1. Abstract
The Management of Osteoporosis
(Efficacy and safety)
Rachmat G Wachjudi
Indonesian Rheumatism Association (Bandung)
Osteoporosis is a systemic disease characterized by low bone mass and microarchitectural deterioration
of bone tissue, resulting in an increased risk of fracture. The level of bone mass can be estimated by
measuring bone mineral density (BMD) using dual X-ray absorptiometry (DXA), but its measurement
does not capture all the risk factors for fracture. Quantitative changes in skeletal turnover can be
assessed easily and non-invasively by the measurement of serum and urinary biochemical markers; the
most sensitive markers include serum osteocalcin, bone specific alkaline phosphatase, the N-terminal
propeptide of type I collagen for bone formation, and the crosslinked C- (CTX) and N- (NTX) telopeptides
of type I collagen for bone resorption.The measurement of the urinary ratio of native (alpha) to
isomerized (beta) CTX - an index of bone matrix maturation - has been shown to be predictive of
fracture risk independently of BMD and bone turnover. Therefore, the combined use of BMD
measurement and biochemical markers is helpful in risk assessment, especially in those women who are
not identified as at risk by BMD measurement alone. Levels of bone markers decrease rapidly with
antiresorptive therapies, and the levels reached after 3-6 months of therapy have been shown to be
more strongly associated with fracture outcome than changes in BMD. Preliminary studies indicate that
monitoring changes of bone formation markers could also be useful to monitor anabolic therapies,
including intermittent parathyroid hormone administration and, possibly, to improve adherence to
treatment. Thus, repeated measurements of bone markers during therapy may help improve the
management of osteoporosis in patients.
Keywords : osteoporosis – management – bone biomarkers - Bandung
2. Tatalaksana Osteoporosis
(Efikasi dan keamanan)
Rachmat Gunadi Wachjudi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia (Cabang Bandung)
Diagnosis osteoporosis didasarkan atas pemeriksaan kuantitatif kepadatan masa tulang (BMD). BMD
pada kolumna femoris biasanya dijadikan acuan. Dengan berbagai pertimbangan, diagnostic threshold
dibedakan dengan intervention threshold. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa risiko fraktur akan
meningkat sesuai dengan pertambahan usia, walaupun dalam nilai T yang sama. Faktor lain yang turut
menentukan intervension threshold adalah keberadaan faktor risiko klinis (CRF) serta untung rugi
pemberian terapi.
Jenis pemeriksaan yang diperlukan tergantung pada derajat penyakit, umur dan adanya fraktur.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan berrbagai pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menyingkirkan
penyakit yang menyerupai osteoporosis, mengungkap penyebab osteoporosis dan faktor yang
berkaitan, menilai risiko fraktur berikutnya dan memilih pengobatan yang paling sesuai untuk pasien
yang bersangkutan. Pemeriksaan penunjang yang relevan dilakukan meliputi hematologi, laju endap
darah, CRP, kalsium serum, albumin, kreatinin, tes faal hati. Fungsi tiroid, BMD. Prosedur lain jika anda
indikasi meliputi foto ronsen vertebra torako-lumbal AP-lateral, elektroforesis protein, protein Bence
Jones, kadar hormone testosterone, SHBG, FSH, LH. Prolaktin, kortisol urin, sidik tulang radionuklida,
petanda daur tulang (bone turnover markers) dan ekskresi kalsium urin.
Biomarker tulang dapat digunakan untuk diagnostik, penatalakasanaan, perkiraan risiko fraktur dan
monitoring terapi. Derajat masa tulang dapat terukur dengan BMD DXA, namun pengukuran tersebut
tak dapat menangkap setiap faktor risko frakturperubahan kuantitatif pada skeletal turnover dapat
dinilai secara noninvasive dengan pemeriksaaan biomarker di serum dan urin; marker yang sensitive
meliputi osteocalcin serum, bone specific alkaline phosphatase, N-terminal propeptide of type I collagen
untuk bone formation, dan crosslinked C- (CTX) dan N- (NTX) telopeptides of type I collagen untuk bone
resorption. Pengukuran rasio native (alpha) : isomerized (beta) CTX urin– yang merupakan indeks
kematangan matrks tulang – merupakan predictor risiko fraktur independen tak terkait dengan BMD
dan bone turnover. Dengan demikian, kombinasi antara BMD dan biochemical markers sangat
membantu penilaian risiko, terutama pada pasien yang tak terdeteksi risiko frakturnya dengan
pengukuran BMD saja. Kadar bone markers akan menurun dengan cepat pada pasien yang diberikan
terapi antiresorptive, dan kadar yang terukur setelah 3-6 bulang pengobatan terkait lebih erat dengan
risiko fraktur disbanding perubahan BMD. Penelitian pendahuluian juga membuktikan formation
markers juga berguna untuk monitor terapi anabolik, termasuk parathyroid hormone dan mungkin
berguna untuk memperbaiki kepatuhan terapi. Dengan demikian pengukuran berulang bone markers
selama pengobatan dapat membantu meningkatkan tatalaksana osteoporosis pada pasien.
Sampai dengan saat ini di Negara kita belum ada kebijakan yang menetapkan perlunya skrining
osteoporosis dan risiko fraktur pada populasi. Selama ini pasien teridentifikasi secara kebetulan jika
pasien berkunjung untuk penyakit lain, namun pada pasien tersebut terdapat riwayat fraktur fragilitas
3. dan teridentifikasi CRF. Beberapa faktor tidak berkaitan dengan BMD, sedangkan faktor lain (seperti
penyebab-penyebab osteoporosis sekunder) berkaitan dengan BMD.
Faktor-faktor risiko klinis (CRF) meliputi: umur, indeks masa tubuh rendah, fraktur fragilitas terutama
hip, spine dan wrist terfmasuk fraktur morfometerik, riwayat orang tua dengan fraktur, sedang
menggunakan steroid (lebih dari 3 bulan), merokok, alkohol, penyebab osteoporosis sekunder seperti
RA, hipogonadisme, imobilitas lama, transplantasi organ, DM tipe1, penyakit GIT, penyakit hati kronik,
COPD dan riwayat jatuh. Factor risiko fraktur harus dicari pada wanita pasca menaopause dan pria
berumur 50 tahun atau lebih.
- Wanita dengan fraktur terdahulu dipertimbangkan untuk diberikan terapi tanpa assessment
lebih lanjut, namun demikian BMD dianjurkan bagi pasca menopause awal.
- Dengan adanya CRF lainnya, kemungkinan fraktur osteoporotic dalam 10 tahun ditentukan
berdasarkan FRAXX (www.shef.ac.uk/FRAX). Pasien dibawah threshold, diobservasi kemudian,
pasien anatara lower dan upper tresholddipertimbangkan pemeriksaan BMD, sedangkan pasien
diatas upper threshold, mulai diberikan terapi.
- Pada pasien yang telah diperiksa BMD, sebaiknya dihitung kembali risiko frakturnya dengan
FRAXX untuk pertimbangan pemberian terapi.
Skema yang menunjukkan interaksi berbagai faktor dalam terjadinya fraktur sebagai berikut:
Fracture
Bone
Strength
Material
Properties
Remodeling
Falls
Shape &
Architecture
Exercise &
Lifestyle
Hormones
Nutrition
Bone
Mass
Postural
Reflexes
Soft Tissue
Padding
Reproduced with permission from Heaney RP. Bone 33:457-465, 2003
Factors Leading to Osteoporotic Fracture:
Role of Bone Remodeling
2004
Penatalaksanaan
Masa tulang pada usia tertentu ditentukan oleh puncak masa tulang, kecepatan penurunan masa tulang
sesuai umur, dan pada wanita ditentukan oleh kapan dan sudah berapa lama terjadi menopause Faktor
genetik tak dapat dimanipulasi, namun demikian kita dapat mengatur faktor nutrisi dan lingkungan.
Intervensi farmakologik pada pasien dengan risiko merupakan iupaya pencegahan yang baik. Perlakuak
ini terutama ditujukan kepada mereka dengan kelompok umur 50-65 dengan T score <-3,0 atau dengan
4. T score <-d,5 dengan adanya factor risiko lainnya (terutama fraktur fragilitas), dan mereka yang
berumur >65 tahun dengan T score <-2,5 tanpa harus ada factor risiko lainnya.
Kalsium
Suplementasi kalsium sangat dinutuhkan oleh mereka dengan diet rendah kalsium (yakni kurang asupan
produk susu, sayuran hijau, kacang, buah dll). Masih belum ada kata sepakat apakah suplementasi
kalsium saja mempunyai pengaruh dalam pencegahan bone loss damn mencegah terjadinya fraktur
pada dewasa muda.
Pada wanita pasca menopause, suplemetasi kalsium terbukti dapat menurunkan kecepatan penurunan
BMD. Pemberian kalsium dan vitamin D pada pasien osteoporosis lansia dapat mecegah penurunan
masa tulang dan risiko fraktur tulang kortikal.
Kalsium dianjurkan pada mereka yang sudah jelas osteoporosis, asupan kalsium rendah (<400mg/hari)
dan suplemen bagi lansia yang sedang mendapatkan obat antiresorptif.
Exercise
Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa aktifitas fisik dapat menurunkan kecepatan hilangnya
masa tulang pada menopause. Aktivitas yang dilakukan harus weight bearing.
Terapi Sulih hormone (HRT)
Terapi sulih estrogen merupakan cara efektif mencegah bone loss pada wanita menopause penambahan
progesterone mengurangi endometrial shedding dan meminimalisir risiko hyperplasia dan neoplasia.
Dosis minimum estrogen peroral adalah 2 mikrogram/hari dan estrogen terkonyugasi 0,625mg/hari.
Penelitian menunjukkan adanya risiko relative kanker mammae 1,3-1,4 pada wanita > 60 tahun yang
menggunakan HRT > 10 tahun. Belum cukup bukti yang kuat bahwa progesterone dapat menurunkan
risiko ini. HRT harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan hipertensi. HRT juga diketahui
bersifat kardioprotektif dengan menurunkan kadar kolesterol. Hal yang lain yang harus diperhatikan
adalah risiko terjadinya DVT walaupun risikonya kecil yakni 20 kasus/100.000 pengguana HRT/tahun
Pengobatan Established Osteoporosis
Penelitian terhadap berbagai obat osteoporosis menunjukkan kemampuannya untuk menurunkan 40-
50% risiko fraktur fragilitas baik vertebra maupun hip pada wanita dengan established osteoporosis.
Bisphosphonate saat ini merupakan obat yang paling sering dipergunakan pada pasien osteoporosis.
Obat ini tegolong senyawa anti resorptif yang tersu dikembangkan baik untuk pemakaian oral maupun
parenteral. Pada umumnya senyawa ini cukup aman, namun harus berhati-hati bagi yang terdapat
gangguan ginjal dan refluks esophagus dan hernia hiatus. Harus diberikan dalam keadaan perut kosong
karena absorpsinya yang buruk. Disertai pemberian kalsium 800-1000mg dan vitamin D 400-800 IU.
Dari berbagai penelitian dan laporan kasus yang dimuat diberbagai jurnal, kita bisa simpulkan bahwa
untuk efektivitas pengobatan osteoporosis vertebrae sudah sama disepakati signifikansinya. Beberapa
bisphosphonate seperti Ibandronate masih menunggu hasil penelitian mengenai efektivitasnya terhadap
non vertebral fracture.
Hal yang patut menjadi perhatian kita dalam penatalaksanaan osteoporosis dan pencegahan fraktur
adalah kepatuhan pasien dalam menggunakan obat-obatan; karena pengobatan osteoporosis tidak
5. seperti obat anti nyeri yang dapat dirasakan khasiatnya secara sybyektif oleh pasien. Untuk itu
perusahaan farmasi berlomba mengembangkan sediaan bisphosphonate baik dalam interval pemakaian
maupun dalam route pemberian obat. Sampai tahun 2002, sediaan bisphosphonate umumnya masih
diberikan secara once daily, cara pemberian seperti ini hanya dapat dipatuhi oleh sebgian kecil (30%)
pasien yang bertahan menggunakan selama 1 tahun. Setelah itu sediaan ada yang bisa digunakan
seminggu sekali, sebulan sekali per oral, dan 3 bulan sekali intra vena, serta setahun sekali dengan
infuse.
Selain issue mengenai persamaan dan perbedaan efek terapeutik, pada kelompok bisphosphonate juga
terdapat beberapa laporan yang mengangkat masalah osteonecrosis of the jaws (ONJ), oesophageal
cancer, atypical fracture, renal safety, dan fibrilasi atrium.
Yang juga belum mendapatkan kesepakatan adalah mengenai berapa lama seseorang boleh diberikan
terapi bisphosphonate. Pendapat para akhli masih beragam dalam hal ini. Dalam menentukan berapa
lama terapi bisphosphonate aman diberikan, didasarkan pada derajat risiko fraktur pada masing-masing
pasien. Berikut salah satu yang dapat kita gunakan sebagai pedoman, sebelum ada consensus yang
universal
Kalsitonin sama efektivitasnya dengan HRT dalam pencegahan bone loss pada wanita menopause.
Diberikan sebagai alternative HRT jika ada kontra indikasi atau tidak akseptabel. Kalsitonin juga
mempunyai efek mengurangi bone pain pada fraktur
Strontium Ranelate dengan dosis 2g/hari dapat dijadikan pilihan pertama bagi mereka yang terdapat
kontraindikasi pemakaian bisfosfonat. Dapaty menurunkan risiko fraktur hip dan vedrtebra sebesar 36-
41%. Yang perlu diperhatikan, strontium berikatan dengan tulang dan dapat memberikan false high
pada pembacaan DXA
Teriparatide merupakan analog hormone yang diberikan secara injeksi subkutan setiap hari selama 18
bulan. Hanya diberikan kepada pasien yang telah diberikan bisphosphonate 18 bulan namun tidak
menunjukkan respons, berumur >65 tahun, T score <-4,0 atau <-3,0 disertai 2 atau lebih fraktur
fragilitas dan 1 faktor yang independen terhadap umur.
6. Sebagai ringkasan pada terapi osteoporosis, yang perlu kita pertimbangkan meliputi penilaian risiko
fraktur dan pencegahannya. Pertahankan mobilitas, dan penuhi kebutuhan nutrient terutama kalsium,
vitamin D dan protein. Intake kalsium minimal 1000mg/hari, 800mg Vitamin D dan 1gprotein/ kgBB.
Obat-obatan yang tersedia meliputi bisphoshonates, strontium ranelate, raloxifene dan hormone
parathyroid. Kesemua obat ini terbukti dapat menurunkan risiko fraktur vertebra, jika diberikan
bersamaan dengan kalsium dan vitamin D. beberapa obat ini dapat pula menurunkan risiko fraktur
nonvertebral, terutama hip. Table dibawah ini merupakan resume dari berbagai penelitian tentang obat-
obat antiosteporosis. Level A merupakan petanda/bukti kuat kegunaannya sebagai antiosteoporosis
Fraktur vertebrae Fraktur non-vertebrae Fraktur hip
Alendronate A A A
Ibandronate A A A
Risedronate A A A
Zoledronate A A A
Raloxifene A Nae Nae
Strontium ranelate A A A
Teriparatide A nae nae
Obat-obatan lain yang juga di approve adalah kalsitonin, kalsitriol dan etidronate serta hormone
replacement therapy.
Skema penatalaksanaan osteoporosis dan risiko fraktur sebagai berikut:
Who to treat ?
Prior h/o hip/vertebral #
or
T Score < -2.5
or
T Score -1 to -2.5 &
10 yr risk (FRAX) :
HIP # > 3 % or
major osteoporotic # > 20 %
Postmenopausal women /men > 50 yrs
with
7. HIP FRACTURE – Female Age 75 and over
Give single oral dose 100,000 IU vitaminD @ as soon as feasible post hip fracture & start 1000mg
CaCO3+800IU vitaminD asap, (if on this already – continue)
Already on a BP(bisphosphonate)?
No
Yes
Good prognosis & eGFR 30 or over
Duration of treatment?Yes No
1. Patient or resident carer understand
concepts of osteoporosis, fracture risk
reduction & protocol for ingesting oral BP
AND
2. No contraindications to oral BPs
[dysphagia / oesophageal stricture /
achalasia /hypocalcaemia].
Yes
Oral ALN 70mg / wk
No
Patient suitable for IV BP
& eGFR 35 or over
Yes No
Arrange IV zoledronic acid 5mg
infusion (over at least 15min),
4-6/52 after hip fracture
Consider oral BP or, if at risk
equivalent to that of fracture
plus T-score -2.4 or less,
consider strontium ranelate.
Continue b.d. calcium + vitaminD
Continue b.d.
oral calcium + vitaminD
More than 2yr 2yr or less
Optimal compliance with / adherence
to BP & BP well tolerated
YesNo
Continue oral BP
IF eGFR is 30 or more
Otherwise continue
b.d. calcium + vitaminD
GREATER GLASGOW & CLYDE PROTOCOL FOR FRACTURE SECONDARY PREVENTION AFTER HIP FRACTURE IN WOMEN AGE 75+
Kepustakaan
Royal college of physicians Osteoporosis clinical guidelines for the prevention and treatment. 2009,
Royal college of physician London
Kanis JA, McCloskey EV, Johansson H, Strom O, Boorgstorm F, Oden A, and The National Osteoporosis
Guideline Group (2008) Case Finding for the management of osteoporosis with FRAXX. Assessment and
intervention threshold for the UK. Osteoporosis Int
Hakim A, Clunie G, Haq I:Oxford handbook of Rheumatology, Oxford University Press, Oxford, 2008.
Pp452-63.
Rekomendasi Diagnosis dan Penatalaksanaan Osteoprosis. PB PEROSI Jakarta. Tahun 2010