Dokumen tersebut memberikan informasi mengenai hasil pengamatan lapangan geologi di beberapa lokasi di Bayat dan daerah Cepu. Di antaranya meliputi temuan berbagai jenis batuan seperti batu filit, batugamping kristalin, batugamping berfosil, batupasir berfosil, batu gabro, serta penjelasan mengenai formasi-formasi geologi seperti formasi Selorejo, Lidah dan Mundu beserta usia, tebal dan peranannya.
GEOLOGI DAERAH WARUNG KIARA, KECAMATAN WARUNG KIARA_1.pptxRainCollapse
油
Dokumen tersebut merangkum hasil pemetaan geologi di Daerah Warung Kiara, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Teridentifikasi beberapa satuan batuan yang mencakup lava andesit tertua berumur Miosen awal, batugamping dan batupasir karbonatan berumur Miosen tengah, serta breksi vulkanik dan endapan aluvium kuarter.
Berdasarkan observasi lapangan dan analisis petrografi serta mikrofosil, penelitian ini mengidentifikasi enam variasi litologi di Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, yaitu batupasir karbonatan, batugamping kalkarenit, lempung karbonatan, batugamping wackestone, batugamping grainstone, dan batugamping packestone. Variasi litologi ini terbentuk pada berbagai fasies perairan dangkal hingga tengah pada zaman Miosen."
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Membahas fisiografi, stratigrafi, dan struktur geologi regional Jawa Barat
2) Terdiri dari empat zona fisiografi utama yaitu dataran pantai, Zona Bogor, Zona Bandung, dan pegunungan selatan
3) Menguraikan susunan batuan stratigrafi daerah penelitian yang terdiri dari formasi-formasi sedimen dan vulkanik
Teks tersebut membahas tentang teori dasar stratigrafi dan seismik stratigrafi. Secara ringkas, teks tersebut menjelaskan tentang (1) sistem tract dan sekuen stratigrafi, (2) konfigurasi internal seismik dan tekstur stratigrafi, serta (3) analisis wireline log untuk memperoleh parameter reservoir.
Tinjauan pustaka menjelaskan geologi, tektonik, dan sistem petroleum Cekungan Barito. Cekungan ini terbentuk akibat rifting pada Eosen dan inversi sesar pada Miosen. Batuan dasarnya terdiri dari kompleks Barito Platform dan Meratus. Formasi-formasi utama meliputi Tanjung, Berai, Warukin, dan Dahor yang berisi reservoir pasir dan batubara serta batuan penyegel lempung. Sumber hidrokarbon berasal dari batubara
Dokumen tersebut membahas tentang geologi Indonesia khususnya Sumatera. Tektonik Sumatera dipengaruhi oleh interaksi antara Lempeng Eurasia dan Lempeng India-Australia yang membentuk struktur sesar dan lipatan. Berbagai formasi batuan seperti Belumai, Baong, dan Keutapang terbentuk akibat proses sedimentasi dan tektonik pada zaman Tersier hingga Kuarter.
1. Dokumen tersebut membahas potensi geowisata di Teluk Lasongko dan sekitarnya, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. Potensi tersebut meliputi permandian alami, pantai, dan gua yang terbentuk dari proses karstifikasi batugamping.
2. Dokumen tersebut juga menjelaskan strategi pengembangan kawasan geowisata Teluk Lasongko dengan memanfaatkan potensi alam seperti permandian, pantai, dan gu
Dokumen tersebut membahas tentang analisis sejarah pembentukan dan perbedaan genesa batuan di daerah Kendalisada dan Bandungan, Kabupaten Semarang. Batuan di daerah tersebut berasal dari erupsi Gunung Ungaran purba puluhan ribu tahun lalu yang melontarkan material vulkanik ke daerah sekitarnya. Batuan di Kendalisada terbentuk dari erupsi kaldera jenis strato, sedangkan di Bandungan terbentuk dari endapan material piroklastik
Dokumen ini membahas karakteristik tanah dan kelas situs di Bandar Lampung berdasarkan formasi batuan dan hasil uji SPT. Dua formasi batuan kuarter, yaitu Formasi Lampung dan Formasi Gunungapi Muda, menghasilkan tanah yang padat pada kedalaman 2 m dengan kecepatan gelombang geser lebih dari 360 m/s dan kelas situs C. Sedangkan formasi batuan tersier lebih muda hanya menghasilkan tanah padat pada kedalaman 20
PRESENTASE GEOLOGI DAERAH WALANDANO.pptxAndiAzisRusdi
油
Dokumen tersebut merangkum hasil penelitian geologi di suatu daerah. Terdiri dari tiga bagian utama yaitu: 1) Satuan geomorfologi terdiri dari perbukitan terjal dan pedataran, 2) Empat satuan stratigrafi berdasarkan umur batuan, 3) Struktur geologi lipatan dan sesar serta sejarah pembentukannya. Ditemukan potensi bahan galian batuan.
Berdasarkan observasi lapangan dan analisis petrografi serta mikrofosil, penelitian ini mengidentifikasi enam variasi litologi di Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora, yaitu batupasir karbonatan, batugamping kalkarenit, lempung karbonatan, batugamping wackestone, batugamping grainstone, dan batugamping packestone. Variasi litologi ini terbentuk pada berbagai fasies perairan dangkal hingga tengah pada zaman Miosen."
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Membahas fisiografi, stratigrafi, dan struktur geologi regional Jawa Barat
2) Terdiri dari empat zona fisiografi utama yaitu dataran pantai, Zona Bogor, Zona Bandung, dan pegunungan selatan
3) Menguraikan susunan batuan stratigrafi daerah penelitian yang terdiri dari formasi-formasi sedimen dan vulkanik
Teks tersebut membahas tentang teori dasar stratigrafi dan seismik stratigrafi. Secara ringkas, teks tersebut menjelaskan tentang (1) sistem tract dan sekuen stratigrafi, (2) konfigurasi internal seismik dan tekstur stratigrafi, serta (3) analisis wireline log untuk memperoleh parameter reservoir.
Tinjauan pustaka menjelaskan geologi, tektonik, dan sistem petroleum Cekungan Barito. Cekungan ini terbentuk akibat rifting pada Eosen dan inversi sesar pada Miosen. Batuan dasarnya terdiri dari kompleks Barito Platform dan Meratus. Formasi-formasi utama meliputi Tanjung, Berai, Warukin, dan Dahor yang berisi reservoir pasir dan batubara serta batuan penyegel lempung. Sumber hidrokarbon berasal dari batubara
Dokumen tersebut membahas tentang geologi Indonesia khususnya Sumatera. Tektonik Sumatera dipengaruhi oleh interaksi antara Lempeng Eurasia dan Lempeng India-Australia yang membentuk struktur sesar dan lipatan. Berbagai formasi batuan seperti Belumai, Baong, dan Keutapang terbentuk akibat proses sedimentasi dan tektonik pada zaman Tersier hingga Kuarter.
1. Dokumen tersebut membahas potensi geowisata di Teluk Lasongko dan sekitarnya, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara. Potensi tersebut meliputi permandian alami, pantai, dan gua yang terbentuk dari proses karstifikasi batugamping.
2. Dokumen tersebut juga menjelaskan strategi pengembangan kawasan geowisata Teluk Lasongko dengan memanfaatkan potensi alam seperti permandian, pantai, dan gu
Dokumen tersebut membahas tentang analisis sejarah pembentukan dan perbedaan genesa batuan di daerah Kendalisada dan Bandungan, Kabupaten Semarang. Batuan di daerah tersebut berasal dari erupsi Gunung Ungaran purba puluhan ribu tahun lalu yang melontarkan material vulkanik ke daerah sekitarnya. Batuan di Kendalisada terbentuk dari erupsi kaldera jenis strato, sedangkan di Bandungan terbentuk dari endapan material piroklastik
Dokumen ini membahas karakteristik tanah dan kelas situs di Bandar Lampung berdasarkan formasi batuan dan hasil uji SPT. Dua formasi batuan kuarter, yaitu Formasi Lampung dan Formasi Gunungapi Muda, menghasilkan tanah yang padat pada kedalaman 2 m dengan kecepatan gelombang geser lebih dari 360 m/s dan kelas situs C. Sedangkan formasi batuan tersier lebih muda hanya menghasilkan tanah padat pada kedalaman 20
PRESENTASE GEOLOGI DAERAH WALANDANO.pptxAndiAzisRusdi
油
Dokumen tersebut merangkum hasil penelitian geologi di suatu daerah. Terdiri dari tiga bagian utama yaitu: 1) Satuan geomorfologi terdiri dari perbukitan terjal dan pedataran, 2) Empat satuan stratigrafi berdasarkan umur batuan, 3) Struktur geologi lipatan dan sesar serta sejarah pembentukannya. Ditemukan potensi bahan galian batuan.
Perancangan Alat Pengaman Loker Berbasis RFID Google Spreadsheet.pdftraveleave23
油
1587-Article Text-4711-1-10-20200122.pdf
1. Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 587
Analisis Fasies Pengendapan
Satuan Batupasir Glaukonit Karbonatan Daerah Joho, Sale,
Rembang, Jawa Tengah
Deka Maulana 1
, Winarti 2
, Setyo Pambudi 3
Mahasiswa, Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional 1
dk.maulana@hotmail.com
Dosen, Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional 2, 3
Abstrak
Penelitian ini dilakukan di kali Gempol yang secara geografis terletak di daerah Joho, Sale, Rembang, Jawa Tengah. Secara
fisiografi Jawa, daerah penelitian termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan cekungan retroarch. Stratigrafi
regional menunjukkan lokasi penelitian terletak pada Formasi Ledok yang merupakan bagian dari cekungan Jawa Timur
bagian Utara. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan fasies satuan batupasir glaukonit
karbonatan dan tujuannya untuk mengetahui lingkungan pengendapan purba pada satuan batupasir glaukonit karbonatan.
Metode yang digunakan adalah metode analisis profil sepanjang lintasan Kali Gempol daerah Joho, analisis petrografi,
mikrofosil, dan paleocurrent. Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka satuan batupasir glaukonit karbonatan tersusun oleh
perulangan batupasir glaukonit karbonatan pada bagian bawah dan kalkarenit pada bagian atas yang membentuk struktur
mega cross bedding. Hasil analisis petrografi menunjukkan adanya penurunan kadar mineral glaukonit menuju bagian atas
dari satuan batuan. Hasil analisis mikrofosil menunjukkan satuan batuan ini terendapkan di lingkungan neritik tengah pada
kedalaman 60-100 meter dan terendapkan pada kala Miosen Akhir (N16-N17). Pola suksesi dari ukuran butir secara vertikal
mempunyai pola penghalusan keatas (fining upward). Fasies lingkungan pengendapan termasuk pada lingkungan laut
dangkal khususnya pada sub-lingkungan upper shoreface dengan tinggian purba berada pada sebelah tenggara daerah
penelitian.
Kata Kunci : mega crossbedding, fasies, glaukonit, ledok, shoreface.
1. Pendahuluan
Daerah penelitian secara administratif daerah
penelitian termasuk dalam Kecamatan Sale,
Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah
(Gambar 1) ataupun secara fisiografi termasuk
dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang
pada umumnya telah banyak diteliti dan dipelajari
oleh beberapa ilmuwan kebumian.
: lokasi penelitian
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian
Penelitian geologi pada zona ini pada
kebanyakan untuk kepentingan ilmiah dan
eksplorasi minyak dan gas bumi dimana zona ini
dikenal oleh ilmuwan geologi sebagai cekungan
Jawa Timur bagian utara. Banyaknya penelitian di
Cekungan Jawa Timur bagian utara ini tidak
menutup kemungkinan peneliti yang lain untuk
melakukan kajian dan pemahaman tentang geologi
Zona Rembang secara menyuluruh. Banyak aspek
baik dari segi stratigrafi, tektonik, sedimentasi,
perkembangan cekungan, maupun sistem minyak
bumi yang masih harus dikaji lagi seiring dengan
perkembangan ilmu ilmu geologi kebumian. Secara
stratigrafi Zona Rembang daerah penelitian terdapat
pada Formasi Ledok. Kehadiran mineral glaukonit
yang melimpah pada Formasi Ledok menandakan
bahwa Formasi Ledok terendapkan di lingkungan
laut.
Maksud dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui perkembangan fasies satuan batupasir
glaukonit karbonatan dan tujuannya untuk
mengetahui lingkungan pengendapan purba pada
satuan batupasir glaukonit karbonatan.
2. Metode
Metode yang digunakan pada penelitian ini
merupakan metode analisis profil sepanjang
lintasan Kali Gempol daerah Joho. Selain itu
penulis juga menggunakan analisis mikrofosil,
2. Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 588
petrografi, dan paleocurrent untuk mendukung dari
data yang dihasilkan pada analisis profil. Analisis
profil digunakan untuk menginterpretasi
lingkungan pengendapan purba pada daerah
penelitian khususnya pada satuan batupasir
glaukonit karbonatan dengan pendekatan terhadap
ciri profil sedimentasi beach-shelf mud menurut
Reineck & Singh (1980), analisis mikrofosil untuk
mengetahui lingkungan pengendapan berdasarkan
bathimetri dan umur batuan, sedangkan analisis
petrografi digunakan untuk mengetahui
perkembangan presentase mineral glaukonit
sepanjang profil lintasan.
3. Geologi
Secara fisiografi Jawa Tengah Jawa Timur
menurut van Bemmelen (1949) lokasi penelitian
terletak pada fisiografi Zona Rembang (Gambar 2).
Zona Rembang terdiri dari pegunungan lipatan
Antiklinorium yang memanjang ke arah barat-timur
dari Purwodadi, Blora, Jatirogo, Tuban, sampai
dengan Pulau Madura.
: lokasi penelitian
Gambar 2. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan
Jawa Timur (modifikasi dari van Bemmelen,
1949, dalam Hartono, 2010)
Secara geologi regional dan stratigrafi
regional daerah penelitian terdapat pada Peta
Geologi Regional lembar Jatirogo (Situmorang,
Smit, dan van Vessem , 1992) yang merupakan
bagian dari Formasi Ledok. Formasi Ledok meurut
peneliti-peneliti terdahulu dikenal sebagai Ledok
Beds (Van Bemmelen, 1949). Formasi ini terususun
oleh perulangan antara napal pasiran, kalkarenit
dengan napal dan batupasir (Pringgoprawiro, 1983)
(Tabel 1).
Rembang secara struktural dikenal sebagai
zona sesar RMKS (Pertamina-Robertson Research,
1986, dalam Prasetyadi 2007). Dickinson (1974,
dalam Pringgoprawiro, 1983) menggolongkan
Mandala Rembang kedalam cekungan retroarch
Jawa bagian timur atau Zona Rembang berdasarkan
pola struktur utamanya merupakan daerah yang
unik karena wilayah ini merupakan tempat
perpotongan dua struktur utama, yakni antara
struktur arah Meratus yang berarah timurlut-
baratdaya dan struktur arah Sakala yang berarah
timur-barat (Pertamina-BPPKA, 1996; Sribudiyani
dkk., 2003 dalam Prasetyadi 2007) (Gambar 3).
Kondisi geologi daerah peneltian secara
gemorfologi terdapat pada satuan geomorfologi
bergelombang lemah denudasional dengan
kemiringan lereng 賊 7,3 % dan beda tinggi 賊 20,67
meter. Secara stratigrafi lokasi penelitian tersusun
oleh satuan batupasir glaukonit karbonatan yang
tersususun oleh dominasi batupasir glaukonit
karbonatan dan kalkarenit yang membentuk
struktur mega cross bedding. Struktur geologi yang
teramati pada sekitar daerah penelitan yaitu
antiklin, sinklin, sesar naik yang berorientasi relatif
E-W, sesar mendatar sinistral yang berorientasi
relatif NE-SW, sesar mendatar dextral yang
berorientasi relative NW-SE, dan sesar normal yang
berorientasi N-S.
Tabel 1. Stratigrafi Regional Zona Rembang menurut
Pringgoprawiro (1983)
: Lokasi penelitian
Gambar 3. Peta pola struktur Jawa menurut Sribudiyani,
dkk (2003, dalam Prasetyadi, 2007)
3. Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 589
4. Fasies beach-shelf mud
Fasies adalah tubuh batuan dengan sifat yang
khas dalam batuan sedimen ditentukan berdasarkan
warna, perlapisan, tekstur, fosil, dan struktur
sedimen (Reading, 1978). Selley (1976)
menyebutkan bahwa interpretasi suatu lingkungan
sedimentasi (sedimentary environment) dan
paleogeografi (paleogeography) didasarkan pada
aspek geometri, litologi, fosil, struktur sedimen,
dan arus purba (paleocurrent).
Selley (1976) menyatakan bahwa glaukonit
merupakan suatu mineral kompleks yang
berhubungan dengan mineral lempung dan mika.
Mineral glaukonit terbentuk hanya dari authigenic
mineral selama proses diagenesis awal di
lingkungan sedimentasi laut (Tabel 2).
Tabel 2. Kehadiran mineral glaukonit dan karbon
terhadap lingkungan terbentuknya (Selley,
1976)
Suatu pemahaman mengenai fasies
pengendapan dan paleogeografi bahwa suatu tubuh
batuan sedimen merupakan hasil proses tertentu
pada lingkungan tertentu yang dicerminkan oleh
sifat-sifat tertentu (Gambar 4).
Gambar 4. Pola sedimen dari profil beach-shelf mud
(Reineck dan Singh, 1980)
Berdasarkan Reineck & Singh (1980) fasies
beach-shelf mud terbagi menjadi beberapa
lingkungan, yaitu :
1. Backshore - dunes
Lingkungan ini dicirikan oleh proses-
proses pengendapan subaerial yang diadakan
oleh angin. Menurut Wunderlich (1971, dalam
Reineck & Singh, 1980) lingkungan ini
memperlihatkan perubahan morfologi dan
sedimentasi selama periode musim panas dan
musim dingin. Struktur sedimen berupa paralel
laminasi, small ripple laminasi, through cross
bedding tercermin pada lingkungan ini.
Material sedimen berukuran fine sand (Howard
& Reineck (1972, dalam Reineck & Singh,
1980)).
2. Foreshore
Lingkungan ini dibatasi pada zone
intertidal, yang selalu ditandai oleh perubahan
slope yang tajam (Walker, 1984). Struktur
sedimen berupa laminasi dengan dip 2-5属.
Material sedimen pada lingkungan ini
berukuran fine - medium sand (Howard &
Reineck (1972, dalam Reineck & Singh,
1980)).
3. Shoreface
Lingkungan ini dipengaruhi oleh
modifikasi ekstrim akibat proses-proses strom
generated waves (Walker, 1984).
3.1. Upper Shoreface
Lingkungan ini berkisar pada
kedalaman 0-300 meter. Pada umumnya
terbentuk struktur sedimen tipe perlapisan,
antara lain small-ripple bedding,
megaripple bedding, planar cross bedding.
Bioturbasi lemah dengan material sedimen
berukuran medium sandy fine sand
(Reineck & Singh, 1980).
3.2. Middle Shoreface
Lingkungan ini pada kedalaman di
bawah 300-600 meter dimana ripple hanya
terlihat di bagian atas. Struktur laminasi
dari batupasir yang umum dijumpai pada
lingkungan ini dengan bioturbasi bersifat
menengah (Reineck & Singh, 1980).
3.3. Lower Shoreface
Lingkungan ini berkisar pada
kedalaman 700-1000 meter. Pada
lingkungan ini bioturbasi kuat seiring
dengan peningkatan kedalaman air.
Material sedimen didominasi ukuran butir
fine sand (Reineck & Singh, 1980).
4. Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 590
4. Transition Zone
Pada lingkungan ini bioturbasi sangat
kuat dengan perlapisan anorganik yang
memperlihatkan jejak fosil bukan dari
bioturbasi. Material sedimen
pada lingkungan ini silty fine sand fine
sandy silt (Reineck dan Singh, 1980).
5. Shelf Mud
Pada lingkungan ini bioturbasi masih
kuat dengan material sedimen di dominasi oleh
mud (Reineck, 1971, dalam Reineck & Singh,
1980).
5....Hasil dan Pembahasan
Lokasi penelitian terletak pada kali Gempol,
Joho, Sale, Rembang, Jawa Tengah (Gambar 5).
Gambaran analisis profil dan lingkungan
pengendapan pada daerah penelitian dapat dilihat
pada (Hasil seutuhnya dari profil satuan batupasir
glaukonit karbonatan terlampir pada lampiran 1).
Berdasarkan analisis profil serta pengukuran
stratigrafi terukur. Suksesi dari pola susunan
pengendapan secara vertikal dari litologi, struktur
sedimen, dan ukuran butir maka satuan batupasir
glaukonit karbonatan berdasarkan karakteristik
fasies yang khas dari suatu sistem pengendapan
daerah pantai sampai paparan laut dangkal menurut
Reineck & Singh (1980) terbagi menjadi 2 fasies
pengendapan.
Fasies pengendapan 1 terdiri dari perulangan
batupasir glaukonit karbonatan dengan sisipan
kalkarenit dengan ketebalan 10-25 cm yang
membentuk struktur sedimen mega cross bedding
(Gambar 6). Batupasir glaukonit karbonatan secara
megaskopis menunjukkan ciri ciri berwarna lapuk
berwarna lapuk coklat kehijauan, warna segar abu-
abu kebiruan, kompak, tekstur klastik dengan
ukuran butir pasir sedang-kasar, sortasi baik,
tekstur permukaan kasar, kemas tertutup, porositas
primer, permeable, bereaksi dengan HCl, sedikit
bioturbasi. Komposisi batupasir glaukonit
karbonatan ini berupa glaukonit, lithik, karbonat,
dan mineral-mineral berukuran pasir, semen
mineral karbonat. Secara mikroskopis pada sample
PTG|LF|38 (bagian bawah satuan)
memperlihatkan warna putih kecoklatan pada nikol
sejajar dan kehitaman pada nikol silang,
klastik, ukuran butir 0,03 0,3 mm, membulat
tanggung hingga menyudut, tersusun dari kuarsa
(12%), feldspar (18%), lithik (25%), glaukonit
(13%), fosil (5%), mineral opak (4%), mineral
lempung (8%), dan lumpur karbonat (15%) dengan
nama petrografis calcareous glauconite lithic
arenite (Klasifikasi Petiijohn, 1975, modifikasi).
Pada sample PTG|LF|38.2 (bagian tengah satuan)
memperlihatkan warna putih kecoklatan, pada nikol
sejajar dan kehitaman pada nikol silang, klastik,
ukuran butir 0,03 0,2 mm, membulat tanggung
hingga menyudut, tersusun dari kuarsa (15%),
feldspar (18%), fragmen batuan (22%), glaukonit
(11%), fosil (3%), mineral opak (1%), mineral
lempung (10%), dan lumpur karbonat (20%)
dengan nama petrografis calcareous glauconite
lithic arenite (Klasifikasi Petiijohn, 1975,
modifikasi).
Gambar 5. Peta indeks lokasi daerah penelitian (Maulana, 2014)
5. Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 591
Gambar 6. Kenampakan struktur sedimen mega cross
bedding dalam singkapan batupasir
glaukonit karbonatan (Lensa menghadap ke
arah SE). (Foto diambil di daerah
Gembyangindah), koordinat 06属 51' 33 LS
dan 111属 36' 51 BT
Berdasarkan penarikan kesebandingan yang
dilakukan antara fasies pengendapan 1 dengan
beach-shelf mud (Reineck & Singh, 1980)
berdasarkan persamaan litologi, struktur sedimen,
ukuran butir, serta semua aspek geologi yang ada.
Fasies pengendapan ini terendapkan pada
lingkungan upper shorface (Reineck & Singh,
1980).
Fasies pengendapan 2 terdiri dari perulangan
kalkarenit sisipan batupasir glaukonit karbonatan
dengan ketebalan 10-30 cm yang membentuk
struktur sedimen mega cross bedding (Gambar 7).
Kalkarenit secara megaskopis menunjukkan ciri
ciri berwarna lapuk coklat kekuningan, warna segar
putih kekuningan , kompak, tekstur klastik dengan
ukuran butir pasir sedang, sortasi sedang, kemas
tertutup, impermeable, bereaksi dengan HCl,
sedikit bioturbasi. Komposisi kalkarenit ini berupa
mineral-mineral karbonat. Secara mikroskopis pada
sample PTG|LF|37 (bagian atas satuan)
memperlihatkan warna kecoklatan pada nikol
sejajar dan abu-abu gelap pada nikol silang, klastik,
ukuran material penyusun 0,1 0,25 mm,
membulat-menyudut tanggung, tersusun dari fosil
(82%), Lumpur karbonat (10%), dan semen (5%),
dan glaukonit (3%) dengan nama petrografis
grainstone (Dunham, 1962, dalam Pettijohn, 1975).
Gambar 7. Kenampakan struktur sedimen mega cross
bedding dalam singkapan kalkarenit (Lensa
menghadap ke arah selatan) (Foto diambil di
daerah Anjangsana), koordinat 06属 51' 40
LS dan 111属 35' 42 BT
Berdasarkan penarikan kesebandingan yang
dilakukan antara fasies pengendapan 2 dengan
beach-shelf mud (Reineck & Singh, 1980)
berdasarkan persamaan litologi, struktur sedimen,
ukuran butir, serta semua aspek geologi yang ada.
Fasies pengendapan ini terendapkan pada
lingkungan upper shorface (Reineck & Singh,
1980).
Lingkungan pengendapan purba yang telah
diindentifikasi berdasarkan ciri-ciri di atas bahwa
fasies pengendapan 1 dan 2 terendapkan pada
lingkungan laut dangkal khususnya pada sub-
lingkungan upper shoreface (Reineck & Singh,
1980). Hal tersebut didukung oleh hasil analisis
foraminifera benthos pada sample MFS|LF|38,
MFS|LF|2, MFS|LF|37 yang didasarkan pada
Tipsword, Setzer, Smith (1966) menunjukkan
bahwa satuan ini terendapkan pada lingkungan
neritik tengah dengan kedalaman 60-100 meter
dengan dijumpainya Bolivinitella eleyi
CUSHMAN, Elphidiella artica PARKER &
JONES, Elphidium sp., Amphistegina sp., Cibicides
lobatulus WALKER & JACOB, Amphistegina
hauerina DORBIGNY, 1846, Robulus
nayaroensis, Nodosaria affinis LAMARCK, 1812.
Pada fasies pengendapan 1 dan 2 terjadi pola
penghalusan keatas (fining upward)
mengindikasikan bahwa cekungan mengalami
pendalaman dengan suplai sedimen berkurang yang
mengakibatkan terjadinya fase transgresi. Pada
analisis petrografi (sample PTG|LF|38,
PTG|LF|38.2, PTG|LF|37) menunjukkan adanya
penurunan kadar mineral glaukonit menuju pada
bagian atas dari satuan batuan ini (mencerminkan
bahwa lingkungan laut semakin keatas senakin
kaya akan kandungan O2 (semakin berkurangnya
kondisi reduksi)) yang menunjukkan bahwa
semakin ke atas menuju ke lingkungan laut terbuka.
Berdasarkan analisis foraminifera plangtonik
pada sampel MFS|LF|38, MFS|LF|38a,
MFS|LF|38b, MFS|LF|2, MFS|LF|37, yang
didasarkan pada zonasi Blow (1969) pada bentukan
lobes yang berbeda menunjukkan bahwa mega
cross bedding yang terbentuk pada satuan ini
mempunyai kisaran waktu yang sama dalam proses
pembentukannya yaitu kala Miosen Akhir (N16-
N17) dengan dijumpainya Globigerina
parabulloides BLOW, 1959, Globigerinoides
trilobus REUSS, 1850, Globigerinoides immaturus
LEROY, 1939, Globigerinodes ruber
DORBIGNY, 1939, Hastigerina aequilateralis
BRADY, 1989, Orbulina universa DORBIGNY,
1939, Globorotalia acostaensis BLOW, 1959,
Globorotalia pseudomiocenica BOLLI &
BERMUDEZ , 1965, Globorotalia lenguaensis
BOLLI, 1957, Globorotalia occlusa BLOW &
BANNER, 1962, Globorotalia merotumida BLOW
& BANNER, 1965, Globorotalia menardii
DORBIGNY, 1826.
6. Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 592
Hasil pengukuran arah arus purba yang
menunjukkan arah NW merefleksikan adanya
suplai sedimen (provenance) yang berasal dari SE
daerah penelitian yang melalui channel-channel
laut dangkal.
6. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis secara analisis
profil, petrografi, mikrofosil, dan paleocurrent pada
fasies satuan batupasir glaukonit karbonatan dapat
menjawab tujuan dari penelitian ini, maka
disimpulkan bahwa satuan batupasir glaukonit
karbonatan terendapkan pada sub-lingkungan upper
shoreface dengan tinggian purba yang berada di
sebelah tenggara daerah penelitian.
Ucapan Terima Kasih
Penulis menucapkan terima kasih kepada
Jurusan Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta.
Daftar Pustaka
Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent
Planktonic Foraminifera Biostratigraphy,
International Conference Planktonic Micro
fossil, First Edition, Genewa, Proc. Leiden E.J.
Bull. Vol I.
Cushman, J.A. 1950, Foraminifera, Harvard
University Press, Cambridge.
Hartono, G. 2010, Peran Vuklanisme dalam Tataan
Produk Batuan Gunung Api Tersier di Gunung
Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa Tengah.
Disertasi Doktor. Universitas Padjajaran.
Bandung, Unpublished.
Maulana, 2014, Geologi dan Analisis Fasies
Pengendapan Satuan Batupasir Glaukonit
Karbonatan Ledok Daerah Lodan dan
Sekitarnya, Kecamatan Sarang, Kabupaten
Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Tugas Akhir
Sarjana. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional.
Yogyakarta. Unpublished.
Pettijohn, F.J., 1975, Sedimentary Rocks : Thrid
Edition, Happer & Row Publisher, New York.
Postuma, J.A., 1971, Manual Of Planktonic
Foraminifera, Royal Dutch/Shell Group, The
Haque, The Netherlands, Elsevier Publishing
Company Amsterdam, London, New York
Prasetyadi, C., 2007, Evolusi Tektonik Paleogen
Jawa Bagian timur, Disertasi Doktor, Institut
Teknologi Bandung. 323 hal, tidak diterbitkan.
Pringgoprawiro, H., 1983, Biostratigrafi dan
Paleogeografi Cekungan Jawa Timur Utara
Suatu Pendekatan Baru, Disertasi Doktor,
Institut Teknologi Bandung, 239 hal, tidak
diterbitkan.
Reading, H.G., 1978, Sedimentary Environment
and Facies. Blackwell Scientific Publications.
New York.
Reineck, H.E., Singh, I. B., 1980, Depositional
Sedimentary Environments, Springer-Verlag
Berlin, New York.
Selley, R.C. 1976, Ancient Sedimentary
Environments, Champan & Hall, London.
Situmorang, R. L, Smit, R. & Van Vessem, E.
J.,1992, Peta Geologi Regional, Lembar
Jatirogo, Jawa, Skala 1: 100.000, Direktorat
Geologi Bandung.
Tipsword, H.I., Setzer, F.M., Smith, Jr. F.L., 1966.
Introduction of Depositional Environtment in
Gulf Coast petroleum Exploration from
Paleontology and Related Stratigraphy,
Houston.
Tucker, M. E., Wright, V. P., Dickson, J. A. D.,
1996, Carbonate Sedimentology, Blackwell
Scientific Publications, London.
Van Bemmelen, R. W., 1979, The Geology of
Indonesia Vol 1A-IB. General Geology, The
Hague Martinus Nijhoff, Netherlands.
Walker, R.G. 1984, Facies Model. Geoscience,
Canada.
7. Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 593
Lampiran 1. Analisis profil satuan batupasir glaukonit karbonatan
Pemodelan Fasies Beach Shelf Mud (Reineck & Singh 1980)
8. Seminar Nasional ke 9: Rekayasa Teknologi Industri dan Informasi
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS) Yogyakarta | 594
(Lanjutan lampiran 1)
P d l F i B h Sh lf M d (R i k & Si h 1980)