Dokumen tersebut membahas tentang infus intravena dan farmakokinetika. Secara singkat, dokumen menjelaskan bahwa infus intravena memungkinkan pengendalian konsentrasi obat dalam plasma, model farmakokinetik satu kompartemen untuk obat-obat tertentu, dan cara menghitung regimen dosis infus intravena.
Aplikasi farmakokinetika dalam kepentingan klinisMelviana94
油
Prinsip dasar farmakokinetika , parameter farmakokinetika, berbagai tehnik pemberian obat, memperkirakan kadar suatu obat pada pasien, menyesuaikan dosis obat sesuai target terapi
Dokumen tersebut membahas tentang konversi dosis infusi intravena menjadi dosis oral. Terdapat dua metode untuk menghitung dosis oral yang sesuai, yaitu dengan mempertimbangkan konsentrasi tunak obat dalam plasma harus sama antara infusi dan oral, atau dengan menyamakan kecepatan infusi dengan kecepatan dosis oral. Metode tersebut dijelaskan lewat contoh kasus pasien asma yang semula mendapat infusi aminofilin kemudian dik
Dokumen tersebut membahas tentang kriteria uji ekuivalensi untuk produk obat generik. Terdapat tiga jenis uji ekuivalensi yaitu uji invivo, uji in vitro, dan produk-produk yang tidak memerlukan uji ekuivalensi. Dokumen ini juga menjelaskan metode penilaian bioavailabilitas absolut dan relatif serta rancangan studi uji bioekivalensi seperti jumlah dan kriteria subyek, prosedur klinis, serta pertimb
Dokumen tersebut membahas tentang perhitungan larutan isotonis, yaitu larutan yang memiliki tekanan osmotis sama dengan cairan tubuh. Terdapat beberapa cara untuk menghitung larutan isotonis yakni menggunakan penurunan titik beku air, ekivalensi NaCl, dan volume isotonik. Dokumen juga menjelaskan cara menghitung larutan isotonis dengan memperhatikan faktor pH tertentu.
Dokumen tersebut membahas tentang Biofarmasetika yang mempelajari hubungan antara sifat kimia fisika obat dengan absorbsi dan efek farmakologisnya. Dibahas pula korelasi percobaan in vitro-in vivo, pengaturan dosis ganda baik secara oral maupun intra vena, serta beberapa rumus untuk menghitung kadar obat dalam plasma.
Dokumen tersebut membahas tentang penentuan dosis obat untuk mencapai kadar dalam rentang terapeutik. Secara singkat, dokumen menjelaskan bahwa (1) tujuan penetapan dosis adalah mencapai kadar dalam rentang terapeutik, (2) asumsi farmakokinetik diperlukan bila informasi terbatas, dan (3) pemberian obat jangka panjang harus menjaga kadar steady state dalam rentang tersebut.
Ekskresi obat melalui ginjal melibatkan tiga proses: filtrasi glomerulus, sekresi tubular aktif, dan reabsorpsi tubular. Parameter klirens berguna untuk mengukur kemampuan tubuh mengeliminasi obat. Faktor seperti usia, pH urin, dan ikatan protein plasma dapat mempengaruhi ekskresi ginjal.
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) ialah jumlah relatif (persentase) dari obat yang masuk ke sirkulasi sistemik sesudah pemberian obat dalam sediaan tertentu, serta kecepatan peningkatan kadar obat dalam sirkulasi sistemik. Sedangkan studi bioekivalensi dilakukan karena banyak produk obat yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberi efek terapetik yang sebanding pada penderita.
Dokumen tersebut membahas pengaruh cara pemberian obat terhadap absorbsi dan efek sedatif obat. Secara umum dibahas tentang latar belakang, tujuan percobaan, dasar teori mengenai rute pemberian obat, alat dan bahan yang digunakan, serta cara kerja dan perhitungan dosis obat dalam percobaan menggunakan hewan coba tikus."
Dokumen tersebut membahas tentang definisi, keuntungan, keterbatasan, teknik pembuatan, karakterisasi, dan aplikasi nanoemulsi. Nanoemulsi adalah sistem emulsi yang transparan dengan ukuran tetesan antara 50-500 nm yang stabil secara kinetik dan termodinamika. Keuntungan nanoemulsi antara lain penetrasi obat yang lebih baik dan stabilitas jangka panjang. Teknik pembuatannya meliputi homogenisasi tekanan tinggi
Laporan akhir praktikum sediaan solid parasetamol dengan metode granulasi basah yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa farmasi UMM. Granulasi basah digunakan untuk meningkatkan kompaktibilitas dan aliran parasetamol yang buruk dengan menambahkan zat pengikat air untuk membentuk granul."
Biofarmasetika mempelajari hubungan antara sifat fisika kimia obat, bentuk sediaan, dan rute pemberian yang mempengaruhi kecepatan dan derajat absorpsi obat. Faktor-faktor seperti kelarutan, hidrofilisitas, bentuk garam, dan polimorfisme mempengaruhi proses disolusi dan absorpsi obat. Uji biofarmasetika penting untuk memprediksi bioavailabilitas dan memilih formulasi terbaik.
1. Intravenous infusion allows for precise control of drug concentrations in the body and eliminates large fluctuations in Cmax and Cmin. Drugs given by constant IV infusion will reach a steady state concentration (Css) when the rate of drug entry equals the rate of drug elimination.
2. For a one-compartment model drug given by IV infusion, the steady state concentration (Css) can be calculated from the infusion rate (R), volume of distribution (Vd), and elimination rate constant (k).
3. A loading dose (DL) may be given by IV bolus at the start of an infusion to quickly achieve the target Css. The amount of the loading dose can be calculated from the infusion
Koefisien distribusi menjelaskan hubungan zat terlarut yang terdistribusi di antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Hukum partisi menyatakan bahwa perbandingan konsentrasi solut akan tetap pada suatu suhu. Koefisien distribusi mempengaruhi cara obat mencapai target dan menembus jaringan. Hipotesis Overton-Meyer menyatakan bahwa aktivitas obat terkait dengan koefisien distribusinya.
Dokumen tersebut membahas konsep dan perhitungan dosis ganda pada farmakokinetik obat, termasuk faktor yang mempengaruhinya, bentuk relasi antar parameter, dan contoh soal perhitungannya. Secara khusus dibahas pula tentang pemberian ulang secara intravena dan oral serta konsep loading dose.
Dokumen tersebut membahas tentang penentuan dosis obat untuk mencapai kadar dalam rentang terapeutik. Secara singkat, dokumen menjelaskan bahwa (1) tujuan penetapan dosis adalah mencapai kadar dalam rentang terapeutik, (2) asumsi farmakokinetik diperlukan bila informasi terbatas, dan (3) pemberian obat jangka panjang harus menjaga kadar steady state dalam rentang tersebut.
Ekskresi obat melalui ginjal melibatkan tiga proses: filtrasi glomerulus, sekresi tubular aktif, dan reabsorpsi tubular. Parameter klirens berguna untuk mengukur kemampuan tubuh mengeliminasi obat. Faktor seperti usia, pH urin, dan ikatan protein plasma dapat mempengaruhi ekskresi ginjal.
Bioavailabilitas (ketersediaan hayati) ialah jumlah relatif (persentase) dari obat yang masuk ke sirkulasi sistemik sesudah pemberian obat dalam sediaan tertentu, serta kecepatan peningkatan kadar obat dalam sirkulasi sistemik. Sedangkan studi bioekivalensi dilakukan karena banyak produk obat yang dianggap ekivalen farmasetik tidak memberi efek terapetik yang sebanding pada penderita.
Dokumen tersebut membahas pengaruh cara pemberian obat terhadap absorbsi dan efek sedatif obat. Secara umum dibahas tentang latar belakang, tujuan percobaan, dasar teori mengenai rute pemberian obat, alat dan bahan yang digunakan, serta cara kerja dan perhitungan dosis obat dalam percobaan menggunakan hewan coba tikus."
Dokumen tersebut membahas tentang definisi, keuntungan, keterbatasan, teknik pembuatan, karakterisasi, dan aplikasi nanoemulsi. Nanoemulsi adalah sistem emulsi yang transparan dengan ukuran tetesan antara 50-500 nm yang stabil secara kinetik dan termodinamika. Keuntungan nanoemulsi antara lain penetrasi obat yang lebih baik dan stabilitas jangka panjang. Teknik pembuatannya meliputi homogenisasi tekanan tinggi
Laporan akhir praktikum sediaan solid parasetamol dengan metode granulasi basah yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa farmasi UMM. Granulasi basah digunakan untuk meningkatkan kompaktibilitas dan aliran parasetamol yang buruk dengan menambahkan zat pengikat air untuk membentuk granul."
Biofarmasetika mempelajari hubungan antara sifat fisika kimia obat, bentuk sediaan, dan rute pemberian yang mempengaruhi kecepatan dan derajat absorpsi obat. Faktor-faktor seperti kelarutan, hidrofilisitas, bentuk garam, dan polimorfisme mempengaruhi proses disolusi dan absorpsi obat. Uji biofarmasetika penting untuk memprediksi bioavailabilitas dan memilih formulasi terbaik.
1. Intravenous infusion allows for precise control of drug concentrations in the body and eliminates large fluctuations in Cmax and Cmin. Drugs given by constant IV infusion will reach a steady state concentration (Css) when the rate of drug entry equals the rate of drug elimination.
2. For a one-compartment model drug given by IV infusion, the steady state concentration (Css) can be calculated from the infusion rate (R), volume of distribution (Vd), and elimination rate constant (k).
3. A loading dose (DL) may be given by IV bolus at the start of an infusion to quickly achieve the target Css. The amount of the loading dose can be calculated from the infusion
Koefisien distribusi menjelaskan hubungan zat terlarut yang terdistribusi di antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Hukum partisi menyatakan bahwa perbandingan konsentrasi solut akan tetap pada suatu suhu. Koefisien distribusi mempengaruhi cara obat mencapai target dan menembus jaringan. Hipotesis Overton-Meyer menyatakan bahwa aktivitas obat terkait dengan koefisien distribusinya.
Dokumen tersebut membahas konsep dan perhitungan dosis ganda pada farmakokinetik obat, termasuk faktor yang mempengaruhinya, bentuk relasi antar parameter, dan contoh soal perhitungannya. Secara khusus dibahas pula tentang pemberian ulang secara intravena dan oral serta konsep loading dose.
Dokumen tersebut membahas tentang infusi intra vena sebagai salah satu cara pemberian obat yang dapat mengontrol kadar obat dalam darah dengan tepat. Ia juga menjelaskan nasib obat setelah pemberian, perhitungan kadar obat dalam plasma, dan contoh soal terkait perhitungan dosis muat untuk infusi intra vena.
Dokumen tersebut membahas tentang biofarmasetika, yang mempelajari hubungan antara sifat kimia fisika obat dengan absorbsi, bioavailabilitas, atau efek farmakologisnya. Dokumen ini juga membahas tentang korelasi percobaan in vitro dan in vivo, pengaturan dosis ganda baik secara oral maupun intra vena, serta beberapa rumus untuk menghitung besaran-besaran farmakokinetik seperti Css,maks dan Css,min
Dokumen tersebut menjelaskan model kompartemen dua untuk distribusi obat setelah diberikan secara intravena, di mana obat akan terdistribusi ke kompartemen sentral (darah) dan kompartemen jaringan. Dokumen tersebut juga menjelaskan cara menentukan parameter farmakokinetika seperti konstanta distribusi, eliminasi, volume distribusi, dan persamaan farmakokinetika berdasarkan data konsentrasi obat dalam plasma.
1. Kadar obat puncak setelah pemberian dosis intravena lambat selama 30 menit adalah 41,6 mg/L. Kadar obat 20 jam kemudian adalah 13,0208 mg/L.
2. Waktu paruh eliminasi obat berkisar antara 1-4 jam tergantung dosisnya.
3. Rejim dosis cefaleksin yang disarankan untuk pasien dengan gangguan ginjal berkisar antara 2-207,28 mg untuk mencapai kadar obat
Dokumen tersebut merangkum beberapa contoh soal ujian farmakokinetik yang meliputi penentuan parameter farmakokinetik seperti volume distribusi, laju eliminasi, dan waktu paruh eliminasi berdasarkan data kadar obat dalam plasma atau serum pada beberapa waktu.
Ringkasan dokumen tersebut dalam 3 kalimat atau kurang:
Dokumen tersebut membahas tentang penggunaan target controlled infusion (TCI) dengan propofol dan remifentanil untuk anestesi total intravena (TIVA). Beberapa penelitian yang telah dilakukan di RSCM menunjukkan bahwa model Marsh lebih efisien dibanding model Schneider dan konsentrasi plasma serta effect site yang dibutuhkan untuk mencapai kehilangan kesadaran pada pasien Asia lebih rendah
RAPAT KOORDINASI DAN EVALUASI PENANGGULANGAN RABIES DI PROVINSI BALI 11 Juni ...Wahid Husein
油
Strategi penanggulangan rabies secara terintegrasi
Peraturan mengenai pengendalian rabies
Pengendalian rabies pada saat Pandemi COVID19
Kasus rabies pada hewan
Hasil vaksinasi rabies
Kendala yang dihadapi
Dukungan FAO ECTAD terhadap Program Pengendalian dan Pemberantasan Rabies di ...Wahid Husein
油
Situasi rabies di dunia
Situasi rabies di Indonesia
Program rabies di Indonesia
Apa yang dilakukan ECTAD Indonesia
Tantangan utama
Rekomendasi ke depan
2. IKHTISAR
Dosis Maintenance : pemberian obat agar kadar obat di
dalam darah selalu berada di dalam kisaran terapeutiknya sehingga
dapat menimbulkan efek terapi (Wagner, 1993)
Kadar obat harus diatur >= KEM dan < KTM
Faktor yang mempengaruhi kadar obat di dalam darah :
Variasi antar individu
Formulasi dan Teknologi sediaan
Adanya alternative farmasetika (aminofilin merupakan garam etilen
diamin teofilin, teofilin yang terkandung hanya 80%). Untuk obat-
obat dalam bentuk garam K, Na, Cl atau nitrat diabaikan mengingat
kecilnya BM anion/kation tsb.
3. FAKTORYG MEMPENGARUHI
KADAR OBAT DLM DARAH
Perubahan Ekskresi urin, misal pH urin , Clcr
Perubahan klirens hepatic , misal adanya
saturasi system metabolism
Adanya inhibisi dan induksi enzim
Terjadinya farmakokinetik tergantung dosis
5. DEFINISI
Infusi Intravena Adalah pemberian secara
intravena yang diberikan perlahan dengan
laju tertentu
IV bolus :
Dosis diberikan secara cepat
Cp sama dengan dosis yang digunakan
6. KEUNTUNGAN INFUSI INTRAVENA
Plasma Drug Concentration (Cp) lebih terkontrol
Drug with a narrow therapeutic window (IT) (eg :
Heparin) dapat diatur fluktuasi Cpmaks dan
Cmin.
Obat (eg : antibiotik) dapat diberikan bersama
elektrolit dan Nutrisi
Durasi terapi obat dapat diatur sesuai
kebutuhan
7. ASUMSI
Obat masuk
kecepatannya mengikuti
orde nol (konstan) dan
eliminasi obat mengikuti
orde satu.
Laju infus digambarkan
sebagai orde 0 (nol)
dengan
R merupakan kecepatan
infus dalam satuan
mg/menit.
8. Pada saat Cp mencapai steady state (plateau) : Kecepatan
obat masuk (infusion rate) = Kecepatan obat keluar
(elimination rate)
Cp(ss) : steady
state (keadaan
plateau / tunak)
10. INFUSI IV
Selama Infusi IV, obat diberikan
dengan kecepatan konstan
(orde nol) R,
Konsentrasi obat dalam plasma
dan kecepatan eliminasinya naik
tergantung konsentrasi (k.Cp).
Cp naik sampai tercapai
keadaan tunak/steady state .
Pada keadaan tunak dengan laju
eliminasi obat = laju obat yang
masuk dalam tubuh, persamaan
menjadi (Bourne, 2001; Makoid,
1996, )
el
D
ss
k
V
R
Cp
.
T
Cl
R
Cpss
atau
11. STEADY STATE/TUNAK
Waktu untuk mencapai
steady state tergantung
t1/2 (Waktu paro
eliminasi)
tidak bergantung pada
laju infus
(Bourne,2001; Makoid, 1996;
Shargel 1988).
2
/
1
%
95
2
/
1
%
95
%
95
.
.
.
32
.
4
/
693
.
0
05
.
0
ln
05
.
0
ln
.
1
95
.
0
)
1
(
.
.
%
95
)
1
(
.
%
95
.
%
95
%
95
%
95
t
t
t
t
t
k
e
e
k
Vd
R
k
Vd
R
e
k
Vd
R
Css
k
Vd
R
Css
t
k
t
k
t
k
12. WAKTU UNTUK MENCAPAI 90-99%
CSS DAPAT DIKALKULASI SBB :
Angka t1/2 untuk mencapai fraksi dari Css
% Css* yang tercapai X t1/2 eliminasi
90 3.32
95 4.32
99 6.65
* Css adalah konsentrasi tunak
Bila K kecil, maka untuk mencapai keadaan tunak (Css)
dibutuhkan waktu lebih lama (t1/2 obatnya panjang /
lama)
13. BILA R DINAIKKAN, WAKTU UNTUK MENCAPAI
CSS TETAP, TETAPI KONSENTRASI CSS NAIK
Cp
R
2R
time
14. Untuk mempersingkat waktu yang diperlukan
untuk mencapai konsentrasi terapetik dalam
pemberian infus intravena dapat dilakukan
pemberian loading dose(Bourne, 2001).
Pemberian loading dose dapat dilakukan dalam
bentuk :
Pemberian bolus intravena
Pemberian fast infusion
16. LOADING DOSE
Loading Dose (DL) IV atau Dosis Muat IV : Dosis IV Bolus awal,
diperlukan untuk tujuan mempercepat keadaan tunak (Css)
DL= Css.Vd
DL=R/k
dg R = Kecepatan infus
K = Konstanta kecepatan eliminasi
17. Diasumsikan obat diberikan IV Bolus dan Infus IV
dalam waktu yang hampir sama, maka, total
konsentrasi obat dalam plasma pada waktu ttt
adalah :
Cp = C1+C2
)
e
(1
Vd.k
R
e
Vd
D
Cp kt
kt
L
18. Infus IV
DL IV Bolus
Css = steady state level
Infus IV + DL
time
Cp
Infus IV naik secara eksponensial
DL IV Bolus turun secara eksponensial
19. Ketepatan pemberian DL
Keterangan
a. DL > R/K
b. DL = R/K
c. DL < R/K
d. Infusi intravena tanpa DL
a
b
c
d
Cp
time
Css
Css dalam literatur konsentrasi obat terapeutik efektif
21. Jika infus dihentikan, obat di dalam plasma (Cp) akan turun
secara eksponensial mengikuti orde satu, sehingga e-k.t
mendekati nol (0)
Waktu yang dibutuhkan mencapai Css tergantung pada k dan
t1/2 eliminasi.
Pada t = , e-k.t0, maka
T
Cl
R
Vd.k
R
Css
Cp
time
A
Slope=-k/2,3
Cp setelah dihentikan, sebesar Cpt=Cp0.e-k.t
22. CONTOH SOAL
1. Suatu antibiotik yang diberikan secara infusi iv diinginkan
konsentrasi tunaknya 10 mg/L. Diketahui obat ini
mempunyai Vd 10 L dan k =0.2 jam-1.Pertanyaan :
Pertanyaan :
a. Berapakah kecepatan infus yang harus diatur ?
b. Bila pasien mengalami uremia dan k turun menjadi 0.1
jam-1, perlukah kecepatan infusnya disesuaikan ?
23. JAWABAN No 1.
a. kecepatan infus yang harus diatur
mg/jam
20
R
L.0,2/jam
g/L.10
10
R
Jam
.0,2
L
10
R
mg/L
10
Vd.k
R
Css
1
m
24. 1.b
Pada kondisi uremia kemungkinan akan
mengubah clearance, dan gambaran
kadar obat di dalam darahnya adalah :
Cpss = R/vd.k
Cpss = 20 mg/jam : (10 L x 0,1 jam-1)
= 20 mg/L
Cpss kondisi uremia degan kecapatan
infus 20 mg/jam adalah 20 mg/L
(meningkat 2 kalinya). Jadi perlu
disesuaikan.
25. Kecepatan infusnya harus di atur menjadi :
mg/jam
10
R
L.0,1jam
10
R
10mg/L
Vd.k
R
Css
1
R diubah menjadi 10 mg/jam.
Perlu disesuaikan kecepatan infus, karena jika tidak akan
terjadi akumulasi obat yang toksik didalam tubuh
26. 2. Seorang pasien diberikan antibiotik (t1/2=8
jam) secara infus IV. Dengan kecepatan
pemberian 2 mg/jam. Setelah 2 hari diukur
konsentrasi obat ditemukan 10 mg/L.
Hitunglah klirens total obat tersebut ?.
Cp
Time (jam)
48
34, 56
Tunak, 4,32 x t1/2
27. JAWABAN NO 2
L/jam
0,2
mg/L
10
mg/jam
2
ClT
Konsentrasi obat dalam plasma pada hari ke 2 (48
jam) ini menggambarkan 6 x t1/2nya. Keadaan
tunak tercapai minimal 95% Css (4,32xt1/2)
Sehingga pada jam itu sudah tercapai tunak,
maka
Css=R/ClT
ClT=R/Css
28. 3, Suatu produk infus diketahui kadar
tunak = 2 亮g/ml, Vd=10 L, k = 0,1/jam.
Berapa laju tetesan permenit untuk
mempertahan Cp tunak? (diketahui 1 ml
= 20 tetes). Tersedia produk 500
mg/100 mL
29. JAWABAN NO 3
Css =R/Vd.k
R = Css . Vd . k
R = 2 mg/L x 10 L x 0,1/jam
R = 2 mg/jam
Untuk mendapatkan dosis 2 mg/jam dari produk 500 mg/100 mL
maka volume yang harus diteteskan sebesar :
= 2 mg/jam
500 mg/100 mL
= 0,4 mL/jam = 80 tetes/jam = 0,13 tetes/menit
30. Contoh Soal
4. Dokter ingin memberikan suatu anestesi secara infus IV
dengan kecepatan 2 mg/jam. Kecepatan eliminasi obat
diketahui k=0,1/jam dan Vd = 10L (satu kompartemen).
Berapakah loading dose yang saudara sarankan bila
konsentrasi 2 亮g/ml segera dapat tercapai ?
32. Contoh soal
5. Berapakah konsentrasi obat pada jam ke-6 setelah
pemberian loading dose 10 mg bersamaan dengan infus
kecepatan 2 mg/jam ?. Diketahui obat mempunyai t1/2=3
jam dan Vd=10L)
33. Jawaban No5.
DL = 10 mg,
t1/2 = 3 jam, maka k= 0,231/jam
R= 2 mg/jam, Vd = 10 L
mg/L
0,90
Cp
)
e
(1
jam
10L.0,231/
mg/jam
2
e
10L
mg
10
Cp
)
e
.(1
Vd.k
R
.e
Vd.
DL
Cp
0,231.6
0.231.6
kt
kt
34. Soal No6.
6. Seorang pasien diinfus selama 6 jam
dengan suatu obat (k=0,01/jam dan
Vd=10 L) dengan kecepatan 2 mg/jam.
Berapakah konsentrasi obat setelah 2
jam infus dihentikan?
35. Jawaban No.6
Cp
time
6 8
Infus dihentikan
Cp0
Cp
K= 0,01/jam, maka t1/2 =0,693/0,01
=69,3 jam
95% Css = 4,32x69,3 =299,4 jam
Jadi jam ke 6 belum tercapai keadaan
tunak.
Cp0=R/Vd.k(1-e-kt)
2 mg/jam . (1-e-0,01.6)
10 L.0,01/jam
Cp0=1,16 mg/L
Cp 2 jam setelah
dihentikan
Cp=Cp0.e-kt
= 1,16.e-0,01.(8-6)
= 1,14 mg/L
36. 7. Seorang Pasien pria (43 th, 80kg) diberi suatu antibiotik
secara infus IV. Menurut literatur t1/2=2 jam,
Vd=1,25L/Kgbb. Konsentrasi efektif 14mg/L. Obat
tersedia dalam ampul 5 ml dengan konsentrasi 150
mg/ml.
a. Rekomendasikan berapa kecepatan infus (satuan mg/jam
atau L/jam)
b. Sampel darah diambil pada jam 12, 16 dan 24 setelah infus
dimulai, dan dihitung konsentrasi obatnya : 16,1; 16,3 dan
16,5 mg/L. Hitung ClT pasien
c. Hitung t1/2 eliminasi pasien
d. Berdasar evaluasi diatas, perlukah perubahan kecepatan
infus ?
37. Jawaban no8.
a. t1/2 = 2 jam, maka k=0,347/jam
R = Css.Vd.K
= 14 mg/L . 1,25 L/Kgbb.80 Kg.0,347/jam
R=485,1mg/jam
Karena obat tersedia dalam ampul 5 ml dg
konsentrasi 150mg/mL
Maka R = (485,8/150)ml/jam
R = 3,24 ml/jam
38. b. t1/2 = 2 jam, pada T =12 jam (sudah tercapai Css
kah ?
95% Css = 4,32xt1/2 = 4,32x 2 jam = 8,64 jam. Berarti
jam ke 12 sudah tercapai keadaan tunak (Css)
ClT = R/Css
= 485,1 mg/jam : 16,1 mg/L
= 30,17 L/jam
39. c. Estimasi t1/2 dari harga ClT
K = ClT/Vd
= 30,17/(1,25 x 80)/jam
K =0,301/jam, maka
t1/2= 2,3 jam
40. d. Untuk memutuskan perubahan kec. Infus, harus
dipertimbangkan pharmakodinamik dan toksisitas
obat. Jika obat ini diasumsikan memiliki jendela
terapeutik yg lebar, estimasi didasarkan pada harga
par. Farmakokinetik sesuai literatur.
Karena t1/2 literatur =2 jam, sementara t1/2 pasien 2,3
jam (hampir mendekati), sehingga tidak perlu
penyesuaian kecepatan infus