Dokumen tersebut membahas tentang perkawinan wanita hamil di luar nikah, penyebab terjadinya hamil di luar nikah, hukum Islam mengenai menikahi wanita hamil, status anak di luar nikah, dan analisis para ulama mengenai mengawini wanita hamil. Secara umum, menikahi wanita hamil di luar nikah hanya diperbolehkan jika pria yang menghamilinya lah yang menikahinya, namun harus melalui proses
3. Perkawinan wanita hamil
Yang dimaksud dengan kawin hamil disini ialah perkawin antara laki-
laki dengan seorang wanita yang hamil di luar nikah, baik dikawini oleh
laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang
menghamilinya.
4. Penyebab terjadinya hamil diluar nikah
o tidak adanya penanaman agama yg kokoh. Karena pada setiap agama pasti diajarkan
bagaimana memperlakakukan sex yg baik dan benar.
o masih labilnya mental remaja. Masa remaja adalah masa di mana emosi masih belum stabil.
Dengan begitu banyak yg mengalami saat di mana emosi menang melawan logika saat
seorang ramaja dihadapkan pada permasalahan yg kompleks seperti free sex.
o lingkungan yg kurang baik. Tidak bisa dipungkiri, jika seseorang bergaul dalam lingkungan yg
kurang baik, tanpa ada lingkungan lain yg dapat menetralisir, maka dia akan mengikuti pola
hidup orang2 pada lingkungan tersebut. Jika ada dalam posisi ini, sebaiknya sgera mencari
lingkungan yg lebih baik...
o kurangnya perhatian orang tua. Jika seorang remaja dekat dengan orang tua, dan sang orang
tua tersebut mengajarkan yg benar ttg free sex, maka sang remaja umumnya akan mengikuti
saran orang tua tersebut. Selain itu, ortu akan dapat membantu mengatasi persoalan yg
membuat remaja melakukan free sex, sehingga dapat dihindari.
o media yg semakin 'bebas'.
5. Hukum menikahi wanita hamil akibat zina
Ada dua pendapat yaitu;
1. Ulama mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali) berpendapat bahwa
perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagaimana suami istri, dengan ketentuan,
bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian ia yang mengawininya.
2. Ibnu Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh
pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera
(cambuk), karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum yang telah
pernah diterapkan oleh sahabat nabi antara lain:
Ketika Jabir bin Abdilah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berzina,
beliau berkata: boleh mengawinkannya, asal keduanya telah betaubat dan memperbaiki
sifat-sifatnya.
Seorang laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada Khalifah Abu Bakar dan berkata: Ya
Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan inginkan agar keduanya
dikawinkan. Ketika itu Khalifah memerintahkan kepada sahabat lain untuk melakukan
hukuman dera (cambuk), kemudian dikawinkannya.
6. Kompilasi Hukum Islam pasal 53 ayat 1-3 tentang Perkawinan
Wanita Hamil.
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dalam UU KHI ini hanya menjelaskan wanita yang hamil akibat zina dan akan dinikahi
oleh laki-laki yang menghamilinya, namun bukan menjelaskan wanita yang hamil
akibat zina dan akan dinikahi oleh laki-laki yang bukan menghamilinya. Untuk
ketentuan tersebut tidak diatur dalam Undang-undang Perkawinan maupun dalam
Kompilasi Hukum Islam
7. Analisa para ulama mengenai mengawini wanita hamil
Imam Abu Yusuf, mengatakan tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan
perkawinannya itu batal (fasid). Pendapat beliau itu berdasarkan firman Allah:
laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan kepada perempuan yang berzina
atau perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan
oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang beriman (Q.S.An-Nur 3).
Maksud ayat tersebut adalah, tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan
seorang wanita yang berzina. Demikian pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak
pantas kawin dengan pria yang berzina.
8. Ayat tersebut di atas diperkuat oleh hadist Nabi:
Dan dalam hadits Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya Abdullah bin
Amr bin Ash, beliau berkata : Sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad Al-
Ghonawy membawa tawanan perang dari Makkah dan di Makkah ada seorang
perempuan pelacur disebut dengan (nama) Anaq dan ia adalah teman (Martsad).
(Martsad) berkata : Maka saya datang kepada Nabi shollallahu alaihi wa ala
alihi wa sallam lalu saya berkata : Ya Rasulullah, Saya nikahi Anaq ?. Martsad
berkata : Maka beliau diam, maka turunlah (ayat) : Dan perempuan yang
berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki
musyrik. Kemudian beliau memanggilku lalu membacakannya padaku dan beliau
berkata : Jangan kamu nikahi dia. (Hadits hasan, riwayat Abu Daud no. 2051,
At-Tirmidzy no. 3177, An-Nasa`i 6/66 dan dalam Al-Kubra 3/269, Al-Hakim 2/180,
Al-Baihaqy 7/153, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 1745 dan disebutkan oleh
Syeikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shohih Al-Musnad Min Asbabin Nuzul).
9. Ibnu Qudamah sependapat dengan Abu Yusuf dan menambahkan
bahwa seorang pria haram hukumnya mengawini wanita yang
diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan tiga
syarat:
1. Wanita tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan
hamil, ia tidak boleh kawin.
2. Wanita tersebut telah dihukum dera, baik hamil ataupun tidak.
3. Dan wanita tersebut sudah bertaubat.
10. Imam Muhammad bin Al- Hasan Al- Syaibani mengatakan bahwa
perkawinannya itu sah tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang
dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadits:
Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahir
(kandungannya).
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii berpendapat bahwa perkawinan itu
dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa
iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan)
bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut
bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak di luar nikah).
11. Status anak diluar nikah
Islam mengajarkan bahwa anak luar nikah atau anak zina tidak bisa
disahkan sebagai anak sah. Anak yang konsepsi janinnya terjadi sebelum
ayah dan ibunya melakukan perkawinan yang sah, maka anak tersebut
dihukumi sebagai anak tak sah atau anak zina. Hal ini tetap berlaku
meskipun anak tersebut lahir dalam perkawinan baik sebelum atau
sesudah enam bulan. Oleh karena itu, ulama sepakat bahwa anak zina
hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Anak zina sama sekali tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah dan
keluarga ayahnya. Anak tersebut tidak dapat menerima warisan dari
ayahnya dan ayahnya tidak dapat menjadi wali dalam perkawinan anak
perempuan akibat zina.
12. Terdapat konsep Kompilasi Hukum Islam, kawin hamil merupakan sarana pengabsahan
anak. Hal ini jelas bertujuan untuk memberikan status anak yang disahkan sebagai anak
kandung sehingga anak tersebut memiliki hak penuh seperti anak kandung yang
sesungguhnya. Adapun dalam konsep pengapsahan ini terdapat dampak positif dan
negatifnya yaitu
Dampak Positif
a) Anak memperolah perlindungan hukum secara pasti. Hal ini merupakan tujuan pokok dari
upaya pengabsahan anak. Dengan demikian, anak tersebut dapat memperoleh hak-hak
berupa hubungan keperdataan dengan ayahnya.
b) Anak dapat memiliki hak untuk menuntut tanggung jawab ayahnya apabila lalai.
c) Anak akan merasa setara dengan teman-temannya secara hukum karena memiliki ayah.
Anak itu tidak merasa hina karena memiliki status sebagai anak sah dari ayah dan ibunya.
d) Beban psikologis bagi ibu dan anak tersebut menjadi terkurangi. Perasaan bangga
mendapatkan keturunan yang sebenarnya hanya bisa diperoleh sebagai akibat perkawinan
yang sah bisa dirasakan oleh pasangan suami istri melalui kawin hamil.
e) Ibu tersebut tidak dipandang hina di lingkungan masyarakat karena anak yang
dilahirkannya memiliki ayah, yaitu sekaligus sebagai suaminya.
13. Dampak Negatif
a) Dengan adanya aturan tentang kawin hamil, maka itu sama artinya
melegalkan pergaulan bebas (free sex) di kalangan remaja. Karena para
remaja berpikiran andaipun terjadi kehamilan, maka mereka tetap bisa
menikah dan anknya nanti dapat dinyatakan sebagai anak sah.
b) Pengabsahan anak melalui kawin hamil bisa menyebabkan kerusakan dan
mengganggu keturunan keluarga. Karena salah satu tujuan diharamkannya
menikah dengan pezina adalah agar tidak merusak nasab, yaitu supaya nasab
tidak bercampur dengan anak zina. Dengan adanya pengabsahan anak, maka
di dalam keluarga akan terjadi percampuran keturunan yang mestinya anak
itu bukan anggota keluarga atau bahkan mungkin anak orang lain
14. Kesimpulan
Dilihat dari penjelasan tersebut bahwa menikahi wanita hamil tersebut adalah
adalah tidak diperbolehkan dengan menyimak surat Q.S.An-Nur 3 bahwa yang
hanya memperbolehkan jika lelaki yang menghamilinya tersebut yang menikahinya,
akan tetapi dengan ketentuan dan beberapa syarat yaitu jika keduanya tersebut
sudah bertaubat atau memperbaiki sifatnya, dengan melihat hukum islam keduanya
tersebut harus menjalani hukuman dera (cambuk), dan ketika menikah keduanya
tidak boleh bercampuran sebelum bayi dalam kandungan tersebut lahir.