ºÝºÝߣ

ºÝºÝߣShare a Scribd company logo
UJIAN AKHIR SEMESTER
PRASEJARAH INDONESIA

BETSY EDITH CHRISTIE
0906521713

UNIVERSITAS INDONESIA
2010
Johnson (1999) mengungkapkan bahwa Julian Steward adalah seorang
antropolog yang melahirkan teori yang disebut Cultural Ecology yang sangat
berpengaruh pada awal New Archaeology. Cultural Ecology didasari oleh ide
mengenai adaptasi dan seleksi. Cultural Ecology sendiri adalah teori yang
menyatakan bahwa kumpulan masyarakat akan beradaptasi dengan materi yang
ada di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, karakteristik kumpulan masyarakat
tersebut dapat diidentifikasi lewat adaptasi yang dilakukan.
Karakteristik masyarakat tersebut pada akhirnya diklasifikasikan oleh
Steward dalam lima tingkat perkembangan budaya:
1. Tingkat berburu (hunting gathering stage)
2. Tingkat bercocok tanam sederhana (stage of incipient agriculture)
3. Tingkat formatif (formative stage)
4. Tingkat perkembangan negara lokal
5. Tingkat negara militer (stage of cyclical conquest)
Dengan penjelasan yang telah diuraikan diatas, berdasarkan Johnson dan materi
kuliah Prasejarah Indonesia, maka dapat diketahui bahwa untuk mengetahui suatu
kumpulan masyarakat termasuk kepada tingkat yang mana, maka dapat dilakukan
analisis dengan melihat adaptasi yang dilakukan masyarakat kala itu terhadap
lingkungan yang didasari pada teori Cultural Ecology.
Sesuai dengan pertanyaan yang diajukan mengenai masa bercocok tanam
menurut Steward, maka dapat diketahui bahwa Steward mengambil kesimpulan
suatu masyarakat tergolong kepada tingkat bercocok tanam sederhana berdasarkan
bentuk adaptasi terhadap lingkungan pada masyarakat kala itu. Adaptasi yang
dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan bercocok tanam sederhana untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan bercocok tanam dilakukan dengan
menyesuaikan tanaman yang akan ditanam dengan musim yang sedang
berlangsung. Adaptasi tersebut dilakukan agar memperoleh hasil maksimal saat
panen dan hasil tersebut dapat mencukupi kebutuhan masyarakat.
Sedangkan, menurut Patrick Kirch, suatu kumpulan masyarakat termasuk
ke dalam tingkat masa bercocok tanam atas dasar analisis yang dilakukan terhadap
adaptasi yang dilakukan baik dengan adaptasi konteks sistem ataupun arkeologi.
Berdasarkan materi kuliah Prasejarah Indonesia, adaptasi dalam konteks sistem
dapat dilihat sebagai proses interaksi yang dinamis antara manusia dengan
lingkungan serta strategi adaptif atau cara-cara penyesuaian yang diterapkan
dengan dilandasi oleh pengetahuan dan keahlian sebagai faktor yang membentuk,
mengarahkan, dan mentransmisikan informasi adaptasi. Sedangkan adaptasi
dalam konteks arkeologi dapat dilihat ketika hubungan yang dinamis itu
disederhanakan ke dalam bentuk benda-benda materi yang merefleksikan keadaan
lingkungan demografi serta perilaku manusia masa lalu.
Melalui kedua pendapat ini terlihat persamaan diantara keduanya yaitu
melihat kumpulan masyarakat masuk kepada suatu tingkat dalam hal ini bercocok
tanam dengan melihat adaptasi yang dilakukan terhadap lingkungan. Berdasarkan
Johnson dan materi kuliah Prasejarah Indonesia, dapat diketahui bahwa Steward
memandang suatu bentuk adaptasi yang dilakukan pada masa bercocok tanam
lewat kondisi lingkungan secara menyeluruh. Sedangkan, Kirch melakukan
analisis lebih mendalam lewat adaptasi konteks sistem dan arkeologi. Kirch
melakukan analisis terhadap kondisi lingkungan kala itu dan juga terhadap barang
peninggalannya.
Teknik Pembuatan Alat Batu Pada Masa Paleolitik
Menurut Akbar, pada masa Paleolitik, teknik pembuatan alat batu berupa
teknik pukul dan teknik tekan. Teknik pukul terdapat dua macam yaitu langsung
(direct percussion) dan tidak langsung (indirect percussion). Akbar yang mengacu
pada Crabtree, Oakley, dan Howell, mengungkapkan bahwa teknik pukul
langsung dilakukan dengan cara batu atau palu yang terbuat dari tulang atau kayu
keras dipukulkan pada permukaan bahan baku yang ingin dibentuk. Pemangkasan
dilakukan untuk melepaskan serpihan dari bahan baku. Sedangkan, teknik pukul
tidak langsung (indirect percussion) menggunakan semacam pahat yang terbuat
dari kayu atau tulang yang keras. Semacam pahat ini yang nantinya digunakan
untuk dipukulkan ke batu pukul. Lain hal dengan teknik serpih tekan (pressure
flaking) yaitu melakukan kegiatan menekan dengan benda runcing seperti tulang
atau tanduk yang keras pada calon alat batu, sehingga diperoleh serpihan kecil.
Sedangkan menurut Poesponegoro, teknik pembuatan alat batu di Asia
Tenggara dan Timur pada umumnya monofasial yaitu pemangkasan yang
dilakukan pada salah satu permukaan saja. Bahan batuan yang digunakan untuk
membuat perkakas batu adalah dari batuan tufa kersikan, kapur kersikan, kuarsa,
dan beberapa jenis batuan lainnya. Di Indonesia sendiri menurut Poesponegoro,
pada masa Paleolitik dikenal dua teknik perkakas batu yang disebut tradisi kapak
perimbas dan serpih. Kapak perimbas adalah sejenis kapak yang digenggam dan
berbentuk masif. Teknik pembuatannya cenderung masih kasar. Kapak perimbas
sendiri ditemukan di lembah Sungai Fingnoi di dekat Bhan-kao, Pakistan
(Punjab), Pulau Luzon di Filipina, selatan Hanoi di Vietnam Utara, Myanmar
(Lembah Irrawadi), Malaysia (Kota Tampan), Cina (Chou-kou-tien, Lembah
Yangtze, Guangxi), dan Indonesia (Pacitan).
Poesponegoro yang mengacu pada Movius menggolongkan kapak ke
dalam beberapa jenis yaitu kapak perimbas (chopper) yang bentuknya kecil
disebut serut genggam (scraper), kapak penetak (chopping-tool), pahat genggam
(hand-adze), dan kapak genggam awal (proto hand-axe). Beberapa jenis kapak ini
dibuat dengan teknik pemangkasan secara sederhana secara langsung dari batu-
batu kerakal atau dari teknik pembenturan batu besar yang menghasilkan pecahan
batu yang lebih kecil. Teknik pembenturan ini dapat dijumpai di Pacitan. Pada
budaya Pacitan ini, korteks ditemukan masih menempel di bagian- bagian yang
digunakan untuk pegangan pada perkakas batu.
Pada tradisi serpih digunakan teknik dengan membentuk secara teratur
sehingga menghasilkan bentuk lonjong ataupun bundar. Bahan batuan yang
digunakan untuk membuat alat serpih antara lain beberapa jenis batuan tufa dan
gamping kersikan, dan batuan endap. Alat serpih ditemukan di Punung, Sangiran,
dan Ngandong di Jawa; Cabbenge di Sulawesi Selatan; Mengeruda di Flores, serta
Gassi Liu dan Sagadat di Timor, Lahat di Sumatera Selatan, Gombong di Jawa
Tengah, dan beberapa tempat di Timor. Alat serpih terbagi menjadi beberapa jenis
yaitu bentuk serut (serut ujung, serut cekung, serut gigir) dan lancipan (lengkung.
oval).

Teknik Pembuatan Alat Batu Pada Masa Mesolitik
Menurut Akbar, teknik pembuatan alat batu pada masa Mesolitik
melanjutkan teknik pembuatan alat batu pada masa Paleolitik yaitu teknik tekan.
Teknik tekan yaitu teknik pembuatan alat batu dengan melakukan kegiatan
menekan menggunakan benda runcing seperti tulang atau tanduk yang keras pada
calon alat batu, sehingga diperoleh serpihan kecil. Poesponegoro mengungkapkan
bahwa terdapat dua tradisi alat batu pada masa Mesolitik yaitu tradisi serpih-bilah
dan kapak genggam Sumatra. Tradisi serpih-bilah sendiri menggunakan teknik
pemangkasan sekunder yaitu melakukan pemangkasan setelah melepaskannya
dari batu inti. Sedangkan, kapak genggam Sumatra banyak digunakan oleh
kebudayaan Hoabinh.
Bahan batuan yang digunakan adalah kalsedon, batu gamping, dan andesit.
Tradisi ini digunakan di gua-gua Sulawesi Selatan, pulau-pulau Nusa Tenggara
Timur, dan Jawa. Pada masa Mesolitik digunakan teknik pukul tidak langsung
(indirect percussion). Akbar mengungkapkan bahwa teknik pukul tidak langsung
menggunakan kayu atau tulang yang keras sebagai semacam pahat, batu pukul
dipukulkan ke kayu atau tulang yang diarahkan untuk memangkas calon alat batu.

Teknik Pembuatan Alat Batu Pada Masa Neolitik
Akbar mengungkapkan bahwa pada masa Neolitik digunakan teknik yang
berbeda dari masa Paleolitik dan Mesolitik yaitu teknik asah dan upam. Akbar
yang mengacu pada Callenfels mengungkapkan bahwa teknik asah (abrading)
adalah teknik dengan melakukan pengikisan permukaan calon alat batu pada batu
lainnya yang lebih lunak. Menurut Poesponegoro, teknik asah dilakukan hingga
menghasilkan tajaman. Sedangkan teknik upam (polishing) adalah teknik
pengusapan calon alat batu yang telah dihaluskan permukaannya dengan kulit
bambu atau kulit hewan sehingga dihasilkan permukaan yang mengkilat.
Poesponegoro mengatakan bahwa alat batu yang dihasilkan pada masa
Neolitik adalah beliung persegi, kapak lonjong, alat-alat obsidian, dan mata
panah. Beliung persegi ditemukan di kepulauan Indonesia bagian barat, Malaysia,
Thailand, Vietnam, Khmer, Cina, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Polinesia. Kapak
lonjong ditemukan di Gua Niah di Serawak, Sulawesi, Sangihe Talaud, Flores,
Maluku, Leti, Tanimbar, dan Papua. Kapak lonjong pun ditemukan di luar
Indonesia yaitu di Myanmar, Cina, Manchuria, Taiwan, Jepang, Filipina, dan
India. Alat-alat obsidian ditemukan di Jambi, dekat Danau Kerinci, di sekitar
bekas Danau Bandung, Leles dekat Garut, Leuwiliang (Bogor), sekitar Danau
Tondano (Minahasa), dan Camplong (Timor Barat). Sedangkan, mata panah
ditemukan di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Ali. Eksperimen Pembuatan Beliung Persegi, makalah dipresentasikan di
Seminar Hasil Penelitian Arkeologi. Depok: FIB, 2008.
Johnson,

Matthew.

Archaeological

Theory:

An

Introduction.

Oxford-

Massachusetts: Blackwell, 1999.
Poesponegoro, dkk. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di
Indonesia. Ed. Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
LAMPIRAN
Foto 1. Teknik Pembenturan

Foto: Materi Kuliah Praktikum Arkeologi: Laboratorium Analisis Litik
Program Studi Arkeologi, FIB UI, 2010

Foto 2. Teknik Tekan

Foto: Materi Kuliah Praktikum Arkeologi: Laboratorium Analisis Litik
Program Studi Arkeologi, FIB UI, 2010

Foto 3. Teknik Langsung (Direct Percussion)

Foto: Materi Kuliah Praktikum Arkeologi: Laboratorium Analisis Litik
Program Studi Arkeologi, FIB UI, 2010
Foto 4. Teknik Tidak Langsung (Indirect Percussion)

Foto: Materi Kuliah Praktikum Arkeologi: Laboratorium Analisis Litik
Program Studi Arkeologi, FIB UI, 2010

Foto 5. Kapak Perimbas dari Butik, Pulau Lombok, NTB

Foto: Sejarah Nasional Indonesia I

Foto 6. Alat Serpih dan Alat Bilah dari Pacitan, Jawa Timur

Foto: Sejarah Nasional Indonesia I
Foto 7. Beliung Persegi

Foto: Ali Akbar

Foto 8. Kapak Lonjong dari Sentani, Jayapura, Papua

Foto: Sejarah Nasional Indonesia I

Foto 9. Anak Panah dari Desa Nampol, Kecamatan Punung,
Kabupaten Pacitan, Jawa Timur

Foto: Sejarah Nasional Indonesia I

More Related Content

Teknik Pembuatan Alat Batu pada Masa Prasejarah

  • 1. UJIAN AKHIR SEMESTER PRASEJARAH INDONESIA BETSY EDITH CHRISTIE 0906521713 UNIVERSITAS INDONESIA 2010
  • 2. Johnson (1999) mengungkapkan bahwa Julian Steward adalah seorang antropolog yang melahirkan teori yang disebut Cultural Ecology yang sangat berpengaruh pada awal New Archaeology. Cultural Ecology didasari oleh ide mengenai adaptasi dan seleksi. Cultural Ecology sendiri adalah teori yang menyatakan bahwa kumpulan masyarakat akan beradaptasi dengan materi yang ada di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, karakteristik kumpulan masyarakat tersebut dapat diidentifikasi lewat adaptasi yang dilakukan. Karakteristik masyarakat tersebut pada akhirnya diklasifikasikan oleh Steward dalam lima tingkat perkembangan budaya: 1. Tingkat berburu (hunting gathering stage) 2. Tingkat bercocok tanam sederhana (stage of incipient agriculture) 3. Tingkat formatif (formative stage) 4. Tingkat perkembangan negara lokal 5. Tingkat negara militer (stage of cyclical conquest) Dengan penjelasan yang telah diuraikan diatas, berdasarkan Johnson dan materi kuliah Prasejarah Indonesia, maka dapat diketahui bahwa untuk mengetahui suatu kumpulan masyarakat termasuk kepada tingkat yang mana, maka dapat dilakukan analisis dengan melihat adaptasi yang dilakukan masyarakat kala itu terhadap lingkungan yang didasari pada teori Cultural Ecology. Sesuai dengan pertanyaan yang diajukan mengenai masa bercocok tanam menurut Steward, maka dapat diketahui bahwa Steward mengambil kesimpulan suatu masyarakat tergolong kepada tingkat bercocok tanam sederhana berdasarkan bentuk adaptasi terhadap lingkungan pada masyarakat kala itu. Adaptasi yang dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan bercocok tanam sederhana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan bercocok tanam dilakukan dengan menyesuaikan tanaman yang akan ditanam dengan musim yang sedang berlangsung. Adaptasi tersebut dilakukan agar memperoleh hasil maksimal saat panen dan hasil tersebut dapat mencukupi kebutuhan masyarakat. Sedangkan, menurut Patrick Kirch, suatu kumpulan masyarakat termasuk ke dalam tingkat masa bercocok tanam atas dasar analisis yang dilakukan terhadap adaptasi yang dilakukan baik dengan adaptasi konteks sistem ataupun arkeologi.
  • 3. Berdasarkan materi kuliah Prasejarah Indonesia, adaptasi dalam konteks sistem dapat dilihat sebagai proses interaksi yang dinamis antara manusia dengan lingkungan serta strategi adaptif atau cara-cara penyesuaian yang diterapkan dengan dilandasi oleh pengetahuan dan keahlian sebagai faktor yang membentuk, mengarahkan, dan mentransmisikan informasi adaptasi. Sedangkan adaptasi dalam konteks arkeologi dapat dilihat ketika hubungan yang dinamis itu disederhanakan ke dalam bentuk benda-benda materi yang merefleksikan keadaan lingkungan demografi serta perilaku manusia masa lalu. Melalui kedua pendapat ini terlihat persamaan diantara keduanya yaitu melihat kumpulan masyarakat masuk kepada suatu tingkat dalam hal ini bercocok tanam dengan melihat adaptasi yang dilakukan terhadap lingkungan. Berdasarkan Johnson dan materi kuliah Prasejarah Indonesia, dapat diketahui bahwa Steward memandang suatu bentuk adaptasi yang dilakukan pada masa bercocok tanam lewat kondisi lingkungan secara menyeluruh. Sedangkan, Kirch melakukan analisis lebih mendalam lewat adaptasi konteks sistem dan arkeologi. Kirch melakukan analisis terhadap kondisi lingkungan kala itu dan juga terhadap barang peninggalannya.
  • 4. Teknik Pembuatan Alat Batu Pada Masa Paleolitik Menurut Akbar, pada masa Paleolitik, teknik pembuatan alat batu berupa teknik pukul dan teknik tekan. Teknik pukul terdapat dua macam yaitu langsung (direct percussion) dan tidak langsung (indirect percussion). Akbar yang mengacu pada Crabtree, Oakley, dan Howell, mengungkapkan bahwa teknik pukul langsung dilakukan dengan cara batu atau palu yang terbuat dari tulang atau kayu keras dipukulkan pada permukaan bahan baku yang ingin dibentuk. Pemangkasan dilakukan untuk melepaskan serpihan dari bahan baku. Sedangkan, teknik pukul tidak langsung (indirect percussion) menggunakan semacam pahat yang terbuat dari kayu atau tulang yang keras. Semacam pahat ini yang nantinya digunakan untuk dipukulkan ke batu pukul. Lain hal dengan teknik serpih tekan (pressure flaking) yaitu melakukan kegiatan menekan dengan benda runcing seperti tulang atau tanduk yang keras pada calon alat batu, sehingga diperoleh serpihan kecil. Sedangkan menurut Poesponegoro, teknik pembuatan alat batu di Asia Tenggara dan Timur pada umumnya monofasial yaitu pemangkasan yang dilakukan pada salah satu permukaan saja. Bahan batuan yang digunakan untuk membuat perkakas batu adalah dari batuan tufa kersikan, kapur kersikan, kuarsa, dan beberapa jenis batuan lainnya. Di Indonesia sendiri menurut Poesponegoro, pada masa Paleolitik dikenal dua teknik perkakas batu yang disebut tradisi kapak perimbas dan serpih. Kapak perimbas adalah sejenis kapak yang digenggam dan berbentuk masif. Teknik pembuatannya cenderung masih kasar. Kapak perimbas sendiri ditemukan di lembah Sungai Fingnoi di dekat Bhan-kao, Pakistan (Punjab), Pulau Luzon di Filipina, selatan Hanoi di Vietnam Utara, Myanmar (Lembah Irrawadi), Malaysia (Kota Tampan), Cina (Chou-kou-tien, Lembah Yangtze, Guangxi), dan Indonesia (Pacitan). Poesponegoro yang mengacu pada Movius menggolongkan kapak ke dalam beberapa jenis yaitu kapak perimbas (chopper) yang bentuknya kecil disebut serut genggam (scraper), kapak penetak (chopping-tool), pahat genggam (hand-adze), dan kapak genggam awal (proto hand-axe). Beberapa jenis kapak ini dibuat dengan teknik pemangkasan secara sederhana secara langsung dari batu-
  • 5. batu kerakal atau dari teknik pembenturan batu besar yang menghasilkan pecahan batu yang lebih kecil. Teknik pembenturan ini dapat dijumpai di Pacitan. Pada budaya Pacitan ini, korteks ditemukan masih menempel di bagian- bagian yang digunakan untuk pegangan pada perkakas batu. Pada tradisi serpih digunakan teknik dengan membentuk secara teratur sehingga menghasilkan bentuk lonjong ataupun bundar. Bahan batuan yang digunakan untuk membuat alat serpih antara lain beberapa jenis batuan tufa dan gamping kersikan, dan batuan endap. Alat serpih ditemukan di Punung, Sangiran, dan Ngandong di Jawa; Cabbenge di Sulawesi Selatan; Mengeruda di Flores, serta Gassi Liu dan Sagadat di Timor, Lahat di Sumatera Selatan, Gombong di Jawa Tengah, dan beberapa tempat di Timor. Alat serpih terbagi menjadi beberapa jenis yaitu bentuk serut (serut ujung, serut cekung, serut gigir) dan lancipan (lengkung. oval). Teknik Pembuatan Alat Batu Pada Masa Mesolitik Menurut Akbar, teknik pembuatan alat batu pada masa Mesolitik melanjutkan teknik pembuatan alat batu pada masa Paleolitik yaitu teknik tekan. Teknik tekan yaitu teknik pembuatan alat batu dengan melakukan kegiatan menekan menggunakan benda runcing seperti tulang atau tanduk yang keras pada calon alat batu, sehingga diperoleh serpihan kecil. Poesponegoro mengungkapkan bahwa terdapat dua tradisi alat batu pada masa Mesolitik yaitu tradisi serpih-bilah dan kapak genggam Sumatra. Tradisi serpih-bilah sendiri menggunakan teknik pemangkasan sekunder yaitu melakukan pemangkasan setelah melepaskannya dari batu inti. Sedangkan, kapak genggam Sumatra banyak digunakan oleh kebudayaan Hoabinh. Bahan batuan yang digunakan adalah kalsedon, batu gamping, dan andesit. Tradisi ini digunakan di gua-gua Sulawesi Selatan, pulau-pulau Nusa Tenggara Timur, dan Jawa. Pada masa Mesolitik digunakan teknik pukul tidak langsung (indirect percussion). Akbar mengungkapkan bahwa teknik pukul tidak langsung
  • 6. menggunakan kayu atau tulang yang keras sebagai semacam pahat, batu pukul dipukulkan ke kayu atau tulang yang diarahkan untuk memangkas calon alat batu. Teknik Pembuatan Alat Batu Pada Masa Neolitik Akbar mengungkapkan bahwa pada masa Neolitik digunakan teknik yang berbeda dari masa Paleolitik dan Mesolitik yaitu teknik asah dan upam. Akbar yang mengacu pada Callenfels mengungkapkan bahwa teknik asah (abrading) adalah teknik dengan melakukan pengikisan permukaan calon alat batu pada batu lainnya yang lebih lunak. Menurut Poesponegoro, teknik asah dilakukan hingga menghasilkan tajaman. Sedangkan teknik upam (polishing) adalah teknik pengusapan calon alat batu yang telah dihaluskan permukaannya dengan kulit bambu atau kulit hewan sehingga dihasilkan permukaan yang mengkilat. Poesponegoro mengatakan bahwa alat batu yang dihasilkan pada masa Neolitik adalah beliung persegi, kapak lonjong, alat-alat obsidian, dan mata panah. Beliung persegi ditemukan di kepulauan Indonesia bagian barat, Malaysia, Thailand, Vietnam, Khmer, Cina, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Polinesia. Kapak lonjong ditemukan di Gua Niah di Serawak, Sulawesi, Sangihe Talaud, Flores, Maluku, Leti, Tanimbar, dan Papua. Kapak lonjong pun ditemukan di luar Indonesia yaitu di Myanmar, Cina, Manchuria, Taiwan, Jepang, Filipina, dan India. Alat-alat obsidian ditemukan di Jambi, dekat Danau Kerinci, di sekitar bekas Danau Bandung, Leles dekat Garut, Leuwiliang (Bogor), sekitar Danau Tondano (Minahasa), dan Camplong (Timor Barat). Sedangkan, mata panah ditemukan di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
  • 7. DAFTAR PUSTAKA Akbar, Ali. Eksperimen Pembuatan Beliung Persegi, makalah dipresentasikan di Seminar Hasil Penelitian Arkeologi. Depok: FIB, 2008. Johnson, Matthew. Archaeological Theory: An Introduction. Oxford- Massachusetts: Blackwell, 1999. Poesponegoro, dkk. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Ed. Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
  • 8. LAMPIRAN Foto 1. Teknik Pembenturan Foto: Materi Kuliah Praktikum Arkeologi: Laboratorium Analisis Litik Program Studi Arkeologi, FIB UI, 2010 Foto 2. Teknik Tekan Foto: Materi Kuliah Praktikum Arkeologi: Laboratorium Analisis Litik Program Studi Arkeologi, FIB UI, 2010 Foto 3. Teknik Langsung (Direct Percussion) Foto: Materi Kuliah Praktikum Arkeologi: Laboratorium Analisis Litik Program Studi Arkeologi, FIB UI, 2010
  • 9. Foto 4. Teknik Tidak Langsung (Indirect Percussion) Foto: Materi Kuliah Praktikum Arkeologi: Laboratorium Analisis Litik Program Studi Arkeologi, FIB UI, 2010 Foto 5. Kapak Perimbas dari Butik, Pulau Lombok, NTB Foto: Sejarah Nasional Indonesia I Foto 6. Alat Serpih dan Alat Bilah dari Pacitan, Jawa Timur Foto: Sejarah Nasional Indonesia I
  • 10. Foto 7. Beliung Persegi Foto: Ali Akbar Foto 8. Kapak Lonjong dari Sentani, Jayapura, Papua Foto: Sejarah Nasional Indonesia I Foto 9. Anak Panah dari Desa Nampol, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur Foto: Sejarah Nasional Indonesia I