Dokumen tersebut membahas tentang sejarah warna menurut ajaran Hindu di India dan Indonesia. Ia menjelaskan bahwa dalam Weda disebutkan empat warna (catur warna) yaitu Brahmana, Ksatriya, Waisya, dan Sudra yang ditentukan berdasarkan bakat alamiah seseorang, bukan keturunan. Dokumen ini juga menyebutkan contoh sejarah raja-raja di India dan Indonesia yang berasal dari warna selain Brahmana.
4. Pengertian
Warna
Kata warna berasal dari bahasa Sansekerta
dari urat kata wri yang artinya memilih
(lapangan kerja ) sesuai dengan bakat dan
kualitas yang dimiliki.
5. Sejarah Warna
Di dalam kehidupan masyarakat Hindu, kita
sering mendengar adanya perbedaan status
sosial yang didasarkan atas sistem kasta.
Sepintas, lalu orang akan membenarkan
pernyataaan itu, tetapi apakah memang
demikian menurut ajaran Weda ? Ataukah
hal itu berkembang sebagai pranata sosial
yang bersifat kaku karena penafsiran yang
keliru dari ajaran Weda?
6. Sejarah Warna
Dalam agama Hindu, dikenal istilah Catur
Warna bukan sama sekali dan tidak sama
dengan kasta. Karena di dalam ajaran
Pustaka Suci Weda, tidak terdapat istilah
kasta yang ada hanyalah istilah Catur
Warna.
7. Pergolakan dari KastaSudra dan Waisya di India dalam
lapangan politik pun banyak kita jumpai fakta-fakta
sejarah. Dari perjuangan untuk menegakkan kembali ke
dalam sistem Warna.
Sejarah mencatat beberapa Raja di India berasal dari
Kasta Sudra dan Waisya. Dinasti Maurya yang memerintah
di Indiadari tahun 322-184 SM berasal dari Kasta Sudra.
Raja Harsa yangmemerintah dati tahun 607-640 M. di
India adalah Raja dari keturunan Waisya.
Sejarah Warna
8. Mengenai keadaan ketatamasyarakatan Hindu pada jaman
Kerajaan di Indonesia pada zaman awal agak sulit
dijelaskan karena terbatasnya data. Pada zaman Kutai
pada waktu pelaksanaan Yupa adanya memang ada
disebutkan para Brahmana mendapat hadiah lembu.
Apakah Brahmana itu berasal dari keturunan biasa ataukah
tidak kuranglah jelas. Namun pada waktu itu kaum
Brahmana mendapatkan penghormatan dari rakyat. Apakah
jabatan Brahmana itu turun-temurun, kurang jelas dapat
diceritrakan.
Sejarah Warna
9. Sejarah Warna
Dapat kita perkirakan kerajaan-kerajaan Hindu di
Jawa dari zaman Kutai, Taruma Negara, Mataram I,
Singasari sampai pada zaman Majapahit yang
diterapkan adalah sistem Warna. Hal ini dapat
dikemukakan sistem pemilihan pembantu-pembantu
Raja yang diuraikan dalam naskah kuno yang
bernama Nawa Natya.
Dalam Nawa Natya diceriterakan Raja dalam
memilih pembantu-pembantunya seperti memilih
segunung bibit bunga. Pilihlah bunga yang harum
baunya, indah warnanya, hijau daunnya dan tahan
lama kembangnya. Seorang pembantu Raja dipilih
dari masyarakat umum yang memenuhi sembilan
syarat yang disebut Nawa Natya
10. Sejarah Warna
Berdasarkan bunyi naskah ini berarti Raja memilih
rakyatnya yang memang memiliki kemampuan untuk
suatu jabatan di Kerajaan tersebut. Ini suatu
pertanda bahwa pada zaman Majapahit berlaku
sistem warna.
Raja-raja besar Majapahit pun berasal dari
keturunan Ken Arok, seorang Cendala (pemburu)
yang karena kehendak sejarah menjadi Raja
Singosari. Ken Arok seorang Cendala menjadi Raja
yang menjadi Raja yang menurunkan Raja-Raja
Kediri sampai Raja-Raja Majapahit.
Pada zaman Singosari, Kediri sampai Majapahit kita
jumpai gelargelar sesuai dengan jabatan yang
dipegang. Tetapi sampai saat ini kita tidak
menjumpaisuatu bukti bahwa gelar itu terus
dipergunakan oleh keturunannya
11. Sejarah Warna
Di Bali sebelum pemerintahan Dalem di Klungkung kita
juga menjumpai gelar-gelar jabatan yang hanya
digunakan Raja atau pejabat bersangkutan saja, tidak
dilanjutkan pada keturunannya yang tidak menjabat
suatu jabatan dalam kerajaan. Dalam data sejarah
misalnya kita jumpai dinasti Warmadewa yang
menggunakan nama Warmadewa hanyalah Raja-Raja
yang melanjutkan jabatan Raja sebelumnya.
Tidak ada kita jumpai gelar Warmadewa dikalangan
masyarakat luas. Setelah zaman Dalem sistem Warna
tetap konsisten dilaksanakan di Bali. Dalem yang
pertama memerintah di Bali adalah Sri Dalem Ketut
Kresna Kepakisan. Dalem ini berasal dari putra Mpu
Kepakisan dari Kediri Jawa Timur. Setelah diangkat
menjadi Raja di Bali gelar Mpunya diganti dengan gelar
Sri. Gelar I Gusti, I Dewa, I Gusti Agung, diperkirakan
setelah pemerintahan Dalem Watu Renggong.
12. Sejarah Warna Catur Warna Menurut Kitab Suci Weda
Dalam kitab suci Yajurveda XXX.5 dinyatakan
bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan empat
profesi atas dasar bakat dan kemampuan seseorang.
Brahmana Varna diciptakan untuk mengembangkan
pengetahuan suci, Ksatriya untuk melindungi
ciptaan-NYA, Vaisya untuk kemakmuran dan Sudra
untuk pekerjaan jasmaniah. Dalam mantra
Yajurveda XXX.11 dinyatakan Brahmana Varna
diciptakan dari kepala Brahman, Ksatriya dari
lengan Brahman,Vaisya dari perut-Nya dan Sudra
dari kaki-Nya Brahman.
13. Sejarah Warna
Dalam Bhagavadgita IV.13 dan XVIII.41
dengan sangat jelas dan tegas bahwa untuk
menentukan Varna seseorang didasarkan pada
Guna dan Karmanya. Guna artinya minat dan
bakat sebagai landasan terbentuknya profesi
seseorang. Jadinya yang menentukan " Varna"
seseorang adalah profesinya bukan berdasark-
an keturunannya. Sedangkan Karma artinya
perbuatan dan pekerjaan.
14. Sejarah Warna
Menurut Manawa Dharmasastra X.4 dan
Sarasamuscaya 55 hanya mereka yang
tergolong Brahmana, Ksatriya dan
Vaisya Varna saja yang boleh menjadi
Dvijati (pandita). Sudra tidak
diperkenankan menjadi Dvijati karena
mereka dianggap hanya mampu bekerja
dengan mengandalkan tenaga jasmaninya
saja, tanpa memiliki kecerdasan.
15. Sejarah Warna
Varna seseorang tidak dilihat dari sudut
keturunannya, misalnya kebrahmanaan seseorang
bukan dilihat dari sudut ayah dan ibunya, meskipun
ayah dan ibunya seorang pandita atau rsi yang
tergolong ber "Varna" Brahmana, belum tentu
keturunannya menjadi seorang Brahmana, seperti
halnya Rawana, kakeknya, ayah dan ibunya, adalah rsi
yang terpandang, namun Rawana bersifat raksasa.
Prahlada di dalam kitab Bhagavata Purana disebut
sebagal anak dari raksasa bemama Hiranya Kasipu,
namun Prahlada adalah seorang Brahmana sangat taat
beragama meskipun ia masih anak- anak. Varna
seseorang tidak ditentukan oleh keturunannya ini
dijelaskan dengan tegas dalam kitab Mahabharata
XII. CCCXII,108 bahwa ke "Dvijati"an seseorang
tidak ditentukan oleh ke "wangsa"annya (nayonih),
yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan
pekerjaanya yang memberi bimbingan rohani kepada
masyarakat