Autisme adalah gangguan perkembangan yang membuat seseorang mengalami kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan kegiatan imaginatif. Gejalanya mulai tampak sejak bayi atau anak-anak dan dapat bervariasi dari ringan hingga berat. Tidak ada penyebab pasti dari autisme, namun diperkirakan prevalensinya sekitar 60 per 10.000 kelahiran.
Dokumen tersebut memberikan deskripsi skor derajat autisme pada anak berdasarkan Childhood Autism Rating Scale (CARS). CARS menilai 15 aspek perilaku anak untuk menentukan tingkat autisme, mulai dari hubungan sosial, imitasi, respon emosi, penggunaan tubuh, mainan, hingga komunikasi dan aktivitas. Setiap aspek diberi skor 1-4 dengan 1 normal dan 4 berat, untuk menentukan derajat autisme anak tersebut.
Gangguan mental emosional pada anak usia diniJoni Iswanto
油
Survei menunjukkan bahwa satu dari lima anak di bawah 18 tahun memiliki masalah kesehatan mental dan emosional, dan rentan menjadi pecandu narkoba. Gangguan mental dan emosional sering ditemukan pada anak usia 6 tahun ke bawah, termasuk retardasi mental, gangguan berbicara, autisme, ADHD, gangguan makan, tidur, dan lainnya. Namun orangtua kurang mengenali gejala awal dan enggan memeriks
Autisme adalah gangguan perkembangan fungsi otak yang kompleks dan bervariasi, dengan gejala yang sudah muncul sebelum usia 3 tahun. Terdapat beberapa faktor penyebabnya seperti gangguan neurobiologis, genetik, infeksi, dan lingkungan. Gejala utamanya adalah kesulitan berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan memiliki indra yang sensitif. Penanganannya meliputi terapi individual dan obat-obatan untuk mengurangi ge
Autisme adalah gangguan perkembangan neurologis yang menyebabkan kesulitan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan pola perilaku. Terdapat beberapa faktor penyebab autisme seperti genetika, kondisi selama kehamilan, dan pasca kelahiran. Anak autisme dapat dilatih melalui berbagai terapi seperti terapi wicara, okupasi, musik, dan diet. Penanganan autisme di Indonesia masih dihadapkan pada kurangnya ten
Dokumen tersebut berisi tiga instrumen penilaian untuk autisme, yaitu instrumen observasi, wawancara orang tua, dan penilaian perkembangan sosial. Ketiga instrumen tersebut mencakup indikator kemampuan komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan persepsi sensoris untuk mendeteksi gejala autisme pada anak.
Dokumen tersebut membahas tentang Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia. PPDGJ merujuk kepada klasifikasi gangguan jiwa internasional ICD-10 dan sistem diagnosa DSM-IV. PPDGJ membagi gangguan jiwa ke dalam 10 blok diagnosa berdasarkan gejala klinis dan etiologi, serta memberikan kode dan kriteria untuk 100 kategori diagnosis gangguan jiwa.
Dokumen ini membahas tentang deteksi dini gangguan tumbuh kembang anak, yang meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala untuk mengetahui status gizi dan pertumbuhan anak. Gangguan yang dapat terdeteksi dini meliputi gangguan bicara, Down syndrome, autisme, dan retardasi mental. Deteksi dini memungkinkan intervensi sesuai kebutuhan anak agar tumbuh kembangnya berjalan lebih baik.
Ny. T mengalami gangguan depresi berupa episode depresif akut yang ditandai dengan gejala khas seperti kehilangan minat, sulit tidur, kelelahan, rasa bersalah, dan kehilangan nafsu makan selama beberapa minggu.
Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)Lautan Jiwa
油
PowerPoint yang menjelaskan secara dasariah macam-macam gangguan kejiwaan. Berkas dipresentasikan pada Seminar Awam III Tahun II Yayasan Cahaya Jiwa pada tanggal 17 Juli 2017 di Cianjur, Jawa Barat.
Konsep diri adalah pandangan individu tentang dirinya sendiri secara fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Konsep diri terdiri dari berbagai komponen seperti gambaran diri, ideal diri, penampilan peran, identitas diri dan harga diri. Gambaran diri, ideal diri dan harga diri yang tidak sehat dapat menyebabkan gangguan kejiwaan seperti depresi dan skizofrenia.
PPT ABK (Anak berkebutuhan Khusus modul 1).pptxZowtaaGarden
油
Modul ini membahas tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus dengan menjelaskan definisi dan jenis kebutuhan khusus, penyebab dan dampak munculnya kebutuhan khusus, serta kebutuhan, hak dan kewajiban anak berkebutuhan khusus. Modul ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dasar tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Dokumen tersebut membandingkan perbedaan antara skizoafektif, gangguan bipolar, dan depresi pasca skizofrenia dalam 7 aspek: 1) sifat, 2) jumlah episode, 3) gejala dominan, 4) waktu timbulnya, 5) keberadaan episode normal, 6) batasan waktu gejala, dan 7) tatalaksana.
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai sindrom down, yaitu kelainan genetik yang menyebabkan gangguan perkembangan fisik dan mental. Sindrom down disebabkan oleh kegagalan pemisahan kromosom sehingga terbentuk kromosom tambahan pada kromosom 21. Dokumen tersebut juga menjelaskan gejala, diagnosis, penanganan, dan rencana asuhan keperawatan pada anak dengan sindrom down.
Dokumen tersebut membahas karakteristik anak dengan autisme, etiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan gangguan spektrum autisme. Gangguan ini ditandai dengan kelainan interaksi sosial, komunikasi, dan pola perilaku terbatas serta berulang. Penyebabnya belum jelas namun mencakup faktor genetik, neurologis, dan lingkungan. Diagnosa didasarkan pada kriteria DSM dan penatalaksanaannya meliputi terapi, pelatihan
Dokumen tersebut membahas tentang Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia. PPDGJ merujuk kepada klasifikasi gangguan jiwa internasional ICD-10 dan sistem diagnosa DSM-IV. PPDGJ membagi gangguan jiwa ke dalam 10 blok diagnosa berdasarkan gejala klinis dan etiologi, serta memberikan kode dan kriteria untuk 100 kategori diagnosis gangguan jiwa.
Dokumen ini membahas tentang deteksi dini gangguan tumbuh kembang anak, yang meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala untuk mengetahui status gizi dan pertumbuhan anak. Gangguan yang dapat terdeteksi dini meliputi gangguan bicara, Down syndrome, autisme, dan retardasi mental. Deteksi dini memungkinkan intervensi sesuai kebutuhan anak agar tumbuh kembangnya berjalan lebih baik.
Ny. T mengalami gangguan depresi berupa episode depresif akut yang ditandai dengan gejala khas seperti kehilangan minat, sulit tidur, kelelahan, rasa bersalah, dan kehilangan nafsu makan selama beberapa minggu.
Macam-Macam Gangguan Jiwa - oleh dr. Ida Rochmawati, SpKJ(K)Lautan Jiwa
油
PowerPoint yang menjelaskan secara dasariah macam-macam gangguan kejiwaan. Berkas dipresentasikan pada Seminar Awam III Tahun II Yayasan Cahaya Jiwa pada tanggal 17 Juli 2017 di Cianjur, Jawa Barat.
Konsep diri adalah pandangan individu tentang dirinya sendiri secara fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual. Konsep diri terdiri dari berbagai komponen seperti gambaran diri, ideal diri, penampilan peran, identitas diri dan harga diri. Gambaran diri, ideal diri dan harga diri yang tidak sehat dapat menyebabkan gangguan kejiwaan seperti depresi dan skizofrenia.
PPT ABK (Anak berkebutuhan Khusus modul 1).pptxZowtaaGarden
油
Modul ini membahas tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus dengan menjelaskan definisi dan jenis kebutuhan khusus, penyebab dan dampak munculnya kebutuhan khusus, serta kebutuhan, hak dan kewajiban anak berkebutuhan khusus. Modul ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dasar tentang pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Dokumen tersebut membandingkan perbedaan antara skizoafektif, gangguan bipolar, dan depresi pasca skizofrenia dalam 7 aspek: 1) sifat, 2) jumlah episode, 3) gejala dominan, 4) waktu timbulnya, 5) keberadaan episode normal, 6) batasan waktu gejala, dan 7) tatalaksana.
Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai sindrom down, yaitu kelainan genetik yang menyebabkan gangguan perkembangan fisik dan mental. Sindrom down disebabkan oleh kegagalan pemisahan kromosom sehingga terbentuk kromosom tambahan pada kromosom 21. Dokumen tersebut juga menjelaskan gejala, diagnosis, penanganan, dan rencana asuhan keperawatan pada anak dengan sindrom down.
Dokumen tersebut membahas karakteristik anak dengan autisme, etiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan gangguan spektrum autisme. Gangguan ini ditandai dengan kelainan interaksi sosial, komunikasi, dan pola perilaku terbatas serta berulang. Penyebabnya belum jelas namun mencakup faktor genetik, neurologis, dan lingkungan. Diagnosa didasarkan pada kriteria DSM dan penatalaksanaannya meliputi terapi, pelatihan
Dokumen tersebut membahas tentang bahasa anak autisme, meliputi definisi autisme, ciri-ciri anak autisme dari segi psikomotorik, kognitif, dan afektif, serta masalah bahasa anak autisme dalam bentuk, kandungan, dan penggunaan bahasa. Dokumen ini juga membahas implikasi intervensi bahasa untuk anak autisme.
1. Autisme adalah gangguan perkembangan khususnya pada masa anak-anak yang membuat seseorang tidak mampu berinteraksi secara sosial dan hidup dalam dunianya sendiri.
2. Penyebab autisme secara biologis terkait dengan kelainan pada sistem saraf dan faktor genetik, bukan karena vaksin atau obat.
3. Gejala awal autisme dapat dilihat pada usia di bawah 3 tahun, antara
1. Autisme adalah gangguan perkembangan khususnya pada masa anak-anak yang membuat seseorang tidak mampu berinteraksi secara sosial dan hidup dalam dunianya sendiri.
2. Penyebab autisme secara biologis terkait dengan kelainan pada sistem saraf dan faktor genetik, bukan disebabkan vaksin atau obat.
3. Gejala awal autisme dapat dilihat pada usia di bawah 3 tahun, ant
Autisme adalah gangguan syaraf pada perkembangan awal yang berdampak pada kesulitan sosial, komunikasi, dan perilaku terbatas. Tidak ada penyebab tunggal yang diketahui, namun faktor genetika dan lingkungan diperkirakan berperan. Diagnosa didasarkan pada gejala perilaku, dan penatalaksanaannya meliputi pelatihan khusus serta obat-obatan tertentu untuk mengelola gejala tambahan.
Teks tersebut membahas sindrom gangguan autisme. Istilah autisme pertama kali dikemukakan oleh Dr. Leo Kanner pada 1943. Autisme merupakan gangguan perkembangan yang sampai saat ini belum ditemukan penyembuhannya. Gangguan ini mempengaruhi kemampuan sosial, komunikasi, dan perilaku seseorang. Terdapat beberapa pendekatan terapi untuk autisme, seperti pendekatan psikodinamis, behavioral, dan medis.
Dokumen tersebut membahas tentang autisme pada anak, mencakup pengertian, ciri-ciri, penyebab, dan gejala autisme. Secara khusus membahas gangguan perkembangan yang dialami anak autis dalam komunikasi, interaksi sosial, dan pola perilaku.
Autisme adalah gangguan perkembangan yang melibatkan fungsi otak dan menyebabkan masalah dalam interaksi sosial, komunikasi, dan pola tingkah laku. Ia biasanya kelihatan pada usia 3 tahun dan lebih kerap ditemui pada lelaki. Walaupun tidak dapat disembuhkan, rawatan awal dan diagnosis penting untuk pembangunan masa depan kanak-kanak. Terdapat peningkatan kadar kes autisme dalam 10 tahun ke
Dokumen tersebut membahas tentang autisme, gangguan perkembangan yang kompleks yang ditandai dengan kesulitan dalam komunikasi sosial, motorik, dan kadang intelektual yang dimulai sebelum usia 3 tahun. Dokumen tersebut juga membahas definisi, gejala, penyebab, dan pendekatan terapi untuk autisme seperti pendekatan psikodinamis, behavioral, dan medis.
Makalah ini membahas tentang autisme pada anak. Ada beberapa poin penting yang diangkat, yaitu: (1) pengertian autisme sebagai gangguan perkembangan pervasif yang menyebabkan kesulitan dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial, (2) gejala klinis seperti penarikan diri, kesulitan berkomunikasi, dan perilaku ritualistik, (3) penanganannya memerlukan pendekatan multidisplin meliputi terapi edukasi,
Makalah ini membahas tentang autisme pada anak. Ada beberapa poin penting yang diangkat:
1. Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan kesulitan berkomunikasi, interaksi sosial, dan kebiasaan berulang.
2. Gejala autisme mulai terlihat sejak bayi hingga remaja dengan berbagai manifestasi klinis seperti penarikan diri, gerakan tubuh stereotipik, dan perilaku ritualistik.
3
1. Autisme
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat
dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut
terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-
Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam
bidang:
interaksi sosial,
komunikasi (bahasa dan bicara),
perilaku-emosi,
pola bermain,
gangguan sensorik dan motorik
perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima
jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit
Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD)
adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah
(umbrella term) PDD, yaitu:
1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam
interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku
stereotip pada minat dan aktivitas.
2. Aspergers Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang
terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat
intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah
atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan
kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Retts Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki.
Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan
kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan
gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun
pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah
dicapai sebelumnya.
Diagnosa Pervasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD NOS) umumnya
digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme
pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with
Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD NOS adalah
gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul
sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi
kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan
2. orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak
wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.
Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV
A. Interaksi Sosial (minimal 2):
1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh,
gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah
B. Komunikasi Sosial (minimal 1):
1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social
C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):
1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik
intensitas dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada
bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga
masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme
sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan
autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku
menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka
mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi
kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta
menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism.
Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi
pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui
media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin
mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat
fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki
intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun
label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh
sesuai dengan kebutuhan mereka.
3. Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan
perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993
dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara
khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Pervasive Developmental Disorder/PDD):
Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama
gangguan, yaitu: Interaksi Sosial Komunikasi Perilaku.
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi
gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya
autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk
mendiagnosa autisme:
Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat
oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat
menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang,
penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi
verbal
The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita
yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen
di awal tahun 1990-an.
The Autism Screening Questionare: adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang
digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial
mereka
The Screening Test for Autism in Two-Years Old: tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang
dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu;
bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan
membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan
kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam
gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam
mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi
dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis
ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.
Gejala
Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam
kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-
cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin
dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima
panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif
(mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat
ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat
pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-
gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi,
beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak
wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan
4. atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan
mereka.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang
autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki,
tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan
beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau
kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-
tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat
individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para
praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute of Child
Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus
diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :
1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12
bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima lampu merah di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena
karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara
multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi
lainnya yang memahami persoalan autisme.
Prevalensi Individu dengan autisme
Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 an, bayi-
bayi yang lahir di California AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian
dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari
250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut
menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY)
memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 100 per 10.000 kelahiran.
Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya
(Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 best current estimate dan terdapat 425.000
penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah:
62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki
5. dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti.
Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka
pun dapat menemukan obat yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus
utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak
yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 27 Maret
2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:
Genetic susceptibility different genes may be responsible in different families
Chromosome 7 speech / language chromosome
Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth
Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan
sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-
penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat
psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.
Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di
Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak
dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. Bila sepuluh
tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi
satu per 500 anak (Kompas: 2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang
autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut
diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang
yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?
Implikasi Diagnosa Autisme
Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang
autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah
menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism. Aarons dan Gittents (1992)
merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam
mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak
sendiri. Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan
sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya
mereka yang normal.
Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta
bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat. Perilaku-
perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai
gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak
menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua.
Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan
konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk?
Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi
hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan
keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di
bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan
6. anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain,
perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain
sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan
berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai
high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam
penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang.
Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi
yang ada pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang
mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang
mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang
Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan
bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang
mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda
yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi
kita bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu
memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang
anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan
membawa manfaat apapun.
Perkembangan Penelitian Autisme
Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika,
menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun
demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat
sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan
(Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan
filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti:
pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya
mengarah pada faktor biologis.
Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism
disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang
sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress
berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka
Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada
Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-
anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-
program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil
program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku
yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program
memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan
7. dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J.,
sebagaimana disebutkan di bawah ini:
1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
2000s Litigation, school-based services
Penanganan Autisme di Indonesia
Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-
persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa
mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan
masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:
1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses
intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun
berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya
mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan
kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi
semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli
yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta
lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum
tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4
UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang
demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini
membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah
umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk
menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis
maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated
Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian
autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik,
namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan
dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan
pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka
sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka
informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis
maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.
8. Terapi Bagi Individu dengan Autisme
Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks,
bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan
banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka. Beberapa jenis terapi
bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul.
Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan
apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa
terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara
umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment
yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational
Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.
Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang
tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk
mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional
dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju
target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.
Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang
prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete
Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped
Children).
Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian
obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri
sendiri, dsb.).
Speech Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan
gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication
System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-
pendukung komunikasi lainnya.
Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan
intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT),
Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).
Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka
untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi
gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung
berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini. Fakta menyebutkan bahwa sangat
sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari
tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya
untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengontrol semua
variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara
statistik tidak akurat.
9. Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan
anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi
harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi
perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan
anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh
orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu
jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama
3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh
orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi
lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-
perubahan perilaku lainnya.
Berikut ini beberapa terapi yang paling umum digunakan :
1. Metode Lovaas
Terapi ini paling banyak dipakai di Indonesia saat ini. Anak diberi pelatihan khusus dengan metode
reward and punisment. Terapis meminta anak melakukan sesuatu tindakan yang spesifik dan
konkret, jika anak menurut akan diberi hadiah yang berarti untuknya. Jika tidak menurut, tidak diberi
apa-apa. Permintaan terapis ini diulangi sampai berhasil
2. Terapi Okupasi
Tujuannya untuk melatih motorik halus, pada umumnya perkembangan motorik halus anak autis
terlambat, gerakaknnya kaku. Mereka sulit memegang pensil atau sendok. Terapi ini akan melatih
otot-otot motorik halus agar anak autis bisa menjadi mandiri
3. Terapi Fisik
Selain motorik halus, anak autis juga terganggu pada motorik kasarnya yakni gerakan-gerakan besar.
Hal ini karena perkembangan ototnya tidak normal. Keseimbangan anak autis kurang baik, sehingga
mereka kadang berjalan dengan kaku, gerakan patah-patah seperti robot. Biasanya anak akan
diajarimembangun koordinasi otot misalnya : duduk, berguling, menendang, menangkap bola dan
lain-lain.
4. Terapi Visual
Pada umumnya anak autis lebih mudah belajar secara visual dengan cara melihat. Hal inilah yang
dijadikan dasar uji mengembangkan pembelajaran dengan sistem komunikasi bergambar. Misalnya
dengan : pengenalan bentuk-bentuk binatang, buah dan gerakan lewat gambar.
5. Terapi Biomedik
Terapi ini dilakukan oleh ahli medis, tujuannya untuk mencari dan mengobati gangguan secraa fisik
pada anak autis yang diduga sebagai penyebabnya. Anak autis kadang mengalami gangguan pada
fungsi otaknya akibat gangguan metabolisme misalnya keracunan logam berat seperti merkuri dan
timbal hitam.
6. Terapi Integrasi Sensasi
Terapi ini dapat merangsang koneksi sinapstik yang lebih kompleks. Terapi ini adalah gabungan
terapi okupasi dan fisik. Biasanya anak akan dibantu menerapkan kemampuan sesuai dengan
keperluan. Misalnya menatur gerak secara tepat ( kapan saatnya duduk, lari dan melompat)
Lamanya terapi dilakukan tergantung tipe autis-nya, kadang kadang inilah yang menimbulkan orangtua
bosan atau frustasi menjalani terapi apalagi biayanya mahal.
Kemudian mendorong orang tua untuk berpindah terapis, justru inilah yang tidak baik, karena berpindah
tempat kadang hanya membuat anak menjadi resisten. Dulunya sudah mulai merespon kearah kemajuan
10. bersama terapis lama tetapi berganti terapis maka kemampuan anak yang hampir diperolehnya menjadi
hilang.
Orang tua menjadi frustasi juga bisa karena terapi tak kunjung menunjukkan hasil, kunciny memang harus
sabar dan telaten, karena anak autis memang terhambat pada perkembangannya, sehingga butuh perlakuan
khusus.
Selain itu terapi juga harus didintegrasikan antara terapi psikis dan fisik. Untuk mengendalikan prilakuanak
autis selain terapi tersebut diatas juga perlu bantuan ahli gizi dalam mengatur menu makanan. Hal ini tidak
lain karena faktor makanan juga berpengaruh terhadap prilaku anak.
Sebagaimana disebutkan bahwa faktor keracunan logam berat dalam pencernaan anak menjadi salah satu
faktor autis. Tetapi tidak perlu berkecil hati, karena bila ada perkembangan ke arah baik maka kebutuhan
akan terapi pelan-pelan berkurang .
Daftar Pustaka : http://id.wikipedia.com ; http://www.google.com