Meski Presiden Jokowi menyatakan Papua terbuka tapi kenyataannya wartawan internasional tetap dibatasi liputan ke Papua.
1 of 5
Download to read offline
More Related Content
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
1. Paranoid Indonesia, Nestapa Papua
Oleh:
Phelim Kine
www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
2. PINDAI.ORG Paranoid Indonesia, Nestapa Papua / 29 Januari 2016
H a l a m a n 2 | 5
Media dalam Terorisme
oleh Phelim Kine
Meski Presiden Jokowi menyatakan Papua terbuka tapi kenyataannya wartawan
internasional tetap dibatasi liputan ke Papua.
ADA ancaman bagi wartawan asing bila mereka ingin meliput ke Papua: visa ditolak dan mereka
dicekal. Ini menimpa Cyril Payen, koresponden televisi France 24, yang bekerja dari Bangkok,
ibukota Thailand.
Pada 8 Januari 2016, Kedutaan Indonesia di Bangkok memberitahu Payen bahwa Kementerian
Luar Negeri di Jakarta menolak permohonan visa wartawan yang diajukannya untuk liputan ke
Papua.
Payen tak kaget.
Dua bulan sebelumnya, 8 November 2015, dua pejabat Kementerian Luar Negeri di Jakarta,
memanggil Dutabesar Perancis Corinne Breuze serta menyatakan keberatan mereka terhadap
laporan Payen soal Papua. Mereka mengatakan laporan tersebut tidak berimbang.
Alih-alih secara terbuka menunjukkan kepada Payen dan France 24 soal tuduhan tersebut atau
minta hak jawab, birokrasi Indonesia langsung mencekal Payen tanpa batas. Ia tak hanya
ditujukan bagi Payen, tapi untuk semua wartawan France 24 yang hendak liputan ke Indonesia.
Kenyataan pahit ini mengingatkan kita betapa jauh antara retorika yang pernah diucapkan
Presiden Joko Widodoyakni akses terbuka bagi media internasionaldan fakta sehari-hari
bagi wartawan meliput ke Papua.
Perbuatan birokrasi Indonesia adalah bukti pembatasan bagi wartawan dalam bekerja di Papua,
sekaligus keselamatan narasumber.
Pada Oktober 2015, seminggu setelah Marie Dhumieres, wartawan Prancis yang bekerja di
Jakarta, kembali dari liputannya di Pegunungan Bintang, Papua, polisi di Sentani menahan
Agus Kossay, seorang aktivis Papua, yang menemani Dhumieres. Kossay ditangkap bersama dua
kawannya. Polisi menginterogasi ketiganya selama 10 jam, memaksa mereka mengungkapkan
liputan Dhumieres. Mereka memberitahu Dhumieres di Jakarta. Dia lantas berkicau ke akun
Twitter Jokowi:
So Mr @jokowi, foreign journalists are free to work anywhere in Papua but the people
we interview get arrested after we leave?
Sesudahnya polisi melepas mereka tanpa mengajukan tuntutan.
Semestinya hal macam itu tak perlu terjadi.
Pada 10 Mei 2015, Jokowi mengumumkan bahwa pemerintah menghentikan pelbagai
pembatasan wartawan asing ke Papua, yang telah berjalan setidaknya selama 25 tahun terakhir.
Perubahan kebijakan ini seharusnya mengakhiri proses berbelit dan rumit yang dialami para
wartawan internasional bila ingin ke Papua.
Pengalaman Payen dan Dhumieres menunjukkan pernyataan Presiden Jokowi ditanggapi
berbeda, bahkan ditentang sengit, oleh sejumlah pejabat pemerintah dan keamanan
sebagaimana didokumentasikan dalam laporan Human Rights Watch, Sesuatu yang
3. PINDAI.ORG Paranoid Indonesia, Nestapa Papua / 29 Januari 2016
H a l a m a n 3 | 5
Disembunyikan: Pembatasan Kebebasan Media dan Pemantau Pelanggaran Hukum Papua
(November 2015).
Sejak pernyataan Jokowi, beragam pejabat pemerintah mengeluarkan sentimen negatif. Juru
bicara Kepolisian Indonesia perwira senior Agus Rianto, misalnya, pada 12 Mei 2015
menyatakan pemerintah akan terus membatasi akses masuk ke Papua bagi wartawan
internasional melalui sistem perizinan. Rianto beralasan, perlunya pembatasan akses ke Papua
untuk mencegah media internasional bicara dengan orang yang menentang pemerintah serta
menghalangi akses teroris yang mungkin berpura-pura berlagak wartawan dengan tujuan
pergi ke Papua.
Pada 26 Mei, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu memperingatkan bahwa akses media
internasional ke Papua harus dalam kondisi mereka wajib membuat laporan dan berita bagus.
Ryacudu tidak menjelaskan lebih persis soal apa dan bagaimana berita bagus yang dia
maksud. Tetapi dia secara eksplisit menyamakannya dengan liputan negatif berisi hasutan
dari para wartawan internasional. Dan, karena itu, dia mengancam bakal mengusir setiap
wartawan luar negeri yang bikin liputan tidak menyenangkan pemerintah.
Pernyataan macam itu dilandasi persepsi dan kecemasan kronis, di lingkaran birokrasi sipil,
militer, politisi maupun wartawan, bahwa akses media internasional ke Papua bakal
menaburkan gangguan stabilitas di wilayah yang telah bergolak akibat ketidakpuasan
masyarakat Papua terhadap Jakarta sertakendati kecil tapi tetap bertahanadanya gerakan
pro-kemerdekaan bersenjata. Obrolan saya dengan birokrat dan pejabat pemerintah, yang terus
mempertahankan sikap sengit membatasi akses media internasional ke Papua, dilandasi
kecurigaan akut terhadap apa yang terjadi di Timor Leste. Kehadiran media internasional dan
para aktivis hak asasi manusia di sana, setelah pendudukan oleh Indonesia selama 24 tahun,
membantu membuka jalan kemerdekaan Timor Leste pada 2002.
Tantangan kebebasan pers di Papua ditambah pula dengan pelbagai kesulitan yang dihadapi
para wartawan Indonesia terutama dari etnik Papua. Para wartawan lokal yang meliput topik
sensitifseperti dugaan korupsi dan perampasan lahandan pelanggaran hak asasi manusia
seringkali jadi objek penganiayaan, intimidasi, dan kekerasan dari aparat, anggota masyarakat,
dan kekuatan pro-kemerdekaan.
Wartawan di Papua mengatakan mereka sering melalukan swasensor atas liputan yang dinilai
peka supaya terhindar masalah. Suasana penuh ketakutan dan saling curiga ini dipersulit lagi
oleh tindakan aparat keamanan yang sering memakai dan membayar wartawan untuk jadi
informan, bahkan menugaskan agen rahasia menyamar sebagai wartawan di beragam ruang
redaksi. Tujuannya adalah membikin minimal liputan negatif dan membuat maksimal
pemberitaan positif soal Papua. Iklim macam ini telah menimbulkan ketidakpercayaan di
kalangan wartawan.
Tetapi, selain wartawan, pembatasan akses ke Papua ditujukan pula untuk aktivitas
kemanusiaan lain.
Aparat keamanan mengawasi dengan ketat kegiatan lembaga internasional yang diizinkan
pemerintah untuk beroperasi di Papua. Praktik memata-matai ini dialamatkan kepada lembaga-
lembaga yang berfokus pada bidang hak asasi manusia. Lembaga nonpemerintah internasional
seperti Cordaid (Belanda)dianggap pemerintah terlibat dalam kegiatan politiktelah
dipaksa menutup kantor perwakilannya di Papua.
Pembatasan pemerintah pada orang asing juga diperluas kepada pejabat Perserikatan Bangsa-
Bangsa dan akademisi yang dianggap kritis soal Papua. Pada 2013, pemerintah Indonesia
mengundangtapi lantas menolakkunjungan Frank La Rue, pelapor khusus PBB untuk
kebebasan berekpresi, karena mencantumkan Papua dalam rencana perjalanannya ke
4. PINDAI.ORG Paranoid Indonesia, Nestapa Papua / 29 Januari 2016
H a l a m a n 4 | 5
Indonesia. Akademisi asing yang dapat izin untuk mengunjungi Papua menjadi target kegiatan
pengintaian aparat keamanan. Mereka yang bersimpati kepada gerakan pro-kemerdekaan
dimasukkan dalam daftar visa cekal.
Pembatasan akses media internasional telah berjalan sejak Presiden Sukarno (1945-1966). Ia
mengharuskan semua calon koresponden luar negeri mengajukan visa wartawan sebelum
bepergian ke Indonesia (Tapsell, 2014: 74). Seiring perkembangan politik nasional yang
mengubah sifat kaku dan penerapannya di seluruh Indonesia, izin akses ke Papua tetap dibatasi,
bahkan lebih sering dari wilayah lain.
Di Papua, aturan ini telah berlaku bahkan sebelum Indonesia mengambilalih wilayah itu pada
1963diserahkan oleh Belanda lewat mekanisme yang melibatkan PBB. Pada Agustus 1969,
diadakan sebuah proses apa yang disebut Act of Free Choice atau dalam bahasa politik
Indonesia dinamakan Penentuan Pendapat Rakyat. Mengabaikan mekanisme referendum yang
diakui secara universal, proses ini dijalankan lewat sistem perwakilan yang melibatkan 1.026
orang Papua. Mereka ditunjuk oleh pemerintah Indonesia dan dipilih untuk mewakili seluruh
penduduk Papua melalui delapan distrik. Menurut John Saltford dalam bukunya, The United
Nations and the Indonesian Takeover of West Papua (2003: 147), militer Indonesia
mengintimidasi serta memaksa dan melakukan kekerasan. Hasilnya adalah suara bulat
mendukung integrasi dengan Indonesia.
Indonesia selalu menegaskan, sebagai bekas wilayah Hindia Belanda, New Guinea Barat (nama
yang dipakai saat itu) adalah bagian sah Indonesia. Para pejabat Indonesia meneruskan
klaimnya bahwa prinsip satu orang satu suara tak bisa diterapkan di daerah Papua karena
tingkat pendidikan penduduknya masih sangat rendah.
Act of Free Choice dianggap oleh banyak rakyat Papua sebagai dasar tipu-tipu bagi Indonesia
menganeksasi wilayahnya. Ia terus menerus jadi basis tuntutan rakyat Papua untuk pelurusan
sejarah dan digelarnya kembali prinsip penentuan nasib sendiri.
Menjelang dan selama Act of Free Choice itu, Indonesia memperketat akses ke Papua bagi
koresponden luar negeri. Pada 1968, pemerintah Indonesia membawa lusinanan wartawan
internasional ke Papua dalam tur jurnalistik dengan pengawalan ketat dari militer (Saltford,
2003: 129-140). Klub Koresponden Asing Jakarta mengajukan protes resmi kepada Departemen
Penerangan (Tapsell, 2004: 86). Isinya, pembatasan gerak wartawan bisa berpeluang
membungkam narasumber. Ross Tapsell dalam bukunya By-Lines, Balibo, Bali Bombings:
Australian Journalists in Indonesia (2014), menyimpulkan dampak dari pembatasan itu
sesudah 1969: Papua nyaris terkunci dari dunia luar.
Selama pemerintahan Orde Baru Soeharto (1965-1998), visa untuk wartawan asing secara
khusus mengecualikan akses ke daerah-daerah luar termasuk ke Timor Timur, Papua, dan
Aceh. Akses ke wilayah itu membutuhkan surat jalan dari pejabat teras atau Departemen
Penerangan. Selama 1960-an dan 1970-an, izin akses ke Papua dan daerah-daerah konflik lain
ditengarai sebagai taktik militer mengintimidasi para wartawan.
Di sejumlah kesempatan selama pemerintahan Orde Baru, proses pemeriksaan wartawan yang
mengajukan izin liputan ke Papua secara resmi dipusatkan melalui clearing house, sebuah
rapat koordinasi di bawah Kementerian Luar Negeri yang melibatkan 18 unit kerja dari 12
kementerian berbeda, termasuk Kepolisian Indonesia, Badan Intelijen Negara, dan Badan
Intelijen Strategis militer. Undang-Undang tentang Keimigrasian tahun 2011 memberi
wewenang bagi Kementerian Luar Negeri melarang orang asing bepergian ke daerah tertentu
di wilayah Indonesia.
5. PINDAI.ORG Paranoid Indonesia, Nestapa Papua / 29 Januari 2016
H a l a m a n 5 | 5
Proses izin lewat clearing house mewajibkan para wartawan yang hendak meliput ke Papua
harus bikin rencana reportase terperinci, termasuk melaporkan semua nama narasumber dan
jadwal liputan di Papua kepada pihak Kementerian Luar Negeri.
Jangka waktu dan dasar keputusan clearing house sangat tidak tentu, tanpa ada alasan bagi
permohonan yang ditunda maupun ditolakpaling cepat sekira sebulan tapi juga bisa sampai
lima tahun.
Tidak ada data stastitik secara terbuka yang memuat jumlah koreponden asing yang
mengajukan permohonan izin ke Papua selama beberapa tahun terakhir atau berapa dari izin
itu yang diterima. Tetapi, izin resmi dari pemerintah selalu sulit; tergantung kebijakan dan
prioritas di Jakarta.
Ada masa pembatasan itu lebih longgar di tahun-tahun sesudah Soeharto lengser pada 1998
terutama di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (Sen & Hill, 2011: 180-181). Tetapi, pada
masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), izin akses ke Papua kembali
diperketat.
Pemerintahan baru Jokowi tampaknya punya itikad baik untuk melonggarkan izin akses ke
Papua. Tetapi, sampai nyaris setahun dari pernyataannya, belum ada instruksi tertulis dan
resmi yang bisa menjadi landasan legal untuk akses lebih leluasa meliput di Papua.
Luhut Pandjaitan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, mengatakan pada 11
November 2015 bahwa dia akan mengambil tindakan bila diberi bukti bahwa pemerintah atau
aparat keamanan Indonesia menghalangi wartawan internasional pergi ke Papua.
Tunjukkan kepada saya, dan jika perlu, kami akan pecat mereka, katanya.
Pengalaman Cyril Payen, Marie Dhumieres, dan wartawan internasional lain sudah cukup jadi
alasan bagi Pandjaitan menepati janjinya itu.*
Catatan:
Naskah orisinalnya terbit di The Diplomat; diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh
Della Syahni. Disunting oleh Fahri Salam, editor Pindai, dengan tambahan latarbelakang yang
diambil dari laporan Human Rights Watch tentang Papua.
_____
Phelim Kine adalah wakil direktur Asia untuk Human Rights Watch dan mantan wartawan
internasional yang pernah bekerja di Jakarta. Twitter: @PhelimKine