Teks tersebut membahas upaya meluruskan sejarah sastra Indonesia yang sebelumnya dianggap dimulai dari Angkatan Balai Pustaka pada awal abad ke-20. Namun, ada bukti bahwa sastra Indonesia sudah ada jauh sebelumnya, seperti karya-karya sastra dari zaman kerajaan Hindu-Buddha dan kerajaan-kerajaan Nusantara lainnya. Teks ini juga mengkritik pemisahan sejarah pre-Indonesia dan Indonesia
Dokumen tersebut membahas perkembangan sastra Indonesia mulai dari zaman klasik, sastra modern hingga periode modern yang dibagi berdasarkan angkatan-angkatan sastra beserta ciri khas masing-masing angkatan."
Makalah ini membahas periodisasi sastra Indonesia menurut beberapa tokoh, meliputi sastra periode 1970-an, 1980-an, dan 2000-an. Sastra periode 1970-an ditandai kemutakhiran dan kreativitas bahasa, sedangkan periode 1980-an ditandai tema romantisme dan munculnya sastra populer. Pada periode 2000-an, sastra ditandai kebebasan berekspresi setelah reformasi dengan pengaruh teknologi.
Dokumen menjelaskan periode sastra Indonesia yang terbagi menjadi beberapa angkatan, yaitu pujangga lama, sastra Melayu lama, Balai Pustaka, pujangga baru, angkatan 1945, 1950-1960-an, 1966-1970-an, 1980-1990-an, reformasi dan 2000-an. Masing-masing angkatan memiliki ciri khas berdasarkan jenis karya sastra, aliran, dan kondisi sosial politik masa itu.
Dokumen tersebut membahas tentang mata kuliah Bahasa dan Sastra Indonesia 2 (Kesastraan) yang diampu oleh Dosen Indayani, S.S., M.Pd. Tugas kelompok 5 adalah mengenai hakikat pembentukan dan pergolakan sejarah sastra Indonesia dengan periodisasi sejarah sastra Indonesia.
Ilmu sastra memiliki tiga cabang ilmu, yaitu teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Teori sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari dasar-dasar pengertian tentang hal-hal yang berhubungan dengan sastra, misalnya hakikat sastra, genre sastra, aliran-aliran dan lain-lain. Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra sejak lahir (awal) hingga sekarang. Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang memberikan penilaian terhadap kualitas/mutu sebuah karya sastra.
Periodisasi sastra indonesia presentasi biFelicia Cile
油
Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana mengisahkan hubungan cinta segitiga antara Yusuf, Maria dan Tuti. Maria dan Yusuf jatuh cinta pada pandangan pertama, namun Maria meninggal karena sakit sebelum pernikahannya. Sebelum meninggal, Maria meminta Tuti menerima Yusuf. Tuti dan Yusuf akhirnya menikah.
Periodisasi sastra indonesia presentasi biFelicia Cile
油
Teks tersebut membahas tentang Angkatan Pujangga Baru, periode sastra Indonesia yang berkembang pada 1930-1942. Angkatan Pujangga Baru dipengaruhi Sumpah Pemuda 1928 dan berupaya mempromosikan persatuan dan bahasa Indonesia. Karya sastra terkenal pada periode ini adalah Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dan puisi Menuju ke Laut yang menggunakan laut sebagai metafora. Tengku Amir Hamzah dianggap sebag
Sastra di masa pendudukan Jepang berkembang selama kurang lebih 3,5 tahun. Dokumen ini membahas situasi, karakteristik, dan pengarang-pengarang serta karya-karya sastra yang dihasilkan pada masa itu, seperti Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Chairil Anwar, dan pengarang lainnya.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Angkatan 70 muncul pada tahun 1977 dan dicetuskan oleh Dami N. Toda. Ciri khas karya sastra angkatan ini adalah puisi yang eksperimental dan prosa yang menggunakan tema sosial dan politik. Aliran Rawamangun muncul pada 1973 dan memperkenalkan gaya baru dalam karya sastra.
Dokumen tersebut membahas periode-periode perkembangan sastra Indonesia dan ciri-cirinya, meliputi Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan '45, dan Angkatan '66. Setiap angkatan memiliki ciri khas berdasarkan bahasa, tema, dan kondisi sosial politik masanya.
Dokumen tersebut membahas tentang permulaan sastra Indonesia modern dan periodisasi sejarah sastra Indonesia modern. Ada beberapa pendapat tentang kapan permulaan sastra Indonesia modern dimulai, yaitu tahun 1945, 1928, 1908, dan 1920-an. Dokumen ini juga membandingkan beberapa pendapat tentang periodisasi sejarah sastra Indonesia modern.
Periodisasi sastra Indonesia dibagi menjadi beberapa periode berdasarkan ciri khas masing-masing zaman. Mulai dari sastra Melayu lama, angkatan 20-an yang berfokus pada konflik adat, angkatan 30-an yang memperkenalkan tema emansipasi perempuan, hingga angkatan-angkatan selanjutnya seperti 45, 66, 70-an, dan 2000 yang semakin kompleks dan kritis terhadap situasi sosial dan politik.
Sastra Indonesia mengalami beberapa periode perkembangan yang disebut angkatan. Angkatan Pujangga Lama merupakan karya sastra yang dihasilkan sebelum abad ke-20 yang didominasi syair, pantun, dan hikayat. Angkatan Sastra Melayu Lama berkembang antara 1870-1942 di Sumatra dalam bentuk syair, hikayat, dan terjemahan novel Barat. Angkatan Balai Pustaka muncul pada 1920-an dengan fokus pada prosa dan puisi. Ang
Sastera epik, panji, dan hikayat seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiah mengisahkan kisah-kisah kepahlawanan dan pengembaraan tokoh-tokoh utama sambil menonjolkan nilai-nilai murni. Jenis-jenis sastera tradisional Melayu ini memberi tumpuan kepada unsur-unsur seperti keberanian, cinta, dan persahabatan.
Sejarah kesusasteraan melayu tradisionalMohdRainie
油
Karya sastera tradisional Melayu yang bernafaskan sejarah dikenali sebagai sastera sejarah. Ia berfungsi untuk merakam kebesaran kerajaan Melayu dengan menceritakan asal-usul keturunan raja, pemerintahan, dan kejatuhan negara secara berlebihan dengan unsur mitos. Sastera sejarah biasanya ditulis dalam bentuk prosa atau syair dengan latar masa yang panjang dan ruang yang luas tanpa tarikh yang tepat
Periodisasi sastra menurut nugroho notosusantoidhaparwati
油
Sastra Indonesia dibagi menjadi 2 periode utama yaitu Sastra Melayu Lama dan Sastra Indonesia Modern. Sastra Modern terbagi lagi menjadi Masa Kebangkitan (1920-1945) dan Masa Perkembangan (1945-sekarang). Masa Kebangkitan terdiri atas Periode '20, '33, dan '42 yang memiliki ciri khas berbeda dalam karya sastra yang dihasilkan. Masa Perkembangan terbagi menjadi Periode '45 dan '50.
Dokumen tersebut membahas masa awal perkembangan sastra Melayu Rendah dan sastra modern Indonesia. Ia menjelaskan bahwa sastra Melayu Rendah berkembang sejak abad ke-19 dan ditulis oleh peranakan Tionghoa, sedangkan sastra modern Indonesia dimulai pada tahun 1919 melalui karya Merari Siregar. Dokumen juga menyinggung peran pers dan penerbitan awal dalam memperkenalkan bentuk-bentuk sastra
Periodisasi sastra indonesia presentasi biFelicia Cile
油
Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana mengisahkan hubungan cinta segitiga antara Yusuf, Maria dan Tuti. Maria dan Yusuf jatuh cinta pada pandangan pertama, namun Maria meninggal karena sakit sebelum pernikahannya. Sebelum meninggal, Maria meminta Tuti menerima Yusuf. Tuti dan Yusuf akhirnya menikah.
Periodisasi sastra indonesia presentasi biFelicia Cile
油
Teks tersebut membahas tentang Angkatan Pujangga Baru, periode sastra Indonesia yang berkembang pada 1930-1942. Angkatan Pujangga Baru dipengaruhi Sumpah Pemuda 1928 dan berupaya mempromosikan persatuan dan bahasa Indonesia. Karya sastra terkenal pada periode ini adalah Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana dan puisi Menuju ke Laut yang menggunakan laut sebagai metafora. Tengku Amir Hamzah dianggap sebag
Sastra di masa pendudukan Jepang berkembang selama kurang lebih 3,5 tahun. Dokumen ini membahas situasi, karakteristik, dan pengarang-pengarang serta karya-karya sastra yang dihasilkan pada masa itu, seperti Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Chairil Anwar, dan pengarang lainnya.
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
Angkatan 70 muncul pada tahun 1977 dan dicetuskan oleh Dami N. Toda. Ciri khas karya sastra angkatan ini adalah puisi yang eksperimental dan prosa yang menggunakan tema sosial dan politik. Aliran Rawamangun muncul pada 1973 dan memperkenalkan gaya baru dalam karya sastra.
Dokumen tersebut membahas periode-periode perkembangan sastra Indonesia dan ciri-cirinya, meliputi Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan '45, dan Angkatan '66. Setiap angkatan memiliki ciri khas berdasarkan bahasa, tema, dan kondisi sosial politik masanya.
Dokumen tersebut membahas tentang permulaan sastra Indonesia modern dan periodisasi sejarah sastra Indonesia modern. Ada beberapa pendapat tentang kapan permulaan sastra Indonesia modern dimulai, yaitu tahun 1945, 1928, 1908, dan 1920-an. Dokumen ini juga membandingkan beberapa pendapat tentang periodisasi sejarah sastra Indonesia modern.
Periodisasi sastra Indonesia dibagi menjadi beberapa periode berdasarkan ciri khas masing-masing zaman. Mulai dari sastra Melayu lama, angkatan 20-an yang berfokus pada konflik adat, angkatan 30-an yang memperkenalkan tema emansipasi perempuan, hingga angkatan-angkatan selanjutnya seperti 45, 66, 70-an, dan 2000 yang semakin kompleks dan kritis terhadap situasi sosial dan politik.
Sastra Indonesia mengalami beberapa periode perkembangan yang disebut angkatan. Angkatan Pujangga Lama merupakan karya sastra yang dihasilkan sebelum abad ke-20 yang didominasi syair, pantun, dan hikayat. Angkatan Sastra Melayu Lama berkembang antara 1870-1942 di Sumatra dalam bentuk syair, hikayat, dan terjemahan novel Barat. Angkatan Balai Pustaka muncul pada 1920-an dengan fokus pada prosa dan puisi. Ang
Sastera epik, panji, dan hikayat seperti Hikayat Hang Tuah, Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiah mengisahkan kisah-kisah kepahlawanan dan pengembaraan tokoh-tokoh utama sambil menonjolkan nilai-nilai murni. Jenis-jenis sastera tradisional Melayu ini memberi tumpuan kepada unsur-unsur seperti keberanian, cinta, dan persahabatan.
Sejarah kesusasteraan melayu tradisionalMohdRainie
油
Karya sastera tradisional Melayu yang bernafaskan sejarah dikenali sebagai sastera sejarah. Ia berfungsi untuk merakam kebesaran kerajaan Melayu dengan menceritakan asal-usul keturunan raja, pemerintahan, dan kejatuhan negara secara berlebihan dengan unsur mitos. Sastera sejarah biasanya ditulis dalam bentuk prosa atau syair dengan latar masa yang panjang dan ruang yang luas tanpa tarikh yang tepat
Periodisasi sastra menurut nugroho notosusantoidhaparwati
油
Sastra Indonesia dibagi menjadi 2 periode utama yaitu Sastra Melayu Lama dan Sastra Indonesia Modern. Sastra Modern terbagi lagi menjadi Masa Kebangkitan (1920-1945) dan Masa Perkembangan (1945-sekarang). Masa Kebangkitan terdiri atas Periode '20, '33, dan '42 yang memiliki ciri khas berbeda dalam karya sastra yang dihasilkan. Masa Perkembangan terbagi menjadi Periode '45 dan '50.
Dokumen tersebut membahas masa awal perkembangan sastra Melayu Rendah dan sastra modern Indonesia. Ia menjelaskan bahwa sastra Melayu Rendah berkembang sejak abad ke-19 dan ditulis oleh peranakan Tionghoa, sedangkan sastra modern Indonesia dimulai pada tahun 1919 melalui karya Merari Siregar. Dokumen juga menyinggung peran pers dan penerbitan awal dalam memperkenalkan bentuk-bentuk sastra
1. Sejarah Sastra_PENGANTAR SEJARAH SASTRA INDONESIA (1).pptgurudewisusanti
油
1. Sejarah Sastra_PENGANTAR SEJARAH SASTRA INDONESIA (1).ppt merupakan PPT yang menjelaskan tentang asal mula sejarah sastra indonesia.
dengan adanya ppt ini semoga bisa membantu dalam proses permelajaran mahasiswa semester 2 pendidikan bahasa dan sastra indonesia.
semoga kedepannya PPT ini bisa menjadi acuan beblajra dan membantu proses pembelajaran .
Mari belajar Apresiasi sasrta, unsur intrinsik novel&pidato,khotbah&ceramahDebby Zalina
油
Dokumen tersebut membahas berbagai aspek sastra Indonesia mulai dari periode, jenis, bentuk, unsur intrinsik novel, serta tokoh-tokoh sastrawan dari berbagai angkatan."
Dokumen tersebut membahas tentang sastra Indonesia pada berbagai angkatan, mulai dari Pujangga Lama, Angkatan 20-an, 30-an, 45, 50-an hingga 66-an. Setiap angkatan memiliki ciri khas berdasarkan kondisi sosial politik masa itu."
Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang kabaretisasi cerpen, pengertian cerpen dan kabaret, serta perkembangan cerpen di Indonesia. Cerpen didefinisikan sebagai prosa fiksi pendek sedangkan kabaret adalah bentuk hiburan yang menggabungkan berbagai seni seperti musik dan drama. Cerpen Indonesia mengalami masa keemasan pada tahun 1950-an didukung publikasi di media massa.
Dokumen tersebut membahas tentang perkembangan sastra Melayu Islam sejak abad ke-14 hingga awal abad ke-20 M yang dibagi menjadi empat periode yaitu zaman awal, zaman peralihan, zaman klasik, dan zaman akhir. Pada zaman awal muncul terjemahan karya agama dari bahasa Arab dan Persia ke bahasa Melayu, sedangkan pada zaman klasik berkembang karya-karya orisinal bercorak sufistik
presentasi tentang sastra indonesia angkatan 45 yang muncul dan berkembang setelah era angkatan 30. Angkatan ini juga tumbuh sebagai terusan setelah angkatan 30 dengan berbagai ciri dari karya sastra serta karakteristik yang identik dengan angkatan tersebut.
Periode 1920-1990 merupakan masa perkembangan kesusastraan Indonesia modern yang diawali dengan sajak pertama berbahasa Indonesia "Tanah Air" karya M. Yamin pada 1920 hingga munculnya penyair baru di akhir 1980-an. Periode ini meliputi zaman Pujangga Baru, Angkatan 45, dan penyair tahun 1970-1980an yang dicirikan gaya dan tema karyanya. H.B. Jassin dan Sutan Takdir Alisjahbana dikenal sebagai p
MODUL PEMBELAJARAN DEEP LEARNING SENI MUSIK KELAS 5 CP 032 REVISI 2025 KURIKU...AndiCoc
油
Modul Pembelajaran Deep Learning (Pembelajaran Mendalam) Seni Musik Kelas 5 Kurikulum Merdeka Revisi CP 032 Tahun 2025/2026
Fase : C
Kelas / Semester : V (Lima) / I (Ganjil)
Unit 1 : Mengenal Jenis-Jenis Suara Manusia, Bunyi Alat Musik, dan Bentuk Alat Musik
Kegiatan Belajar 1 : Mengenal Jenis-Jenis Suara Manusia
Tujuan Pembelajaran:
1.1 Mengenal dan membedakan jenis-jenis range pada suara manusia;
MODUL PEMBELAJARAN DEEP LEARNING IPAS KELAS 5 CP 032 REVISI 2025 KURIKULUM ME...AndiCoc
油
Modul Pembelajaran Deep Learning (Pembelajaran Mendalam) Ilmu Pengetahuan Alam & Sosial (IPAS) Kelas 5 Kurikulum Merdeka Revisi CP 032 Tahun 2025/2026
Kelas / Semester : V (Lima) / I (Ganjil)
Tahun Pelajaran : 2025 / 2026
Bab 1 : Melihat karena Cahaya, Mendengar karena Bunyi
Capaian Pembelajaran: Peserta didik memahami sistem organ tubuh manusia yang dikaitkan dengan cara menjaga kesehatan tubuhnya; fenomena gelombang bunyi dan cahaya dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan Pembelajaran:
1.1 Menjelaskan sifat-sifat cahaya melalui percobaan sederhana.
1.2 Mendemonstrasikan sistem penglihatan manusia bekerja.
Indikator Pencapaian Tujuan Pembelajaran:
1. Peserta didik mampu mendesain percobaan sederhana untuk membuktikan sifat cahaya dengan percaya diri.
2. Peserta didik mampu mendesain percobaan sederhana untuk membuktikan sifat cahaya
tabel transformasi Fourier lengkap yang mencakup berbagai pasangan fungsi waktu dan hasil transformasinya dalam domain frekuensi. Tabel ini berguna untuk analisis sinyal dan sistem dalam bidang teknik elektro, fisika, dan ilmu komputer
MODUL PEMBELAJARAN DEEP LEARNING ILMU PENGETAHUAN ALAM & SOSIAL (IPAS) KELAS ...AndiCoc
油
Modul Pembelajaran Deep Learning (Pembelajaran Mendalam) Ilmu Pengetahuan Alam & Sosial (IPAS) Kelas 5 Kurikulum Merdeka Revisi CP 032 Tahun 2025/2026
Kelas / Semester : V (Lima) / I (Ganjil)
Tahun Pelajaran : 2025 / 2026
Bab 1 : Melihat karena Cahaya, Mendengar karena Bunyi
Capaian Pembelajaran: Peserta didik memahami sistem organ tubuh manusia yang dikaitkan dengan cara menjaga kesehatan tubuhnya; fenomena gelombang bunyi dan cahaya dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan Pembelajaran:
1.1 Menjelaskan sifat-sifat cahaya melalui percobaan sederhana.
1.2 Mendemonstrasikan sistem penglihatan manusia bekerja.
Indikator Pencapaian Tujuan Pembelajaran:
1. Peserta didik mampu mendesain percobaan sederhana untuk membuktikan sifat cahaya dengan percaya diri.
2. Peserta didik mampu menjelaskan sifat-sifat cahaya berdasarkan hasil percobaan dengan tepat.
1. MELURUSKAN SEJARAH SASTRA INDONESIA
Oleh : Anjrah Lelono Broto *)
Membaca sejarah perkembangan sastra Indonesia (periodisasi, menurut HB Jassin), ada
tanda tanya besar yang berputar-putar di dalam benak kita. Benarkah sastra Indonesia diawali
dari Angkatan Balai Pustaka? Paus sastra Indonesia, HB Jassin, juga menetapkan bahwa
sastra Indonesia diawali dari sastrawan-sastrawan yang bernaung di Balai Pustaka seperti
Marah Rusli, Tulis Sutan Sati, Ama Datuk Mojoindo, Suman Hasibuan, dll. Bukankah
mereka adalah sederet sastrawan berlatar belakang budaya Melayu? Lalu dimanakah tempat
Mpu Tantular, Mpu Sedah, Mpu Kanwa, bahkan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ataupun
Abdur Rauf Ibn Singkli atau
Syamsuddin Asy Samatrani?
Tanpa harus mereview
pendapat dan pemikiran
Yudiono K.S., Maman S.
Mahayana, A. Teuuw, Ajip
Rosidi, Bakri Siregar, bahkan
Umar Junus, ada baiknya kita
membaca kembali perjalanan
kesusasatraan Indonesia.
Seorang pengajar sastra
Universitas Indonesia (UI),
Ibnu Wahyudi, dalam
artikelnya yang dibacakan di
11th European Colloquium on
Indonesian and Malay Studies
di Lomonosov Moscow State
University pada 1999,
mengatakan bahwa awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang
ditandai dengan terbitnya puisi Syair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi (anonim)
yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan
Indonesia (Jakarta: KPG, 2000). Lalu, tahun 2002, Taufiq Ismail dan majalah sastra Horison
menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang di dalamnya menyebutkan awal mula
penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad ke-17. Namun, Taufiq
Ismail masih menempatkan Hamzah Fansuri sebagai pionir sastra daerah, seperti halnya Mpu
Tantular, Mpu Sedah, Mpu Panuluh, dan rekan-rekan Mpu yang lain. Taufiq Ismail belum
memiliki keberanian menempatkan Hamzah Fansuri sebagai kanon sastrawan Indonesia.
Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyatakan gagasannya untuk memberikan
sekat antara sejarah kebudayaan pre-Indonesia (masa sebelum akhir abad ke-19) dengan
kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), dengan sendirinya menjadikan
keterputusan sejarah antara dua masa kesusastraan tersebut. Bagi generasi muda yang
menerima pengajaran sastra di lingkungan sekolah, seakan ada gambaran bahwa kebudayaan
(sastra) Indonesia baru lahir di tahun 1900 sehingga mengubur-tenggelamkan perjalanan
sejarah kebudayaan (sastra) Indonesia yang telah berproses dan bermutasi selama ratusan
tahun. Padahal, The Founding Fathers Indonesia dalam menggodok landasan idiil negara
yaitu Pancasila, menobatkan sebuah klausa "Bhineka Tunggal Ika" yang dikutip dari
2. Sutasoma karya Mpu Tantular. Dari perspektif sastra, penobatan klausa ini merupakan bentuk
penghargaan kepada sejarah sastra Indonesia di masa kerajaan HindhuBudha.
Banyak kalangan menilai, lahirnya pemikiran STA ini dilatarbelakangi oleh
kesilauannya dengan kebudayaan Barat, yang menjadi roh Angkatan Pujangga Baru. Namun,
pembangunan sekat pemisah ini dapat mengaburkan jatidiri kebangsaan Indonesia, yang
sejatinya adalah evolusi kebangsaan dan kemanusiaan Hindhu-Budha ke Islam dan
dilanjutkan dengan modern ala Barat. Sanusi Pane dan Poerbatjaraka pernah menanggapi
minor pemikiran STA di atas, diakui atau tidak, penolakan mereka mengejawantahkan ke-
Indonesia-an yang sejati. Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah
kelanjutan dari sejarah masa lalu, tidak terputus. Kebudayaan Indonesia adalah formulasi
berbasis akultural antara kebudayaan Indonesia purba dengan kebudayaan Barat. Sanusi Pane
menyebutnya sebagai hasil perkawinan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).
Andaikata kita masih setia dengan sejarah sastra yang terputus ala STA tersebut, maka
akan kita jumpai pengaruh Pemerintah Kolonialis Belanda dalam mengelola "bacaan" rakyat.
Pembentukan Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan
Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya diikuti dengan pendirian
Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) pada tahun 1917, yang kemudian
bernama Balai Pustaka, menjadi penanda bahwa pemikiran STA tentang sejarah sastra
Indonesia dipengaruhi Politik Etis kolonialis Belanda. Padahal, sentuhan "terpaksa" seperti
itu hanyalah bagian kecil dari pengaruh luar yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Ibnu Wahyudi menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan
peranakan Eropa sebagai pijakan awal kelahiran sastra Indonesia. Hasil penelitiannya
menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra (bacaan liar) yang tidak melalui sensor Balai
Pustaka, adalah juga termasuk dalam khazanah sastra Indonesia. Pendapat Ibnu Wahyudi ini
sedikit merujuk kepada pemikiran Pramoedya Ananta Toer, yang mengatakan bahwa sejarah
perkembangan sastra Indonesia juga mencatat sumbang-sih karya dari sastrawan berlatar
belakang wartawan dan peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa, seperti F. Wiggers, G.
Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J. Pangemanan. Penerbitan kembali karya-karya
Mas Marco Martodikromo olej Penerbit Indonesia Buku (16/05/2009) adalah sebuah langkah
riil meretas sejarah perkembangan sastra Indonesia.
Lahirnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya Pramoedya Ananta
Toer pada 1982 (dan direvisi pada 2003) memiliki dua arti penting. Pertama, ada pengakuan
terhadap eksistensi sastra Indonesia yang menggunakan bahasa Melayu pasar (bukan bahasa
Melayu Tinggi ala Balai Pustaka). Pramoedya pun telah berusaha menjalin kembali
keterputusan sejarah sastra (kebudayaan) akibat pemikiran STA. Kedua, hasil penelusuran
semacam itu juga memperlihatkan fenomena unik dalam sejarah sastra Indonesia bahwa
politik etis kolonial Belanda (yang diskriminatif), menciptakan ketidakadilan bagi para
"inlanders". Faktanya, hanya masyarakat yang mengecap pendidikan Barat yang diakui dan
memiliki akses berproduksi, termasuk di sastra. Seperti F.D.J. Pangemanann, pemimpin
redaksi koran berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan Noto Soeroto, penulis
Melati Knoppen (Kuntum-kuntum Melati) di tahun 1915 dan Wayang-Liederan (Dendang
Wayang) di tahun 1931.
Upaya-upaya yang dilakukan Ibnu Wahyudi, Taufiq Ismail, ataupun Pramoedya Ananta
Toer, sejatinya, telah memberikan sumbangan besar bagi usaha meluruskan kembali sejarah
sastra Indonesia yang mengalami keterputusan akibat gagasan pemikiran STA. Namun,
menyitir penggalan puisi "Kerawang Bekasi" karya Chairil Anwar; "..perjuangan belum
selesei, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa..". Usaha untuk menemukan
benang merah antara karya-karya sastra pada masa Hindhu-Budha, awal perkembangan
Islam, hingga masuknya pemerintah kolonialis Belanda yang mengusung tradisi budaya barat
di punggungnya; masih memerlukan perjuangan panjang.
3. Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder
(1983), karya sastra tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha
(Perkawinan Arjuna) karya Mpu Kanwa yang terbit sekitar 1028-1035 di masa kerajaan
Airlangga. Masih di masa kerajaan Medang (Airlangga) kemudian lahir pula Gatotkacasraya
(Bantuan Gatotkaca) karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Kemudian di masa kerajaan
Kediri, Rajanya Jaya Baya, juga melahirkan karya sastra yang berbau nujum yang kemudian
terkenal sebagai Serat Jangka Jaya Baya. Sejajar dengan nujum Zarathustra, naskah asli
karya sastra ini harus jauh dari tanah air dan disimpan di British Library. Di zaman kerajaan
Majapahit, Negarakertagama karya Mpu Prapanca dan Sutasoma karya Mpu Tantular
sebagai masterpiece karena dilahirkan pujangga-pujangga kerajaan. Masuknya agama Islam,
membawa aura Islam dalam perkembangan sastra Jawa (khususnya) sehingga lahirlah sederet
karya-karya sastra seperti Kidung Rumeksa Ing Wengi, Serat Walisana, Babad Demak, Babad
Tanah Jawi, Primbon Djatianom (Ki Ageng Gribig), Serat Gatoloco, dll.
Di satu sisi, aura Islam menjadi warna pertama yang menggurat sejarah sastra di tanah
Melayu, dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad
719, Vladimir I. Braginsky (1998) mengatakan bahwa pada Zaman Pertengahan,
sastrawan-sastrawan Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia. Bagi dunia
Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang modern saling
berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak
mungkin menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan
demikianlah orang bisa menyelami sebab-musabab proses-proses yang kini tengah
berlangsung di Indonesia Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan hakikat dari
tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang
dengan lebih baik, dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.
Sederet nama seperti Hamzah Fansuri, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Nurruddin Ar
Raniri, Abdur Rauf Ibn Singkli dan Syamsuddin Asy Samatrani; menjadi tokoh-tokoh
sastrawan Melayu yang karya-karyanya menjadi ikatan budaya antara Indonesia, Malaysia,
Brunei Darussalam, dan Singapura.
Budaya Hindhu-Budha, Islam, lalu Barat yang dibawa Portugal, Spanyol, dan kolonialis
Belanda telah memberi warna baru yang memperkaya dan mendewasakan kebudayaan
(sastra) Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di ranah agama, di ranah sastra pun terjadi
sinkretisme yang dilakukan sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh saja Rudyard
Kipling mengatakan East is east and west is west and the twin shall never meet. Tapi, bagi
manusia Jawa, memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.
Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua
kutub dalam sastra Indonesia, yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh
Hindhu-Budha yang kuat, yang berpusat di Jawa dan sastra Indonesia yang memperlihatkan
pengaruh Islam yang kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua kutub tersebut bisa menjadi
rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini
diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang memperlihatkan bahwa sastrawan
yang berasal dari Jawa (52,8%) dan Sumatera (30,3%) berperan besar dalam menghidupkan
sastra Indonesia.
Mari meluruskan kembali sejarah sastra Indonesia kepada generasi muda kita.
*