Perang Padri berlangsung dari 1803 hingga 1838 di Sumatera Barat antara Kaum Padri melawan Kaum Adat. Kaum Padri ingin menghapus kebiasaan adat yang bertentangan dengan agama Islam, tetapi Kaum Adat tidak setuju. Perang ini berubah menjadi perang melawan kolonial Belanda setelah Kaum Adat meminta bantuan mereka pada 1821. Perlawanan berlanjut hingga akhirnya dapat dikalahkan Belanda pada 1838.
1 of 16
Downloaded 96 times
More Related Content
Sejarah perang padri
1. Sejarah Perang Padri (1821-1837) – Sahabat Pustakers, pada kesempatan kali ini Pustaka
Sekolah akan share informasi mengenai Sejarah Perang Padri (1821-1837). Istilah Padri
berasal dari kata Padre yang berarti Ulama. Pada mulanya perang Padri merupakan Perang
Saudara antara para Ulama berhadapan denegan Kaum Adat. Setelah Belanda ikut campur
yang semula membantu kaum adat berubahlah perang itu menjadi perang Kolonial.
Pertentangan antara Kaum Padri dan Kaum Adat itu dapat dikemukankan sebab-sebabnya
sebagai berikut :
ï‚· Kaum Adat adalah kelompok masyarakat yang walaupun telah memeluk agama islam
namun masih teguh memegang adat dan kebiasaankebiasaan lama yang bertentangan
dengan ajaran Islam.
ï‚· Kaum Padri adalah kelompok masyarakat Islam di Sumatra Barat yang telah
menunaikan ibadah haji di Mekkah serta membawa pandangan baru. Terpengaruh
oleh gerakan Wahabi mereka berusaha hidup sesuai dengan ajaran Al’quran dan
Hadist, berusaha melakukan pembersihan terhadap tindakan-tindakan masyarakat
yang menyimpang dari ajaran tersebut. Beberapa tokoh kaum Padri adalah Haji
Miaskin, Haji Sumanik, Haji Piobang. Tokoh lainnya adalah Malin Basa ( terkenal
dengan nama Imam Bonjol), Tuanku Mesiangan, tuanku Nan Renceh dan Datok
Bandaharo.
Dengan perbedaan yang cukup mendasar tersebut terjadilah perebutan pengaruh antara kaum
adat dan kaum Padri di tengah-tengah masyarakat. Pernah diadakan pertemuan untuk
mengakhiri perbedaan tadi di Koto Tengah namun tidak berhasil dan bahkan memicu
pertikaian. Untuk menghadapi kaum Padri maka kaum Adat meminta bantuan kepada
Belanda pada tahun 1821 yang dapat Anda perlajari pada uraiannya berikut ini.
2. Jalannya Perang Padri
ï‚· Tahun 1821-1825. Pada bulan April tahun 1821 terjadi pertempuran antara kaum
Padri melawan Belanda dan kaum Adat di Sulit Air dekat danau Singkarak. Belanda
mengirimkan tertaranya dari Batavia di bawah pimpinan Letkol Raaf dan berhasil
menduduki Batusangkar dekat Pagaruyung lalu mendirikan benteng yang bernama
Fort Van der Capellen. Pada tahun 1824 dan 1825 terjadi perjanjian perdamaian
antara Belanda dengan kaum Padri di Padang yang pada pokoknya tidak akan saling
menyerang.
ï‚· Tahun 1825-1830. Pada periode ini Belanda juga sedang menghadapi perang
Diponegoro sehingga perjanjian perdamaian di atas sangat menguntungkan Belanda.
Untuk menghadapi Kaum Padri, Belanda membangun benteng disebut Fort de Kock (
nama panglima Belanda) di Bukittinggi.
ï‚· Tahun 1831-1837. Belanda bertekad mengakhiri perang Padri setelah dapat
memadamkan Perang Diponegoro. Tindakan yang dilakukan Belanda adalah
mendatangkan pasukan dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout kemudian Mayor
Michaels dengan tugas pokok menundukkan Kaum Padri yang berpusat di Ketiangan
dekat Tiku. Selain itu Belanda juga mengirim Sentot Ali Basa Prawirodirdjo (bekas
panglima Diponegoro) serta sejumlah pasukan dari pulau Jawa walaupun kemudian
berpihak kepada kaum Padri.
Sejak tahun 1831 kaum Adat bersatu dengan kaum Padri untuk menghadapi Belanda. Pada
tanggal 25 Oktober 1833 Belanda menawarkan siasat perdamaian dengan mengeluarkan
Plakat Panjang yang isinya sebagai berikut:
ï‚· Belanda ingin menghentikan perang;
ï‚· Tidak akan mencampuri urusan dalam negeri Minangkabau;
ï‚· Tidak akan menarik cukai dan iuran-iuran.
ï‚· Masalah kopi, lada dan garam akan ditertibkan.
Imam Bonjol tetap waspada dengan siasat Belanda itu. Setelah tahun 1834 terjadi lagi
serangan sasaran utama serangan Belanda adalah benteng Bonjol yang dapat direbutnya pada
tanggal 16 Agustus 1837. Belanda mengajak Imam Bonjol berunding namun kemudian
ditangkap. Ia dibawa ke Batavia lalu dipindahkan ke Miinahasa sampai wafatnya tahun 1864
dalam usia 92 tahun. Perlawanan dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai yang dapat dikalahkan
Belanda tahun 1838.
perang Padri - Sobat Terlambat pernah dengar perang padri tahun 1803 di
Sumatera barat? Mungkin akan banyak yang belum tahu atau lupa. Akan tetapi
untuk sobat yang sedang sekolah mungkin akan menemui pelajaran ini pada kelas 1
3. Sma / SMK. Berikut ini terlambat.info share artikel mengenai sebab atau latar
belakang terjadinya perang padri yang terlambat dapatkan dari Wikipedia.
Ilustrasi Gambar Perang Padri
Pengertian / apa itu perang padri 1803 1838
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan
sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.
Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam
masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Latar Belakang Perang Padri
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar
tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin
memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat
Minangkabau.Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut
mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di
Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang
Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan
Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak,
puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman
menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah.
Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan
melarikan diri dari ibu kota kerajaan.
Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818,
menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang
sudah terbakar.
4. Perang Padri
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Perang Padri
Perang Padri
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya
terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838.[1] Perang ini
merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama
sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki
sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan
masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya.
Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat,
minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan,
serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Tidak adanya
kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan
kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada
tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan
sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau
Nan Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu
Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada
Belanda pada tahun 1821. Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan,
sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama
Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras
harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan
Pagaruyung, juga berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan
memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.
Latar belakang
5. Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun
1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat
Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.[3] Mengetahui hal
tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang
Haji tersebut bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau
Nan Salapan.[4]
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan
Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa
kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak
ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam
Kerajaan Pagaruyung bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah
pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di
Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan
melarikan diri dari ibu kota kerajaan.[5] Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi
Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana
Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.[6]
Keterlibatan Belanda
Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak
pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan
kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam
Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan
Kerajaan Pagaruyung.[7] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda
penyerahan Kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat
Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[8]
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan
Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan
Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du
Puy di Padang.[9] Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai
tersebut.
Fort van der Capellen
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff
berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda
6. membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen,
sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[10] Pada tanggal 10 Juni
1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan
Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam
pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada
5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke
Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku
Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang
Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16
April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang
Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan
Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir
Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff
sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah
sebelumnya mengalami demam tinggi.[12]
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans
Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo
dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun
karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di
Padang.[13]
Genjatan senjata
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang
mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol
untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.[2]
Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana
dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan
juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi
yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah
Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan
agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.[14]
Tuanku Imam Bonjol
7. Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de Stuers pada
tahun 1820.
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai pemimpin
dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di
Bonjol.[15] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan
Renceh meninggal dunia.[16]
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan kekerasan yang
dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam
memorinya. Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan
cinta tanah air.[5]
Peperangan jilid kedua
Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah
Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari
oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan
pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi
merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih
kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat
Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai
timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.[11]
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah
dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu
kawasan yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat
kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort
de Kock.
Persiapan pasukan Belanda di Fort de Kock
8. Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar
berada dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan
dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan
berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan
kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran
Diponegoro yang telah membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai
perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang
ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi
Belanda membuktikan kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum
Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot
juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun
juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Sumatera. Namun di
tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati
sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali
menjadi tentara Belanda.
Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian
peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo
Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku
Lintau.[17] Kemudian Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang,
namun seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah
jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari
kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa kawasan yang
masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833, pasukan Belanda membangun
kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi,
kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang
mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[18] Namun dalam pertempuran di Air
Bangis, pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani
peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas
kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh
tentara Belanda.[19]
9. Perlawanan bersama
Kaum Adat
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.[20] Di ujung
penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan
masyarakat Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (1803–
1823), dapatlah dikatakan sebagai perang saudara melibatkan sesama etnik Minang dan
Batak.
Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang
secara mendadak, membuat keadaan menjadi kacau;[21] disebutkan ada sekitar 139 orang
tentara Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang
sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan
Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan.
Kemudian Belanda mengasingkannya ke Jakarta, walau dalam catatan Belanda Sultan
Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos
Belanda, namun pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak
laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian diberikan kepada
Tuan Gadang di Batipuh.[7]
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara
keseluruhan masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1833
mengeluarkan pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa
kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut,
mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan
tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak.
Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka
sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan
mesti menjualnya kepada Belanda.
Serangan ke Bonjol
11. Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang
mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda
juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan
kubu pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan
besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada
tanggal 21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah
pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur
dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan
terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna
membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang
Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu
jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di
Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri.
Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di
kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri
terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini
meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu
pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.[23]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan
waktu yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan
dari Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh
Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah
ini.[24]
Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah
timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan
Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada
tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan.
Selanjutnya dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda
menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan
meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan posisi yang kurang menguntungkan,
pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang
yang dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan
kekuatan yang besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu
Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
Benteng Bonjol
12. Lukisan Bonjol pada tahun 1839.
Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus ke atas, dikenal dengan nama
Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah
sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng
ini berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis
setinggi kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan
lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir
sama seperti benteng-benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang
ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam
kepada pasukan Belanda.[25]
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu
pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah
yang dimanfaatkan dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang
strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.[26]
Pengepungan Bonjol
Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh G. Kepper.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade terhadap
Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri.
Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan
pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri
secara gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari
daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di
Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar
Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
13. Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan kembali setelah
bala bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus
1835 penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada
di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam
merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit
Tajadi.[27] Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai
Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu
pertahanannya menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda
yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri segera
kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo
Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian
pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda
menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh
Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat
keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga
pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan
menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi
perlawanan ini. Namun setelah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas
pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Kemenangan Belanda dalam Perang Padri, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.
14. Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda
kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir
untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol,
sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga
Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri
kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa
kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing
pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia-
Belanda di Jakarta yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens,
kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama
Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng
Bonjol untuk kesekian kalinya.[28] Cochius merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang
memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar
enam bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[29] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira.
Pasukan gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis
dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130
tentara pribumi, termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen
(pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan
Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor
Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu
Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein
Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro
Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Jakarta didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20
Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari
Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1
sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
15. Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang
bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan
infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh
Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit
menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh,
dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan.
Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan
didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Perundingan
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan
konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena
telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit
saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang
untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya
melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya.
Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol
diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu
cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan
Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke
Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada
tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali
dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol
kembali dipindahkan ke Menado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan
selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol
menghembuskan nafas terakhirnya.[26]
Akhir peperangan
Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia-Belanda
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, dan Tuanku Imam
Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya
benteng terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah dipimpin oleh
16. Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[30] Jatuhnya benteng tersebut memaksa
Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di
Semenanjung Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan
Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Neerlandica dan wilayah Padangse
Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.
Warisan sejarah
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan bagi masing-masing
pihak yang terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda
membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini.[25] Kemudian sejak
tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu dan
dimasukan sebagai kawasan wisata di Minangkabau.[31] Begitu juga selepas kemerdekaan
Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol dan
dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong pemerintah Indonesia
kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan
Nasional.
1. .