際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
Madrasah Diniyyah Al-Islamiyah Lil-Banat
Ishlahul Ummah Surakarta
Busana
Muslimah
Pengertian pakaian taqwa
Dalil-dalil & syarat-syarat
Busana Muslimah
Konsekuensi seorang muslimah
Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 1
Busana Muslimah
Segala hal di dunia ini ada sebab dan akibatnya. Kehidupan sudah diatur oleh-
Nya, Yang Maha Kuasa. Begitu pula sebagai seorang muslimah tentunya ada
konsekuensi tersendiri. Ada ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi jika ingin menjadi
seorang muslimah sejati. Salah satu ketentuan yang akan di bahas yaitu mengenai busana
muslimah. Dalam berbusana seorang muslimah tidak boleh hanya berpegang pada prinsip
yang penting menutup aurat, tetapi perlu diketahui lebih lanjut mengenai busana yang
sesuai dengan syariat.
Pengertian Pakaian Taqwa (Hijab Syari)
Pakaian taqwa adalah pakaian yang menutup aurat, seperti memakai jilbab.
Namun pebgertian mengenai jilbab di sini, tidak seperti jilbab-jilbab yang sekarang
beredar seperti kebanyakan.
Berikut ini penjelasan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam tafsirnya tentang
surat Al Ahzab ayat 59:
Jilbab adalah ridaa di atas khimaar . Ini dikatakan oleh Ibnu Masud, Ubaidah,
Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Said bin Jubeir, Ibrahim An Nakhai, Atha Al Khurasani,
dan lebih dari satu. Hari ini (zaman Ibnu Katsir), dia kedudukannya sama dengan izaar
(kain sarung). (Tafsir Al Quran Al Azhim, 6/481)
Ridaa adalah ats tsaub (pakaian), juga bermakna baju luar (mantel), jubah,
gamis, dan selendang (wusyaah).
Khimaar jamaknya adalah khumur- yaitu tudung atau penutup kepala wanita.
Dipakainya mesti sampai menutupi bagian dada, sebagaimana ayat:
dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (khumur) kedadanya. (QS. An
Nuur (24): 31)
Maka, dalam konteks ini, Jilbab adalah pakaian atau kain bagian luar yang
menutup kain bagian dalam yang menutupi kepala wanita. Jadi, dalamannya adalah
khimaar lalu ditutup lagi dengan kain, kain itulah jibab, dan jilbab itu hendaknya lebar.
Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 2
Berkata Imam Al Alusi Rahimahullah:
Jilbab sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas- adalah yang menutupi
tubuh dari atas sampai ke bawah. Berkata Ibnu Jarir: kain penutup kepala. Dikatakan:
kain selimut. Disebutkan: semua pakaian yang dipakai wanita di atas bajunya.
Disebutkan: semua yang dipakai wanita untuk menutupi dirinya baik dengan pakaian atau
selainnya. (Ruh Al Maani, 16/223. Mawqi At Tafasir)
Dalil dan Syarat-syarat Pakaian Taqwa
1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan
Ini adalah pendapat jumhur ulama, tentunya kita tetap menghargai para
ulama yang memasukkan wajah dan telapak tangan wanita juga termasuk aurat
yang wajib ditutup.
Berikut ini nash-nash yang mendasari kriteria ini:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya. (QS. An Nuur (24): 31)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang surat An Nuur ayat
31 di atas:
Seluruh tubuh wanita adalah aurat, wajib atasnya untuk menutupnya
kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, Allah Taala berfirman: Janganlah
para wanita menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya.,
yaitu jangan menampakkan tempat-tempat perhiasannya kecuali wajah dan kedua
telapak tangan, sebagaimana yang diriwayatkan hal itu secara shahih dari Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah. [1]
Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 3
Mayoritas para ulama mengatakan wajah dan kedua telapak tangan bukan
aurat. Sebagaimana tertera dalam tafsir Imam Ibnu katsir berikut, ketika
menafsirkan makna Kecuali yang biasa nampak darinya:
Ibnu Abbas dan orang-orang yang mengikutinya memaknai maksud
Maa zhahara minha (apa-apa yang biasa nampak darinya) adalah wajah dan
kedua telapak tangan, inilah yang masyhur menurut mayoritas ulama.  [2] Ini
juga pendapat Ibnu Umar, Atha, Ikrimah, Adh Dhahak, Abu Syatsa, Said bin
Jubeir, dan lain-lain. Sementara Az Zuhri mengatakan: cincin dan gelang kaki.[3]
Sementara Abdullah bin Masud, Ibrahim An Nakhai, Hasan Al
Bashri, Ibnu Sirrin, Abu Al Jauzaa, dan lain-lain, mereka menafsirkan makna
Kecuali yang biasa nampak darinya adalah pakaian dan selendang.[4] Dengan
kata lain menurut mereka, wajah wanita adalah aurat. Namun, dalam riwayat lain
dari Hasan Al Bashri, beliau menafsirkan: wajah dan pakaian.
Abdullah bin Abbas mengatakan maksud kalimat itu adalah celak,
pewarna tangan, dan cincin. Sementara Said bin Jubeir dan Atha mengatakan:
wajah dan kedua telapak tangan. Qatadah mengatakan: celak, gelang, dan cincin.
Al Miswar bin Mukhramah mengatakan: cincin, celak, dan gelang. Mujahid
berkata: cincin, pewarna tangan, dan celak mata. Ibnu Zaid mengatakan: celak
mata, pewarna tangan, dan cincin, mereka mengatakan demikianlah yang dilihat
oleh manusia. Al Auzai mengatakan: wajah dan dua telapak tangan. Adh
Dhahak berkata: wajah dan dua telapak tangan. Sementara Hasan Al Bashri
mengatakan: wajah dan pakaian.
Sedangkan Imam Ibnu Jarir, setelah dia memaparkan berbagai tafsir ini,
beliau mengatakan:
Pendapat yang paling unggul dan benar adalah pendapat yang
mengartikannya dengan wajah dan dua telapak tangan, dan jika demikian maka
celak, cincin, gelang, dan pewarna tangan termasuk di dalamnya.[5]
Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 4
Imam Al Muzani Rahimahullah juga mengatakan makna Kecuali yang
biasa nampak darinya adalah wajah dan dua telapak tangan.[6]
Demikianlah pendapat pilihan mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan
khalaf (belakangan).
2. Tidak sempit dan transparan
Hendaknya pakaian wanita itu longgar secara keseluruhannya, agar tidak
nampak lekukan tubuhnya. Begitu pula hendaknya tebal dan berlapis agar tidak
tembus pandangan.
Kriteria ini bisa dilakukan dengan jenis pakaian gamis atau atasan 
bawahan, selama memang longgar. Memakai gamis memang lebih utama, tetapi
jika ada muslimah memakai gamis yang sempit sehingga kriteria ini tidak
terpenuhi, maka memakai blus dan rok yang jauh lebih longgar dan tebal tentu
lebih utama dan sesuai dengan maqashid (tujuan) dan ruh syariat dibanding
gamis yang seperti itu. Apalagi jika blus dan rok tersebut dilapisi lagi oleh jubah
yang panjang, sehingga semakin jauh dari penampakan lekukan tubuh dan
transparan. Hendaknya hal ini diperhatikan benar, bahwa yang menjadi prinsip
adalah pakaian tersebut mampu menjauhkan seorang wanita dari nampaknya
lekukan tubuh dan tembus pandang. Hal ini bisa dicapai baik dengan gamis atau
selain gamis.
Kriteria ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah Radhiallahu Anhu,
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Ada dua kelompok penghuni neraka yang belum saya lihat sekarang,
yaitu kaum yang membawa cemeti (cambuk) seperti ekor sapi yang digunakan
untuk memukul manusia. Dan para wanita yang berpakaian tetapi telanjang,
menggoyang-goyangkan tubuhnya, memiringkan kepalanya, seperti punuk unta
yang miring. Para wanita itu tidak akan masuk surga, bahkan tidak mendapatkan
wanginya surga, padahal wanginya surga itu sudah bisa tercium dari perjalanan
sekian dan sekian. (HR. Muslim No. 2128. Ahmad No. 8665. Ibnu Hibban No.
7461, Al Baihaqi dalam Syuabul Iman No.5357, Al Baghawi No. 2578, Abu
Yala No. 6690)
Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 5
3. Tidak menyerupai pakaian dan perhiasan wanita kafir dan ahli maksiat
Yaitu tidak menyerupai pakaian dan perhiasan yang memang identik
dipakai oleh wanita kafir dan pelaku maksiat, terutama dari sisi modelnya, yang
jika dipakai maka manusia akan terbawa pikiran bahwa itu bukan pakaian wanita
muslimah yang syari, dan bukan pula pakaian wanita baik-baik. Mereka langsung
mengira itu adalah busana wanita kafir.
Dasar dari kriteria ini adalah. Dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma,
bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum
tersebut.[7]
Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini, tetapi
hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar dari
Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan
riwayat Al Qudhai dari Thawus secara mursal.[8] Sementara, Imam Al Ajluni
mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al Iraqi dan Imam Ibnu
Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di
atas.[9] Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu
Hajar mengatakan sanadnya hasan.[10] Demikian status hadits ini.
Imam Al Munawi dan Imam Al Alqami menegaskan hal-hal yang
termasuk penyerupaan dengan orang kafir: Yakni berhias seperti perhiasan
zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan
lainnya. [11]
4. Tidak menyerupai laki-laki
Janganlah seorang muslimah memakai pakaian yang menjadi ciri khas
kaum laki-laki, dan pakaian yang menurut kebiasaan yang ada merupakan pakaian
yang biasa digunakan kaum laki-laki. Saat ini sudah teramat banyak wanita
muslimah yang tidak mengindahkan hal ini. Sehingga banyak wanita yang begitu
maskulin dengan pakaian tersebut. Ini sudah berlangsung begitu lama, sehingga
ada yang mengira hal itu tidak apa-apa karena sudah menjadi adat (kebiasaan)
dan urf (tradisi) baru, sedangkan Al Adat muhkamat  adat itu menjadi ketentuan
Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 6
hukum. Ini keliru, sebab adat dan tradisi yang fasad (rusak) yakni yang
bertentangan dengan syariat- tidak akan pernah menjadi ketentuan hukum. Adat
yang bisa menjadi ketentuan hukum adalah urf shahih (tradisi yang benar)
sebagaimana dikatakan para ahli ushul.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, katanya:
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melaknat wanita
yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai wanita. (HR. Ibnu
Majah No. 1903. Imam Ahmad Al Kinani berkata: isnadnya hasan. Lihat
Mishbah Az Zujaajah, 2/108. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih.
Lihat Adabuz Zifaf, Hal. 121)
Dalam riwayat lain, lebih tegas lagi Abu Hurairah Radhiallahu Anhu,
berkata:
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melaknat laki-laki yang
memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian laki-laki. (HR. Abu
Daud No. 4098, Ibnu Hibban No. 5751, 5752, An Nasai dalam As Sunan Al
Kubra No. 9253. Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahihul Jami
No. 5095)
5. Tidak Tabarruj
Yakni tidak bersolek (berhias) seperti wanita jahiliyah, sebab
sesungguhnya make up terbaik bagi muslimah adalah air wudhu dan akhlaknya
yang mulia.
Allah Taala berfirman:
Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang
Jahiliyah yang dahulu (QS. Al Ahzab (33): 33)
Tertulis dalam Tafsir Al Muyassar:
Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 7
Janganlah kalian menampakkan keindahan-keindahan kalian,
sebagaimana dilakukan para wanita jahiliyah dahulu pada masa sebelum Islam,
dan ayat ini berbicara kepada kaum wanita beriman pada setiap zaman. (Tafsir Al
Muyassar, 7/343)
6. Tidak memakai warna yang mencolok
Yaitu tidak memakai busana yang berwarna ngejrenk dan terkesan norak,
sehingga menjadi pusat perhatian, dan hendaknya memakai yang kalem dan
bersahaja. Allah Taala melarang kaum wanita menyengaja menjadikan dirinya
menjadi pusat perhatian kaum laki-laki disebabkan apa yang dipakainya, baik
pakaian, perhiasan, atau dandanan.
Allah Taala berfirman:
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan
yang mereka sembunyikan (QS. An Nuur (24): 31)
Lalu, setelah kriteria ini sudah terpenuhi hendaknya disempurnakan
dengan akhlak yang mulia, tutur kata yang sopan, menjaga pandangan, supel
(gampang bergaul) tanpa harus mengorbankan nilai dan akhlak Islam dalam
bergaul.
Catatan kaki :
[1] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 127. Darul Kutub al Araby, Beirut Libanon.
[2] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, Juz. 6, Hal. 45 Daru Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi,
1999M/1420H.
[3] Ibid
[4] Imam Ibnu Katsir, Ibid. Imam Abu Jafar bin Jarir Ath Thabari, Jamiul Bayan fi Tawilil Quran, Juz. 19,
Hal. 156.
[5] Imam Abu Jafar bin Jarir Ath Thabari, Ibid, Juz. 19, Hal. 156-158.
[6] Imam Al Muzani, Mukhtashar, Hal. 163. Darul Marifah.
[7] HR. Abu Daud No. 4031
[8] Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215
[9] Imam Ismail bin Muhamamd Al Ajluni, Kasyful Khafa, Juz. 2, Hal. 240. Darul Kutub Al Ilmiah
[10] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi, Aunul Mabud, Juz. 11, Hal. 52. Cet. 2, 1415H.
Darul Kutub Al Ilmiah
[11] Ibid
Sumber : http://www.ustadzfarid.com/2012/02/akhwat-memakai-blus-dan-rok-tidak-
syari.html

More Related Content

Busana muslimah ( hijab )

  • 1. Madrasah Diniyyah Al-Islamiyah Lil-Banat Ishlahul Ummah Surakarta Busana Muslimah Pengertian pakaian taqwa Dalil-dalil & syarat-syarat Busana Muslimah Konsekuensi seorang muslimah
  • 2. Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 1 Busana Muslimah Segala hal di dunia ini ada sebab dan akibatnya. Kehidupan sudah diatur oleh- Nya, Yang Maha Kuasa. Begitu pula sebagai seorang muslimah tentunya ada konsekuensi tersendiri. Ada ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi jika ingin menjadi seorang muslimah sejati. Salah satu ketentuan yang akan di bahas yaitu mengenai busana muslimah. Dalam berbusana seorang muslimah tidak boleh hanya berpegang pada prinsip yang penting menutup aurat, tetapi perlu diketahui lebih lanjut mengenai busana yang sesuai dengan syariat. Pengertian Pakaian Taqwa (Hijab Syari) Pakaian taqwa adalah pakaian yang menutup aurat, seperti memakai jilbab. Namun pebgertian mengenai jilbab di sini, tidak seperti jilbab-jilbab yang sekarang beredar seperti kebanyakan. Berikut ini penjelasan Imam Ibnu Katsir Rahimahullah dalam tafsirnya tentang surat Al Ahzab ayat 59: Jilbab adalah ridaa di atas khimaar . Ini dikatakan oleh Ibnu Masud, Ubaidah, Qatadah, Al Hasan Al Bashri, Said bin Jubeir, Ibrahim An Nakhai, Atha Al Khurasani, dan lebih dari satu. Hari ini (zaman Ibnu Katsir), dia kedudukannya sama dengan izaar (kain sarung). (Tafsir Al Quran Al Azhim, 6/481) Ridaa adalah ats tsaub (pakaian), juga bermakna baju luar (mantel), jubah, gamis, dan selendang (wusyaah). Khimaar jamaknya adalah khumur- yaitu tudung atau penutup kepala wanita. Dipakainya mesti sampai menutupi bagian dada, sebagaimana ayat: dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (khumur) kedadanya. (QS. An Nuur (24): 31) Maka, dalam konteks ini, Jilbab adalah pakaian atau kain bagian luar yang menutup kain bagian dalam yang menutupi kepala wanita. Jadi, dalamannya adalah khimaar lalu ditutup lagi dengan kain, kain itulah jibab, dan jilbab itu hendaknya lebar.
  • 3. Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 2 Berkata Imam Al Alusi Rahimahullah: Jilbab sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas- adalah yang menutupi tubuh dari atas sampai ke bawah. Berkata Ibnu Jarir: kain penutup kepala. Dikatakan: kain selimut. Disebutkan: semua pakaian yang dipakai wanita di atas bajunya. Disebutkan: semua yang dipakai wanita untuk menutupi dirinya baik dengan pakaian atau selainnya. (Ruh Al Maani, 16/223. Mawqi At Tafasir) Dalil dan Syarat-syarat Pakaian Taqwa 1. Menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan Ini adalah pendapat jumhur ulama, tentunya kita tetap menghargai para ulama yang memasukkan wajah dan telapak tangan wanita juga termasuk aurat yang wajib ditutup. Berikut ini nash-nash yang mendasari kriteria ini: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya. (QS. An Nuur (24): 31) Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang surat An Nuur ayat 31 di atas: Seluruh tubuh wanita adalah aurat, wajib atasnya untuk menutupnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, Allah Taala berfirman: Janganlah para wanita menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya., yaitu jangan menampakkan tempat-tempat perhiasannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana yang diriwayatkan hal itu secara shahih dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah. [1]
  • 4. Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 3 Mayoritas para ulama mengatakan wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat. Sebagaimana tertera dalam tafsir Imam Ibnu katsir berikut, ketika menafsirkan makna Kecuali yang biasa nampak darinya: Ibnu Abbas dan orang-orang yang mengikutinya memaknai maksud Maa zhahara minha (apa-apa yang biasa nampak darinya) adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah yang masyhur menurut mayoritas ulama. [2] Ini juga pendapat Ibnu Umar, Atha, Ikrimah, Adh Dhahak, Abu Syatsa, Said bin Jubeir, dan lain-lain. Sementara Az Zuhri mengatakan: cincin dan gelang kaki.[3] Sementara Abdullah bin Masud, Ibrahim An Nakhai, Hasan Al Bashri, Ibnu Sirrin, Abu Al Jauzaa, dan lain-lain, mereka menafsirkan makna Kecuali yang biasa nampak darinya adalah pakaian dan selendang.[4] Dengan kata lain menurut mereka, wajah wanita adalah aurat. Namun, dalam riwayat lain dari Hasan Al Bashri, beliau menafsirkan: wajah dan pakaian. Abdullah bin Abbas mengatakan maksud kalimat itu adalah celak, pewarna tangan, dan cincin. Sementara Said bin Jubeir dan Atha mengatakan: wajah dan kedua telapak tangan. Qatadah mengatakan: celak, gelang, dan cincin. Al Miswar bin Mukhramah mengatakan: cincin, celak, dan gelang. Mujahid berkata: cincin, pewarna tangan, dan celak mata. Ibnu Zaid mengatakan: celak mata, pewarna tangan, dan cincin, mereka mengatakan demikianlah yang dilihat oleh manusia. Al Auzai mengatakan: wajah dan dua telapak tangan. Adh Dhahak berkata: wajah dan dua telapak tangan. Sementara Hasan Al Bashri mengatakan: wajah dan pakaian. Sedangkan Imam Ibnu Jarir, setelah dia memaparkan berbagai tafsir ini, beliau mengatakan: Pendapat yang paling unggul dan benar adalah pendapat yang mengartikannya dengan wajah dan dua telapak tangan, dan jika demikian maka celak, cincin, gelang, dan pewarna tangan termasuk di dalamnya.[5]
  • 5. Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 4 Imam Al Muzani Rahimahullah juga mengatakan makna Kecuali yang biasa nampak darinya adalah wajah dan dua telapak tangan.[6] Demikianlah pendapat pilihan mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan). 2. Tidak sempit dan transparan Hendaknya pakaian wanita itu longgar secara keseluruhannya, agar tidak nampak lekukan tubuhnya. Begitu pula hendaknya tebal dan berlapis agar tidak tembus pandangan. Kriteria ini bisa dilakukan dengan jenis pakaian gamis atau atasan bawahan, selama memang longgar. Memakai gamis memang lebih utama, tetapi jika ada muslimah memakai gamis yang sempit sehingga kriteria ini tidak terpenuhi, maka memakai blus dan rok yang jauh lebih longgar dan tebal tentu lebih utama dan sesuai dengan maqashid (tujuan) dan ruh syariat dibanding gamis yang seperti itu. Apalagi jika blus dan rok tersebut dilapisi lagi oleh jubah yang panjang, sehingga semakin jauh dari penampakan lekukan tubuh dan transparan. Hendaknya hal ini diperhatikan benar, bahwa yang menjadi prinsip adalah pakaian tersebut mampu menjauhkan seorang wanita dari nampaknya lekukan tubuh dan tembus pandang. Hal ini bisa dicapai baik dengan gamis atau selain gamis. Kriteria ini didasarkan pada hadits Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Ada dua kelompok penghuni neraka yang belum saya lihat sekarang, yaitu kaum yang membawa cemeti (cambuk) seperti ekor sapi yang digunakan untuk memukul manusia. Dan para wanita yang berpakaian tetapi telanjang, menggoyang-goyangkan tubuhnya, memiringkan kepalanya, seperti punuk unta yang miring. Para wanita itu tidak akan masuk surga, bahkan tidak mendapatkan wanginya surga, padahal wanginya surga itu sudah bisa tercium dari perjalanan sekian dan sekian. (HR. Muslim No. 2128. Ahmad No. 8665. Ibnu Hibban No. 7461, Al Baihaqi dalam Syuabul Iman No.5357, Al Baghawi No. 2578, Abu Yala No. 6690)
  • 6. Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 5 3. Tidak menyerupai pakaian dan perhiasan wanita kafir dan ahli maksiat Yaitu tidak menyerupai pakaian dan perhiasan yang memang identik dipakai oleh wanita kafir dan pelaku maksiat, terutama dari sisi modelnya, yang jika dipakai maka manusia akan terbawa pikiran bahwa itu bukan pakaian wanita muslimah yang syari, dan bukan pula pakaian wanita baik-baik. Mereka langsung mengira itu adalah busana wanita kafir. Dasar dari kriteria ini adalah. Dari Ibnu Umar Radhiallahu Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.[7] Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini, tetapi hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudhai dari Thawus secara mursal.[8] Sementara, Imam Al Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas.[9] Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan.[10] Demikian status hadits ini. Imam Al Munawi dan Imam Al Alqami menegaskan hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir: Yakni berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya. [11] 4. Tidak menyerupai laki-laki Janganlah seorang muslimah memakai pakaian yang menjadi ciri khas kaum laki-laki, dan pakaian yang menurut kebiasaan yang ada merupakan pakaian yang biasa digunakan kaum laki-laki. Saat ini sudah teramat banyak wanita muslimah yang tidak mengindahkan hal ini. Sehingga banyak wanita yang begitu maskulin dengan pakaian tersebut. Ini sudah berlangsung begitu lama, sehingga ada yang mengira hal itu tidak apa-apa karena sudah menjadi adat (kebiasaan) dan urf (tradisi) baru, sedangkan Al Adat muhkamat adat itu menjadi ketentuan
  • 7. Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 6 hukum. Ini keliru, sebab adat dan tradisi yang fasad (rusak) yakni yang bertentangan dengan syariat- tidak akan pernah menjadi ketentuan hukum. Adat yang bisa menjadi ketentuan hukum adalah urf shahih (tradisi yang benar) sebagaimana dikatakan para ahli ushul. Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, katanya: Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki, dan laki-laki yang menyerupai wanita. (HR. Ibnu Majah No. 1903. Imam Ahmad Al Kinani berkata: isnadnya hasan. Lihat Mishbah Az Zujaajah, 2/108. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih. Lihat Adabuz Zifaf, Hal. 121) Dalam riwayat lain, lebih tegas lagi Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian laki-laki. (HR. Abu Daud No. 4098, Ibnu Hibban No. 5751, 5752, An Nasai dalam As Sunan Al Kubra No. 9253. Syaikh Al Albani mengatakan: shahih. Lihat Shahihul Jami No. 5095) 5. Tidak Tabarruj Yakni tidak bersolek (berhias) seperti wanita jahiliyah, sebab sesungguhnya make up terbaik bagi muslimah adalah air wudhu dan akhlaknya yang mulia. Allah Taala berfirman: Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. Al Ahzab (33): 33) Tertulis dalam Tafsir Al Muyassar:
  • 8. Suryani Jati R./1B/2013/Tarbiyah 7 Janganlah kalian menampakkan keindahan-keindahan kalian, sebagaimana dilakukan para wanita jahiliyah dahulu pada masa sebelum Islam, dan ayat ini berbicara kepada kaum wanita beriman pada setiap zaman. (Tafsir Al Muyassar, 7/343) 6. Tidak memakai warna yang mencolok Yaitu tidak memakai busana yang berwarna ngejrenk dan terkesan norak, sehingga menjadi pusat perhatian, dan hendaknya memakai yang kalem dan bersahaja. Allah Taala melarang kaum wanita menyengaja menjadikan dirinya menjadi pusat perhatian kaum laki-laki disebabkan apa yang dipakainya, baik pakaian, perhiasan, atau dandanan. Allah Taala berfirman: Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan (QS. An Nuur (24): 31) Lalu, setelah kriteria ini sudah terpenuhi hendaknya disempurnakan dengan akhlak yang mulia, tutur kata yang sopan, menjaga pandangan, supel (gampang bergaul) tanpa harus mengorbankan nilai dan akhlak Islam dalam bergaul. Catatan kaki : [1] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 127. Darul Kutub al Araby, Beirut Libanon. [2] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, Juz. 6, Hal. 45 Daru Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi, 1999M/1420H. [3] Ibid [4] Imam Ibnu Katsir, Ibid. Imam Abu Jafar bin Jarir Ath Thabari, Jamiul Bayan fi Tawilil Quran, Juz. 19, Hal. 156. [5] Imam Abu Jafar bin Jarir Ath Thabari, Ibid, Juz. 19, Hal. 156-158. [6] Imam Al Muzani, Mukhtashar, Hal. 163. Darul Marifah. [7] HR. Abu Daud No. 4031 [8] Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215 [9] Imam Ismail bin Muhamamd Al Ajluni, Kasyful Khafa, Juz. 2, Hal. 240. Darul Kutub Al Ilmiah [10] Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al Azhim Abadi, Aunul Mabud, Juz. 11, Hal. 52. Cet. 2, 1415H. Darul Kutub Al Ilmiah [11] Ibid Sumber : http://www.ustadzfarid.com/2012/02/akhwat-memakai-blus-dan-rok-tidak- syari.html