekitar 18 detik). Kriteria
penting untuk mendapatkan kompresi yang berkualitas adalah:
Kompresi dada diberikan dengan kecepatan minimal 100 kali per menit
dan maksimal 120 kali per menit. Pada kecepatan lebih dari 120 kali /
menit, kedalaman kompresi akan berkurang seiring semakin cepatnya
interval kompresi dada.
Kompresi dada dilakukan dengan kedalaman minimal 2 inci (5 cm) dan
kedalaman maksimal 2,4 inci (6 cm). Pembatasan kedalaman kompresi
maksimal diperuntukkan mengurangi potensi cedera akibat kedalaman
kompresi yang berlebihan. Pada pasien bayi minimal sepertiga dari
diameter anterior-posterior dada atau sekitar 1 遜 inchi (4 cm) dan untuk
anak sekitar 2 inchi (5 cm). Pada pasien anak dalam masa pubertas
(remaja), kedalam kompresi dilakukan seperti pada pasien dewasa.
Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri
disamping korban jika korban berada di tempat tidur. Tabel 1
mencantumkan beberapa hal yang perlu diperhatikan selama melakukan
kompresi dada dan pemberian ventilasi:
4. Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi pada Pasien Dewasa
Menunggu recoil dada yang sempurna dalam sela kompresi. Selama
melakukan siklus kompresi dada, penolong harus membolejhkan rekoil
dada penuh dinding dada setelah setiap kompresi; dan untuk melakukan
hal tersebut penolong tidak boleh bertumpu di atas dada pasien setelah
setiap kompresi.
Meminimalisir interupsi dalam sela kompresi. Penolong harus berupaya
meminimalkan frekuensi dan durasi gangguan dalam kompresi untuk
mengoptimalkan jumlah kompresi yang dilakukan per menit.
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui head tilt chin lift. Namun jika korban
dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan nafas melalui jaw
thrust.
Menghindari ventilasi berlebihan. Berikan ventilasi sebanyak 2 kali.
Pemberian ventilasi dengan jarak 1 detik diantara ventilasi. Perhatikan
kenaikan dada korban untuk memastikan volume tidal yang masuk
adekuat.
Setelah terpasang saluran napas lanjutan (misalnya pipa endotrakeal,
Combitube, atau saluran udar masker laring), penolong perlu memberikan
1 napas buatan setiap 6 detik (10 napas buatan per menit) untuk pasien
dewasa, anak-anak, dan bayi sambil tetap melakukan kompresi dada
berkelanjutan
5. Jika ada 2 orang maka sebaiknya pemberi kompresi dada bergantian setiap
2 menit.
Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan
bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau sekitar 10-12
nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit. Untuk satu siklus
perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2.
RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien
bangun, atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan
sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan alat
defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.
3. Alat defibrilasi otomatis
AED digunakan sesegera mungkin setelah AED tersedia. Bila AED belum
tiba, lakukan kompresi dada dan ventilasi dengan rasio 30 : 2. Defibrilasi / shock
diberikan bila ada indikasi / instruksi setelah pemasangan AED. Pergunakan
program/panduan yang telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi
shock atau tidak, jika iya lakukan terapi shock sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP
selama 2 menit dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi
shock lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus
langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support) datang,
atau korban mulai bergerak.
4. Perbandingan Komponen RJP Dewasa, Anak-anak, dan Bayi
Pada pasien anak dan bayi, pada prinsipnya RJP dilakukan sama seperti
pada pasien dewasa dengan beberapa perbedaan. Beberapa perbedaan ini seperti
yang tercantum pada tabel 2.
6. Tabel 2. Perbedaan Komponen RJP Pada Dewasa, Anak, dan Bayi
Pada pasien pediatri, algoritma RJP bergantung apakah ada satu orang
penolong atau dua (atau lebih) orang penolong (gambar 3 dan 4). Bila ada satu
orang penolong, rasio kompresi dada dan ventilasi seperti pasien dewasa yaitu
30 : 2; tetapi bila ada dua orang penolong maka rasio kompresi dada dan ventilasi
menjadi 15 : 2. Jika anak/bayi mempunyai denyut nadi namun membutuhkan
pernapasan bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 3-5 detik/nafas atau
7. sekitar 12-20 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2 menit.
Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2 untuk satu
orang penolong dan 15 : 2 untuk dua orang atau lebih penolong.
Gambar 3. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Satu Orang
Penolong
8. Gambar 4. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Pediatri Dengan Dua Orang
Penolong
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum dan saat Resusitasi Jantung
Paru pada pasien neonatal, yaitu:
Menanyakan 3 pertanyaan, (1) Kehamilan Normal ?, (2) Tonus otot baik?,
(3) Bernapas atau menangis?
Suhu tubuh bayi dijaga antar 36,5 37,5O
C dengan berbagai strategi sesuai
dengan fasilitas yang tersedia di layanan kesehatan tersebut.
9. Bayi lahir dengan cairan amniotic tercemar mekonium serta tonus otot
lemah dan sulit bernapas dapat dilakukan VTP, suction, dan intubasi jika
saluran pernapasan terganggu
Penilaian detak jantung menggunakan ECG 3 sadapan, karena jika menilai
detak jantung dengan asukultasi ataupun palpasi tidak akurat.
Resusitasi pada bayi baru lahir premature yang berusia kurang dari 35
minggu dari kehamilan harus dilakukan dengan oksigen rendah (21%
hingga 30%) dan oksigen dititrasi untuk mencapai saturasi oksigen yang
normal.
Masker laring dipertimbangkan menjadi alternatif jika ventilasi masker
tidak berhasil. Masker laring disarankan selama resusitasi bayi baru lahir
yang berusia 34 minggu atau lebih.
Jika saat dilakukan RJPO selama 10 menit, skor APGAR masih 0 maka
prognosis sangat buruk (Risiko kematian sangat tinggi)
10. Daftar Pustaka
1. Fokus Utama Pembaruan Pedoman American Heart Association 2015 Untuk
CPR dan ECC. American Heart Association; 2015.