Teks tersebut membahas tentang pentingnya bergerak dan mengambil tindakan untuk mencapai perubahan, bukan hanya berbicara saja. Hal ini diilustrasikan dengan contoh seorang pembicara yang menawarkan uang tunai kepada audiens namun hanya satu orang yang berani mengambilnya, meskipun semua mengharapkan perubahan. Perubahan hanya akan terjadi jika seseorang berani bergerak dan bertindak, bukan hanya ber
1 of 3
Download to read offline
More Related Content
Bergerak
1. Bergerak
Sebagian besar orang yang melihat belum tentu bergerak,
dan yang bergerak belum tentu menyelesaikan (perubahan).
Kalimat ini mungkin sudah pernah Anda baca dalam buku baru
Saya, ChaNge. Minggu lalu, dalam sebuah seminar yang
diselenggarakan Indosat, iseng-iseng Saya mengeluarkan dua
lembaran Rp 50.000. Ditengah-tengah ratusan orang yang
tengah menyimak isi buku, Saya tawarkan uang itu. Silahkan,
siapa yang mau boleh ambil, ujar Saya. Saya menunduk ke
bawah menghindari tatapan ke muka audiens sambil
menjulurkan uang Rp 100.000.
Seperti yang Saya duga, hampir semua audiens hanya diam
terkesima. Saya ulangi kalimat Saya beberapa kali dengan
mimik muka yang lebih serius. Beberapa orang tampak
tersenyum, ada yang mulai menarik badannya dari sandaran
kursi, yang lain lagi menendang kaki temannya. Seorang ibu
menyuruh temannya maju, tetapi mereka semua tak bergerak.
Belakangan, dua orang pria maju ke depan sambil celingak-
celinguk. Orang yang maju dari sisi sebelah kanan mulanya
bergerak cepat, tapi ia segera menghentikan langkahnya dan
termangu, begitu melihat seseorang dari sisi sebelah kiri lebih
cepat ke depan. Ia lalu kembali ke kursinya.
Sekarang hanya tinggal satu orang saja yang sudah berada di
depan Saya. Gerakannya begitu cepat, tapi tangannya berhenti
manakala uang itu disentuhnya. Saya dapat merasakan tarikan
uang yang dilakukan dengan keragu-raguan. Semua audiens
tertegun.
Saya ulangi pesan Saya, Silahkan ambil, silahkan ambil. Ia
menatap wajah Saya, dan Saya pun menatapnya dengan wajah
lucu. Audiens tertawa melihat keberanian anak muda itu. Saya
ulangi lagi kalimat Saya, dan Ia pun merampas uang kertas itu
dari tangan Saya dan kembali ke kursinya. Semua audiens
tertawa terbahak-bahak. Seseorang lalu berteriak,
Kembalikan, kembalikan! Saya mengatakan, Tidak usah.
Uang itu sudah menjadi miliknya.
Setidaknya, dengan permainan itu seseorang telah menjadi
lebih kaya Rp.100.000. Saya tanya kepada mereka, mengapa
hampir semua diam, tak bergerak. Bukankah uang yang Saya
2. sodorkan tadi adalah sebuah kesempatan? Mereka pun
menjawab dengan berbagai alasan:
Saya pikir Bapak cuma main-main
Nanti uangnya toh diambil lagi.
Malu-maluin aja.
Saya tidak mau kelihatan nafsu. Kita harus tetap terlihat
cool!
Saya enggak yakin bapak benar-benar akan memberikan
uang itu ..
Pasti ada orang lain yang lebih membutuhkannya.
Saya harus tunggu dulu instruksi yang lebih jelas..
Saya takut salah, nanti cuma jadi tertawaan doang. ..
Saya, kan duduk jauh di belakang dan seterusnya.
Saya jelaskan bahwa jawaban mereka sama persis dengan
tindakan mereka sehari-hari. Hampir setiap saat kita dilewati
oleh rangkaian opportunity (kesempatan) , tetapi kesempatan
itu dibiarkan pergi begitu saja. Kita tidak menyambarnya,
padahal kita ingin agar hidup kita berubah. Saya jadi ingat
dengan ucapan seorang teman yang dirawat di sebuah rumah
sakit jiwa di daerah Parung. Ia tampak begitu senang saat Saya
dan keluarga membesuknya. Sedih melihat seorang sarjana
yang punya masa
depan baik terkerangkeng dalam jeruji rumah sakit bersama
orang-orang tidak waras. Saya sampai tidak percaya ia berada
di situ. Dibandingkan teman-temannya, ia adalah pasien yang
paling waras. Ia bisa menilai gila nya orang di sana satu
persatu dan berbicara waras dengan Saya. Cuma, matanya
memang tampak agak merah. Waktu Saya tanya apakah ia
merasa sama dengan mereka, ia pun protes. Gila aja.ini kan
gara-gara saudara-saudara Saya tidak mau mengurus Saya.
Saya ini tidak gila. Mereka itu semua sakit... Lantas, apa
yang kamu maksud sakit?
Orang sakit (gila) itu selalu berorientasi ke masa lalu,
sedangkan Saya selalu berpikir ke depan. Yang gila itu adalah
yang selalu mengharapkan perubahan, sementara melakukan
hal yang sama dari hari ke hari.., katanya penuh
semangat. Saya pun mengangguk-angguk.
Pembaca, di dalam bisnis, gagasan, pendidikan, pemerintahan
dan sebagainya, Saya kira kita semua menghadapi masalah
yang sama. Mungkin benar kata teman Saya tadi, kita semua
mengharapkan perubahan, tapi kita tak tahu harus mulai dari
3. mana. Akibatnya kita semua hanya melakukan hal yang sama
dari hari ke hari, Jadi omong kosong perubahan akan datang.
Perubahan hanya bisa datang kalau orang-orang mau
bergerak bukan hanya dengan omongan saja.
Dulu, menjelang Soeharto turun orang-orang sudah gelisah,
tapi tak banyak yang berani bergerak. Tetapi sekali bergerak,
perubahan seperti menjadi tak terkendali, dan perubahan yang
tak terkendali bisa menghancurkan misi perubahan itu sendiri,
yaitu perubahan yang menjadikan hidup lebih baik. Perubahan
akan gagal kalau pemimpin-pemimpinny a hanya berwacana
saja. Wacana yang kosong akan destruktif.
Manajemen tentu berkepentingan terhadap bagaimana
menggerakkan orang-orang yang tidak cuma sekedar berfikir,
tetapi berinisiatif, bergerak, memulai, dan seterusnya.
Get Started. Get into the game. Get into the playing field, Now.
Just do it!
Janganlah mereka dimusuhi, jangan inisiatif mereka dibunuh
oleh orang-orang yang bermental birokratik yang bisanya cuma
bicara di dalam rapat dan cuma membuat peraturan saja.
Makanya tranformasi harus bersifat kultural, tidak cukup
sekedar struktural. Ia harus bisa menyentuh manusia, yaitu
manusia-manusia yang aktif, berinisiatif dan berani maju.
Manusia pemenang adalah manusia yang responsif. Seperti
kata Jack Canfield, yang menulis buku Chicken Soup for the
Soul, yang membedakan antara winners dengan losers
adalah :
Winners take actionthey simply get up and do what
has to be done.
Selamat bergerak!
Rhenald Kasali