際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
Meskipun fakta menyebutkan bahwa lebih dari separuh jumlah populasi di Jepang
adalah perempuan, hingga kini wanita Jepang masih saja tersubordinasi dan termarginalisasi.
Perbedaan stratifikasi sosial antara perempuan dan laki-laki amat kentara dalam sistem
masyarakat di Jepang. Hal ini tergambar dari hubungan antar keluarga di Jepang, pangsa
pasar kerja di Jepang, seksualitas dan kontrol terhadap tubuh wanita, hingga persoalan
pernikahan dan perceraian.

         Wanita di Jepang menjadi sebuah kajian yang menarik apabila ditelisik lebih dalam.
Struktur sosial dan konstruksi budaya yang begitu kuat mengakar, nampaknya menyulitkan
terjadinya pergeseran budaya dimana di era global ini tak hanya laki-laki saja yang dituntut
untuk bekerja di luar rumah, wanitapun perlu. Jumlah pekerja perempuan di Jepang pada
tahun 2000, adalah sebesar 40.7 % dari keseluruhan jumlah pekerja, dan setengah dari jumlah
perempuan berumur antara 15 sampai 65 tahun pekerja gajian. Dari jumlah ini, 56.9 % adalah
wanita yang sudah menikah, dan 33.1% adalah single. Anggapan yang selama ini
berkembang bahwa wanita menikah di Jepang kemudian akan menjadi seorang ibu rumah
tangga yang bertugas mengurusi urusan rumah tangga, mengurus suami dan anak mulai
hilang. Pergeseran peran wanita di Jepang pun mulai berkembang terlebih di era kontemporer
ini. Perempuan mulai keluar dari rumah mereka dan bekerja (naishoku) , hal ini didukung
oleh adanya kesempatan kerja bagi perempuan yang semakin terbuka lebar. Pekerjaan yang
cukup diminati oleh perempuan di Jepang adalah kerja part time. Hal ini dikarenakan pekerja
hanya dikontrak dalam kurun waktu tertentu, dan mereka tidak bekerja secara full time. Hal
ini menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan bagi wanita Jepang karena mereka memiliki
tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya.

         Pada tahun 2000, 8 dari 10 pekerja part time adalah perempuan, dan mayoritas
adalah ibu rumah tangga. Sebagian besar perempuan Jepang menjadi menjadi pekerja part
time karena alasan berikut ini :
   1. Perempuan dapat menjadi pekerja tambahan untuk mengatasi kekurangan
tenaga kerja
   2. Perempuan dapat digaji rendah dengan kondisi pekerjaan yang tidak stabil. Karena
       pendapatan perempuan tidak mungkin melebihi pendapatan suaminya.
   3. Pekerjaan ini dapat dijadikan sebagai tambahan pemasukan dalam rumah tangga.
Ibu rumah tangga sebagai pekerja part-time terbagi atas 2 kelompok yaitu :
       1) Kelompok ibu rumah tangga yang mendahulukan rumah-tangga daripada
       pekerjaannnya. Ibu rumah tangga yang masuk dalam kelompok ini, mulai bekerja
       sebagai pekerja part-time setelah menyelesaikan fase membesarkan anak.
       2) Kelompok ibu rumah tangga yang mendahulukan karir dan mengakhiri karirnya
       pada masa separuh baya dalam posisi tinggi dan gaji yang besar.
        Dibandingkan negara Eropa dan Amerika, serta negara Asia lainnya, Jepang
memiliki kecenderungan untuk terus bekerja meski tidak memiliki arti ekonomi. Penelitian
yang lebih lengkap dilakukan oleh Harpaz (1989) dengan membandingkan beberapa negara
sekaligus. Hasilnya terlihat pada tabel di bawah ini. Sayangnya penelitian ini hanya dilakukan
di negara-negara maju.

             Persentase Orang yang akan Terus Bekerja Meski tidak Memiliki Arti
                                           Ekonomi

                                Negara       Pria    Wanita     Total
                         Jepang               95      91         93
                         Amerika Serikat      90      86         88
                         Israel               89      86         87
                         Belanda              87      86         86
                         Belgia               87      79         84
                         Jerman               75      62         70
                         Inggris              66      71         69



        Jepang yang menduduki urutan pertama dalam penelitian itu, tidaklah mengherankan.
Orang Jepang memang terkenal menempatkan kerja sebagai bagian pokok kehidupan. Total jam
kerja di Jepang merupakan yang tertinggi di dunia. Rata-rata mereka bekerja selama 2.000-an
jam/tahun
Kategori pekerja perempuan di Jepang terbagi menjadi dua, yakni :
   a. Sogo shoku (all round employees) yaitu pekerja perempuan yang menjalani kondisi
       yang sama dengan corporate soldiers laki-laki. Mereka harus mau bekerja lembur dan
       ditempatkan di kantor yang jauh dari rumah mereka untuk beberapa tahun (tanshin
       funin), serta mereka bersedia terus bekerja tanpa interupsi, ketika fase membesarkan
       anak. Perempuan yang masuk dalam dalam sogo shoku, minimal lulusan S1, dan
       sebaiknya lulusan dari universitas yang memiliki reputasi baik.
b. Ippan shoku (ordinary employees) yaitu pekerja perempuan yang tidak memiliki
       peran penting di tempat kerja, dan dianggap sebagai pekerja subordinat dengan gaji
       rendah. Manajemen tidak membiarkan mereka untuk menjalankan tugas besar dan
       mengikuti jenjang karir. Pekerja perempuan dalam kategori ini lebih banyak
       jumlahnya daripada kategori pertama, dan perempuan yang lebih mendahulukan
       keluarga akan masuk dalam kategori ini.
          Perempuan Jepang sulit menduduki posisi manajerial dalam perusahaan Jepang.
Hanya seperempat dari perusahaan Jepang yang memiliki manajer perempuan setara atau
lebih tinggi daripada kacho (kepala seksi), dan 73 % dari mereka tidak memiliki anak.
Kalaupun mereka memiliki anak, maka 70 % dari mereka mendapat bantuan dari orang-tua
atau mertua mereka.
          Bila dikaitkan dengan istilah honne to tatemae, yang merupakan budaya masyarakat
Jepang dalam mengekspresikan pendapatnya. Secara tatemae, masyarakat Jepang pada
umumnya akan mengatakan bahwa mereka mendukung kesetaraan, namun secara honne,
masih tertanam kuat di benak mereka bahwa perempuan masih tetap pada posisi yang
tersubordinat. Namun seiring berkembangnya zaman, mindset perempuan di Jepang mulai
berubah, dan kebutuhan akan pekerja perempuan di Jepang pun meningkat. Hal ini
mendorong pemerintah mengeluarkan dua ketentuan yang mempermudah pekerja wanita di
Jepang.

             a. Equal Opportunity Law, disahkan pada tahun 1985. Ketentuan yang
                 mencakup di dalamnya diharapkan dapat menciptakan kesetaraan peran
                 sosial baik itu perempuan maupun laki-laki di tempat kerja. Kelemahan dari
                 ketentuan yang dibuat ini adalah tidak menyediakan sanksi bagi pelanggar.
                 Sehingga sangat sulit memaksa pekerja untuk mentaati peraturan tersebut.
             b. Child-care Leave Law, disahkan pada April 1992. Peraturan ini menghimbau
                 agar perusahaan memberikan izin bagi perempuan untuk mendapatkan cuti
                 tanpa tanggungan untuk melahirkan dan membesarkan anak hingga 1 tahun,
                 dan hendaknya mereka diizinkan kembali untuk menempati posisinya setelah
                 cuti selesai. Tetapi kenyataannya hal itu tidak dilaksanakan. Bahkan
                 perusahaan tidak mengizinkan pekerjanya cuti untuk merawat keluarganya
                 yang sudah tua. Sehingga ibu rumah tangga berumur 40-an,myang tinggal
                 dekat atau bersama dengan mertua, mengalami dilema untuk memilih antara
                 pekerjaan dan tugas keluarga.
Di antara seluruh lulusan pendidikan tinggi, jumlah laki-laki lulusan S1 lebih banyak
(48 %) daripada perempuan (32 %), dan jumlah laki-laki lulusan akademi lebih sedikit (2 %)
daripada perempuan (17%). Karena jumlah perempuan lulusan S1 lebih sedikit daripada laki-
laki, maka hukum memperkuat untuk menempatkan perempuan pada posisi yang tidak
penting. Bahkan di perusahaan besar, pada tahun 2000, jumlah perempuan dalam kelompok
sogo shoku, hanya 3.5% dari semua jenjang karir.
         Stratifikasi sosial antara perempuan dan laki-laki di Jepang yang melekat dalam
bidang pekerjaan maupun pendidikan tak dapat dilepaskan dari pemahaman yang
menempatkan laki-laki sebagai kepala dalam rumah tangga. Bias peran inilah yang
kemudian menyebabkan banyak wanita di Jepang lebih memilih untuk tidak menikah, dan
bekerja, dan perubahan dalam bidang ketenagakerjaan di tingkat domestik, serta meluasnya
pengaruh feminist yang memperjuangkan tidak hanya perbedaan struktur relasi antara laki-
laki dan perempuan, tetapi juga diferensiasi internal di dalamnya.


Referensi:


Sugimoto, Yoshio. 2003. An Introduction to Japanese Society: Second Edition. Cambridge Press


http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/08/pustaka_unpad_profil_pekerjaan_wanita_
modern.pdf (diakses 27 november, pukul 19.35)

More Related Content

Smj fix

  • 1. Meskipun fakta menyebutkan bahwa lebih dari separuh jumlah populasi di Jepang adalah perempuan, hingga kini wanita Jepang masih saja tersubordinasi dan termarginalisasi. Perbedaan stratifikasi sosial antara perempuan dan laki-laki amat kentara dalam sistem masyarakat di Jepang. Hal ini tergambar dari hubungan antar keluarga di Jepang, pangsa pasar kerja di Jepang, seksualitas dan kontrol terhadap tubuh wanita, hingga persoalan pernikahan dan perceraian. Wanita di Jepang menjadi sebuah kajian yang menarik apabila ditelisik lebih dalam. Struktur sosial dan konstruksi budaya yang begitu kuat mengakar, nampaknya menyulitkan terjadinya pergeseran budaya dimana di era global ini tak hanya laki-laki saja yang dituntut untuk bekerja di luar rumah, wanitapun perlu. Jumlah pekerja perempuan di Jepang pada tahun 2000, adalah sebesar 40.7 % dari keseluruhan jumlah pekerja, dan setengah dari jumlah perempuan berumur antara 15 sampai 65 tahun pekerja gajian. Dari jumlah ini, 56.9 % adalah wanita yang sudah menikah, dan 33.1% adalah single. Anggapan yang selama ini berkembang bahwa wanita menikah di Jepang kemudian akan menjadi seorang ibu rumah tangga yang bertugas mengurusi urusan rumah tangga, mengurus suami dan anak mulai hilang. Pergeseran peran wanita di Jepang pun mulai berkembang terlebih di era kontemporer ini. Perempuan mulai keluar dari rumah mereka dan bekerja (naishoku) , hal ini didukung oleh adanya kesempatan kerja bagi perempuan yang semakin terbuka lebar. Pekerjaan yang cukup diminati oleh perempuan di Jepang adalah kerja part time. Hal ini dikarenakan pekerja hanya dikontrak dalam kurun waktu tertentu, dan mereka tidak bekerja secara full time. Hal ini menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan bagi wanita Jepang karena mereka memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya. Pada tahun 2000, 8 dari 10 pekerja part time adalah perempuan, dan mayoritas adalah ibu rumah tangga. Sebagian besar perempuan Jepang menjadi menjadi pekerja part time karena alasan berikut ini : 1. Perempuan dapat menjadi pekerja tambahan untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja 2. Perempuan dapat digaji rendah dengan kondisi pekerjaan yang tidak stabil. Karena pendapatan perempuan tidak mungkin melebihi pendapatan suaminya. 3. Pekerjaan ini dapat dijadikan sebagai tambahan pemasukan dalam rumah tangga.
  • 2. Ibu rumah tangga sebagai pekerja part-time terbagi atas 2 kelompok yaitu : 1) Kelompok ibu rumah tangga yang mendahulukan rumah-tangga daripada pekerjaannnya. Ibu rumah tangga yang masuk dalam kelompok ini, mulai bekerja sebagai pekerja part-time setelah menyelesaikan fase membesarkan anak. 2) Kelompok ibu rumah tangga yang mendahulukan karir dan mengakhiri karirnya pada masa separuh baya dalam posisi tinggi dan gaji yang besar. Dibandingkan negara Eropa dan Amerika, serta negara Asia lainnya, Jepang memiliki kecenderungan untuk terus bekerja meski tidak memiliki arti ekonomi. Penelitian yang lebih lengkap dilakukan oleh Harpaz (1989) dengan membandingkan beberapa negara sekaligus. Hasilnya terlihat pada tabel di bawah ini. Sayangnya penelitian ini hanya dilakukan di negara-negara maju. Persentase Orang yang akan Terus Bekerja Meski tidak Memiliki Arti Ekonomi Negara Pria Wanita Total Jepang 95 91 93 Amerika Serikat 90 86 88 Israel 89 86 87 Belanda 87 86 86 Belgia 87 79 84 Jerman 75 62 70 Inggris 66 71 69 Jepang yang menduduki urutan pertama dalam penelitian itu, tidaklah mengherankan. Orang Jepang memang terkenal menempatkan kerja sebagai bagian pokok kehidupan. Total jam kerja di Jepang merupakan yang tertinggi di dunia. Rata-rata mereka bekerja selama 2.000-an jam/tahun Kategori pekerja perempuan di Jepang terbagi menjadi dua, yakni : a. Sogo shoku (all round employees) yaitu pekerja perempuan yang menjalani kondisi yang sama dengan corporate soldiers laki-laki. Mereka harus mau bekerja lembur dan ditempatkan di kantor yang jauh dari rumah mereka untuk beberapa tahun (tanshin funin), serta mereka bersedia terus bekerja tanpa interupsi, ketika fase membesarkan anak. Perempuan yang masuk dalam dalam sogo shoku, minimal lulusan S1, dan sebaiknya lulusan dari universitas yang memiliki reputasi baik.
  • 3. b. Ippan shoku (ordinary employees) yaitu pekerja perempuan yang tidak memiliki peran penting di tempat kerja, dan dianggap sebagai pekerja subordinat dengan gaji rendah. Manajemen tidak membiarkan mereka untuk menjalankan tugas besar dan mengikuti jenjang karir. Pekerja perempuan dalam kategori ini lebih banyak jumlahnya daripada kategori pertama, dan perempuan yang lebih mendahulukan keluarga akan masuk dalam kategori ini. Perempuan Jepang sulit menduduki posisi manajerial dalam perusahaan Jepang. Hanya seperempat dari perusahaan Jepang yang memiliki manajer perempuan setara atau lebih tinggi daripada kacho (kepala seksi), dan 73 % dari mereka tidak memiliki anak. Kalaupun mereka memiliki anak, maka 70 % dari mereka mendapat bantuan dari orang-tua atau mertua mereka. Bila dikaitkan dengan istilah honne to tatemae, yang merupakan budaya masyarakat Jepang dalam mengekspresikan pendapatnya. Secara tatemae, masyarakat Jepang pada umumnya akan mengatakan bahwa mereka mendukung kesetaraan, namun secara honne, masih tertanam kuat di benak mereka bahwa perempuan masih tetap pada posisi yang tersubordinat. Namun seiring berkembangnya zaman, mindset perempuan di Jepang mulai berubah, dan kebutuhan akan pekerja perempuan di Jepang pun meningkat. Hal ini mendorong pemerintah mengeluarkan dua ketentuan yang mempermudah pekerja wanita di Jepang. a. Equal Opportunity Law, disahkan pada tahun 1985. Ketentuan yang mencakup di dalamnya diharapkan dapat menciptakan kesetaraan peran sosial baik itu perempuan maupun laki-laki di tempat kerja. Kelemahan dari ketentuan yang dibuat ini adalah tidak menyediakan sanksi bagi pelanggar. Sehingga sangat sulit memaksa pekerja untuk mentaati peraturan tersebut. b. Child-care Leave Law, disahkan pada April 1992. Peraturan ini menghimbau agar perusahaan memberikan izin bagi perempuan untuk mendapatkan cuti tanpa tanggungan untuk melahirkan dan membesarkan anak hingga 1 tahun, dan hendaknya mereka diizinkan kembali untuk menempati posisinya setelah cuti selesai. Tetapi kenyataannya hal itu tidak dilaksanakan. Bahkan perusahaan tidak mengizinkan pekerjanya cuti untuk merawat keluarganya yang sudah tua. Sehingga ibu rumah tangga berumur 40-an,myang tinggal dekat atau bersama dengan mertua, mengalami dilema untuk memilih antara pekerjaan dan tugas keluarga.
  • 4. Di antara seluruh lulusan pendidikan tinggi, jumlah laki-laki lulusan S1 lebih banyak (48 %) daripada perempuan (32 %), dan jumlah laki-laki lulusan akademi lebih sedikit (2 %) daripada perempuan (17%). Karena jumlah perempuan lulusan S1 lebih sedikit daripada laki- laki, maka hukum memperkuat untuk menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Bahkan di perusahaan besar, pada tahun 2000, jumlah perempuan dalam kelompok sogo shoku, hanya 3.5% dari semua jenjang karir. Stratifikasi sosial antara perempuan dan laki-laki di Jepang yang melekat dalam bidang pekerjaan maupun pendidikan tak dapat dilepaskan dari pemahaman yang menempatkan laki-laki sebagai kepala dalam rumah tangga. Bias peran inilah yang kemudian menyebabkan banyak wanita di Jepang lebih memilih untuk tidak menikah, dan bekerja, dan perubahan dalam bidang ketenagakerjaan di tingkat domestik, serta meluasnya pengaruh feminist yang memperjuangkan tidak hanya perbedaan struktur relasi antara laki- laki dan perempuan, tetapi juga diferensiasi internal di dalamnya. Referensi: Sugimoto, Yoshio. 2003. An Introduction to Japanese Society: Second Edition. Cambridge Press http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/08/pustaka_unpad_profil_pekerjaan_wanita_ modern.pdf (diakses 27 november, pukul 19.35)