際際滷

際際滷Share a Scribd company logo
KRITIK JURNALISTIK 
PERTUNJUKAN RUANG KELAS 
Inspired By Waiting For Godot, Samuel Becket 
Kelompok pertunjukan teater pantomim yang mementaskan Waiting For 
Godot karya Samuel Beckett degan judul Ruang Kelas. Lakon ini sangat 
fenomenal, pada waktu itu, pertama-kali lakon ini diberi nama En attendant 
Godot dengan menggunakan bahasa Francis. Lakon ini dicoba ditawarkan ke 
mana-mana oleh Suzzane, pacar Beckett, tetapi selalu ditolak. Waiting For Godot 
menjadi tontonan yang penting, sebab Godot, yang tak jelas apa-siapanya, dan 
suasananya, ketegangan yang bermain dengan lelucon-lelucon tingkat tinggi, 
menjadikan pentas drama ini suatu santapan pikiran yang lebih eksistensial. 
Ide kreatif dari seorang sutradara Yayu Undru ini yang mengangkat tema 
Waiting For Godot menjadi tontonan yang berbeda pada pementasan Waiting 
For Godot sebelumnya. Sejak awal pertunjukan kelompok ini sudah menciptakan 
suasana akrab, bertaya-tanya, penasaran apalagi yang akan terjadi. Dengan 
hadirnya bapak-bapak penjual minuman dan makanan masuk ke dalam gedung 
teater di Taman Budaya Sukarta, menawarkan dan menanyakan siapa yang telah 
memesan jualannya. Sentak penonton terkejut dengan kehadiran bapak itu, dua 
menit sebelum pertunjukan dimulai. Hal seperti itu memang selalu dilakukan 
olek kelompok Teater Sena Didi Mime. Pertengahan pertunjukan pun seperti itu, 
sutradara sengaja membuat hal seperti itu agar ada interaksi antara aktor dan 
penonton sehingga membuat penonton tidak jenuh. Tipe pertunjukan seperti ini 
banyak juga dilakukan oleh kelompok teater-teater di Eropa. 
Memasuki gedung pertunjukan tersebut properti dan aktor telah berada 
di tempat, hanya saja lampu belum diarahkan kepada aktor ada menggunakan 
bangku dan meja sekolah yang disusun rapi dan dua bangku diatas. Representasi 
peran juga diturunkan lewat seni rupa minimalis ini dalam pertunjukan mereka. 
Kostum pemain serba warna-warni dengan menggunakan leging dan baju ketat, 
sedikit ada rumbai-rumbainya dengan motif jumputan yang sangat kontras 
dengan lighting yang ada, dan dengan wajah yang putih, yang merupakan pakem 
dari pertunjukann pantomime. Kelompok ini juga sangat memperhatikan bentuk
permainan, seperti level, komposisi, lighting yang sangat kontras. Bertambahlah 
pertunjukan ini dalam ruang lingkup seni rupa teater. 
Pertunjukan teater Dide Mime ini pentas dalam acara Mimbar Teater 
Indonesia 2014, pada tanggal 25 September di Taman Budaya Surakarta) ini, 
menjadi pertunjukan penuh warna, dan infantilistik terhadap kehidupan anak-anak 
di dalam ruang kelas, yang ceria penuh tawa, bermain bersama, terkadang 
juga menangis bersama, dan tampak juga kebiasaan anak di kelas yang tidak 
aktif, malu bertanya dikarenakan berbagai macam faktor, seperti kebiasaan guru 
yang langsung menyalahkan anak ketika mereka menjawab, atau ketidak-dekatan 
guru dengan siswanya, sehingga ada ketegangan dalam kelas tersebut. Dapat 
dikatakan pula sebagai lakon anti hero, karena dalam lakon ini hampir semua 
tokoh yang ditampilkan menonjol, mengisyaratkan sebagai dari kelompok 
underdogs. 
Tampak sekali teater Barat pertunjukan ini karena teater barat kurang 
suka dengan segala macam sifat dan sikap menggurui, menuntun dan 
mengaarahkan dan lebih menekankan unsur masing-masing individu tokoh yang 
ada dalam naskah dan dimainkan oleh para aktor. Sedangkan teater timur selalu 
bersifat didaktik, mendidik atau membumbung masyarakat dengan ajaran-ajaran 
atau nilai-nilai luhur kemanusiaan. 
Ketika lampu dinyalakan, tampaklah dua aktor yang memerankan 
seoarang anak di dalam kelas yang sedang menunggu. Tidak lama kemudian 
munculah aktor dari bawah meja dan bangku, yang penonton pada saat itu 
menunjukan ekspresi terkejut mereka, tidak menyangka ada manusia di dalam 
tumpukan kursi dan meja tersebut. Tubuh aktor bergerak, tekstur tubuh, gestur 
tubuh, anatomi tubuh semua ini membuat imij-imij seperti bangunan yang 
bernapas, berdenyut, menggeliat, dan berkeringat. Tulang-tulang tubuh yang 
menentukan konstruksi bangunan tubuh tampak menjadi lebih tajam. Tubuh 
seperti mengeluarkan senjata dan luka-lukanya sendiri. Regangan-regangan otot 
dan anatomi (tangan membentang atau kaki terpancang), menghasilkan images 
lain tentang makhluk-makhluk tak bernama antara tubuh binatang dan tubuh 
abstrak.
Tubuh melakukan gerak in-out melalui lampu, ruang pun menjadi in-out 
melalui lampu. Tubuh dan ruang baru ada ketika lampu in dan sebaliknya, 
keduanya memainkan visualitas antara ketiadaan dan keberadaan, antara 
kegelapan dan titik terang yang berpindah-pindah, serta efek bayang yang 
memainkan seni rupa tersendiri antara tubuh dan ruang. Sebuah pertunjukan 
dari mata yang berfilsafat dari apa yang bisa aku lihat dan tidak bisa aku lihat. 
Cahaya yang dihidupkan menciptakan terang dan cahaya yang dibawa pergi ke 
dalam kegelapan. Ketika lampu dinyalakan kembali, tubuh aktor sudah berada di 
tempat yang tidak sama lagi dengan tempat sebelumnya. 
Dari bentuk yang mereka turunkan, pertunjukan ini menjadi seperti 
teater absurd yang melakukan distorsi pada anatomi aktor dan anatomi ruang 
pentas. Dari pertunjukan mereka mengesankan pula adanya semacam 
kesenjangan menerapkan pola pertunjukan pantomim. Krisis materialisme 
dalam hubungan-hubungan sosial direpresentasi lewat infantilisasi hubungan-hubungan 
itu sendiri. Penafsiran tidak diletakan pada prilaku aktor dan juga 
desain ruang yang dibuat seperti dunia mini. 
Pertunjukan Teater Didi Mime ini akhirnya memperlihatkan betapa teks-teks 
Becket bisa dihadirkan kembali sebagai teks baru. Teater ini 
memperlihatkan betapa sebuah pertunjukan bisa mempresentasikan ulang 
sebuah naskah menjadi teks yang baru, kendati dalam menurunkannya masih 
seperti munurunkan manusia-manusia yang panik dan lucu ketika berhadapan 
dengan akan kehadiran seorang guru di ruang kelas, tetapi mereka hanya 
menunggu
Foto pada saat pementasan gedung teater Taman Budaya Solo 
foto sebelum pementasan, pada saat merangkai meja dan kursi

More Related Content

kritik teater

  • 1. KRITIK JURNALISTIK PERTUNJUKAN RUANG KELAS Inspired By Waiting For Godot, Samuel Becket Kelompok pertunjukan teater pantomim yang mementaskan Waiting For Godot karya Samuel Beckett degan judul Ruang Kelas. Lakon ini sangat fenomenal, pada waktu itu, pertama-kali lakon ini diberi nama En attendant Godot dengan menggunakan bahasa Francis. Lakon ini dicoba ditawarkan ke mana-mana oleh Suzzane, pacar Beckett, tetapi selalu ditolak. Waiting For Godot menjadi tontonan yang penting, sebab Godot, yang tak jelas apa-siapanya, dan suasananya, ketegangan yang bermain dengan lelucon-lelucon tingkat tinggi, menjadikan pentas drama ini suatu santapan pikiran yang lebih eksistensial. Ide kreatif dari seorang sutradara Yayu Undru ini yang mengangkat tema Waiting For Godot menjadi tontonan yang berbeda pada pementasan Waiting For Godot sebelumnya. Sejak awal pertunjukan kelompok ini sudah menciptakan suasana akrab, bertaya-tanya, penasaran apalagi yang akan terjadi. Dengan hadirnya bapak-bapak penjual minuman dan makanan masuk ke dalam gedung teater di Taman Budaya Sukarta, menawarkan dan menanyakan siapa yang telah memesan jualannya. Sentak penonton terkejut dengan kehadiran bapak itu, dua menit sebelum pertunjukan dimulai. Hal seperti itu memang selalu dilakukan olek kelompok Teater Sena Didi Mime. Pertengahan pertunjukan pun seperti itu, sutradara sengaja membuat hal seperti itu agar ada interaksi antara aktor dan penonton sehingga membuat penonton tidak jenuh. Tipe pertunjukan seperti ini banyak juga dilakukan oleh kelompok teater-teater di Eropa. Memasuki gedung pertunjukan tersebut properti dan aktor telah berada di tempat, hanya saja lampu belum diarahkan kepada aktor ada menggunakan bangku dan meja sekolah yang disusun rapi dan dua bangku diatas. Representasi peran juga diturunkan lewat seni rupa minimalis ini dalam pertunjukan mereka. Kostum pemain serba warna-warni dengan menggunakan leging dan baju ketat, sedikit ada rumbai-rumbainya dengan motif jumputan yang sangat kontras dengan lighting yang ada, dan dengan wajah yang putih, yang merupakan pakem dari pertunjukann pantomime. Kelompok ini juga sangat memperhatikan bentuk
  • 2. permainan, seperti level, komposisi, lighting yang sangat kontras. Bertambahlah pertunjukan ini dalam ruang lingkup seni rupa teater. Pertunjukan teater Dide Mime ini pentas dalam acara Mimbar Teater Indonesia 2014, pada tanggal 25 September di Taman Budaya Surakarta) ini, menjadi pertunjukan penuh warna, dan infantilistik terhadap kehidupan anak-anak di dalam ruang kelas, yang ceria penuh tawa, bermain bersama, terkadang juga menangis bersama, dan tampak juga kebiasaan anak di kelas yang tidak aktif, malu bertanya dikarenakan berbagai macam faktor, seperti kebiasaan guru yang langsung menyalahkan anak ketika mereka menjawab, atau ketidak-dekatan guru dengan siswanya, sehingga ada ketegangan dalam kelas tersebut. Dapat dikatakan pula sebagai lakon anti hero, karena dalam lakon ini hampir semua tokoh yang ditampilkan menonjol, mengisyaratkan sebagai dari kelompok underdogs. Tampak sekali teater Barat pertunjukan ini karena teater barat kurang suka dengan segala macam sifat dan sikap menggurui, menuntun dan mengaarahkan dan lebih menekankan unsur masing-masing individu tokoh yang ada dalam naskah dan dimainkan oleh para aktor. Sedangkan teater timur selalu bersifat didaktik, mendidik atau membumbung masyarakat dengan ajaran-ajaran atau nilai-nilai luhur kemanusiaan. Ketika lampu dinyalakan, tampaklah dua aktor yang memerankan seoarang anak di dalam kelas yang sedang menunggu. Tidak lama kemudian munculah aktor dari bawah meja dan bangku, yang penonton pada saat itu menunjukan ekspresi terkejut mereka, tidak menyangka ada manusia di dalam tumpukan kursi dan meja tersebut. Tubuh aktor bergerak, tekstur tubuh, gestur tubuh, anatomi tubuh semua ini membuat imij-imij seperti bangunan yang bernapas, berdenyut, menggeliat, dan berkeringat. Tulang-tulang tubuh yang menentukan konstruksi bangunan tubuh tampak menjadi lebih tajam. Tubuh seperti mengeluarkan senjata dan luka-lukanya sendiri. Regangan-regangan otot dan anatomi (tangan membentang atau kaki terpancang), menghasilkan images lain tentang makhluk-makhluk tak bernama antara tubuh binatang dan tubuh abstrak.
  • 3. Tubuh melakukan gerak in-out melalui lampu, ruang pun menjadi in-out melalui lampu. Tubuh dan ruang baru ada ketika lampu in dan sebaliknya, keduanya memainkan visualitas antara ketiadaan dan keberadaan, antara kegelapan dan titik terang yang berpindah-pindah, serta efek bayang yang memainkan seni rupa tersendiri antara tubuh dan ruang. Sebuah pertunjukan dari mata yang berfilsafat dari apa yang bisa aku lihat dan tidak bisa aku lihat. Cahaya yang dihidupkan menciptakan terang dan cahaya yang dibawa pergi ke dalam kegelapan. Ketika lampu dinyalakan kembali, tubuh aktor sudah berada di tempat yang tidak sama lagi dengan tempat sebelumnya. Dari bentuk yang mereka turunkan, pertunjukan ini menjadi seperti teater absurd yang melakukan distorsi pada anatomi aktor dan anatomi ruang pentas. Dari pertunjukan mereka mengesankan pula adanya semacam kesenjangan menerapkan pola pertunjukan pantomim. Krisis materialisme dalam hubungan-hubungan sosial direpresentasi lewat infantilisasi hubungan-hubungan itu sendiri. Penafsiran tidak diletakan pada prilaku aktor dan juga desain ruang yang dibuat seperti dunia mini. Pertunjukan Teater Didi Mime ini akhirnya memperlihatkan betapa teks-teks Becket bisa dihadirkan kembali sebagai teks baru. Teater ini memperlihatkan betapa sebuah pertunjukan bisa mempresentasikan ulang sebuah naskah menjadi teks yang baru, kendati dalam menurunkannya masih seperti munurunkan manusia-manusia yang panik dan lucu ketika berhadapan dengan akan kehadiran seorang guru di ruang kelas, tetapi mereka hanya menunggu
  • 4. Foto pada saat pementasan gedung teater Taman Budaya Solo foto sebelum pementasan, pada saat merangkai meja dan kursi