YLKI menerima 143 pengaduan konsumen Smartfren mengenai gangguan layanan data dan internet pada Maret 2013. Smartfren diduga melanggar undang-undang dengan hanya mampu menyediakan 10% kapasitas layanan normal dan tidak memberikan informasi selama gangguan. YLKI menganalisis dugaan pelanggaran undang-undang dan kerugian konsumen mencapai Rp10,1 miliar akibat gangguan tiga hari tersebut.
3. TEMPO.CO, Jakarta -Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) menerima 143 pengaduan konsumen Smartfren antara lain
melalui email, surat pembaca, serta jejaring sosial.
"Ada dugaan Smartfren hanya mampu melayani data dengan
kapasitas 10 persen dari kapasitas normal," kata Ketua Pengurus Harian
YLKI, Sudaryatmo, dalam konferensi pers di kantornya, Kamis, 2 Mei
2013.
Hal tersebut, katanya, menyebabkan penurunan layanan
terhadap pelanggan data atau internet. Pada 23-25 Maret 2013 silam,
Smartfren mengalami gangguan akibat putusnya jaringan kabel bawah
laut antara Bangka dan Batam. Dengan adanya gangguan terhadap
layanan itu,YLKI telah mengirim surat kepada Smartfren pada 28 Maret
2013 dan membuka bulan pengaduan konsumen provider itu.
4. YLKI menerima 150 pengaduan yang terbagi dalam tujuh
kategori permasalahan. Sebanyak 60 pelanggan mengadukan
terputusnya akses internet sementara. Sedangkan untuk kegagalan
total fungsi internet dilaporkan 46 pengguna. Berdasarkan data YLKI,
20 pelanggan menyatakan klaim iklan tidak sesuai.
Sebanyak sepuluh pelanggan mengeluhkan tidak adanya
informasi saat gangguan. Menurut sembilan pelanggan, baik BRTI
maupun Kementerian Komunikasi dan Informatika tidak memberi
sanksi kepada Smartfren. YLKI pun menerima tiga pengaduan
tentang informasi penggunaan pulsa internet. Sementara itu juga
ada dua pengaduan menyangkut sistem audit penghitungan volume
pemakaian internet.
5. Atas pengaduan-pengaduan itu,YLKI menyatakan secara
garis besar ada dua dugaan pelanggaran yang dilakukan
Smartfren. Pertama, Smartfren diduga melanggar Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi. Smartfren diduga melanggar Pasal 8 ayat 1
huruf a dan f, Pasal 9 ayat 1 huruf e dan k, serta Pasal 62 (pidana)
UU Nomor 8 Tahun 1999.
Sudaryatmo menambahkan pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran ketentuan Pasal 8 dan 9 UU Nomor 8
Tahun 1999, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau
denda maksimal Rp 2 miliar.YLKI pun menyebut empat analisa
kasus Smartfren.
6. Keempat,YLKI mempertanyakan syarat konsumen harus melakukan isi pulsa
atau memperpanjang masa langganan untuk memperoleh kompensasi
berupa tambahan kuota 50 persen. Sudaryatmo mengungkapkan,
berdasarkan data 2012, keuntungan Smartfren dari layanan data tercatat Rp
1.229 triliun. Sedangkan kerugian konsumen selama tiga hari masa
gangguan diperkirakan mencapai Rp 10,1 miliar.
Terhadap gugatan tersebut, Smartfren menyatakan telah menyelesaikan
gangguan layanan data. "Saat ini layanan data sudah dapat dinikmati
pelanggan seperti semula karena kerusakan jaringan kabel sudah
diperbaiki," kata Deputy Chief Executive Officer Smartfren, DjokoTata
Ibrahim.
Ia mengungkapkan, Smartfren pun memberi penjelasan kepada pelanggan
melalui SMS, jejaring sosial, email, situs resmi, serta media massa. Menurut
dia, gangguan terjadi akibat putusnya beberapa jaringan kabel yang hampir
bersamaan di semua jalur. Djoko menuturkan, semua keluhan pelanggan
yang diterima setelah 27 Maret silam tidak berhubungan dengan gangguan
jaringan pada 23-25 Maret 2013.
7. Saran:
1.Seharusnya pihak smartfren bersikap lebih
responsif terhadap ketidakpedulian konsumen.
2.Pada saat gangguan terjadi, seharusnya
Smartfren tidak memasang iklan "antilelet
Smartfren". Karena itu dapat membuat konsumen
semakin terkecoh pada layanan jaringan
smartfren yang antilelet.
3.Seharusnya BRTI memberi sanksi kepada
Smartfren
4. Smartfren harus mengganti rugi atas gangguan
yang terjadi kepada konsumen.